Chapter 6

5354 Kata
Si b******k itu benar-benar membuat Amera tidak bisa bernapas dengan baik. Dengan wajah malu, dia melirik ekspresi ibu dan ayah Darren. Jelas sekali mereka terkejut. Tetapi tidak secara gamblang digambarkan. Davichi hanya menutup mulutnya yang terbuka dan Akira, kalau tidak salah, hanya menggeleng kecil. Anak kalian benar-benar sialan! Andari terkekeh. Dia tampak senang sekaligus bangga. Berulang kali dia terlihat takjub dan tidak percaya dengan keputusan Darren secara sepihak. Amera ingin bicara pada Andari kalau ini semua omong kosong dan berteriak pada para tamu undangan kalau mereka hanya kekasih kontrak. Tidak lebih. Darren turun dari panggung. Amera bersiap menyemprotnya dengan kata-kata makian dan u*****n kalau memang itu dibutuhkan. Langsung. Di depan mata kedua orang tuanya. Tetapi pria itu berhenti di kolega lainnya yang Amera taksir berumuran sama dengannya. Mereka mengobrol santai dan Darren seolah tidak peduli dengannya. Amera mendengus, merasa jengkel dalam hati karena dia lagi-lagi diabaikan. "Bibi Amera, mau temani aku mengambil gula-gula lagi?" Hani, gadis manis itu menggenggam tangan Amera. Tatapan matanya yang bulat dan berbinar membuat hatinya sedikit luluh. Dia punya warna mata yang sama dengan Darren. Rambut yang juga berwarna sama menjadi ciri khas keluarga Kato. Tetapi kepribadian gadis mungil ini, Amera berharap tidak menurun dari Paman bodohnya. "Hm, oke," Amera menarik tangan Hani dan menyamai langkah gadis kecil itu menuju meja gula-gula. Andari dan Yuta hanya mengawasi putri semata wayang mereka dari kejauhan dan kembali berbaur bersama lainnya. Amera merasa lega, dia tidak harus berdiri di antara ruang lingkup keluarga pebisnis itu. "Apa Paman Darren merepotkan?" "Um, ya," Amera tersenyum menjawab pertanyaan Hani. Gadis kecil itu menggembungkan pipinya dan menggeleng sebal. "Paman memang menyebalkan. Ibu bilang, jika Paman terus meledek ibu dan ayah, ibu akan memanggangnya di pemanggang apartemen milik Paman." "Apa ibu dan Pamanmu sering bertengkar?" Hani mengangguk. "Ibu dan Paman tidak akur," dia menunjuk deretan gigi susunya saat gula-gula itu tertelan masuk melalui tenggorokan kecilnya. "Tetapi ibu sangat menyayangi Paman Darren." Amera terdiam, kemudian mengangguk. Dia mengambilkan es krim ke dalam gelas untuk Hani. Mengajak gadis kecil itu untuk duduk di sofa bersamanya saat Amera mengambil sepotong roti kukus dan manisan buah. Tidak peduli bagaimana tatapan orang-orang tentang pertunangan mereka, wajah Amera yang muram menjawab segalanya. "Kau terlihat buruk." Amera mengenal suara ini. Dia hanya mendengus dan memalingkan wajahnya, mengabaikan Darren yang mengusap sudut Bibir keponakannya karena butiran gula-gula. "Darren," Amera memanggilnya dengan bisikan rendah tapi tajam. "Apa-apaan ini?" Darren meliriknya sebelum pria itu berdiri tegak di depannya. "Kita bicarakan ini nanti." Amera menatapnya dengan alis menekuk tajam. Tidak terima dengan jawaban Darren tetapi dia tidak punya pilihan lain selain menunggu pria itu menjelaskan segalanya. Jadi, Amera hanya mengangguk. "Aku tidak tahu kalau putraku mengumumkan sesuatu yang amat penting ini di sini," suara ibu Darren terdengar bangga dan terharu. Amera tidak tahu harus memasang wajah apa selain sebuah senyuman yang ia sematkan di wajah bingungnya. "Aku sangat berterima kasih padamu kalau kau mau datang dan makan malam di rumah kami saat kembali ke Jepang nanti," ibu Darren menepuk d**a putranya. "Kalau kau tidak sibuk, tentu saja." Dia melanjutkan dengan kedipan mata jenaka. "Tentu saja, ibu," Darren yang menjawab. "Aku akan mengajak Amera untuk makan malam di rumah kalau kami berdua memiliki waktu kosong." "Aku menunggu hari itu terjadi," ibu Darren menatap Amera dengan senyum indahnya dan dia berlalu pergi. Berkumpul bersama teman sosialitanya di dekat para suami mereka. Hani menatap Darren dengan bola mata berbinar. "Ibu bilang, Paman Darren adalah seorang pecinta sesama jenis. Tetapi malam ini Paman mengajak seorang Bibi yang cantik." Amera terkikik mendengar ucapan Hani. "Aku ini hanya pilihan kedua Pamanmu saat dia bertengkar dengan kekasih prianya," kata Amera dengan mimik wajah sedih. Membuat Hani terkejut. "Pamanmu benar-benar jahat." Darren menatap Amera tanpa kata. Kilatan mata gelapnya berbahaya dan Amera meledeknya dengan menjulurkan lidah, membuat Darren menghela napas dan memalingkan wajahnya pada keponakannya. "Jangan dengarkan kata ibu sialanmu itu, mengerti?" Amera mengerutkan keningnya. "Hei, kau tidak boleh berbicara kasar tentang ibunya pada putrinya sendiri, Darren," tegur Amera. Darren terlihat tidak peduli. Dia hanya menatap Hani dengan tatapan tajam yang dibuat-buat. Hani mengangguk cepat. Jelas sekali gadis kecil itu ketakutan. "Jangan menakutinya," tegur Amera lagi. "Aku memperingatinya." "Tapi kau menakutinya," Amera mulai jengkel. Darren mengusap wajahnya. Dia menatap Hani dan gadis kecil itu bergerak turun dari sofa dengan wajah tertunduk. Dia berjalan menuju Yuta yang berbincang bersama teman masa sekolahnya dulu yang menjadi pengacara di Singapura. "Kau menyebalkan. Bahkan dengan keponakanmu sendiri," Amera berdiri. Menaruh piring dan gelasnya lalu menatap Darren dengan mata nenyipit. "Kelakuanmu sulit kumaafkan." "Aku tidak meminta maaf padamu," selanya. "Tidak peduli kau memaafkan atau tidak." Amera hanya diam. Dia berbalik menuju meja buah dan meninggalkan Darren  seorang diri. *** Mereka kembali ke hotel yang baru. Andari dan Yuta masih ada di aula dan Darren mengajak Amera untuk kembali ke hotel. Di sinilah mereka. Amera merasa asing dengan hotel mewah mereka yang baru. Tidak menyangka kalau hotel yang akan dia tiduri adalah milik Darren. Darren mendorong pintu dan terbuka. Amera masih sibuk menatap koridor hotel yang mewah dengan lampu kuningnya menyala sempurna. Dia terkejut saat Darren menatapnya, Amera berjalan masuk ke dalam. Takjub dengan kemewahan kamar hotel miliknya. Darren menutup pintu kamarnya saat Amera melempar dirinya ke atas ranjang yang berukuran besar bahkan hanya untuk dua orang. Dia menarik napas dan membuangnya. Kembali bangun saat dia melihat Darren mengecek kulkas. "Astaga, bagaimana barang-barangku?" Amera duduk di tepi ranjang. Terkejut melihat koper dan tasnya ada di depan lemari yang besar. Dia menghela napas sebal, siapa yang melakukan ini? "Katakan padaku siapa yang membawa barang pribadiku ke dalam kamar?" Darren terlihat acuh dengan membuka kaleng sodanya. Dia kembali dari dapur, mendekati Amera. "Aku menyuruh petugas hotel sebelumnya merapikan barangmu dan menaruhnya di lobi. Orangku membawakannya kemari." "Mereka tidak macam-macam dengan isi tasku, kan?" Darren mengangkat alisnya. Merasa lucu dengan pertanyaan spontan Amera. "Apa mereka berani melakukannya?" Amera memutar matanya. Dia kembali berbaring di atas ranjang dan meringkuk. "Kau kedinginan?" Amera menggeleng pelan. Dia memejamkan matanya saat merasakan sisi ranjangnya bergoyang. Darren duduk di tepi ranjang. Memunggunginya dengan soda di tangannya. "Jelaskan padaku," Darren memegang sodanya dalam diam. Dia menunduk, menatap soda berkaleng berwarna hitam itu datar. "Kau mendengarnya dengan baik. Tidak ada yang perlu kujelaskan." Amera mendesis tidak suka. Dia bangun dari tidurnya dan duduk di tepi ranjang bersama Darren. Menatap pria itu. "Aku serius," Amera tampak lelah. "Kita ini hanya kekasih kontrak. Aku tidak akan menjelaskan semuanya karena kau dan aku sama-sama tahu." Darren memiringkan tubuhnya. Ikut menatap matanya. "Kau menyesal karena terlibat skandal ini bersamaku?" Kening Amera erkerut. Matanya terlihat bingung. "Apa maksudmu? Kau yang memulai dan kau juga yang harus mengakhiri?" Amera menggeleng. "Aku tidak mengerti." "Aku yang memulai," balasnya. Darren terdiam sebentar. "Tetapi aku ragu untuk mengakhiri." Amera tertawa pelan. Dia menepuk pipi pria itu agak keras. Membuat Darren meringis dan Amera merasa bersalah. "Jangan konyol, Darren." "Kau menyukai orang lain?" "Apa?" Amera menatapnya. "Ada pria lain yang kau pikirkan sekarang?" Amera tidak tahu haruskah dia menjawab ya atau tidak. Darren di depannya berwajah muram dan tampak tidak suka. Amera belum menjawabnya, dan ekspresi pria itu membuatnya merinding. "Ada atau tidak, itu sama sekali bukan urusanmu. Selama tidak mengganggu hubungan ini, bukan masalah kurasa." Amera menoleh cepat ke arahnya. "Kau juga diperbolehkan memiliki wanita lain asal wartawan sialan itu tidak mendapatkan gambarmu bersamanya. Aku rasa itu—" Amera menghela napas. Dia melirik Darren sebelum menatap remasan tangannya sendiri di atas seprai. "Kau tahu maksudku." Darren hanya diam. Dan diamnya Darren membuat Amera merasa frustrasi. "Ini hanya berjalan enam bulan, Darren, kau membuatnya semakin rumit," bisik Amera pelan. "Dengan pertunangan ini dan keluargamu, aku rasa ini berjalan akan sulit." Darren tetap diam. Tatapan matanya benar-benar menusuk Amera. Yang ditatap hanya mampu diam, membisu. Tidak berani membuka mulut untuk bersuara. Amera biasanya lantang menyampaikan pendapatnya. Tetapi bersama Darren, dia seperti b***k yang harus patuh. "Apa kau bisa menyeleAskakan ini sebelum kontrak kita berakhir?" Amera sekali lagi bertanya, membuat Darren lagi-lagi membisu. Diamnya Darren membuat Amera putus asa. Darren menaruh kaleng sodanya di atas nakas. Dia sedikit membanting kaleng tak berdosa itu. Membuat Amera menekuk alisnya, terlebih saat Darren mendekatkan dirinya dan Amera tidak bergerak untuk menjauhinya. "Kau sudah tahu apa yang menjadi kegemaranku," Darren berbisik di depan wajahnya. Napasnya membelai Amera. "Dan aku tidak mungkin melepasmu." Amera mengangkat alisnya, bingung dengan ucapan ambigu Darren yang kini mendaratkan ciuman di Bibirnya. Amera mencoba mendorong pria itu menjauh dari wajahnya, tetapi Darren menahan kedua tangannya tetap di tempat. Memojokkan Amera sampai dia terlentang di atas tempat tidur dengan Darren di atasnya. "Apa maksudmu?" Amera berbisik saat Darren mengulurkan tangannya, melepas ikatan rambutnya dan membiarkan rambut panjangnya terurai di atas ranjang. Oniks itu semakin gelap melihat Amera yang terlihat pasrah di bawahnya. "Aku tidak akan melepasmu," Amera memejamkan matanya secara spontan saat Darren kembali menciumnya. Lebih liar dan panas. Pria itu menarik dagu bawahnya agar Bibir Amera mau membuka untuknya. Dengan napas putus-putus, Amera mencoba mengimbangi ciuman Darren di Bibirnya. Lidahnya mendorong lidah pria itu untuk keluar dari dalam mulutnya dan Darren mengartikannya lain. Dia menahan lidah Amera tetap di dalam dan melumat seluruh bagian dalam mulutnya dengan intens. Darren menarik wajahnya. Menatap Amera yang masih memejamkan mata dengan Bibir bawahnya sedikit membengkak. Dia menyeringai, memberikan kecupan sekali lagi di sana dan Amera membuka matanya. Menatapnya dengan wajah merona. "Jangan lakukan ini," bisiknya. Membuat Darren lagi-lagi harus menahan hasratnya pada gadis ini. Darren menggeleng pelan sebagai jawaban. Dia membelai rambut panjang milik kekasihnya dan menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga. Menghadiahkan ciuman di sepanjang rahang sampai belakang telinga. Amera meremas kemeja pria itu erat. Tangannya memerah. Dia gemetar karena sentuhan Darren dan kepalanya terasa pusing. Dia melakukannya dengan sadar. Tanpa pengaruh alkohol dan ini benar-benar panas. Darren melumat Bibirnya sekali lagi. Seolah candu dengan manisnya Bibir Amera untuknya. Dia melakukannya berulang kali, membuat Amera menahan desahannya ketika kedua tangannya naik melingkar di leher kokoh pria itu. Napas Darren semakin berat. Amera membalasnya dengan melumat Bibir atasnya. Saling melumat sampai Amera merasakan napasnya habis sebentar lagi tetapi Darren masih menikmati kegiatannya, memakan Bibirnya. "Paman!" Mata Amera melebar mendengar suara cempreng milik Hani yang menggema di sepanjang kamar. Dia mendorong Darren yang menggeram tidak suka di lehernya. Pria itu belum mau bangun dari atas tubuhnya dan Amera memaksanya untuk bangun dan dia bisa merapikan diri. "Bagaimana bisa kau masuk?" Amera bertanya saat Hani berlari mendekati mereka. "Sialan kau, Darren!" Andari datang di belakang Hani yang naik ke atas ranjang bersama Yuta yang menyeringai. Amera merapikan rambutnya yang berantakan. Menyisirnya dengan tangan saat Hani menatap rambutnya dengan takjub. "Bibi, bolehkah aku memegang rambutmu?" "Tentu." Amera tertawa pelan saat Hani menyentuh rambutnya dan memainkannya. Dia terlihat tenang saat Amera memperbolehkannya mengikat rambutnya asal dan bermain-main di sana. Darren mengacak rambutnya. Mengambil kaleng soda bekas miliknya dan membuangnya ke tempat sampah. Tidak peduli kakak dan kakak iparnya memergokinya hampir b******a dengan Amera. "Bagaimana kalian tahu kode kamar ini?" "Aku tahu apa pun tentang adikku, Amera,” Yuta duduk di sofa dan tertawa. "Darren belum mengganti sandinya terakhir kali dia menyetel ulang sandi kamar ini." "Ah," Amera tidak bisa menjawab. Dia menangkap soda yang Darren lemparkan padanya. Hampir saja mengenai Hani yang duduk sedang menyisir rambutnya. Andari menatap Darren. Dia terlihat kacau. Berbeda dari beberapa menit sebelumnya. Amera pikir ini adalah obrolan keluarga dan dia akan menjauh, tetapi dia tidak tahu kemana dia harus pergi. "Ibu dan ayah kembali malam ini. Ibu punya arisan besok pagi. Dan ayah harus memancing. Dia tidak akan melewati undian yang tidak penting itu," kata Yuta. "Mereka tidak tidur di hotel malam ini?" Yuta menatap Amera dengan gelengan kepala. "Tidak. Mereka langsung kembali setelah acara seleAska. Pesawat sudah menunggu mereka sejak satu jam yang lalu." Keluarga Darren punya pesawat? Wah, ini hebat. "Bibi, kalau rambutmu dikepang, tidak apa?" Amera melirik Hani dengan senyum. "Tidak apa." Hani mengambil puluhan karet rambut di tas mungilnya. Dia menaburkannya di atas seprai dan Darren menatapnya tidak suka. "Jangan kotori ranjangku dengan karet-karetmu, Hani," Darren memperingatinya. "Dia tidak bermain lumpur di sana. Biarkan saja!" Andari tidak terima dengan larangan Darren. Amera melambaikan tangannya. Dia menatap Darren sebentar dan berpaling pada Hani. "Jika seprai ini kotor biar kubereskan." Darren kembali memalingkan wajahnya. Dia duduk berhadapan dengan kakak dan kakak iparnya yang menyebalkan. Darren tahu, kedatangan Andari dan Yuta bukan tanpa maksud. "Arata, aku bertemu dengannya tadi di pestamu." Amera membeku di tempatnya. Darren terdiam, wajahnya berubah dingin dalam seperkian detik. "Arata?" Amera tidak percaya. "Aku tidak melihatnya." Andari menatap Amera dengan alis terangkat. "Kau mengenalnya?" "Lanjutkan," Darren memotong ucapan di antara mereka berdua. Amera terdiam, menunduk. Dan Andari menatap Darren. Dia merasa ada sesuatu di sini tetapi dia tidak memedulikannya. "Masalahku belum seleAska dengan si tua bangka itu. Dia benar-benar menyewa pengacara muda Arata untuk menghadangku di pengadilan nanti," Andari terlihat resah. Yuta hanya diam. "Aku sudah menyuruh beberapa orangku untuk menyelidiki sekaligus mengawasinya," ucap Darren. Kerutan di keningnya terlihat. "Arata pengacara handal. Pengalaman mungkin akan bernilai lebih nanti. Asalkan kalian punya bukti cukup, kurasa dia akan kalah." Amera tidak fokus mendengar ucapan di antara mereka. Terlebih tentang Arata yang disebut-sebut Andari sejak tadi. Hani terus mengajaknya bermain dan Amera tidak tega kalau membiarkan gadis kecil itu bermain sendiri. "Maafkan aku, ini semua salahku," Andari menutup wajahnya. Yuta bergerak untuk mengusap lengan dan bahunya. Menenangkan istrinya. "Semua akan baik-baik saja," kata Yuta. Andari akhirnya mengangguk. "Sebelum aku kembali ke Jepang untuk penerbangan pertama, kuharap kita bisa bertemu Darren. Ada yang ingin kubicarakan," Yuta berdiri. Dia mendekati Hani yang masih sibuk bermain dengan rambut Amera. Saat Yuta menggendongnya, Hani hanya diam. Tidak memberontak. Dia tipikal anak penurut. Andari sudah berdiri. Dia menatap Amera saat gadis itu berdiri. "Selamat malam. Maaf mengganggu kalian," kata Yuta. "Tidak, tidak," Amera menggeleng dengan lambaian tangan. "Aku sangat senang kalian datang." Mengabaikan delikan dari Darren di sampingnya. Pintu tertutup sempurna. Darren memasang kode baru di pintunya agar kakaknya tidak bisa masuk ke dalam tanpa memencet bel atau mengetuk pintu. Amera menghela napasnya, ingin bertanya tentang Arata tapi sepertinya itu buruk. Jadi, dia hanya diam. "Di mana aku tidur?" Amera menatap Darren yang bergerak menuju lemarinya. Darren menunjuk ranjang dengan telunjuknya tanpa menoleh pada Amera. Dia kembali mencari sesuatu dalam lemarinya. "Lalu, di mana kau tidur?" Darren mendapatkan satu kaus dan celana santai. Dia menutup lemarinya dan kembali menunjuk ranjang dengan dagunya. "Gila," Amera menggelengkan kepalanya tidak percaya saat Darren masuk ke dalam kamar mandi tanpa bicara. Meninggalkan Amera yang termenung di tepi ranjang. Sekitar lima belas menit, pintu kamar mandi terbuka. Darren menatap Amera yang tengah melamun. Dia menghela napas saat melemparkan dirinya ke atas ranjang dan memainkan ponselnya. "Kita hanya tidur malam ini," ucapnya. Amera hanya mengangguk dan berjalan menuju kopernya. Mengambil gaun malamnya dan masuk ke dalam kamar mandi. Amera sudah seleAska menyikat gigi, memakai krim malam setelah mencuci muka dan mengganti pakaiannya dengan gaun malamnya. Dia tidak membawa piyama yang banyak selama tur ke Singapura. Saat Amera menyisir rambutnya. Darren sudah berbaring miring dan memejamkan mata. Amera berjalan mendekati sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Dia tampak ragu sebentar. Tidak butuh waktu lama sampai dia membuka selimut dan menyelimuti dirinya sendiri. Ponsel Amera bergetar sesaat setelah dia menyalakannya. Pesan yang berasal dari grup Skyfall dan Yuki yang menerornya. Tara juga bertanya bagaimana harinya dan grup yang meninggalkan pesan belum terbaca sampai delapan ratus pesan. Amera membukanya satu demi satu, menuliskan balasan untuk Yuki dan Tara lalu mematikan kembali ponselnya. Mengganti ke mode hening. Amera menaruh ponsel di atas nakas. Dia mengambil guling dan memeluknya. Belum sempat dia memejamkan mata, ada tangan lain yang melingkar di pinggangnya, membuatnya menegang. "Darren?" "Hm?" "Kenapa tanganmu?" Amera sedikit bingung dengan kalimatnya. "Kau mengambil guling milikku," katanya dengan suara serak karena mengantuk. Amera melempar guling itu kembali ke tengah mereka dan Darren mendengus. Darren mengambil guling itu, dan berbalik memunggungi Amera yang menghela napas. Merasa bingung dengan tingkah Darren terkadang. Lama Amera menatap langit-langit kamar dan menghitung dalam hatinya, dia akhirnya jatuh tertidur. *** Darren terbangun karena mencium aroma kopi yang menusuk hidungnya pagi ini. Dengan malas, dia mengusap matanya, melihat cahaya matahari sudah masuk melalui jendela kamar hotel yang selalu terbuka. Dia bangun dari tidurnya. Melirik sisi ranjangnya yang kosong dan sudah rapi dengan bantal yang tertumpuk. Dia berdiri, berjalan menuju dapur mini dan melihat Amera sibuk mengaduk kopi. "Um," Amera terkejut melihat Darren yang masih mengusap matanya dan duduk di kursi bar. "Selamat pagi," sapanya. Sedikit ragu. Darren tidak menjawabnya. Dia melirik Amera dan memilih untuk menatap cangkir kopi miliknya. "Kau mau?" "Tidak dengan kopi s**u," Darren menatapnya. "Oke," Amera bergerak ke laci penyimpan kopi. Di sana banyak terdapat minuman kemasan yang siap seduh dengan aneka macam rasa. Dia menebak-nebak kalau Darren tidak menyukai kopi s**u, berarti pria itu pecinta kopi hitam. Saat Amera seleAska mengambil sebungkus kopi hitam, Darren tidak ada di depannya. Pria itu pergi. Amera pergi dari dapur. Melihat jam di atas televisi yang berputar. Jam setengah tujuh. Amera pergi ke kamar, mencari pakaian ganti. Dia mengerutkan keningnya, Darren hilang begitu saja. Dia berjalan menuju pintu, terkejut saat mendengar seseorang menekan kode sandi dan Darren pelakunya. Saat Darren menutup pintu, dia melihat Amera berdiri tidak jauh darinya, menatapnya seolah dia baru saja mencuri sesuatu. "Kau darimana?" Amera mengikuti Darren yang masuk ke dalam dan berbelok ke dapur. Mencari kopinya. "Di mana kopiku?" "Kubuang," Amera berjalan kembali menuju kopernya. Mengambil pakaian gantinya dan masuk ke dalam kamar mandi. Darren menatapnya dengan alis terangkat, dia keluar untuk bertemu Yuta sebentar setelah itu kembali. Apa ada yang salah? Amera keramas pagi ini. Dia mengeringkan rambutnya dengan handuk saat melihat Darren duduk di tepi jendela dengan kopi baru dan koran di tangannya. Pria itu tampak santai menikmati hari yang cukup berawan. Amera mendekat, melongok ke atas di mana langit-langit menutupi matahari dan tampak titik-titik gelap terlihat. Sepertinya Singapura benar-benar dilanda hujan beberapa hari ini. Darren meliriknya. Menyesap kopinya dan kembali ke korannya. "Aku rasa aku harus kembali ke Jepang," Amera berbalik. Menuju meja rias untuk menyisir rambutnya sebelum mengeringkannya. "Apa?" "Kau dengar," balas Amera sinis ketika dia kembali menyisir rambutnya. Darren melipat korannya. Menatapnya dari kursi tempatnya duduk. Rintik-rintik gerimis mulai turun. Membasahi kaca kamar hotel. "Kurasa keputusanku jelas," Darren tidak mau kalah dengan argumennya. Dia sudah bilang akan membawa Amera pulang bersamanya besok. Dan dia akan menepati janjinya. "Besok kita kembali." Amera berdecak. Menghentakkan kakinya di atas karpet. "Kau bukan ibuku yang harus memaksaku melakukan ini itu sesuai keinginannya, sialan," dia mulai mengumpat. Amera menutup mulutnya. Memasang tampang tak berdosa dan kembali menyisir rambut panjangnya.  "Oh, ya, tapi aku pria-mu," Amera mengernyit. "Aku kekasihmu." Amera menyeringai. "Hanya kekasih, bukan suami." Darren memasang wajah datarnya. Dia tetap duduk. Melihat Amera mencolok alat pengering rambut dan menyisir rambutnya secara perlahan. "Apa kakakmu sudah pergi?" "Ya," Darren menatap ke luar jendela. "Penerbangan pertama kelas satu." "Wah," Amera meliriknya. "Kupikir mereka pulang dengan pesawat pribadi." "Mereka tidak, tapi kita akan terbang dengan itu besok," Darren berdiri, berjalan menuju kamar mandi dan berdiri di sana selama beberapa saat. Menatap Amera dengan tangan terlipat dan mata gelapnya yang tak terbaca. Amera mengernyit. Dia menekuk alisnya dan menggeleng tak peduli. "Sebelum kita kembali, aku ingin mengajakmu berkeliling sebentar," Darren menunjuk hujan dengan dagunya. "Cuaca tidak terlalu baik. Mungkin nanti malam akan datang badai." "Bukan masalah," Amera menaruh alat pengering rambutnya. "Aku bisa pergi sendiri. Aku akan bertanya pada satpam dimana aku bisa menemukan rental mobil terdekat." "Benar-benar," Darren memaki pelan. Amera mendengarnya, walau samar di telinganya. Dia berbalik, hendak memarahi pria itu tetapi Darren lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi. Menutup pintu dengan membantingnya, hampir mengenai ujung hidung Amera. "Sialan! Pria bodoh!" *** Darren benar-benar mengajaknya pergi. Berjalan-jalan menikmati Singapura di pagi hari. Amera melihat jam di ponselnya. Pukul sembilan. Mereka berjalan membelah koridor yang sepi. Amera menoleh ke kanan, mendapati restauran yang cukup ramai. "Kita tidak sarapan?" Amera bertanya saat Darren terus berjalan dan tidak ada tanda-tanda pria itu akan mengajaknya makan lebih dulu. "Kau lapar?” Darren bertanya balik. "Tidak terlalu," jawabnya pelan. Kepala pria itu mengangguk dan Amera kembali mengikuti langkahnya. Turun dari tangga kecil menuju parkiran. Dia menebak-nebak mobil yang akan Darren pakai di antara puluhan mobil lainnya. Dan ternyata pilihan Darren ada di mobil Mercedes hitam metalik yang mencolok di ujung parkiran. Amera mengejar langkah pria itu yang cepat dan hampir saja tersandung kakinya. "Bisa tidak kau pelan-pelan?" Mata Darren menyipit saat dia membuka pintu mobilnya. "Kau hampir tersandung karena kesalahanmu sendiri dan kau menyalahkanku?" "Aku tidak—" Darren menutup pintu mobilnya, membiarkan Amera mengumpat pelan dan ikut masuk ke kursi penumpang. Kerutan jelas tergambar di kening Darren saat dia melihat Amera cemberut di kursi penumpang belakang. Matanya terlihat tidak suka saat mereka bertapapan pada kaca spion dalam mobil. "Aku bukan supirmu, duduk di depan." Perintah Darren mutlak. "Tidak mau." Darren menghela napasnya. Dia tidak jadi menyalakan mesin mobilnya dan beralih ikut duduk di samping Amera saat dia melompat melepas sabuk pengamannya ke kursi belakang. Amera menjerit pelan dengan tawa. Dia kembali membuka pintu mobilnya dan duduk di samping kursi pengemudi. Darren menatapnya dengan wajah bosan dan teramat datar. Amera terkekeh pelan melalui kaca spionnya saat Darren menatapnya tajam. Darren kembali ke kursi kemudi setelah beberapa waktu menunggu. "Kalau kau benar-benar duduk di belakang, aku bisa saja yang mengambil alih kemudi ini," kata Amera saat Darren menyalakan mobil. Darren hanya diam. Sepertinya pria itu dalam suasana hati yang buruk karena Amera bermain-main dengannya. Amera menahan senyum gelinya dan memasang sabuk pengaman ketika mobil berjalan ke luar parkiran hotel. *** Mereka sampai di restauran daging yang terletak di dekat air mancur bergambar singa di pusat kota. Amera menatap kagum Singapura di pagi hari walau basah karena rintik hujan. Hujan sudah sepenuhnya berhenti, tetapi jejak basahnya tertinggal. Aroma yang tercium menenangkannya. Amera melihat Darren masuk ke dalam restauran dan meninggalkannya yang menikmati pemandangan di depan. Dengan langkah pelan, dia ikut masuk dan mencari di mana Darren duduk. Pria itu duduk di dekat jendela. Restauran ini mengambil tema duduk santai tanpa kursi dan hanya ada bantalan yang empuk dan nyaman. Amera melepas sepatunya saat dia menaiki dua anak tangga kecil dan duduk di hadapan Darren yang memangku dagunya dan bermain ponsel. "Aku belum pernah ke sini," bisik Amera. Darren meliriknya. Lalu, kembali pada ponselnya. Amera melihat-lihat isi restauran yang sepi karena biasanya restauran dengan tema makanan berat ini ramai di siang atau malam hari. "Tempat ini lumayan," Amera menatap lukisan ikan koi yang cantik. "Lain kali aku bisa mengajak anggotaku kemari." Amera berbicara sendiri. Darren sepenuhnya mengabaikannya. Alisnya tertekuk sebal. "Kau marah padaku?" Tanyanya dengan nada jengkel. "Tidak," Darren mengangkat kepalanya saat pelayan mulai menyalakan api dan memasang alat penghisap asap di atasnya. Amera menatap Darren tak suka dan memilih untuk membantu pelayan wanita itu memasang panggangan dan mangkuk sup. "Daging domba, ayam, dan sapi," pelayan wanita itu menjelaskan tiga nampan yang dibawa oleh pelayan laki-laki di sampingnya. "Sesuai pesanan paket nomor tiga yang paling terbaik." Semua sudah tersaji di depannya. Amera harus membakar daging ini secara manual dan memasak sup. Darren menatap kumpulan daging itu tanpa minat. "Kalau kau tidak suka, kenapa mengajakku kemari?" Darren meliriknya. "Kupikir kau suka daging," dia berpikir sebentar. "Kau banyak makan daging saat kita di hotel bersama anggotamu." "Ya, tapi ini terlalu banyak," Amera menatap daging-daging yang sudah dibumbui itu dengan gelengan kepala. "Aku tidak bisa menghabiskannya sendiri." "Kubantu menghabiskan makanannya." Amera menatapnya dalam diam. Saat Darren yang mengambil alih jepitan untuk membalik daging dari tangannya, Amera membiarkannya. Dia terdiam sebentar, menatap pria itu dan menunduk. Ada sesuatu yang salah darinya dan dia tidak tahu apa. *** Amera melihat jam di ponselnya. Pukul sebelas. Kepalanya terdongak ke atas ketika melihat titik-titik gelap dari awan mendung mulai berkumpul. Hujan mungkin akan turun satu jam dari sekarang atau lebih cepat dari dugaan. Darren berjalan di depannya. Dengan tangan dimasukkan ke dalam saku, pria itu berjalan santai menyusuri trotoar yang dipenuhi aneka toko oleh-oleh dan macam-macam barang untuk mereka beli. Amera menghentikan langkahnya, menatap punggung itu dengan tatapan bingungnya. Tangannya tiba-tiba terkepal tanpa dia sadari. Amera terkejut saat Darren melihat ke arahnya. Pria itu berhenti karena Amera tidak kunjung berjalan di sisinya. Amera kembali tersadar dan melangkah di samping pria itu. "Apa ini kencan?" Darren diam. Jeda selama beberapa detik. "Menurutmu?" Amera memalingkan wajahnya. "Aku tidak tahu." Langkah Darren terhenti saat dia melihat sosok Arata sedang ada di toko oleh-oleh kerajinan tangan. Pria itu sibuk memilih sesuatu. Amera menatapnya dalam diam, tidak bicara. "Ada sesuatu yang ingin kau beli?" Amera menoleh. "Menurutmu apa yang bagus? Untuk anggota?" "Terserah," Darren berbelok, menarik tangannya menjauh dari sana sebelum pria berambut merah itu melihat mereka. Sayangnya, Arata sudah melihat Amera dari pantulan cermin yang ada di depannya. Amera bersama Darren, jelas sekali. Ada senyum di wajahnya yang tampan. Arata kembali sibuk memilih aneka barang sebelum dia membayarnya dan pergi ke luar toko. *** Hujan semakin deras. Amera melirik dari kaca jendela mobil yang gelap. Langit sangat gelap. Seperti malam hari. Sangat berbahaya jika mereka tetap di luar saat badai akan datang. Darren meliriknya. Dia menekan tombol radio dan memutar lagu klasik yang menenangkan. Sedikitnya. Amera tidak banyak bicara saat dia melihat Arata tadi siang. Kehadiran pria itu benar-benar merusak suasana. Darren tahu Amera menaruh hati pada pria itu dan bukan pada dirinya. Darren tidak yakin kali ini, tetapi Amera sama sekali tidak melihatnya sama seperti gadis itu melihat Arata. Darren merasa dia seperti pria i***t karena Amera. Gadis itu memutar dunianya. Karena ketidakpeduliannya, karena sikapnya yang hangat terkadang dingin. Amera berani membantahnya. Beradu argumen dengannya. Bahkan jika dia bisa, Amera mungkin akan berkelahi dengannya karena Darren yang keras kepala. "Ada sesuatu di belakang kita," Amera berbisik gelisah saat dia melihat dua mobil hitam mengikuti mobilnya. Darren melirik dari spionnya dan terkejut kalau itu adalah wartawan lokal. "Sialan," Darren mengumpat saat dia menekan pedal gasnya semakin cepat. Amera menekan dirinya ke kursi penumpang dan berpegangan pada sabuk pengaman ketika Darren menyalip truk gandeng besar di jalan bebas hambatan. "Astaga, ini membuatku gila," Amera bergumam ketika mobil hitam itu semakin gila mengejar mereka. Amera meremas rambutnya karena dia tidak tenang. Mungkin berita tentang dirinya kencan di Singapura akan menjadi topik pemberitaan besok pagi. Darren melewati perumahan yang sepi ketika dua mobil itu masih saja melewatinya. Hujan sangat deras dan jarak pandang mereka terhalang. Amera sedikit takut dengan petir yang menyala dan menyambar ke tanah. Matanya melebar saat Darren menghentikan mobilnya di tikungan masuk sebuah perumahan besar. “Amera, dengar aku," Darren memegang wajahnya. "Bawa mobil ini pulang ke hotel. Aku akan menemuimu di sana." "Kau gila?" Amera terkejut dengan ucapan Darren. "Bagaimana dengan dirimu?" "Aku tidak mungkin membiarkan mereka masuk ke hotel dan bertanya di mana kau tidur, atau wartawan gila itu bisa mencelakakan kita berdua," Darren melepas sabuk pengamannya. Dia bergegas turun dan menyuruh Amera untuk pindah ke kursi kemudi. Amera menggedor jendela mobil saat Darren berlari menembus hujan yang deras. Darren tidak akan mendengar jeritannya. "Ya Tuhan," Amera menekan pedal gas dengan kecepatan sedang saat dia meninggalkan Darren seorang diri. Matanya tiba-tiba basah karena rasa takutnya. Dia pernah mengalami ini. Mobilnya dikejar oleh wartawan tidak tahu malu dengan penggemar fanatik mereka. Membuat mobil mereka oleng dan hampir saja menabrak tiang pembatas jalan atau mereka semua akan mati masuk ke dalam jurang. Beruntung, Tara pengemudi yang handal. Semua selamat. Hanya saja ketakutan itu masih tertinggal walau sudah lima tahun lamanya berlalu. Amera mencoba mengemudi dengan hati-hati karena kilat yang menyambar jalan dan hujan yang menutupi arah pandangnya. Saat dia melihat papan hotel yang besar, Amera berbelok ke arah pintu masuk dan menurunkan dirinya, tidak sanggup menyetir lagi. "Nona, Anda baik-baik saja?" Petugas keamanan itu berlari menghampiri Amera yang terduduk di tangga teras. Amera mengusap wajahnya yang basah dan mengangguk. Salah satu petugas lainnya mengambil kunci dan mobil lalu memarkirkan mobil itu ke dalam parkiran mobil. Amera bangun dari tangga, dibantu petugas yang berjaga. Setelah berhasil berdiri dengan kedua kakinya, Amera mengucapkan terima kasih lalu pergi menuju lift. Dia butuh menenangkan diri dan Darren, bagaimana pria itu? *** Satu jam Amera menunggu dan Darren tidak kunjung kembali. Ponselnya tidak aktif dan Amera harus duduk menunggu dengan sabar di sofa nyamannya, berharap pria itu baik-baik saja. Segelas s**u cokelat nyatanya tidak mampu membuatnya tenang. Amera berdiri gelisah, tidak bisa tetap santai karena Darren tidak kunjung kembali. Amera terkejut ketika dia mendengar kode sandi ditekan dari luar. Matanya menyipit melihat pintu kamar terbuka dan Darren masuk ke dalam, rambut dan pakaiannya basah. Ada tetes-tetes air hujan di rambut dan seluruh pakaian yang ia kenakan. "Mandi air hangat, oke?" Amera menyambutnya dengan wajah cemas bercampur kelegaan. Darren menatapnya dengan alis terangkat, Amera terlihat kacau tetapi dia baik-baik saja. Jadi, ketika Amera membawanya ke kamar mandi dan menutup pintunya, Darren menurutinya dalam diam. Darren membuka pakaiannya yang basah dan menaruhnya di keranjang. Keningnya berkerut melihat kepulan asap di dalam bak mandi besarnya. Sedangkan Amera menunggu di depan pintu dengan d**a yang berdebar hebat. "Dia baik-baik saja, oke, Amera tenang," Amera berjalan ke sofanya. Meminum cokelatnya dan pergi ke wastafel untuk mencuci gelasnya. Dia duduk di tepi ranjang, menatap pintu kamar mandi saat Darren sedang membasuh dirinya di dalam. Amera pergi ke dapur untuk makan sesuatu. Darren menghabiskan waktu sekitar dua puluh menit untuk membersihkan diri dan kembali ke kamar. Dia melihat Amera menatapnya lalu menaruh camilannya, berjalan ke arahnya ketika Darren duduk di tepi ranjang. Mengusap rambutnya dengan handuk bersih. "Apa kau terluka?" Darren menggeleng sembari menggerakkan tangannya mengusap rambutnya. "Kau tidak bohong, kan?" Gerakan tangan Darren terhenti. Dia menarik jauh handuk dari rambut dan wajahnya. Menatap Amera yang berdiri menjulang di depannya. Wajahnya cemas. Darren melihat itu. "Ya Tuhan, aku takut, syukurlah," Amera terduduk di depannya dengan tangan menutupi wajahnya. Tingkahnya semakin membuat Darren tidak mengerti. Dia membereskan wartawan itu dengan bentakan dan sedikit pukulan lalu kembali dengan taksi menuju hotel. "Apa yang terjadi?" Darren bertanya dan Amera menggeleng. Masih menutupi wajahnya. "Kau takut ..." Darren sedikit ragu dengan kalimat yang akan dia lanjutkan. "Kalau aku terluka?" Amera menurunkan tangannya, menatap Darren sebal. "Bagaimana kalau itu terjadi? Kau berusaha melindungiku tanpa memikirkan dirimu sendiri? Bodoh sekali dirimu!" Ada senyum samar yang timbul di Bibir Darren saat mendengar bentakan jengkel Amera. Gadis itu marah padanya. Darren menarik tangan Amera dan gadis itu jatuh ke atas tempat tidur. Melempar handuknya dan dia bergerak ke atas tubuhnya. "Dengarkan aku," Darren terlihat serius saat mereka bertatapan. "Jika dalam waktu enam bulan kau tidak bisa menyukaiku, aku bisa membatalkan segalanya. Termasuk menanggung malu di depan keluargaku." Amera mengerutkan keningnya. "Selama jangka waktu itu belum habis,” Darren mendekat, mencium aroma rambut Amera di hidungnya saat dia mengendus leher gadis itu. "Jatuh cintalah padaku." Mata Amera melebar mendengarnya. Tubuhnya menegang saat Darren menurunkan ciumannya ke bahunya dan menarik tali gaun malamnya turun dari pundaknya. "Bagaimana denganmu?" Amera bertanya saat Darren kembali mengangkat wajahnya hingga mereka bertatapan. "Aku akan memberitahumu nanti," dia terlihat misterius saat mendaratkan satu ciuman di Bibir Amera yang manis. "Lihatlah aku, hanya aku," ujarnya posesif. Dia membawa Amera duduk di hadapannya, melihat pemandangan Amera yang berantakan dengan tali bahu kanannya turun, membuatnya menggeram menahan hasrat. "Aku bisa melakukan segalanya untukmu,” Darren memberikannya senyum miring dan Amera tidak memasang wajah apa pun selain datar. "Hanya untukmu." "Dan jika itu tidak berhasil?" Darren menatapnya dalam. "Aku akan melepasmu." Amera terdiam sebentar. Kemudian dia memberikan Darren sebuah senyum misterius. Tangan Amera terulur menyentuh pipi pria itu lalu bergerak melingkar ke lehernya, tertawa pelan. "Ah, aku mengerti." Darren hanya diam saat Amera mendekatkan wajahnya dengan berani dan mencium Bibirnya, melumat Bibir bawahnya seolah tak sabar dan gadis itu juga menahan gejolak yang sama dengannya. Dengan seringai penuh kemenangan, Darren membalas lumatan panas di Bibirnya. Mendorong Amera pelan untuk terlentang di tengah ranjang tanpa melepaskan ciuman mereka.  "Apa yang kau inginkan?" Darren berbisik saat dia mencium telinga belakang Amera yang menahan erangannya di lehernya. Menyembunyikan wajahnya yang merona. "Kamu," Amera membuka matanya saat Darren menjauhkan wajahnya dari lehernya. Menatapnya sungguh-sungguh sebelum memberikan ciuman kilat di Bibirnya. Darren bergerak melepas kausnya. Melempar kaus itu melewati bahunya dan kembali menindih Amera yang memerah. "Sayang." Itu adalah kata terakhir yang bisa Darren dengar dengan baik dari Bibir Amera sebelum dia benar-benar kehilangan akal untuk b******a habis-habisan dengan gadis itu malam ini. Menggantikan momen kencan mereka dengan malam yang jauh lebih panas. Darren bersumpah, dia akan membuat Amera mengingat segalanya. Segalanya tentang dirinya dan surga yang ia berikan untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN