"Tidak terjadi apa - apa dengan kepala Tuan Muda Nabhan. Hanya lebam, memang agak parah, tetapi bisa segera disembuhkan oleh obat salep dan obat anti nyeri." Suara dokter perempuan berusia 40-an terdengar.
Gea mengangguk mengerti.
"Tidak ada geger otak, kan? Saya ingin memastikan bahwa kepala anak saya benar - benar aman."
Dokter keluarga Nabhan mengangguk. "Tidak ada geger otak, Nyonya. Hanya lebam saja."
"Lalu apakah ada pendarahan pada wajah anak saya? Dari yang saya lihat, wajah anak saya ini bukan merah lagi, tapi sudah membiru." Gea terlihat ngeri dengan wajah biru Gaishan.
Dokter keluarga Nabhan menggeleng. "Nyonya, tidak apa - apa. Tidak ada pendarahan. Lebam ini akan segera hilang satu atau dua hari."
Gea terlihat kurang yakin saat melirik ke arah wajah anak sulung. Dia melirik ke arah sang suami yang berada di samping kanannya. "Bus, besok buat janji dengan rumah sakit Angta saja, lakukan CT Scan kepala dan anggota badan lainnya pada Gaishan, aku merasa masih khawatir."
Busran hanya mengangguk saja mengikuti kemauan sang Nyonya rumah. "Baik."
Dokter keluarga Nabhan hanya bisa tersenyum tipis. Mau bagaimana lagi kalau Nyonya Nabhan sudah memerintah Tuan Nabhan? Pasti akan dilakukan oleh Tuan Nabhan.
"Tuan, Nyonya. Saya sudah menyiapkan obat salep dari rumah, karena tadi sudah diberitahu mengenai kondisi Tuan Muda. Saya permisi dulu," pamit dokter keluarga Nabhan.
Gea dan Busran mengangguk.
"Terima kasih, Dok. Sudah mau datang jam begini," ujar Gea.
"Sama - sama, Nyonya. Ini masih awal. Baru jam setengah delapan," balas dokter.
Dokter pergi keluar rumah.
Sedangkan Gea melirik ke arah sang anak.
"Lain kali kamu harus selidiki dulu apa sebenarnya yang terjadi, baru mengambil keputusan yang tepat. Mama harap kejadian ini tidak akan pernah terjadi atau terulang lagi, baik bagi kamu, Ghifan ataupun Sira," ujar Gea tegas ke arah Gaishan yang sedari tadi duduk diam menunduk mendengar ceramah sekretaris sang ayah alias ibu mereka.
"Hum, aku jadi heran. Kalian sudah bertambah besar, tapi masih saja membuat aku khawatir. Mama hampir serangan jantung melihat kamu dipukul oleh gadis itu-ah! Gadis itu! Kamu belum minta maaf kan sama dia?" Gea menyipit ke arah Gaishan.
Haish….
Gaishan meringis ngeri.
"Gaishan, lain kali jangan begini lagi," omel Gea tak habis - habis.
Busran yang melihat mulut sang istri hampir berbusa itu menarik sang istri dalam pelukan lalu menyipit ke arah Gaishan.
"Biar aku saja yang memarahi mereka. Sudah cukup kamu dari tadi sore marah - marah terus. Sisakan tenaga untuk memijatku malam ini."
Gea, "...."
Gaishan, "...."
Ghifan, "...."
Jadi, apakah ini adalah aksi marah memarahi ataukah aksi pertunjukan cinta?
"Jangan banyak bicara, aku hari ini lelah. Lelah urus di kantor, lelah urus di rumah. Ayo makan malam." Gea melepaskan rangkulan tangan Busran lalu berdiri dari sofa, hendak menuju meja makan.
Gea seperti melupakan sesuatu. Dia berhenti mendadak, lalu berbalik ke arah Busran yang baru saja berdiri dari sofa hendak mengikuti sang istri.
"Bus, anak perempuan kita di mana?"
Busran baru tersadar bahwa sudah jam begini anak bungsu mereka belum pulang.
Busran menggaruk hidungnya, "Em, putri kita belum pulang kerja," jawab Busran.
Gea melotot.
"Kalau begitu telepon!"
Baiklah. Nyonya Nabhan adalah tuan nomor satu di rumah ini.
°°°
"Fathi, ampun tujuh turunan yeh. Jangan elu berurusan sama orang - orang tadi. Bikin penyakit di kite aje kalau terjadi ape - ape." Nasir ceramah tak stop - stop.
"Babe kagak pernah berpikir, elu kok bisa berurusan sama mereka? Ilmu Babe memang tinggi, tapi mereka main borong. Bisa - bisa bonyok muke Babe. Untung aje mereka cuma miting tangan Babe, coba kalau dipukul? Wajah Babe yang udeh lima puluh tujuh tahun ini bisa - bisa hilang bentuk."
"Ya elah, Bang. Stop dikit nape? Itu si Fathi mukanya asem terus denger congor elu banyak bicara." Atun angkat bicara.
Nasir berhenti mengomel, dia menelan kembali kalimat yang ingin dia keluarkan setelah melihat wajah masam mode senggol bacok dari sang anak.
Nasir melirik ke segala arah, lalu melirik ke arah jam di dinding yang menunjukkan pukul delapan malam.
"Tun, siapkan makan, kek. Udah jam delapan malam."
Siti Atun mencebik. "Mau aye siapkan gimane? Abang sendiri yang bilang jangan ada dari kite yang bergerak, duduk lalu dengar apa kate Abang."
Nasir menelan air ludah, "Udah buruan, sana bikin makanan. Gue udah lapar."
Siti Atun berdiri dari kursi lalu ke dapur, buru - buru menyiapkan makanan. Alawiyah juga mengikuti Atun.
Sementara itu wajah Fathiyah masih terlihat bengis.
Nasir yang tahu bahwa sang anak lagi emosi, berdiri dari kursi sambil mengipasi lehernya, "Panas, kipas angin mati, yah?"
Cus!
Nasir berjalan cepat ke luar, Muhajir juga terlihat mengikuti sang kakak.
Sementara itu Jayadi melirik ke arah adik sepupu.
"Fathi, lu diapain Mas tadi malam?" tanya Jayadi setelah dia mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya.
Fathiyah melirik dengan ekor mata ke arah Jayadi sambil menjawab, "Gue pukul mukanya sampe bonyok."
Glek.
Jayadi meringis takut.
"Gue kagak takut dia punya banyak bodyguard. Bila perlu tulang - tulang bodyguardnya gue patahin juga, biar mereka ikutan rasa sakit dari bos mereka," lanjut Fahtiyah.
Jayadi tidak sanggup lagi mendengar ucapan s***s dari adik sepupunya.
Dia berjalan ke luar rumah, menyusul paman dan ayah yang lebih dulu mencari 'angin segar' di teras.
°°°
Malam ini, sepertinya Gaishan tak akan bisa tidur nyenyak.
Dia melirik ke arah ponsel yang sempat 'dibegal' oleh orang yang dia salah kira.
Jam ponsel menunjukan jam sepuluh malam.
Gaishan memutuskan untuk bangun dari ranjang lalu keluar dari kamar.
"Aku haus."
Dia berjalan ke arah dapur. Saat melewati pintu kamar orang tuanya. Dia mendengar suara keberatan dari sang ayah.
"Nginap di resort, itu kan anak gadis aku."
"Kalau memang itu kerjaannya Sira, mau bagaimana lagi, Bus? Kamu sendiri kan yang memberi dia ijin untuk masuk PNS dan jadi pegawai pariwisata."
"Lihat saja, jika menteri pariwisata macam - macam ingin memposisikan putriku di sembarang tempat se-enak jidatnya, aku Buasran Afdal Nabhan akan memberinya pelajaran."
"Bus, semua menteri juga tahu siapa Sira putri kita. Mana berani mereka mau menempatkan putri kita ke tempat pedalaman atau ke sembarang arah? Jangan lupa bahwa Nabhan ini menyumbang untuk devisa negara yang cukup banyak. Mereka tidak akan berani main - main dengan kita."
"Tapi putriku mereka suruh kerja seperti kerja rodi. Itu dari pagi sampai malam begini tidak pulang, jadi dia harus nginap di luar. Sudah makan malam atau belum? Mandi nanti sabun nya ada atau tidak? Lalu nanti dia pakai baju tidur apa? Baju tidur yang aku belikan saja masih belum dipakai."
"Bus, dari tadi mulut kamu bunyi terus. Udah bebusa itu."
"Tidur ah. Lagian Sira udah gede, udah dua puluh tiga tahun."
"Biar dia mau umur lima puluh tahun juga, dia tetap putri kecilku!"
Cuk!
"Auh! Sakit."
"Tidur! Kalau tidak tidur aku cubit terus sampai bengkak."
"Iya iya."
Gaishan tersenyum geli setelah mendengar percakapan lucu dari orangtuanya.
Ya, apa yang dikatakan oleh sang ayah adalah benar. Mau sampai umur lima puluh tahun juga, anak perempuan tetaplah putri kecil seorang ayah. Sama seperti adik sepupunya yang juga merupakan satu - satunya anak perempuan dari empat bersaudara.
°°°
"Si Fathi udeh tidur, Bang?" Atun bertanya ke arah Nasir yang sedang mengipasi badannya dengan kipas anyaman sambil bersandar di kepala ranjang.
"Mana gue tau, elu kan abis dari luar," jawab Nasir.
Atun tersenyum sambil menggaruk kepalanya.
Dia membuka jilbab sarung lalu naik ke atas ranjang.
"Kayaknya belum deh. Mungkin karena masalah tadi." Atun meraih guling lalu memeluk guling.
"Ini udah jam sepuluh malam, aye intip di kamar tapi pintu kamar kekunci."
"Ya berarti dia udeh molor. Lagian ini udah jam sepuluh. Besok pagi kan mereka harus narik," sahut Nasir masih sambil mengipasi badannya.
Atun berbalik miring ke arah sang suami.
"Bang, untung aje yah tadi cuma kesalahpahaman, coba kalau betul - betul terjadi, aye kagak bisa ngebayangin gimane rumah kite di ancurin orang - orang tadi."
Nasir melirik ke arah sang istri. "Tidur gih. Gue nggak mau bahas masalah tadi. Mana itu orang besar yang punya kuasa."
Atun mengangguk.
°°°
"Loh, Gaishan mana, Ma?" Ghifan bertanya pada sang ibu setelah beberapa lama keluarga mereka sarapan dan dia tidak melihat kakak kembarnya.
"Dia duluan, katanya mau ke rumah gadis kemarin," jawab Gea.
"Mau ngapain, Ma? Kan urusan udah beres," tanya Ghifan.
Gea mengolesi Nutella ke lembar roti sambil menjawab, "Dia belum minta maaf. Kan kemarin cuma Papa kalian yang rasa bersalah, harusnya dia yang terlibat dalam kesalahpahaman ini yang meluruskan dan mengklarifikasi."
"Oh …." Ghifan manggut - manggut mengerti.
Waktu yang sama di lain sisi.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam," balas penghuni rumah.
Siti Atun berjalan ke ruang tamu sederhana miliknya. Ketika dia mendongak dan melihat siapa tamu yang datang, dia terkaget.
"Ini …."
°°°
"Saya Gaishan sangat merasa menyesal dengan apa yang terjadi, yaitu dengan kesalahpahaman yang saya simpulkan sendiri. Saya tidak bermaksud untuk mengancam atau melukai keluarga Bapak, saya hanya salah kira bahwa barang saya telah dimbil, terlebih lagi di dalam ponsel saya, bukan ponselnya yang berharga, namun data penting yang berharga. Saya meminta maaf pada Bapak dan Ibu atas apa yang telah saya lakukan kemarin. Harap saya Bapak dan Ibu sudi menerima permintaan maaf saya yang tulus dan langsung ini." Suara Gaishan terdengar di pendengaran keluarga Nasir.
Nasir dan Muhajir saling melirik. Memang ini adalah kesalahpahaman, Nasir bisa mengerti itu.
"Saya tahu ini adalah kesalahpahaman. Memang Nak Gaishan ini curiga, itu memang wajar, terlebih lagi ini di kota Jakarta, kita harus selalu waspada." Nasir membalas ucapan dari Gaishan.
"Saya memaafkan Nak Gaishan. Karena kelakuan dan sopan santun Nak Gaishan untuk datang sendiri dan meminta maaf atas kesalahan Nak Gaishan, saya tidak lagi menaruh marah," lanjut Nasir.
Gaishan menarik napas lega.
"Saya ini dengar dan ikut saja apa kata Abang saya," sambung Muhajir.
Gaishan melirik ke arah Jayadi yang melirik takut - takut ke arahnya. "Saya mana - mana saja. Ini kan hanya salah paham."
Setelah mendengar respon Jayadi – orang yang dia tindas kemarin sore, kini Gaishan menoleh ke arah Fathiyah.
"Saya-"
"Pergi dari sini," potong Fathiyah.
Gaishan memandang kaget ke arah Fathiyah.
Lirikan tajam mata Fathiyah beradu dengan tatapan Gaishan, "Keluargaku boleh memaafkan Anda, tapi tidak denganku."
Gaishan hendak bicara. "Saya-"
"Saya muak lihat muka Anda."
°°°