Dengan sigap Leon segera mengumpat ke bawah kolong kasur UKS.
Sempit. Sangat sempit disitu.
"Halah anjim ngapain gw pake ngumpet segala, ck." Leon mengumpat. Tetapi gerak tubuhnya masih bergerak ke arah kolong kasur itu, menyesuaikan posisi ternyamannya. Walaupun tidak ada posisi ternyaman.
Sementara itu, benar saja. Orang-orang luar yang Leon kira masuk ke ruang UKS benar benar sudah masuk ke dalam ruangan UKS kali ini.
Dari sepatunya, itu tampak seperti ibu Eric, pak Zain dan beberapa sepatu yang Leon tak kenal.
Tapi melihat bawahan pakaian sepatu yang tidak dikenalnya. Sepertinya celana hitam dibalut jas putih. Mungkin saja itu dokter panggilan. Atau memang dokter UKS sini.
Leon tidak pernah tahu terkait mengenai dokter UKS. Itu karena dirinya tidak pernah dibawa ke UKS.
Leon hanya sering masuk ruang BK. Karena tingkah lakunya yang tidak mematuhi sekolah.
Langkah mereka berhenti tepat di depan kasur dimana Inara terbaring. Masih belum sadarkan diri.
"Ina, apakah kamu sudah bangun?" Tanya pak Zain. Tidak terjawab. Karena Ina belum sekalipun menggerakkan jari jemarinya, menandakan ia belum sadar juga.
"Pak Zain, jadi sebenarnya Inara kenapa? Eh, benar kan namanya Inara?" Tanya wanita belia dengan rambut hitam sebahu yang mengenakan jas dokter, menampilkan raut wajah seperti cemas.
"Ehem, anu. Saya juga kurang tahu, dok ..." Jawab pak Zain. Mimik wajahnya terlihat penuh penyesalan. Tapi, beliau pun tidak tahu apa yang perlu disesalkan. Karena semua terjadi begitu saja. Tanpa mengetahui sebab yang pasti.
"Yasudah kita tunggu Inara bangun saja." Celetuk dokter muda tampan setinggi 183 cm.
"Betul itu. Karena hanya Inara yang dapat menjelaskan apa permasalahan utamanya." Balas dokter berambut pirang sebahu yang sedang memeluk beberapa buku.
"Iya pak, bapak jangan merasa bersalah begitu. Kalau memang bapak tidak bersalah. Jangan terlalu dipikirkan, ya. Tenanglah ..." Oceh dokter cantik berambut hitam sebahu.
.
.
Ah anjim yaudah keluar dong. Ck!
sempit banget b*****t ....!
Mimik wajah Leon tampak sangat kesal. Itu karena memang kolong kasur UKS ini benar benar sempit untuknya.
"Yasudah, bapak lanjut mengajar, saja." Celetuk dokter tampan.
Mendengar hal itu, pak Zain segera bergegas menuju kelas yang akan diajarnya. Sekarang ini sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Itu artinya sejam lagi setelah jam keempat, jam makan siang pertama akan dimulai.
Para dokter menghembuskan nafasnya.
Hampir saja ketauan ...!
" Huh, si Leon mana? Kok gaada yah?" Celetuk suara dokter cantik berambut pirang.
Sontak mata Leon membelak.
Hah?
Lah ngapa nanyain gua dah anjir?
Mereka siapa sebenernya?
.
.
Glek.
Leon menelan salivanya.
Kedua bola matanya masih membelak kaku.
Apa jangan-jangan gua udah ketauan?
Ck! b*****t, lah!
Merasa tak ada pilihan lain, Leon keluar dari kolong UKS untuk segera mengetahui siapa sebenarnya mereka.
Salah satu dari mereka bertiga kaget begitu melihat ada seseorang yang keluar dari kolong kasur. Itu terlihat seperti penguntit atau orang m***m.
"Oalah Cok! Ini, si Leon!"
HAH?
Ekspresi Leon berubah. Tadinya pria muda itu ingin sekali marah bahkan mengumpati para dokter itu.
Tapi, kini yang ia lihat adalah kawan-kawan lamanya.
"Dih si anjing! Ngapain lu pada kesini?"
"Weh jangan gitulah Cok. Peluk dululah sohib-sohib lu ..." Ucap dokter tampan yang adalah teman teman Leon yang sedang menyamar, sekarang memeluk Leon. Kenza namanya.
"Kangen kita Cok. Lu sih kaga ngasih kabar." Celetuk dokter berambut pirang yang tak lain adalah Kenta.
Berbeda dengan mereka berdua, dokter berambut hitam sebahu itu malah terdiam saja.
Apakah ia adalah dokter sungguhan?
Kalau memang begitu, mereka semua bisa gawat!
"Ehem." Dokter berambut sebahu itu berdehem yang sontak membuat mereka menoleh ke arahnya.
"Lah, ini siapa?" Tanya Leon mengernyit heran.
"Nanar." Akhirnya dokter berambut sebahu itu Berbicara. Setidaknya satu kata.
"Hah? Nanar siapa Cok? Eh kok dia mirip Wulan si?" Tanya Leon kepada kedua temannya.
"Elu Wulan Bambang! Hahah apaansiiii jokesnya gak lucu brow!" Oceh Kenza dengan nada sok asik.
"Nama saya nanar, adik adik SMA sekalian ..." Jawab dokter berambut hitam sebahu yang katanya bernama nanar.
"Walah anjim. Kok muka lu mirip Wulan? E-eh tunggu deh," Celetuk Kenza.
Kenza mengelus-elus dagunya pertanda ia sedang berpikir. Lalu menatap wajah dokter yang bernama nanar itu dari atas kepala sampai bawah mata kaki. Seperti sedang menyelediki sesuatu atau bertingkah seperti penyelidik.
POV Kenza
Hemm,
Kalau dipikir-pikir ini emang Wulan.
Tapi rasanya ada yang beda sih.
Apa ya?
Hem ...
___________________________________________
Kenza masih mengelus-elus dagunya. Masih mencoba berpikir keras. Mengapa temannya, Wulan. Tampak seperti orang lain yang tidak mereka kenal?
"Si bego ... mikirnya lama banget, lemot banget dah! ckck!" Celetuk Leon membuyarkan lamunan kenza Yang sedang berpikir keras.
"Hadehhh, si Wulan ada tahi lalatnya di hidung, Cok. Coba lu pada liat noh. Kaga ada tahi lalatnya kan? Ya, gak?!" Leon berbicara dengan nada yang sedikit menyentak. Itu karena memang ia sebentar lagi akan segera naik pitam.
"Anak-anak, sudah bermain DETEKTIF CONAN NYAA?," Tanya Dokter berambut sebahu dengan nada penekanan di bagian kata-kata 'detektif conannya'.
Dokter cantik tersebut tersenyum sumringah. Namun itu terlalu sumringah, layaknya tak ada ketulusan disana.
Grep
Dokter cantik itu berhasil menangkap lengan salah satu teman Leon. Kenta.
"Ayo, kalian bertiga ikut saya ke kantor ruang guru, SEKARANG!" ucap dokter itu dengan tegas sembari menyeret lengan Kenta.
Dokter itu tahu, bahwasanya Leon adalah salah satu murid berandalan disitu. Tapi, sekolah tak bisa berkutik apa-apa. Itu karena ia adalah salah satu murid terpintar di sekolah dan juga murid yang berasal dari keluarga berpengaruh.
"Ck. Kena lagi kan!" Leon mengumpat sembari memutar kedua bola matanya dengan malas. Dan tetap ikut ke kantor ruang guru.
Tok tok tok
Dokter cantik mengetuk dinding pintu ruangan kepala sekolah. Mungkin saja, karena jika berhadapan dengan guru, Leon dan kawan-kawannya akan dilepaskan.
Pegawai atau kacung kepala sekolah sontak kaget melihat beberapa murid berandalan itu, dan juga guru cantik tersebut.
"Bu, saya bawa berandala-" omongan dokter cantik terputus setelah kepala sekolah mengisyaratkan kepada kacung atau petugasnya untuk menutup pintunya kembali.
Melihat tindakan kepala sekolah, dokter cantik itu mengernyit tak mengerti.
"LAH?!" Ocehnya seraya sedikit menganga.
"Hahahah buk, guru baru disini ya? Atau petugas baru?" Tiba-tiba muncul seorang murid yang kelihatannya bukan berandalan, tetapi nada bicaranya kurang sopan.
"Iya. Kamu siapa ya? Gak sopan sekali tutur katamu." Balas dokter cantik dengan nada sinis dan juga datar yang masih menggenggam erat lengan Kenta.
"O-oh ... Maaf Bu. Heheh iya saya Adil. Murid terlama disini." Ucapnya dengan nada seperti sedang membangga-banggakan dirinya.
Tapi, semua orang tahu itu bukan suatu kebanggaan melainkan sebuah keburukan yang seharusnya si empunya sangat teramat malu. Dan menutup-nutupinya.
"Ck ck ck. Kamu ga malu ya?"
Adil mengernyit heran. "Maksud ibu?" Tanyanya.
"Ah sudahlah. Kamu juga ikut saya!" Kata dokter cantik, menjewer salah satu telinga adil.
"Ahh! aduh ... " Adil melirik Bu dokter dan kemudian mengedipkan matanya.
Melihat hal itu, dokter cantik itu menjewer semakin kencang hingga kuping tersebut memerah.
Adil memekik, "AH! sakit Bu!?" Melirik dokter cantik itu semakin sinis dan juga kesal.
"Udah jangan banyak omong! Diam!"
Kembali dokter itu terdiam, dan berpikir keras. Tentang bagaimana caranya agar bisa cepat-cepat menyelesaikan masalah ini.
Sebetulnya, ini bukan masalah dokter cantik itu. Tapi, sebab dulunya ia adalah guru BK di suatu SMA, kebiasaan itu terulang walaupun ia sudah menjadi dokter.
Setelah beberapa menit terdiam, Dokter cantik kembali bergerak, menggeret murid-murid berandalan itu. Arah langkahnya berjalan menuju ruang BK.
Ia merasa, bahwa ia dapat mengkonsultasikan hal ini kepada guru BK disini. Itulah satu harapan yang tersisa menurutnya.
Tok tok tok
"Ah, iya. Masuk saja." Jawab seseorang dari dalam ruangan BK.
Guru BK yang sedang duduk manis menyantap makan siang, bernama Bu Wmi seketika membekalkan kedua matanya.
Oh tuhan, apa lagi ini...!
Masih pagi, haduh haduh....
"Maaf, ada keperluan apa ya?" Bu Wmi berusaha untuk tidak gugup. Menahan nada bicaranya.
"Lihat. Saya bawakan pekerjaan untuk anda." Ujar dokter cantik dengan nada datar dan dingin.
Ah ...
Pasti, beliau orang baru.
Makanya belum tahu ....
"Silahkan duduk dulu, dokter." Ucap Bu Wmi sembari mempersilahkan duduk.
"Oke, jadi anda BK disini kan? Atau-" Dokter cantik berterus terang, namun terpotong oleh omongan Bu Wmi.
"Ya. Benar sekali." Jawab Bu Wmi sembari menyeruput teh panas.
"Lalu. Apakah sekolah ini tidak mempunyai guru BK yang 'cukup baik' untuk mengurus anak anak berandalan disini? Hm?" Tanya dokter cantik dengan wajah elegan berkelas dan menaikkan salah satu alisnya.
"Em? Maksud anda apa ya?!" Bu Wmi sedikit menyentak, menaruh tehnya dengan cepat membuat suara semakin gaduh.
"Anda itu guru baru disini! Tidak berhak mengklaim saya!" Emosi terpendam Bu Wmi tampak tak terbendung lagi.
"Halah. Siapapun boleh mengklaim kinerja anda! Toh, kalau anda tidak salah, anda tidak berbicara dengan nada seperti itu." Balas dokter cantik, membenarkan posisi tangannya yang kurang nyaman.
"Yasudah! Mau anda apa, sekarang? Maaf! Saya banyak urusan. Mohon segera!" Bu Wmi menatap dokter dengan sinis dan sorot mata yang tidak suka.
Dokter cantik berdehem, memakai satu tangan untuk berdehem.
"Tolong bereskan keempat anak ini. SEGERA." Dokter Cantik berdiri, membuka pintu ruangan BK.
Langkahnya terhenti.
Melanjutkan perkataannya yang mungkin dirasa belum selesai. "Saya kesini lagi nanti. Untuk mengecek kinerja anda. Selamat siang." Dokter csntik berbicara tanpa menoleh ke belakang. Lalu melanjutkan langkahnya yang tertunda, yaitu pergi dari ruang BK.
Suasana mendadak hening, setelah terjadi perdebatan yang lumayan mencekam tadi.
Sekarang, Bu Wmi bingung. Biasanya ia tak pernah mengurusi hal-hal yang guru BK umumnya lakukan.
Aku harus apa ya.....
Hiks! Lihat saja dokter itu, akan kubalas berkali kali! Hm!