"Bus, aku dengar Gaishan pulang jam tiga pagi," ujar seorang wanita paruh baya berusia setengah abad. Wajahnya masih terlihat cantik dan segar di usia 50 tahun.
Sang suami yang sedang mengunyah roti itu mendongak ke arah istrinya, perempuan yang 28 tahun telah menemaninya.
"Dia dari rumah teman bisnis kemarin. Mobil mogok, orang-orang Nabhan jam tiga pagi pergi menderek mobilnya," balas Busran, pria berusia 54 tahun.
"Oh." Gea-nama perempuan setengah abad itu mengangguk mengerti.
"Banyak orang yang mau bekerja sama dengan perusahaan Gaishan, yang aku lihat sih, perusahaan milik Gaishan bahkan mendapatkan respon terbaik. Banyak acara televisi yang menarik dan bermanfaat yang ditayangkan oleh salah satu stasiun televisinya. Selain itu program kebudayaan dan cinta lingkungan juga dijalankan oleh perusahaan Gaishan," ujar Gea sambil menyiram s**u ke gelas lalu diberikan pada sang suami.
Busran menerima gelas s**u dari sang istri lalu meminumnya.
"Dia masih tidur, pasti mengantuk." Gea menyiram s**u ke gelas lain untuk dirinya sendiri.
Terlihat dua orang datang dari arah berlawanan, satu perempuan dan lainnya laki-laki. Wajah yang laki-laki itu sama persis dengan Gaishan. Pria yang tadi malam mobilnya mogok.
"Kamu ke kantor jam berapa?" tanya Busran ke arah sang anak.
"Hari ini Ghifan pergi jam sembilan saja, biarkan saja Kakak Ibas yang pimpin rapat, lagian hari ini rapat besar, jadi lama, ijin terlambat dikit," jawab pemuda bernama Ghifan itu.
Laki-laki yang berumur sama dengan Gaishan itu duduk di kursi. Kembaran identik dari Gaishan itu meraih roti bakar.
"Tumben Kak Ghifan malas ke kantor," celetuk seorang gadis manis berusia 23 tahun.
"Sekali-sekali kan malas nggak apa-apa. Gaishan saja setiap hari malas ke kantornya," balas Ghifan.
"Kak Gaishan kan bos besar, sementara Kak Ghifan kan cuma suruhan Papa, uhuk!" Bushra–nama gadis 23 tahun itu terbatuk setelah kalimat terakhirnya.
Ghifan melotot ke arah sang adik perempuan.
"Matanya, Kak. Jangan sampai jatuh," celetuk Bushra.
Gea hanya menggelengkan kepalanya saja.
"Kamu hari ini bagaimana? Mau pergi kerja jam berapa?" tanya Gea.
"Jam delapan, hari ini ada tamu penting perwakilan dari Perancis. Nah, Sira sebagai orang dari pariwisata dapat kesempatan untuk menjadi tour guiding-nya, Ma. Hebat kan Sira?" Bushra membanggakan kehebatannya.
"Hebat, anak Mama semua hebat-hebat. Kamu kerja di Pariwisata, Ghifan sekarang naik jadi Manager di perusahaan keluarga dengan hasil kerja bagus, dan Gaishan sekarang jadi bos besar di perusahaannya sendiri." Gea memuji anak-anaknya.
Ghifan Raffa Nabhan kini telah naik menjadi Manager devisi keuangan, dia tidak menggunakan nama Nabhan untuk bisa mencapai posisinya, tapi mengandalkan kemampuannya sendiri.
Ghifan tersenyum lebar, dia memamerkan deretan giginya. Pria 27 tahun itu akan menjadi penerus perusahaan dari ayahnya yang diberikan oleh sang kakek. Namun, dia belajar dari karyawan kecil naik secara bertahap agar dia tahu betapa sulitnya mulai dari bawah.
"Yang hebat dari semua anak Papa cuma Sira. Yang lain tidak ada apa-apanya."
Senyum Ghifan luntur, sang ayah ini selalu pilih kasih, selalu sayang anak perempuan!
"Hehehehe." Gea terkekeh.
"Iya dong. Sira ini anak yang paling hebat, karena Sira paling cantik." Bushra melirik kakak nomor dua.
Ghifan hanya memutar bola mata.
"Ya, kamu yang paling cantik. Di antara Nabhan, kamu yang paling cantik."
"Heheheh!" Bushra terkekeh.
"Eh, Kak Gaishan mana? Nggak sarapan?" Bushra celingak-celinguk mencari kakak nomor satu.
"Tidur," jawab sang ibu.
"Kebiasaan dia itu, bangun telat terus." Ghifan yang sudah tahu tabiat sang kakak kembar itu tak lagi kaget. Dia meraih gelas s**u dan minum.
"Pulang rumah jam tiga pagi-Ghifan wajah Mama!" Gea berteriak.
Pletak!
"Auwh!"
"Anak kurang ajar!" Busran menjitak kepala sang anak.
Bushra meringis ngeri, sang kakak nomor dua tak sengaja menyemprotkan s**u ke arah wajah ibu mereka.
Busran cepat-cepat mengambil tisu lalu mengeringkan cipratan s**u.
"Besok-besok minum jarak sepuluh meter dari sini," ujar Busran memperingati sang anak. Wajah istrinya jadi basah karena semprotan sang anak. Dia saja selama 28 tahun mereka menikah, tidak pernah menyemprotkan s**u ke wajah sang istri.
"Maaf, Ma. Maaf. Ghifan nggak sengaja. Kaget tadi pas dengar Gaishan pulang jam tiga pagi, biasa kan dia nggak pulang malam gitu." Ghifan meringis sambil meminta maaf dari sang ibu.
"Alasan," celetuk Busran sambil mencebik.
Haish ….
Sang ayah ini terlalu bucin pada sang ibu. Beruntung saja wajahnya tidak kena pukul atau tamparan.
"Busran, aku nggak jadi pergi ke kantor, bedak udah luntur." Gea mencebik.
"Yah, sayang. Jangan dong. Lalu siapa yang ikut aku rapat? Kamu kan sekretaris aku. Kita sehidup sekursi, kan." Busran keberatan.
"Kalau gitu aku mandi ulang." Gea berdiri lalu berjalan ke kamar untuk mandi ulang.
"Aku tunggu." Busran mengangguk.
Dia melirik ke arah anak nomor dua, "Ck! Sembarangan kalau minum."
Bushra cepat-cepat makan makanan lalu pamit. "Papa, Sira mau kerja, dadah. Mcuuah!" Bushra mencium pipi sang ayah lalu lari.
Sementara itu Ghifan menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.
°°°
"Fathi, bangun. Anak perawan bangun kesiangan rejeki dipatok ayam." Suara cempreng seorang wanita paruh baya berusia 50 tahun terdengar. Badan dengan berat 80 kg itu menyendokkan nasi goreng ke atas piring makan.
"Congor lu banyak bacot, Tun. Anak kite tadi malam pulang jam tiga pagi dari rumah si Jule," balas sang suami.
(*Mulut kamu banyak bicara, bahasa betawi.)
"Oalah Bang. Pantesan udah jam delapan gini anak kite kagak bangun-bangun juge." Siti Atun atau biasa dipanggil Atun oleh sang suami yang bernama Nasir Makmur itu manggut-manggut mengerti.
"Si Jay aje di sebelah lagi ngorok. Kagak bangun-bangun. Die capek seharian kemarin narik mikrolet, jam sepuluh malam baru nyadar barus bawa pakaian si Jule." Nasir menyendok nasi goreng ke dalam mulut.
"Berarti hari ini mereka kagak narik yah, Bang?" tanya Atun.
"Kagak. Orang capek begitu. Lagian kagak rugi juga mereka kagak narik sehari, wong mikrolet punya gue," jawab Nasir.
"Hehehe, iye jurangan mikrolet." Siti Atun memuji suaminya.
"Nah kan, lu muji gue lagi, hahahah!" Nasri terbahak setelah menelan nasi goreng.
"Muji Abang yang bikin aye klepek-klepek karena setiap hari aye naik mikrolet gratis, heheheh!"
"Pinter aje lu. Nah, gue demen nih sama bini gini." Nasi tersenyum lebar.
Nasir Makmur punya empat mikrolet, jadi dia disebut juragan mikrolet. Satu mikrolet dipakai oleh sang anak dan anak dari adik lelakinya. Dulu dia adalah supir mikrolet, namun setelah bekerja beberapa tahun dia bisa mengumpulkan uang untuk membeli mikrolet untuk usahanya.
"Tun."
"Ye?"
"Lu panggilan si Hajir datang di mari, makan pagi, nih nasi goreng buatan lu enak bener, bagilah sama si Hajir." Perintah Nasir.
"Iye." Siti Atun berjalan dari dapur ke arah luar, dia masuk ke rumah yang berada di sebelahnya.
"Wiya, laki lu mana?" tanya Atun.
"Laki cuci muka, Mpok. Kenapa emang? Dipanggil Bang Nasir?" tanya Wiya.
"Ho'oh, makan nasi goreng. Eh, gue ambilin yeh buat elu, nanti suami elu makan sama laki gue aje, gimane?" tawar Atun.
"Wah, boleh itu. Entar, aye ambil piring dulu." Alawiyah pergi mengambil piring di rak piring.
"Si Jay masih tidur?" tanya Atun.
"Masih, Mpok. Lagian pulangnya telat. Tadi pagi lah dia kagak sholat subuh, malah molor, tidurnya aje jam tiga," jawab Wiya.
"Nah, same kayak Fathi. Masih molor."
"Mariin piringnye. Eh, itu, bilang laki lu. Datang ke sebelah."
"Ok, sip." Alawiyah menaikan jempolnya sambil membersihkan meja.
Tak berapa lama pintu kamar mandi terbuka. Pria paruh baya keluar dari kamar mandi, Jalan dari orang yang baru keluar itu agak pincang.
"Kenape?" tanya sang suami.
"Bang Nasir panggil makan nasi goreng enak di sebelah," jawab Wiya.
"Wah, begini-begini yang gue demen, meluncur ah." Muhajir Makmur meluncur ke tkp.
°°°
Siang hari Fathiyah baru bangun. Jam dua siang.
"Lu kagak bangun-bangun, Nyak dan Babe kire lu kenape-nape." Atun menyendokkan makanan untuk sang anak.
Fathiyah biasa diperlakukan sebagai laki-laki di keluarganya.
"Capek, Nyak. Tadi malam apa pagi itu, aye pulang jam tiga. Untung aye dan Bajay makan di rumah Ncing Jule baru pulang." Fathiyah menerima piring makanan yang diberikan oleh Atun.
"Noh makan banyak. Nyak banyakin semur jengkolnya."
Fathiyah mengangguk. Dia menyendokkan satu ful sendok nasi masuk ke dalam mulut.
"Si Jay baru abis dari sini, cangkul nasi dan semur jengkol, dah, dia balik molor lagi, katanya elu yang nanti cuci mikrolet," ujar Atun duduk di depan sang anak.
Fathiyah yang mengunyah hanya mengangguk sebagai balasan. Dia menyantap habis makanan yang dimasak oleh sang ibu. Mana bisa dia masak makanan seenak ini? Jawabannya adalah tidak bisa. Setiap hari pekerjaan yang dia lakoni yaitu pekerjaan laki-laki.
Setelah makan Fathiyah pergi memasang selang air lalu mengambil peralatan cuci untuk mencuci mikrolet.
Dia mencuci bagian luar mikrolet terlebih dahulu, terlihat kotor banyak becek.
"Beih, ini karena jalan ke rumah Ncing Jule hancur, banyak becek kan yang nempel."
Fathiyah memberi busa sabun dan mencuci body mikrolet. Setelah merasa bagian luar sudah bersih dan ban tidak lagi kotor, Fathiyah pindah haluan ke dalam mikrolet.
Saat memberi air, dia melihat sesuatu benda.
"Hampir saja!" Fathiyah terkejut, dia cepat-cepat menjauhkan mulut selang air air benda itu.
Benda berukuran segi empat, tipis dan warna hitam. Berada di kolong kursi mikrolet.
Tangan gadis 21 tahun itu meraih benda itu.
"Hp."
Fathiyah mengerutkan keningnya.
"Hp siape? Bagus begini, merek nipon lagi." Fathiyah bertanya-tanya.
Penumpang siapa yang naik mikroletnya dengan membawa ponsel mahal yang dia pegang? Jawabannya tidak ada.
Orang kaya mana yang mau naik mikrolet berdempetan? Jawabannya pasti tidak mau.
'Begini, saya mau ke Jakarta, tapi mobil saya mogom. Hp saya lowbet, baterainya habis, saya tidak ingin tidur di hotel.'
"Lah! Ponsel Mas tadi malam!" Fathiyah melotot.
°°°
Sudah hampir satu jam Gaishan berkeliling kamar mencari ponselnya yang tak juga ditemukan.
Dia bahkan mencakar-cakar tempat tidurnya hingga berantakan total, namun tak menemukan barang yang dia cari.
"s**l! Ngumpet dimana tuh hp? Bikin emosi saja!" Gaishan dongkol.
Dia menarik dan menghemsukan napas lalu duduk di atas ranjang.
Dia sedang konsentrasi untuk mengingat di mana dia meletakkan ponselnya itu.
'Ini ongkos-'
'Tidak perlu.'
'Loh, tapi kan-'
'Orang susah harus dibantu, bukan diperas kasih habis. Mas beruntung dapat kita di jalan.'
'Bajay, ayo tancap gas.'
'Siap!'
Brak!
"s**l! Padahal mereka begal gaya baru!" Gaishan menendang nakas. Dia merasa ditipu karena penolakan uang ongkos darinya pada gadis tadi malam yang dia tumpangi.
"Bilang aku begal ternyata diri sendiri begal penipu." Gaishan menggertakan giginya kesal.
Dia berdiri kasar dari ranjang.
"Jangan panggil aku Gaishan kalau tidak bisa seret mereka!" dongkol Gaishan.
Dia keluar kamar berjalan ke arah bodyguard yang sedang menunggu di depan pintu rumah.
"Periksa angkot tadi malam yang menurunkan aku di depan gerbang perumahan, hari ini, tidak-tidak, jangan sampai malam, sore saja, harus dapat dimana mereka tinggal. Kurang ajar, aku dibegal gaya lembut!"
"Baik, tuan muda." Bodyguard mengangguk. Dia menelepon rekan yang bekerja di bagian IT untuk mencari tahu.
"Wan, ada tugas dari Tuan Gaishan …."
Sementara itu Gaishan masuk ke rumah sambil mengomel.
"Bisa-bisa Gaishan anak Nabhan ditipu."
"Seharusnya aku tidak mudah percaya pada orang baik di Jakarta ini."
"Menghalalkan segala cara untuk mendapat uang."
"Awas, yah. Kalau sampai hp mahal itu di jual oleh mereka, habis mereka ditanganku."
"Mana ada data-data dan nomor penting aku catat di note."
"Ada pesan yang belum aku baca!"
°°°
Hanya dua jam, alamat atau tempat di mana Fathiyah tinggal terungkap.
Wan yang merupakan bodyguard bagian IT itu berjalan ke arah tuannya.
"Tuan Gaishan, ini tempat tinggal mereka."
"Tunggu apa lagi, ke sana sekarang!' Gaishan berseru penuh semangat. Dia berjalan keluar dari rumah lalu naik mobil. Tak lupa ada beberapa dua mobil mengikutinya.
°°°
"Babe!" Fathiyah memanggil sang ayah yang sedang duduk minum kopi sambil main gaplek dengan adik sang ayah.
"Ape?"
"Aye pergi ke suatu tempat dulu, yah. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam. Nah, kalah kan elu." Nasir tertawa ke arah sang adik.
"Kalah terus."
Fathiyah pergi sedangkan Jayadi baru bangun dari tidur gelombang keduanya.
"Ncang, mane Fathi?"
"Kagak tahu pergi kemane, bilangnya mau pergi ke suatu tempat," jawab Nasir.
Tak berapa lama, tiga mobil mewah datang dari arah berlawanan rumah, berhenti tepat di depan rumah mereka.
°°°
"Bus, pulang." Gea membuka pintu kerja sang suami yang merupakan bos-nya.
Busran mengangguk.
Dia mematikan laptop lalu memasukan laptop ke dalam tas laptop.
Saat sang istri yang merangkap menjadi sekretarisnya itu mengatakan pulang, Busran turuti saja.
"Jam berapa, sayang?"
"Jam setengah lima, aku mau istirahat, pegal," jawab Gea.
"Ok. Pulangnya aku pijitin, yah?" Busran tersenyum penuh arti.
"Tanggal merah."
"Apa?" Busran melotot.
"Umur kamu kan udah lima puluh, masih bisa mens juga?!" Busran tidak terima baik.
"Mana ada mens? Maksud aku tanggal merah saja baru kita pijit-pijitan, tunggu hari libur gitu."
Busran, "...." sudah menikah selama 28 tahun tapi istrinya ini masih saja tidak peka.
°°°
Fathiyah berada di pos gerbang perumahan.
"Pak, maaf. Mau tanya. Tadi jam tiga pagi, saya antar seorang laki-laki, katanya mobilnya mogok dan hp-nya mati. Saya mau bawa pulang hp-nya yang mati. Tapi, saya tidak tahu siapa nama orangnya, bisa diperiksa cctv keamanan? Siapa tau Bapak tahu nama orangnya." Fathiyah memperlihatkan ponsel mahal milik Gaishan yang mati.
"Oh, boleh, Dek."
Pada saat yang sama.
Gaishan turun dari dalam mobil, pintu mobil dibuka oleh salah satu bodyguard berbadan kekar.
Dia berjalan mendekat ke arah tiga orang pria yang sedang duduk di meja sambil berbincang minum kopi.
"Ini rumah dari Ghaziyah Fathiyah?" tanya Gaishan terdengar datar.
Nasir, Muhajir dan Jayadi mendongak ke arah Gaishan.
Saat Gishan melihat wajah Jayadi, dia naik darah.
Ini adalah kawan begal perempuan tadi malam.
"Seret dia."
"Baik."
"Woy! Apa-apaan ini!"
°°°