Chapter 5

1533 Kata
Gea meneliti wajah diam sang anak sulung yang sedari tadi terlihat diam tak bicara sepatah katapun. Dia melihat jam di dinding, pukul enam tiga puluh sore hari, asisten rumah tangga sedang menyiapkan makan malam mereka. Busran datang lalu duduk di bagian kepala meja makan. "Wajah kamu kenapa? Masih sakit?" tanya Gea khawatir. "Udah ke rumah sakit, kan? Nggak ada pendarahan, kan?" tanya Gea lagi. Gaishan hanya bengong tak menjawab pertanyaan Ibunya. Gea melirik ke arah Busran, "Bus, kok perasaan aku jadi nggak enak, yah?" Busran melirik ke arah anak sulungnya. "Ada apa? Jangan buat Mama khawatir." Busran angkat bicara. "Hei, Gaishan." Panggil Busran. Gaishan diam. Busran menarik lalu menghembuskan napas, anaknya ini, bengong terus. Ghifan menoel pergelangan atas Gaishan. "Hui, Gaishan!" "Ah!" Gaishan tersadar. "Kamu kenapa sih?" tanya Ghifan, "Mama tanya dari tadi kamu nggak jawab, Papa tanya juga kamu bengong." Gaishan melirik ke arah sang ibu, wajahnya berubah kusut. Waktu pagi hari. "Saya-" "Pergi dari sini," potong Fathiyah. Gaishan memandang kaget ke arah Fathiyah. Lirikan tajam mata Fathiyah beradu dengan tatapan Gaishan, "Keluargaku boleh memaafkan Anda, tapi tidak denganku." Gaishan hendak bicara. "Saya-" "Saya muak lihat muka Anda." Ruang tamu itu sunyi. Nasir, Muhajir dan Jayadi saling lirik, mereka diam tak ingin menginterupsi Fathiyah yang telah buka suara. Gaishan terlihat sangat tidak enak dengan Fathiyah, rasa bersalah masih bercokol di hatinya. "Lebih baik Anda segera pergi dari rumah saya. Saya tidak suka melihat wajah Anda," ujar Fathiyah. "Saya minta maaf-" "Saya tidak terima maaf Anda," potong Fathiyah cepat. Gaishan diam seribu bahasa. "Kesalahpahaman ini membuat warga di sini mulai bergosip yang tidak - tidak tentang keluarga saya. Masih untung mereka berprasangka buruk pada saya, kalau pada orangtua saya bagaimana?" suara tegas Fathiyah terdengar. Jadi itu alasannya. Gaishan mengerti. Sebelum Gaishan hendak membuka suara untuk membalas ucapan dari Fathiyah, Fathiyah lebih dulu berbicara sambil melirik Jayadi. "Bang Jay, narik." Fathiyah menyalimi tangan Nasir dan Muhajir lalu berjalan keluar rumah memakai sepatu diikuti oleh Jayadi yang terlihat takut ketika melewati Gaishan yang sedang duduk. Begitulah yang terjadi. Kini wajah Gaishan terlihat murung. "Wajahku … baru kali ini ada yang muak melihatnya," ujar Gaishan setelah menceritakan hal tadi pagi ketika dia pergi ke rumah Fathiyah. Telapak kiri Gaishan menyentuh wajahnya sambil melihat wajah Ghifan yaitu cerminan wajahnya. "Baru kali ini ada perempuan yang tidak terpesona dengan wajah ini. Hasil persilangan Nabhan dan Baqi," ujar Gaishan. Ghifan, "...." Busran, "...." Gea yang mendengar penjelasan dari sang anak itu kini tahu alasan anaknya diam di sepanjang sore. Dia melirik ke arah sang suami yang bengong setelah mendengar ucapan sang anak sulung "Makan lalu mandi." °°° Heboh. Perumahan sederhana tempat di mana Fathiyah tinggal, kini heboh. Tetangga dan orang - orang keluar rumah untuk mengintip bahkan melihat terang - terangan banyak mobil mewah berhenti di rumah milik Nasir Makmur. Bukankah kemarin sore juga hal serupa terjadi? Nah, apakah akan ada hal menarik lagi malam ini? Mobil berhenti, lalu seorang bodyguard membuka pintu mobil di deretan kedua. Busran turun, dia memakai pakaian kasual, dia mengulurkan tangan untuk meraih tangan sang istri, Gea keluar dari mobil. Banyaknya orang membuat Gea merasa kurang enak, sebab wajah - wajah orang melihat penuh ingin tahu dan penuh dugaan. Nasir dan Muhajir yang sedang menunggu anak mereka pulang bekerja terkaget, lalu buru - buru berdiri dari kursi. Tepat saat Busran dan Gea berjalan mendekat ke arah pintu rumah Nasir, Gaishan juga ikut keluar dari mobil dan sebuah mikrolet biru muda terlihat berhenti tepat di samping mobil milik Gaishan. °°° Jadilah seperti sekarang ini. Gea duduk di tengah di antara suami di sebelah kanan dan anak sulung di sebelah kiri. Di depan mereka ada keluarga Fathiyah plus Fathiyah dan Jayadi yang duduk di sebelah samping kiri. Jadilah Fathiyah dan Gaishan bisa saling melirik bebas. Wajah Busran berubah serius, dia memandang ke arah Nasir dan Muhajir, tadi setelah dia tahu bahwa paman gadis yang kemarin memukul anak sulungnya itu berjalan pincang, dia merasa lebih tidak enak hati lagi. "Saya Busran Afdal Nabhan, Ayah dari anak sulung saya, Gaishan, datang menghadap keluarga Makmur untuk meminta maaf secara langsung mengenai apa yang diperbuat oleh anak saya, karena kesalahpahaman kemarin, menimbulkan rasa bersalah dan tidak enak di hati kami," ujar Busran. Nasir mengangguk mengerti. Pasti karena tadi pagi anaknya datang minta maaf, tapi diusir oleh anak perempuannya. Dasar tukang adu di orangtua. Batin Fathiyah. Busran melihat ke arah Fathiyah, "Nak Fathi, maafkan anak Om, karena masalah ini, Om jadi tidak enak hati. Istri Om khawatir kamu dan keluarga tersinggung." Fathiyah melihat sopan ke arah Busran dan Gea. Wajah perempuan setengah abad yang duduk di sebelah Ayah Gaishan itu terlihat seperti adik ayah Gaishan di mata Fathiyah. Wanita yang kemarin sore dia lihat sangat ketakutan dan panik. "Nak Fathi, Tante minta maaf yah kalau anak Tante ini ada buat salah dan menyinggung Nak Fathi. Jujur saja, pas tahu kalau kamu masih marah, hati Tante rasa nggak enak. Tante ngerasa bahwa Tante yang bersalah padahal itu anak Tante yang hanya salah tafsir. Tante serba rasa bersalah gitu, lihat anak Tante yang penuh lebam dan lihat kamu yang masih marah sama anak Tante. Tante ngerasa nggak enak banget. Pengen cepat - cepat minta maaf agar masalah ini benar - benar selesai." Gea angkat bicara. Melihat wajah melas dan khawatir ibu Gaishan terhadapnya, hati Fathiyah merasa tidak enak. Jujur saja, Nasir terperangah dengan apa yang diucapkan oleh Busran dan Gea. Bukan hanya Nasir, tapi keluarga Fathiyah yang lain juga merasa terperangah. Pasalnya, orang yang mereka kenal sangat kaya, kini datang dan duduk di tempat duduk anyaman sederhana milik mereka, meminta maaf atas apa yang terjadi. Nasir dan keluarga Fathiyah lainnya meyakini sekarang bahwa keluarga Nabhan itu memang benar - benar keluarga baik dan berbudi luhur. Tidak pernah merendahkan orang lain. Hal ini membuat Nasir menjadi lebih hormat lagi pada Busran dan keluarga Nabhan yang lain. Mereka tidak meminta perantara untuk menyelesaikan urusan ini, bahkan mereka sendiri yang menghadap. "Saya sangat berterima kasih, keluarga Bapak Nabhan datang ke sini langsung untuk meminta maaf. Sejujurnya, sudah saya maafkan Nak Gaishan tadi pagi," balas Nasir. Nasir melirik ke arah Fathiyah yang sedang berpikir. Fathiya sedang berpikir bahwa dia juga agak kelewat batas karena terlalu marah. Wajah Fathiyah melembut, dia mengangguk. "Tidak ada lagi kesalahpahaman ini, saya sekarang ikhlas memaafkan anak Bapak," ujar Fathiyah, lalu dia melirik ke arah Gaishan. "Alhamdulillah, hati saya jadi lega." Gea menarik dan menghembuskan napas lega. Dia melihat teh panas yang kini telah hangat di atas meja, lalu dia meneguk teh itu. Setelah meneguknya, dia tersenyum ke arah Si Atun dan Alawiyah yang tadi membawakan teh dan camilan ala kadarnya. "Terima kasih, Bu. Maaf yah saya habiskan teh ini, rasanya enak." Mendengar ucapan natural Gea yang tidak dibuat - buat, Siti Atun dan Alawiyah terperangah, mereka tersenyum lebar ke arah Gea. Wanita ini benar - benar ramah. Itukah pikir mereka. "Sama - sama, Bu. Maaf yah, hanya teh dan keripik pisang ala kadarnya," balas Atun. Gea tersenyum, "Malah enak ini teh dan keripik pisang." Busran mengikuti jejak sang istri, dia meraih gelas lalu meneguk teh hingga habis. Melihat Busran yang meminum teh tanpa bertanya, membuat Nasir dan keluarga makin segan terhadap Busran. Tidak takut diracunkah? "Niat baik dari orang tidak perlu diragukan, ini rezeki kami disediakan teh dan camilan ini," ujar Busran. Nasir dan Muhajir manggut - manggut mengerti. Gaishan ikut meneguk teh sampai habis, lalu dia melihat ke arah Fathiyah. "Saya minta maaf sama kamu. Saya akan berhati - hati di lain hari." Fathiyah mengangguk. "Saya ucapkan terima kasih sekali lagi karena telah mengantarkan saya sampai ke pintu perumahan dua hari lalu," lanjut Gaishan. Farhiyah mengangguk. "Sama - sama." Karena Gaishan dan keluarganya punya itikad baik untuk datang meminta maaf ke rumahnya, Farhiyah menghargai itu, terlebih lagi mereka mau meminum teh yang telah dibuat oleh sang ibu. Syukurlah, gula di teh itu tidak dibuang. "Nah, karena ini sudah jam setengah sembilan malam, maka saya dan keluarga pamit pulang, Pak Nasir," ujar Busran setelah teh sudah habis. Nasir mengangguk. "Terima kasih atas teh dan camilan ini," ujar Busran. Dia berdiri lalu hendak menjabat tangan Nasir. Nasir pun ikut berdiri lalu membalas jabatan tangan Busran. "Sama - sama, Pak." Lalu setelah itu Busran berjabat tangan dengan Muhajir. Sedangkan Gea menggenggam tangan Fathiyah lalu beralih ke arah Siti Atun dan Alawiyah. Merasakan kelembutan tangan Gea, membuat Fathiyah dan yang lainnya merasa sungkan untuk membalas salaman tangan, sebab tangan mereka benar - benar kasar. "Mari, Pak, Bu, Nak Fathiyah, kami permisi pulang," pamit Gea. "Iya, Bu. Hati - hati," balas Atun dan yang lainnya. Mobil pergi, hanya menyisakan pemandangan mikrolet biru muda di depan rumah Nasir. "Gue kagak nyangka, ternyata orang kaya setingkat Nabhan santun banget. Berarti yang gue denger di berita dan baca di koran - koran kalau keluarga Nabhan ini benar - benar keluarga dermawan itu benar. Ah, ramah dan dermawan," ujar Nasir setelah keluarga Gaishan telah pergi beberapa lama. Muhajir dan yang lainnya mengangguk. °°° Gaishan memandangi langit - langit kamar. Kejadian dua hari ini adalah pengalaman dan pelajaran baginya. Tiba - tiba Gaishan teringat pada Fathiyah yang duduk di pintu angkot. Lalu ingat ketika dia bergelantungan di pintu angkot tanpa takut. Senyum tercetak jelas di bibir Gaishan. "Dia tidak takut jatuh." Saat Gaishan ingat pukulan Fathiyah pada wajahnya, Gaishan terlihat ngeri. "Dia kuat …." Lalu ketika Fathiyah memukuli bodyguard yang mencoba memisahkan Fathiyah dari dirinya. "Dan … bengis …." °°°
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN