"Oh, itu anak dari Tuan Nabhan. Rumahnya ada di sini, mari saya antar, Dek." Satpam A menawarkan diri.
Fathiyah mengangguk saja.
"Sur, jaga yah, aku antar Adek ini ke rumah Bapak Nabhan."
"Ok."
Saat perjalanan masuk ke dalam perubahan, Fathiyah melihat rumah mewah. Bagus, dia tidak dapat mengungkapkan seberapa bagusnya itu. Rumah bagus begini, mana bisa dia beli? Mau nyicil? Seumur hidup, bahkan sampai masuk kubur juga tidak akan bisa. Begitulah pikir Fathiyah.
Saat sampai gerbang rumah tiga lantai mewah, penjaga rumah atau bodyguard melihat wajah Fathiyah.
Mereka kenal.
Di sisi lain.
"Seret dia." Perintah Gaishan datar. Orang ini adalah begal yang menaikan jempol sambil tersenyum tadi malam. Pantas saja tersenyum, sudah berhasil mendapatkan ponselnya.
"Baik."
"Woy! Apa-apaan ini!" Nasir tidak terima baik keponakan laki-lakinya dibawa paksa oleh orang tidak dikenal.
"Lepasin ponakan gue!"
"Eh, anak gue lu mau ngapain?" Muhajir berdiri, dia hendak menarik badan sang anak, namun bodygurd malah menahannya.
"Eh! Eh! Eh! Lepasin gue!"
"Wah, cari masalah di rumah gue!" Nasir marah.
"Lepas, Bang! Saya tidak tahu salah apa!" Jayadi berteriak ketakutan.
Bodyguard Nabhan menarik Jayadi ke arah depan Gaishan.
"Di mana ponsel saya?" tanya Gaishan dingin.
"P-ponsel apa, Mas? S-saya tidak tahu …." Jayadi mencicit takut.
"Woy! Lepasin ponakan gue!" Nasir maju hendak memberi pukulan peringatan ke arah bodyguard yang menahan sang ponakan, namun sayang bodyguard lainnya dengan sigap menahan.
"Kurang ajar!"
Siti Atun yang sedang mencuci piring dan Alawiyah yang sedang tidur, cepat-cepat ke arah luar rumah.
Mereka terkaget melihat suami dan anak mereka ditahan oleh orang-orang berpakaian hitam berbadan kekar.
"Ini … rentenir?" tebak Atun.
Apa?
Rentenir?
Gaishan yang mendengar dirinya disebut sebagai rentenir itu naik darah.
Rentenir siapa yang tampan seperti dia?
Dia adalah CEO dari Gaishan's Entertainment.
Hal apa yang harus dibandingkan dengan rentenir?
Gaishan menyipit ke arah Jayadi.
"Kenal saya, kan?"
Jayadi yang tadi menutup mata karena mencicit ketakutan, membuka mata lalu melirik ke arah wajah Gaishan.
"Ini …." Suara Jayadi terdengar agar ragu. Dia seperti kenal. Ah, laki-laki ini adalah orang yang mereka beri tumpangan dari Cileungsi ke Jakarta tadi malam.
Mendengar suara ragu Jayadi, Gaishan makin yakin. Laki-laki yang merupakan supir itu tahu siapa dia. Mungkin dia tidak mengira bahwa Gaishan akan datang mencarinya.
"Kamu main-main dengan saya." Suara datar Gaishan terdengar.
"Beri ponsel saya."
"Ponsel? T-tidak tahu, Mas." Jayadi bingung, ponsel apa yang dia ambil dari Mas ini? Seingat dia, dia tidak pernah ambil barang apapun. Bahkan uang ongkos tadi malam, mereka tidak mengambil.
"Saya tidak ambil apapun." Jayadi mencicit takut. Jujur saja, nyali nya sangat kecil jika berurusan dengan orang kuat seperti ini. Itulah sebabnya dia ditemani oleh Fathiyah ke mana pun mereka mencari penumpang.
Sret.
"Akh!"
Gaishan menarik kerah baju Jayadi. "Saya baik hati, saya humoris, saya ramah lingkungan, tapi saya tidak suka penipu."
"Di mana ponsel saya?"
"I-itu … coba tanya Fathi," ujar Jayadi setelah dia mencicit takut.
"Mana kawanmu itu?" tanya Gaishan.
"I-itu …," Jayadi melihat ke arah Nasir, "Ncang, kemane Fathi pergi?"
"Ke suatu tempat, gue kagak tahu, die kagak bilang pergi ke mane," jawab Nasir.
Habis.
Mereka pasti akan dibuat jadi bubur oleh orang ini.
Pergi?
Gaishan menaikan sebelah alisnya, dia menduga bahwa gadis yang bernama Fathiyah itu pasti telah pergi menjual ponselnya.
Dengan nada dingin penuh peringatan, Gaishan berkata, "Kalau sampai ponsel saya telah dijual oleh kawanmu itu, kamu dan dia tidak akan berakhir baik."
"Ampun! Ampun, Mas! Saya tidak tahu apa-apa! Saya cuma supir, tidak tahu apa-apa!"
"Biarkan saya menelepon adik sepupu saya biar pulang ke sini!" Jayadi memohon.
Gaishan mengangguk.
Saat yang sama, seorang bodyguard memberinya ponsel.
"Halo." Gaishan berbicara dengan orang dari seberang ponsel.
"Tuan Gaishan, gadis bernama Fathi yah sudah ada di rumah Nabhan."
"Aku ke sana." Gaishan mengembalikan ponsel ke bodyguard lalu naik mobil, dia pergi sendiri, sepuluh bodyguard yang datang bersama dia ditinggalkan di rumah Fathiyah.
°°°
Fathiyah bingung. Dia telah dikelilingi oleh banyak orang berpakain hitam di depan rumah besar mewah. Setelah dia diantarkan satpam, bodyguard yang melihat dirinya mengatakan bahwa dia dicari oleh tuan mereka. Dia tahu siapa tuannya. Rupanya orang yang dia beri tumpangan tadi malam.
Pintu gerbang terbuka, dua mobil mewah lain masuk.
Bodyguard membuka pintu mobil, terlihat Gea dan Busran yang duduk di jok penumpang keluar dari mobil, tepat di belakang mobil mereka, Gaishan turun dari jok kemudi. Dia bertemu mobil sang ayah ketika masuk gerbang perumahan.
Drt drt
Fathiyah melihat ke arah di mana Gaishan turun, dia kenal orang itu. Tuan ponsel yang hendak dia kembalikan ponselnya.
Saat hendak berjalan ke arahnya, Ponsel Fathiyah bergetar.
Fathiyah merogoh ponsel butut tanpa kamera itu.
'Bajay memanggil.'
"Halo, Assalamu-"
"Fathi! Pulang! Pulang cepat! Orang-orang dari laki-laki yang kite beri tumpangan tadi malam dateng ke rumah, kite dipukul! Aduh! Aduh! Babe ditahan macam mana ini! Ncang Asir di tahan dua tangannya di belakang! Pulang! Pulang! Kite dikate begal! Ponsel Mas itu hilang! Kite dikate begal!" suara cicitan ketakutan Jayadi terdengar.
"Apa?!" mata Fathiyah terbelalak.
"Gue dikate begal? Keluarga dipukul?" Fathiyah mematikan sambungan telepon. Saat itu Gaishan berjalan ke arahnya.
Mata Gaishan melirik tangan kiri Fathiyah, ada ponselnya. Gaishan tebak, mungkin sebelum Fathiyah berhasil menjual ponselnya, dia lebih dulu ditangkap oleh bodyguard Nabhan.
Dia berjalan ke arah Fathiyah.
Gea dan Busran juga berjalan maju, mereka baru pulang kerja, hendak masuk rumah.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Bugh!
"Auh!"
"Akh!" Gea menutup mulut kaget saat melihat anak sulungnya dihantam tepat di bagian bibir oleh kepalan gadis yang tidak dikenal.
Gaishan mengaduh kesakitan.
Bugh!
Bugh!
Dua bogeman mentah mendarah di wajah mulus putih Gaishan. Bisa dipastikan, wajah Gaishan pasti akan lebam parah.
Bodyguard Nabhan berusaha menahan Fathiyah yang memukuli wajah tuan mereka, namun Fathiyah yang sudah terlanjur marah itu memukuli para bodyguard yang mencoba menahannya.
Heboh.
Busran tak menerima pukulan yang didaratkan ke wajah sang anak.
Bugh!
Krek!
"Akh!"
Bugh!
"Ah!"
"Ah! Busran! Itu anak kita berdarah!"
Gea berteriak panik.
"Ah! Ah! Gaishan!" Gea berlindung di belakang sang suami mencari keamanan sambil berteriak takut.
"Dasar tidak tahu malu!" suara Fathiyah menggelegar di depan rumah Gaishan.
Set!
Plak!
"Auh!" Gaishan mengaduh sakit kesekian kalinya karena lemparan ponsel dari Fathiyah. Ya, ponsel milik Gaishan, Fathiyah kembalikan ke Gaishan, kembalikan tepat ke depan wajah Gaishan.
°°°
Busran sangat tidak terima anaknya dipukuli tanpa sebab yang jelas. Namun, dia juga tak bisa mengambil keputusan untuk membalas pukulan dari seorang gadis yang sedang menatap tajam ke arah anaknya.
"Maaf, Nona. Saya sebagai orangtua dari anak saya, sangat tidak terima anak saya diperlakukan tanpa sebab yang jelas," ujar Busran masih mempertahankan kesopanan.
Fathiyah melihat ke arah Busran, karena yang berbicara dengannya adalah orangtua, jadi tatapan tajam diturunkan.
"Saya juga sebagai anak sangat tidak diterima orang tua saya diperlakukan tidak baik oleh orang-orang anak Anda, Pak." Fathiyah melirik ke arah Gaishan.
Gea melirik wajah penuh lebam sang anak, dia meringis ngeri.
"Nona, kemarahan Anda tidak jelas," ujar Busran.
"Kemarahan anak Anda yang tidak jelas, Pak. Tadi malam saya sudah berbaik hati memberi tumpangan pada anak Bapak karena katanya mobilnya mogok dan juga baterai ponselnya mati. Saya memberi tumpangan sampai di depan gerbang perumahan. Hari ini saya baru menemukan ponsel anak Bapak di bawah kursi mikrolet pada saat saya mencuci mobil. Sudah berbaik hati mengembalikan ponsel anak Bapak, tapi kelakuan anak Bapak sungguh tidak dapat diterima baik. Orang-orang anak Bapak datang ke rumah saya dan memukuli keluarganya saya, kakak sepupu, paman dan ayah saya."
"Saya dikatakan begal."
Kemarahan yang ditahan oleh Busran hilang seketika. Dia melirik kesal ke arah Gaishan yang terlihat kikuk. Ya, kikuk. Mana dia tahu bahwa akan salah kira?
Salah paham. Ini adalah kesalahpahaman. Wajah Busran terlihat malu di depan Fathiyah. Gadis yang dia lihat ini, selain jago otot, jago otak.
"Gaishan …." Busran menggetarkan giginya kesal. Anaknya ini tidak mencari tahu baik-baik sudah main tangan.
Fathiyah melirik ke arah Gaishan. "Ingat, jika sampai keluarga saya kenapa-napa, saya tidak akan tinggal diam."
Glek.
Ini perempuan atau bukan? Batin Gaishan. Selain galas, juga ganas.
"Nona, saya sebagai orang tua dari anak saya, sangat malu dengan apa yang dilakukan oleh anak saya. Saya sangat sesalkan ini, ini hanya kesalahpahaman, saya jamin, tidak akan terjadi apa-apa pada keluarga Anda. Saya akan menarik pengawal saya dari rumah Anda sekarang juga," ujar Busran dengan nada menyesal.
"Maaf atas kesalahpahaman ini," lanjut Busran meminta maaf.
Fathiyah mengangguk. "Saya menghargai Anda karena Anda adalah orangtua. Maaf sudah saya terima. Saya harap ini benar-benar kesalahpahaman."
"Ini murni kesalahan anak saya."
Fathiyah mengangguk. Dia berdiri untuk undur diri. "Saya permisi."
"Um, itu …." Gaishan tak lagi bisa melanjutkan kata-katanya. Gadis yang telah dia kira begal itu telah pergi, sepertinya benar-benar marah padanya.
"Nia, ambilkan baskom es dan obat salep." Gea menyuruh pelayan.
"Baik, Nyonya."
Busran menatap kesal padanya.
"Lain kali, selidiki lebih dulu apa yang sebenarnya terjadi, baru kamu simpulkan." Busran menggertakan giginya kesal.
"Sshh!" Gaishan meringis ngeri.
Nia dengan cepa datang membawa baskom dan obat salep. Gea memberi kompresan pada wajah lebam sang anak.
"Isssh, uhhh! Mama ngeri." Gea yang meringis ngeri saat dia membersihkan darah dari bibir sang anak yang telah mengering.
"Mana Gaishan tahu kalau dia mau datang balikin hp Gaishan-akh! Ma! Pelan-pelan! Sakit!" Gaishan mengaduh sakit, dia memelas ke arah sang ibu, Gaishan bahkan menahan kedua tangan sang ibu agar berhenti memberi kompres, matanya berkaca-kaca.
Gea yang melihat wajah memelas sang anak menjadi iba. "Bus, telepon dokter, anak kita kesakitan, jangan sampai ada geger otak atau apa begitu. Aku takut." Perintah Gea.
"Hum." Busran menuruti apa kata sang istri.
Di dalam rumah Nabhan, pria Nabhan-lah yang menjadi tuan rumah dan pemimpin keluarga, dia bisa memerintah siapa saja kecuali satu orang. Sedangkan di dalam rumah Nabhan, Nyonya Nabhan-lah yang hanya bisa memerintah tuan Nabhan.
Ghifan masuk dari pintu, dia melihat ke arah keluarganya.
"Kenapa wajah Gaishan, Ma?" tanya Ghifan, dia mengambil tempat berseberangan dengan sang kembar.
"Dipukul orang," jawab Gea sambil meniup salep di pipi Gaishan.
"Siapa yang pukul?"
"Itu, ada perempuan muda tadi, nggak tahu siapa namanya," jawab Gea.
"Dipukul perempuan?" tanya Ghifan.
Gea mengangguk.
Ghifan melihat baik-baik wajah sang kakak kembar. Lebam, mata berair dan manja pada sang ibu.
"Ma, yang ini, Ma. Perih. Gaishan menunjuk pipi kanan.
"Cengeng," celetuk Ghifan.
"Heh, siapa yang cengeng?" Gaishan melotot ke arah Ghifan.
"Pa, Gaishan megang-megang tangan Mama, cari kesempatan buat manja."
Sret
"Eh! Busran! Apa-apaan sih?" Gea dongkol ke arah Busran.
"Biar dokter yang urus, mau geger otak nanti urusan dokter," ujar Busran.
"Busran ini!"
"Hih! Cemburu sama anak sendiri!" Gea melotot ke arah Busran.
Sedangkan Gaishan menyipit ke arah adik kembarnya.
Dasar kembar tidak ingat diri.
"Siapa yang punya Gaishan dan Ghifan?" tanya Gea.
"Yang punya kita, sayang. Kan anak kita," jawab Busran.
"Kalau cemburu sama anak sendiri, lebih baik dulu nggak usah bikin anak."
Busran, "...." lah? Nggak usah bikin anak, berarti nggak mantap-mantap dong?
Gaishan, "...." buset, aku ada bagaimana cara kalau nggak Papa dan Mama yang bikin?
Ghifan, "...." berarti aku nggak ada di dunia ini dong?
Ok, Nyonya rumah telah marah.
°°°