Skrip-10

1400 Kata
Setelah membereskan barang-barangnya ke dalam kamar, ia merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Memejamkan matanya sejenak, seolah itu bisa membuat lelahnya hilang perlahan. Dering dari ponsel di sebelahnya membuat mata yang terpejam itu langsung terbuka sempurna. Diraihnya benda pipih itu. Melihat nama yang terpampang di sana, Ava tersenyum. “Akhirnya, lo nelepon gue juga, Sya. Gue kangen banget sama lo. Mentang-mentang udah nikah, sekarang gue dilupain.” Terdengar kekehan dari seberang telepon. “Iya, maaf. Habisnya gue mesti urus suami, jadi lupa kalo gue punya temen.” “Ck … Ck. Ayolah, kapan kita main lagi? Gue kangen banget nongkrong sama lo, Sya.” “Kapan, ya? Hari ini lo free? Gue sekalian mau beli sesuatu, sih. Mumpung suami gue lagi kerja. Gimana?" “Nah, boleh, tuh. Kebetulan hari ini mood gue lagi rusak banget. On the way, nih, gak pake lama. Oke?” Ava langsung bangkit, berjalan menuju cermin dan memerhatikan wajahnya dipantulan. Ia tersenyum, menambahkan sedikit polesan lipstik dan menata rambutnya. Ia meraih tasnya yang ada di nakas lalu keluar dari kamar. Di runag tamu, Arka sedang sibuk dengan laptopnya. “Pak Arka,” panggil Ava. “Hmm.” “Saya mau keluar sebentar sama teman. Gak jauh, kok. Ke mall yang ada di dekat kampus. Boleh pinjam mobilnya?” Jujur saja, Ava agak gengsi jika meminjam mobil. Tapi sejak menikah, mobilnya diambil alih oleh Malvin. Pria itu bilang, agar Ava tidak sering keluyuran. Menyebalkan, sih. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Arka melepas kacamata bacanya. Ia mendongak menatap Ava. “Sampai jam berapa?” “Eng, sebelum jam 8 malam saya pulang, kok.” Arka terdiam sebentar, sebelum akhirnya memberikan kunci mobil itu pada Ava. Gadis itu tersenyum. Ternyata semudah ini meminjam mobil pada Arka. Baru saja kakinya melangkah, Arka memanggilnya. Mau tak mau, ia berhenti dan menoleh kembali ke belakang. “Saya mau nitip sesuatu boleh?” “Of course.” Arka memberikan kacamatanya. “Tolong ganti lensanya. Kemarin jatuh, jadi agak retak.” Ava meraih kacamata itu lalu mengangguk. “Oke.” Gadis itu langsung pergi setelahnya. ----- Ava begitu senang bertemu dengan teman lamanya—Syara. Syara sudah wisuda, tpat sehari setelah wisuda dia menikah. Ava dan Syara adalah teman semasa kuliah. Hanya saja … takdir mengatakan Ava terlalu sial karena mendapat dosen pembimbing seperti Arka yang sengaja mengulur-ulur skripsinya. “Jadi lo belum selesai bab 3?” tanya Syara agak kaget. Tentu saja. Ketika syara wisuda, Ava baru memulai mengajukan bab 1 nya. Bahkan setelah 3 bulan ia menikah, Ava masih ada di bab 3. “Kok bisa?” “Hidup gue ini terlalu sial karena dapet Pak Arka sebagai dosen pembimbing.” “Hah? Pak Arka? Gue kira Pak Arka baik, kok. Buktinya Lulu wisuda bareng gue. dia juga dapet dosen pembimbingnya Pak Arka.” Karena lo gak tahu … manusia durhaka itu emang sengaja ngulur skripsi gue. Seandainya ia bisa mengatakan hal itu. Tapi apalah daya, ia hanya bisa membungkam mulutnya jika tidak ingin Syara tahu soal pernikahannya. “Pak Arka itu punya dendam kesumat sama gue, makanya dia lama banget ACC bab 3 nya.” Syara tertawa. “Kalo dibilang punya dendam, kayaknya lo gak pernah nyinggung dia. Kita, kan, diajarin sama dia cuma satu semester aja. Udah gitu ketemu pun jarang. Kenapa bisa dia punya dendam sama lo?” “Mana saya tahu … saya, kan Ava.” “Iya, lo, kan, Ava, cewek yang gak mau tahu soal Pak Arka.” “That’s right!” Ava tersenyum. “Oh, iya. Gimana sama suami lo? Enak, ya, sekarang udah punya suami.” Syara terkekeh pelan. Ia mengunyah makanannya lalu mengangguk. “Enak ada gak enak juga ada. Enaknya, ya, lo punya temen di rumah, ada yang meluk kalo tidur, ada yang membuat berbunga-bunga. Gak enaknya, gue mesti ngurusin dia. Bangun pagi, masak, karena emang kita belum bayar asisten rumah tangga. Sama ngelayanin kebutuhan biologisnya. Entah gimana kalo punya anak nanti. Kayaknya gue akan makin sibuk ngalahin Ibu pejabat.” Ava bisa mengerti bagaimana sibuknya Syara. Apakah ia akan seperti itu nanti? Ah, Ava tidak mampu membayangkannya. Hidup begini saja sudah menyusahkannya. ‘Kapan lo mau nikah?” Uhuk! Ava mengusap dadanya yang terasa sakit karena tersedak. Ia langsung meneguk minumannya hingga setengah. Kenapa pertanyaan itu membuatnya seterkejut ini? “Respon lo luar biasa, Va.” Syara tertawa. “Gimana sama Ares?” “Kita, kan, udah putus setahun lalu, Sya. Lo jadi saksi kita.” Syara tertawa terbahak-bahak. “Itu adalah cara putus terlucu yang pernah gue lihat selama 23 tahun gue jadi makhluk bumi.” Jika diingat, memang ialah yang jadi saksi putusnya Ava dan Ares. Jika diingat-ingat itu adalah hal terlucu sepanjang ia berteman dengan Ava. Melihat Syara yang tertawa, Ava langsung menutupi wajahnya dengan buku menu. Syara dan Ava tengah memakan mie ayam langganan mereka yang mangkal di dekat danau. Pemandangan di sana sangat indah dan cocok sekali dijadikan tempat nongkrong. Keduanya hanya bertukar tawa hingga kedatangan Ares menghentikan tawa mereka. “Sya,” panggilnya. Ava agak terkejut, namun beberapa detik kemudian ia tersenyum. “Kenapa? Kok lo di sini? Bukannya tadi bilang mau ketemu kakak lo?” “Udah, tadi.” “Mau pesan juga, Res? Biar gue pesanin ke Abangnya.” “Gak usah. Gue pengin lo bilang ke Ava, kalo gue mau putus.” Syara dan Ava sama-sama melongo. sedetik kemudian Syara tertawa. “Ava ada di depan lo, kenapa gak lo putusin langsung? Pake segala gue yang jadi perantara.” Ares menghela napas. “Gue gak mau mutusin, gue juga gak mau diputusn. Jadi … lo yang putusin kita.” Syara masih tertawa, begitupun Ava yang ikut tertawa meskipun lebih terkesan seperti menahan tawa. “Va, lo sama Ares harus putus.” Ava berdeham. “Oke,” katanya sambil menahan tawa, “Tapi tolong bilangin ke dia, kasih tahu alasannya.” Syara mencoba menghentikan tawanya, meskipun hal itu agak sulit. “Katanya dia minta alasan.” “Kita lebih cocok jadi teman. Lagian, gue tahu … dia selalu anggap gue Abang. Itu salah satu alasannya … dan alasan terbesarnya … dia akan tahu suatu hari nanti.” Syara mengangguk. “Gitu katanya, Va.” Ava bukannya tidak terkejut, lebih tepatnya … ia hanya lebih merasa ada yang aneh dari Ares. “Kenapa harus tahu suatu hari nanti?” “Kenpa, Res?” tanya Syara. “Karena suatu hari … akan ada seseorang yang menjelaskannya ke lo.” Syara menyilangkan kedua tangannya. “Maaf, nih, ya. Kalian bukan anak sd yang kalo putus pake gue sebagai perantara. Mending kalian kelarin urusan kalian. Gue mau cabut. Bye!” Ava dan Syara sama-sama tertawa. Bahkan Ava sampai menyeka air matanya. “Gila, itu lucu banget, sih.” “Yang paling lucu itu, besokannya kalian berantem di kantin gara-gara cireng. Gokil, sih, kalian tuh.” Ava menghela napas, meneguk sisa minumannya hingga habis. “Dan sekarang lo udah dapat jawabannya, Va?” tanya Syara. Ava mengangguk. Tentu saja alasannya karena Ares terpaksa melakukannya atas karena permohonan sang ayah yang meninta Arka menikahinya. “Sebenernya, gue udah gak pengin tahu, sih. Menurut gue, jadi teman Ares lebih bagus daripada jadi pacarnya.” “Terus dia udah punya pacar sekarang?” Ava tertawa. “Dia? punya, kali. Gue gak tahu. Meskipun kita deket banget, tapi dia gak seterbuka itu.” “Yah, Va. Padahal lo sama Ares cocok banget. Kalian itu the best couple pada masanya. Gue aja iri.” “Ya mau gimana kalo gak jodoh,” balas Ava. Ada sedikit rasa perih di hatinya kala mengatakan itu. Bukannya apa. Ia memang tidak kehilangan Ares, tapi rasa perih itu tepatnya datang karena Arka. Mungkin ia bisa menerima pernikahan ini suatu hari nanti … tapi rasa sakit hati karena dipermainkan selama setahun ini benar-benar membuatnya merasa seperti … ia hanya sebuah media perjanjian. Siapa yang tahu? Mungkin saja Arka tidak menyukainya dan terpaksa menikahinya. Bukankah jika terpaksa itu artinya sudah dimulai dengan sesuatu yang salah? Dan soal Ares … jujur mungkin saja ia akan bahagia seandainya orang itu adalah Ares. “Ya udah, lah. Lagian, Ares pantes dapet yang lebih baik.” Syara mengusap tangan Ava lalu tersenyum. “Lo juga pantas dapat yang terbaik.” “Semoga …” Ava ikut tersenyum, meskipun di dalam hati ada perasaan enggan. Tentunya enggan menerima kenyataan bahwa seseorang yang ia dapatkan adalah Arka—dosennya sendiri. Apakah Arka yang terbaik untuknya? Kita lihat saja nanti.   --to be continued--   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN