Chapter 5

4055 Kata
Amera berlari membelah parkiran hotel yang sepi. Kepalanya terdongak ke atas, menatap langit yang semakin gelap dan dia menjerit pelan melihat kilat petir menyala tepat di depan matanya. Amera mundur, menuju teras hotel di mana para karyawan hotel melihatnya dengan alis tertekuk bingung. Amera cemberut, dia tidak berhasil menemukan Darren Kato dan siapa yang pria itu kejar. Amera benar-benar penasaran. Menyerah dalam putus asa, Amera mundur dan masuk ke dalam lobi. Dia melirik jam yang tertempel di atas kepala sang resepsionis wanita yang sibuk menghitung kunci di dalam etalase kaca. Pukul sembilan malam. Belum terlalu malam, dan Amera tidak berniat ke luar hotel karena hujan akan turun atau Tara akan membunuhnya. "Menyebalkan," desis Amera. Dia duduk di sofa panjang. Duduk bagai gadis i***t yang sedang menunggu seseorang. Dia berkali-kali menggoyangkan kakinya, pertanda tidak sabar dan bosan menunggu. Amera melirik ke arah pintu, Darren belum juga menunjukkan batang hidungnya. "Amera?" Amera terkejut, dia berhasil mengendalikan dirinya untuk tetap tenang ketika sosok Arata yang ikut duduk di sampingnya mengerutkan kening, menatap matanya penuh tanya. "Mengapa kau di sini?" "Aku menunggu seseorang," Amera menjawab jujur dan kerutan di kening Arata semakin dalam. "Siapa?" "Um," Amera belum menjawabnya. Bingung. Arata mungkin berpikir Amera menunggu anggota grupnya atau menunggu paket yang dia beli dari suatu produk melalui online. Amera tidak seharusnya berbohong pada pria itu. Dia akan jujur. "Dia menungguku, Arata." Ya Tuhan! Amera menoleh dengan mata melebar. Darren datang dan berdiri di depannya. Rambutnya basah. Ada titik-titik hujan di jas hitamnya. Amera berdiri, menatap Darren yang berusaha terlihat keren dengan mengacak rambut di depannya. Amera mendengus. "Oh, begitu?" Arata terlihat tidak terkejut. Dia menatap Amera dan kembali pada Darren. "Aku hanya bertanya dan mengapa dia harus duduk di sini seorang diri untuk menunggu pria sepertimu?" "Bukan hal yang aneh kalau seorang kekasih menunggu kekasihnya datang, bukan?" Darren membalas dengan seringai miring. Amera melirik ke arah Arata, tatapannya bersalah. Dia tidak bisa berkata apa-apa untuk melerai mereka berdua. "Ah, ya," Arata terkekeh pelan. Dia terlihat bersalah. Dengan anggukan singkat, Arata melambai pada Amera dan tersenyum ramah. "Aku harap bisa bertemu lagi denganmu dan kita sarapan bersama besok." Amera menggigit Bibir bawahnya. Ingin berkata ya dan dia bersorak senang karena Arata kembali mengajaknya sarapan bersama tetapi ditahannya melihat ekspresi muram dan gelap Darren yang berkobar-kobar. Amera dibuat merinding oleh pria itu dan dia tertawa canggung. "Aku juga berharap begitu," Amera tertawa pelan. "Berdoa saja semoga aku tidak bangun kesiangan." Arata tertawa dan kemudian dia berlalu. Meninggalkan Amera yang menghela napas dan Darren yang memandang punggung pria itu lekat-lekat seolah samurai bisa saja keluar dari mata pria itu dan menusuk punggung Arata. "Darren," Amera menekan telunjuknya pada pipi pria itu dan mendengus. "Apa-apaan tatapanmu itu, hah," dia menahan tawa karena geli. Reaksi Darren sangat diluar dugaannya. Amera menutup Bibirnya, membentuk gerakan menutup resleting celana dengan senyum saat Darren menatapnya tajam. "Apa?" Alis Amera naik. "Apa? Seharusnya, aku yang bertanya begitu padamu," Amera memiringkan kepalanya. "Siapa pria yang kau kejar?" Darren tidak menjawab pertanyaannya dan memilih untuk pergi meninggalkan Amera di tengah lobi. Sendirian. Membuat Amera menjerit pelan dan mengejar langkah santai pria itu. "Jawab aku," Amera berlari, menghalangi langkah Darren di depannya dan pria itu mengacuhkannya. Amera cemberut, merasa sebal karena dia diabaikan. Seratus persen diabaikan. Darren berbelok, menabrak bahu Amera dan kembali berjalan tanpa peduli. "i***t," Amera mengumpat. Dia kembali berlari dan menghalangi Darren dengan tubuhnya, tetapi pria itu tetap saja tidak peduli. Dia berjalan santai, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan terus berjalan. Tanpa memperdulikan Amera yang mencoba merentangkan tangannya, menghentikan Darren. "Oh, baiklah," Amera menurunkan tangannya dan pergi menuju lift lain walaupun dia harus memutar jalan. Darren mengacuhkannya dan dia benar-benar merasa marah. Dia ingin tahu apa yang Darren lakukan dan maksud ucapannya tadi setelah makan malam. Amera tertunduk ketika dia masuk ke dalam lift. Memencet tombol lift dan pergi menuju kamar Yuki. Dia akan tidur di kamar wanita itu, tidak peduli jika Yuki akan menendang bokongnya karena berkuasa di ranjang besarnya dan membiarkan Yuki tidur di lantai. *** "Hei, leader, ini aku, cepat buka pintunya." Amera mengetuk pintu lebih dari tiga kali dan memencet bel lebih dari lima kali. Suara pintu diketuk lebih terdengar seperti gedoran dibanding ketukan. Pintu terbuka. Amera masuk ke dalam dengan wajah lesu dan tubuh yang lunglai. Yuki mengerutkan keningnya, melirik ke koridor yang sepi dan mendapati Amera pergi ke kamarnya seorang diri. Setelah itu dia kembali dan mengunci pintunya. "Apa yang terjadi?" Yuki jelas sekali baru saja seleAska berendam air hangat dan sabun. Aroma sabun rasa stroberi dan samponya tercium sampai ke hidung Amera. Rambut wanita itu basah dan Yuki melepas handuknya, menjemurnya di tempat jemuran dan mengambil bedak. Dia duduk di depan Amera. "Aku bertanya padamu," suaranya lebih pelan. Ini yang Amera sukai ketika dia berbicara dengan Yuki, ketua grup mereka. Yuki begitu peduli pada mereka. Walau memiliki sifat yang galak dan menyebalkan, sebenarnya dia wanita yang amat baik dan perhatian. KAndara adalah pria paling bodoh karena memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Amera memejamkan matanya. Menenggelamkan hidungnya pada bantalan sofa dan menggeleng. "Aku hanya bingung." Yuki sedang memakai krim dan bedak malam. Wanita itu masih memakai jubah mandinya dan tetesan air dari rambutnya jatuh ke jubah mandi itu dan meresap. Amera mengangkat kepalanya, menatap Yuki. "Kau tahu, aku dan Darren hanya kekasih kontrak, dan dia benar-benar bodoh karena menyeretku ke dalam permainannya." Yuki menaikkan alisnya, dia tetap diam. "Lalu?" "Tapi aku merasa kalau ..." Amera memutar matanya, bingung merangkai kata-kata. "Uhm, kita akan melangkah lebih jauh. Lebih dari kekasih kontrak, mungkin?" "Menikah?" Amera menggeleng cepat. Terkejut dengan ucapan spontan Yuki. "Tidak, tidak, itu mustahil. Apa mungkin aku akan menikah dengannya?" Yuki mengangkat bahu. Dia menaruh krim dan bedak di atas meja. "Tidak tahu. Kalau kalian berjodoh, ya, itu bisa saja terjadi." "Jangan terlalu yakin," Amera berkata pelan. Dia sejujurnya tidak yakin dengan ucapan Yuki juga tentang pernikahan. Amera berpikir dia akan menikah dengan pria yang tidak memiliki reputasi dan nama besar seperti dirinya. Seperti, laki-laki biasa, mungkin? Itu bagus untuk mengimbangi karirnya. Yuki hanya diam. Menatap Amera dengan pandangan yang sulit diartikan. Amera tidak pernah terlibat skandal apa pun. Media tidak berbohong, begitu pula agensi. Amera tidak memiliki hubungan dengan laki-laki selain hubungan masa menengah atasnya yang sudah lama berakhir. Laki-laki itu bahkan sudah menikah dan Amera tidak lagi peduli. "Oke, yang kau butuhkan hanya tidur. Kita akan kembali ke Jepang dan kalau kau ingin begadang, silakan saja," Yuki bangkit dari sofa. Menuju koper untuk mencari piyama miliknya. Amera mendesah panjang, bersandar pada sofa yang lembut dan memejamkan mata.  "Mungkin, Andara ada benarnya," Yuki memakai piyamanya. Menaruh jubah mandinya pada gantungan dan membiarkannya kering. "Di antara kau dan Darren, salah satu dari kalian mungkin benar-benar jatuh cinta." Amera menoleh, matanya melebar. Kaget. "Tidak mungkin!" Dia melompat dari sofa. Berdiri di depan Yuki. "Itu tidak mungkin!" Yuki mendengus. Dia duduk di tepi ranjang dan Amera masih berdiri. Membeku. "Mungkin saja. Darren seorang konglomerat. Dia bisa menghidupimu untuk beberapa puluh tahun ke depan. Kemungkinan perusahaannya bangkrut juga sangat kecil kecuali dia terlibat hutang yang sangat besar," Yuki menatap Amera yang terdiam. "Dan kau, tentu saja kau punya tabungan yang banyak dari karirmu menjadi seorang selebritis. Kau bisa belanja barang mewah atau apa pun yang kau mau walau dirimu tidak lagi menjadi seorang artis." Amera menoleh, tatapan matanya terlihat bimbang. "Kau pernah bilang padaku, suatu saat nanti, saat kau menikah kau akan memilih untuk mundur dari dunia hiburan. Kau akan fokus pada keluargamu. Itu impianmu," Yuki menghela napas. "Tidak, itu impian kita semua. Impianku, impianmu, impian para anggota." Amera memegang pelipisnya. Kepalanya terasa berdenyut dan dia tidak tahu harus berbuat apa. "Aku tahu kau menyukai Arata," Yuki menatap Amera yang bergerak duduk di sampingnya. "Apa ini hanya sekedar tertarik dan bukan perasaan yang dalam?" Amera memberanikan diri menatap mata teduh milik Yuki. "Aku ... tidak tahu," jawabannya ragu. "Kau tahu, aku tertarik padanya sudah cukup lama. Dan memiliki kesempatan bisa berada di dekatnya, benar-benar membuatku senang. Hanya saja ..." "Kau terlibat dengan Darren. Itu tidak mudah." Amera terdiam. Dia mengiyakan kalimat Yuki di dalam hati. "Jika kau diam, kau bisa saja kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Arata. Tapi, perjanjian kontrak ini tidak bisa kau remehkan. Nama baikmu diperhitungkan," Yuki menghela napas panjang. "Kau ingin tetap namamu bersih dari skandal sampai waktunya tiba dan kau mundur dari dunia hiburan. Skyfall akan istirahat untuk waktu yang lama." Suara Yuki terdengar lirih. "Cobalah untuk bersikap profesional. Aku tahu ini berat untukmu, dan kau seharusnya tahu kalau penggemar fanatik juga wartawan itu mengikutimu bagai buntut keledai. Mereka tidak akan lengah dan tidur demi mendapatkan kepuasaan untuk menyebarkan berita ke publik. Kau harus hati-hati," Yuki menepuk bahu Amera dan berdiri menuju kulkas di dapur mininya. "Ingin soda atau jus?" Amera terdiam. Tangannya terkepal menggenggam seprai ranjang dan membuatnya kusut. Dia memejamkan matanya, mencoba tetap tenang. "Aku harus kembali ke kamar," Amera berdiri. Berjalan lunglai menuju pintu ke luar dan Yuki berdiri di depan pintu, menghalanginya. "Tidurlah bersamaku malam ini," Yuki berlalu pergi bersama tatapan Amera yang berbinar. "Aku tidak akan menendang bokongmu karena keserakahanmu merebut ranjang milikku." Amera tertawa. Dia melompat dan memeluk Yuki yang sedang memanaskan udang saus asam. Yuki hanya menggelengkan kepalanya, tersenyum tipis. *** Saat Amera bangun keesokan paginya, dia dikejutkan dengan kehadiran Andara dan Aster yang menumpang menonton televisi di kamar Yuki. Andara mendengus saat Amera bangun dan menyisir rambutnya. Meminjam sisir milik Yuki. "Ini membuatku sakit hati karena kalian tidur bersama dan bercerita banyak hal tanpa kutahu," Andara kembali menonton televisi. Saat Amera mendekat dan tersenyum dia melihat Aster tertidur di sofa dan tampak pulas. "Oh, sebaiknya kau juga berkaca, Nona Andara," sinis Amera. "Kau mengajak Aster bermain monopoli sampai membuatnya kurang tidur. Keterlaluan." Andara melempar Amera dengan bantalan sofa dan Amera tertawa. Yuki sedang mandi dan wanita itu tidak keberatan kalau anggotanya datang untuk menumpang di kamarnya. Melakukan apa pun sesukanya dan membuat kamar bersih itu berantakan. Tapi siap saja, Yuki akan menghajar mereka jika dia dibuat kerepotan. Amera kembali ke kamarnya. Dia bersyukur karena Tara masih di kamarnya dan wanita itu belum sama sekali keluar. Tara akan bingung mencari dirinya kalau dia tidak ada di kamar dan tidak keberatan kalau Amera tidur di kamar Yuki. Mengunci pintu, Amera segera masuk ke dalam kamar mandi. Dia akan berendam air hangat dan mandi sabun leci yang hotel berikan gratis untuknya sebelum turun untuk sarapan. Amera menatap dirinya di cermin. Pesawatnya akan berangkat pukul sepuluh. Dan dia sudah seleAska merapikan koper dan tasnya. Sebelum mereka berangkat, mereka akan sarapan dan mengecek barang yang tertinggal di kamar hotel sebelum benar-benar pergi. SeleAska mengeringkan rambutnya dan menyisirnya. Amera bersiap turun ke restauran untuk sarapan. Dan mungkin para anggota sudah lebih dulu datang untuk sarapan. *** "Selamat pagi." Amera menyapa ceria para anggotanya yang sesuai tebakannya, sudah berkumpul di meja makan dan siap menyantap hidangan mereka. Tara tersenyum saat dia mengambil dua piring berisikan kerang dan udang untuk para anggota. Sebelum Amera menarik kursi, dia terkejut dengan tangan lain yang menarik tangannya tak peduli dan mengajaknya untuk duduk agak jauh dari anggota grupnya. Amera mengernyit, menatap tidak suka dengan tingkah Darren pagi ini. "Selamat pagi juga," ucap Darren acuh melihat ekspresi Amera. Dia menarik kursi untuk duduk dan menatap Amera yang tetap berdiri, tidak berniat duduk. Andara tertawa pelan. Dia melihat Amera yang sebal karena tingkah Darren pagi ini benar-benar lucu. Dengan kekehan geli, dia berdiri dari kursinya, mengambilkan seporsi bubur hangat untuk Amera dan mengantarkannya ke meja gadis itu. "Sarapan untukmu, manis," Andara mengedipkan matanya saat Amera duduk. Menatap Andara dengan maksud meminta bantuan dan Andara mengejeknya dengan senyum miring. "Nikmati sarapanmu," masih dengan senyum yang sama. Andara beralih pada Amera yang menatapnya. "Selamat pagi, Darren. Kau terlihat baik pagi ini," mata biru Andara menatap Darren dari atas sampai bawah. "Kau seharusnya merona karena tipe idealmu sedang menatapmu panas seperti itu," ledek Amera. Darren menatapnya. Benar-benar menatapnya dan Amera mengangkat bahunya, merasa tidak bersalah. "Tipe ideal?" Andara mengulang ucapan Amera dan kemudian dia tertawa pelan. "Ya Tuhan, kenapa aku terkejut?" Darren hanya meliriknya. Dia berdiri dari kursinya untuk mengambil sarapannya sendiri. Sebelum dia benar-benar pergi, Darren menggumamkan sesuatu yang membuat Andara menahan tawanya dan Amera membeku. "Tidak lagi, tipe idealku kini sedang duduk menikmati sarapannya." Andara menatap Amera dengan alis terangkat geli. Dia melambaikan tangannya pada Amera dan berlalu pergi menuju mejanya. Di sana, para anggotanya duduk menunggu Andara dengan antusias dan Amera harus memutar tubuhnya, memberi isyarat pada Andara untuk diam dan menggelengkan kepalanya frustrasi karena dia tahu itu semua hanya sia-sia belaka. Darren duduk di depannya. Dengan nasi dan sup jagung kental yang hangat. Bertaburan potongan ayam rebus dan jagung manis di atasnya. Amera menatap pria itu yang sibuk dengan sarapannya dan tidak berniat membuka percakapan. "Sebenarnya apa maumu?" Amera menghela napas. Menaruh sendok buburnya. Merasa tidak ada jawaban, Amera memanggil nama pria itu. "Darren." "Menemaniku." "Untuk?" "Sarapan." Amera mengernyit. "Hanya itu?" Darren menggeleng. Dia menghabiskan kunyahan di mulutnya lalu melirik Amera. "Kau akan kembali ke Jepang hari ini, bukan?" "Ya," Amera mulai curiga. Darren terdiam sebentar. Dia merogoh sesuatu dari saku celana santainya dan mengetikkan sesuatu di atas ponsel pintarnya. Amera hanya diam menunggunya. "Lihat ini," Darren mengulurkan ponselnya pada Amera. "Ini semalam. Lihat gambarnya."  Amera melihatnya. Dengan jelas. Darren yang mengusapkan jemarinya di atas Bibirnya. Melihatnya membuat pipi Amera panas dan dia terbatuk pelan. Mencoba mengusir rasa panas dan merah di wajahnya. Dia mendengar suara ribut dari arah para anggotanya. Mereka pasti sudah tahu tentang berita ini. Ah, bodoh sekali Amera tidak mengecek ponselnya sejak pagi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" Amera mengembalikan ponsel itu pada Darren. "Semalam, wartawan itu ada di sini. Dia duduk untuk makan malam bersama wartawan lainnya guna mencari berita untuk diterbitkan besok pagi," Darren mulai menjelaskan secara serius. "Kamera kecil yang dia sembunyikan merekam semuanya tentangmu dan Arata saat kalian makan malam bersama." "Astaga," Amera menutup mulutnya dan menggelengkan kepalanya. Dia melirik ke kanan dan ke kiri, takut jika wartawan itu benar-benar mengikutinya sampai ke dalam restauran lagi. "Tidak ada. Mereka sudah pergi." Amera terlihat sedih. Darren melihatnya. Gadis itu menunduk menyembunyikan wajahnya dengan helaian rambut panjangnya. Dia mendengar Amera menarik napas sebelum akhirnya gadis itu menatapnya. "Lalu?" "Aku mengejarnya, dan yang kulakukan malam itu untuk menutup segala kemungkinan pemberitaan yang akan mereka lakukan tentangmu." Amera mendesah panjang. "Aku akan hancur." "Agensi juga akan kerepotan. Kau punya skandal bersamaku lalu dengan Arata," nada suara Darren terdengar tidak suka. "Yang kaulakukan semalam adalah untuk ini?" Amera tidak percaya dengan apa yang Darren lakukan untuknya malam itu. Dia merasa baik dengan menunggu Darren dan bertanya mengapa pria itu terlihat kacau dan marah. Darren melindunginya. Sesuai kontrak yang berlaku agar semua tetap berjalan aman dan baik-baik saja. "Ya. Aku membayar wartawan itu dan mengusirnya pergi." Amera mengusap wajahnya. Dia terlihat lega. "Terima kasih," lirihnya. Darren tidak menjawab ucapan terima kasihnya. Pria itu berdiri dari kursi, meninggalkan Amera yang kebingungan karena Darren lagi-lagi berkelakuan aneh pagi ini. Pria itu mendekati meja anggota grupnya dan Amera terkejut ketika Darren berbicara dengan Tara. "Hm, akan kuusahakan," Tara terlihat ragu. Dia mencoba melirik Yuki yang tampaknya tidak peduli dan memilih memakan hidangan penutup. "Aku akan membayar tiket kalian juga tiket Amera yang sudah kau pesan. Tuliskan saja nominalnya," kata Darren. Hana tidak bisa berkata-kata dan Aster terlihat acuh. Dia benar-benar terkejut dengan sikap Darren pagi ini dan tidak bisa menalar dengan baik apa keinginan pria itu pada temannya. "Oke, santailah. Amera punya jadwal kosong sampai dua hari ke depan. Mereka akan melanjutkan tur minggu selanjutnya," jawab Tara. Darren hanya mengangguk dan menatap Amera yang berdiri dengan wajah sebal. Jelas sekali. Amera sedang tidak dalam suasana baik, sepertinya. Terlebih ketika gadis itu memilih untuk pergi meninggalkan ruangan dan tidak mengucapkan apa-apa padanya dan juga teman-temannya. "Cepat kejar dia," ejek Andara. Darren berjalan santai ke luar ruangan dan meninggalkan anggota Skyfall yang menatap punggungnya dengan tatapan bingung sekaligus geli. Tara memilih untuk diam. Begitu juga Yuki yang tampaknya mengikuti langkah Tara untuk diam. Membiarkan anggota menebak-nebak apa yang terjadi selanjutnya pada Amera dan Darren. "Jadi, kau membayar wartawan itu dan menyuruh mereka menerbitkan berita tentangmu dan aku pagi ini? Seolah-olah aku tur dan berkencan. Yang benar saja!" Darren hanya diam mendengar celotehan Amera tentang kekesalannya pagi ini. Dia tidak keberatan mendengarkan keluh kesah gadis itu. "Darimana kau dapatkan ide itu?" Amera bertanya saat mereka berjalan bersama di koridor. "Kaza. Dia sering melakukannya." Amera menutup mulutnya. Dia tahu tentang hubungan Kaza dan Aster walau tidak tahu secara jelas dan pasti. Aster dan Kaza menjalin hubungan cukup lama dan gadis itu belum menceritakan apa pun tentang hubungannya. Dan untuk hal ini, dia memilih diam. "Kau tahu tetapi kau tetap diam," Darren berdiri di depannya. Amera menatapnya dan mengangguk kecil. "Aku sudah berjanji pada Aster. Anggota lain tidak tahu tentang hal ini." "Tetap rahasiakan sampai mantan kekasih Kaza menceritakan segalanya," titah Darren. Amera mengangguk singkat. "Kau tidak akan kembali ke Jepang bersama anggotamu," Amera menahan tangannya tetap di gagang pintu dan terdiam. "Kau akan pulang bersamaku." Alis Amera tertekuk tajam. "Apa maksudmu?" "Anggap saja balasan untuk kebaikanku karena menolongmu," kata Darren santai. "Karena jadwalmu kosong, kita masih dua hari lagi berada di Singapura." "Aku tidak mengerti," desah Amera putus asa. "Apa yang kau inginkan?" "Aku punya urusan. Kau akan ikut." "Hanya itu?" Darren meliriknya. "Ya." "Kenapa lama sekali?" Darren mengangguk. "Sedikit rumit," jawabnya tanpa menjelaskan apa pun pada Amera yang kebingungan. Selang beberapa lama Amera sibuk berpikir, akhirnya dia bergumam kata setuju dan meninggalkan Darren sendiri di depan pintu kamarnya. *** Darren bilang padanya untuk datang ke aula hotel Ritz di pusat kota Singapura malam ini. Mereka tidak datang bersama karena Darren sudah pergi sejak dua jam yang lalu dan Amera baru ada di perjalanan sekarang. Sebelum anggota Skyfall kembali, Tara menyapanya dan mereka berbicara sebentar. Yuki juga datang menemuinya dan anggota lain sudah berada di bandara. Menyampaikan salam untuknya dan Amera merasa bersalah karena tidak bisa bergabung bersama mereka pulang ke Jepang. Menghela napas, Amera menyandarkan kepalanya pada bantalan kursi penumpang yang nyaman. Darren sudah menyiapkan segalanya untuk Amera, termasuk mobil dan hotel yang akan mereka jadikan tempat untuk tidur. Amera mungkin menyukai hotel yang baru karena dekat dengan kota yang ramai. Mobilnya berhenti. Amera segera menatap dirinya sekali lagi melalui kaca ponselnya yang gelap dan tersenyum. Bermaksud menyemangati dirinya sendiri. Dia akan bertemu dengan orang-orang penting yang memiliki kedudukan sama dengan Darren. Dia sedikit gugup karena tidak pernah terlibat ke dalam lingkaran emas mereka. Amera tampil menawan malam ini. Dengan gaun putih sebatas lutut dan sepatu tinggi senada dengan gaun dan ikatan rambutnya. Amera sengaja mengikat rambutnya dan membiarkannya ikal di bawah. Memakai riasan dan perhiasan mewah. Dia tentu saja bisa menyamai penampilan Darren. Penghasilannya juga tak kalah besar. Saat Amera melangkah masuk, para tamu undangan menatapnya takjub. Amera mencoba tersenyum pada mereka yang dibalas anggukan dan senyum tipis yang sama. Dia merasa lebih santai karena penampilannya mampu merebut perhatian seluruh tamu undangan yang datang. Amera mencari-cari Darren dan di mana pria itu berada. Saat dia masuk ke dalam aula, dia melihat para pria berkumpul membentuk lingkaran dan sibuk membicarakan sesuatu yang tidak Amera pedulikan. Darre tentu saja melihatnya. Melihat Amera datang. Bagaimana dia tidak melihatnya kalau Amera benar-benar mencuri perhatian seluruh tamu dan mereka semua tahu Amera datang untuknya karena mereka sepasang kekasih. Sialan. Bagaimana bisa dia secantik itu? Darren berdeham, meminum anggurnya dalam satu tegakan dan mencoba fokus pada obrolan para koleganya yang membosankan. Dia ingin menghampiri gadis itu, membawanya ke tempat yang lebih sepi. Hanya mereka berdua. Darren tahu kalau Amera mencarinya sejak tadi dan dia berhasil menyembunyikan diri darinya. Membiarkan Amera pergi ke tempat makanan untuk mengambil makanan. Dengan mata Darren yang terus mengawasinya. "Hai, Bibi," sapa gadis kecil bermata hitam dan berambut gelap panjang. Amera menoleh, tersenyum manis ketika gadis kecil itu berdiri cukup rendah karena tingginya yang berbeda jauh dengannya. Amera sedikit membungkuk. "Hai, manis, siapa namamu?" "Hani," jawabnya dengan tawa pelan. Dia terlihat ingin menggapai sesuatu yang tidak bisa dia raih. Amera tertawa kecil, dia mengambil piring mungil dan menaruh empat gula-gula berbentuk permen untuk Hani yang tertawa. "Terima kasih, Bibi." Amera hanya mengangguk dan dia mengambil jus melon dari rak gelas. Amera kembali menoleh saat Hani kesulitan mengambil air putih di atas meja yang tinggi. Membuat tubuh mungilnya melompat-lompat. Amera berjalan, hendak mengambilkan gelas berukuran kecil untuk Hani yang kesulitan tetapi tertahan karena ada lengan besar yang lebih dulu mengambil air untuk gadis kecil itu. Amera melihat siapa pemilik tangan itu dan dia menahan napasnya. Amera memalingkan wajahnya ke arah lain, asal tidak bertemu tatap dengan Darren Kato. "Paman Darren!" Hani dengan riang menyapa Darren. Membuat Amera mengerutkan keningnya. "Kau mengenalnya?" Amera bertanya. "Dia Pamanku," kata Hani dengan kikikan geli karena melihat wajah terkejut Amera. Darren ikut menatapnya dan mendengus saat dia menggendong Hani. "Berhenti tunjukkan wajah idiotmu," ejeknya. Membuat Amera menggeram dengan wajah memerah. "Sudah kubilang padamu, Darren, jangan menggendong putriku," kata seorang wanita berambut ungu yang datang ke tengah-tengah mereka. Amera menatapnya dengan alis terangkat naik. "Kalau tidak salah, kau ..." "Aku Andari," Andari mengulurkan tangannya. Tersenyum pada Amera. "Ini Hani, putriku, dan aku datang bersama suamiku juga ibu dan ayah mertuaku." Mata Amera melebar. Dia menatap Darren yang mengalihkan pandangannya ke arah lain. Amera melempar tatapan menuduhnya pada Darren dan itu membuat Andari tertawa. "Darren bilang akan mengajak seorang wanita untuk datang ke acara peresmian hotel kami. Dan itu adalah dirimu," Andari tampak anggun. Wajahnya yang cantik begitu kontras dengan tatapan matanya yang tajam. "Aku sedikit meragukan selera Darren." Amera tertawa bersama Andari. Saat Andari menggandeng putrinya untuk bergabung bersama orang tua mereka. Amera terdiam, dia bersandar pada tepi meja makanan. Melirik Darren. "Kau tidak bilang kalau kita akan menemui keluargamu?" Darren menahan senyumnya saat dia menatap Amera. "Anggap saja kejutan," dia menggandeng tangan Amera dan mendekat ke arah keluarganya. "Ya Tuhan, Darren," Amera menebak. Wanita manis yang berbicara penuh kelembutan itu adalah ibu Darren. "Aku bertanya-tanya siapa wanita yang berhasil membuat para tamu menahan napasnya dan dia adalah bintang di negeri kita. Dan lihat, dia kekasihmu?" Ibu Darren benar-benar terkejut sekaligus takjub ketika melihat Amera berada di dalam gandengan tangan Darren. Amera tersenyum dengan wajah malu. Dia tidak pernah berbaur bersama keluarga para kekasih sebelumnya karena dia tidak memiliki kekasih. Tetapi keluarga Darren sepertinya pengecualian. Mereka terlihat baik dan terbuka. "Senang bertemu denganmu, Nyonya Kato." "Tidak, tidak, panggil aku ibu Davichi," dia mendekat ke arah Amera Memegang lengan Amera dan tersenyum manis. "Astaga, Darren, dia benar-benar punya selera yang bagus." Amera tertawa pelan. Dia melirik pada sosok berwibawa lainnya yang mengangguk ketika Amera menyapanya dengan anggukan kepala. "Ini suamiku, Akira. Ayah dari Yuta dan Darren," Davichi memperkenalkan anggota keluarganya tanpa Darren repot-repot mengenalkannya. "Senang melihatmu, Amera," Yuta berkedip pada Amera dan Amera tersenyum. Dia mengangguk pada Yuta. Andari hanya menanggapi dengan senyum. Tidak terlihat cemburu atau keberatan dengan interaksi suaminya dengan dirinya. Darren menunduk, mencium rambut Amera di hidungnya dan tersenyum ketika dia berbisik. "Keluargaku sepertinya menyukaimu." Amera hanya diam, tidak menjawab ucapan Darren yang menarik wajahnya dan memasang wajah tanpa ekspresi yang menjadi khas miliknya. Sebuah mikropon berbunyi. Amera menoleh ke arah panggung kecil dan Darren melepas tangannya, meninggalkan Amera dengan tanda tanya ketika pria itu melangkah mendekati panggung. "Darren akan memberi sambutan. Hotel ini sepenuhnya bisnis miliknya," bisik Andari. Amera sedikit terkejut dan dia hanya bisa mengangguk kecil. "Semoga kalian menikmati hidangannya. Tidak terlalu mewah, tapi ini kualitas terbaik." Amera mendengus mendengar kalimat yang menjadi tipikal Darren sekali dalam bicara. Dia menggelengkan kecil kepalanya, meminum anggurnya dalam diam saat dia berdiri di antara Andari dan ibu Darren. "Malam ini aku juga akan memberitahukan kalian sesuatu," Darren menggantungkan kalimatnya. Membuat para tamu menunggu dengan antisipasi. Amera mengangkat alisnya saat dia menatap Darren dari kejauhan dengan mata menyipit. Sebuah seringai timbul di wajah tampannya. "Aku akan bertunangan," Mata Amera menyipit. Genggaman tangannya pada gelas anggur mengerat. "Wanita pilihanku saat ini berdiri di antara ibu dan kakak iparku." Tubuh Amera menegang. Bagai tersengat listrik ribuan volt. Dia tidak bisa bergerak. Tubuhnya kaku. Seperti membeku karena menceburkan diri ke dalam air di kutub. "Si b******k itu," Andari mengumpat. Dia tertawa pelan. "Tidak kusangka." "Tidak," bisik Amera pelan. Mengabaikan riuh tepuk tangan yang begitu bising memenuhi indera pendengarannya. "Kami hanya kekasih kontrak. Aku tidak mungkin ..." Amera mencoba fokus, menatap Darren dengan wajah bingung bercampur kesal yang kentara. Sedangkan sang pelaku utama tampak santai, tidak memasang mimik apa pun kecuali satu; datar. Yuki mungkin benar, di antara mereka berdua salah satunya akan terbakar. Amera berharap itu bukan dirinya. Bukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN