Chapter 7

3545 Kata
  Amera melempar kepalanya di atas ranjang yang besar dan nyaman. Berulang kali dia meremas seprai berwarna cokelat muda ini sampai kusut dan menahan erangannya ketika ciuman Darren turun dari Bibirnya, perlahan menuju ke bawah perutnya. Sensasi menggelitik ini tentu saja membuat Amera melayang-layang. Dia tidak pernah lakukan ini, tidak. Amera tidak pernah bermain film semi dewasa atau bergenre dewasa sekali pun dengan menambahkan adegan b******a di dalamnya. Dia tidak bisa melakukannya. Hanya sekedar ciuman, bukan masalah. Amera membuka matanya, mengulurkan tangannya saat Darren kembali ke wajahnya. Menatapnya. Dia tahu, pria itu menginginkannya. Sekarang juga. Dan Amera tahu dia tidak bisa menahannya lebih lama lagi. "Gaun sialan ini," Darren menggeram saat dia memeluknya. "Ingin aku atau kau yang melepasnya?" Amera menggeram dengan pipi memerah. Dia tahu Darren sedang menggodanya nakal. "Kau," Amera berbisik. Tidak sanggup lagi mengangkat tubuhnya sekedar membuka gaun malamnya. Darren menyeringai puas. Dia mendaratkan satu ciuman cepat di bahu Amera dan menarik tangan Amera untuk duduk di depannya. Dia terburu-buru membuka gaun malam itu, membuat resleting di belakang punggungnya terlepas dan Amera terkekeh pelan, merona. Gaun malam itu terlepas dan Amera kembali melempar tubuhnya ke atas ranjang. Tidak sanggup menatap wajah Darren yang bagai singa kelaparan di siang hari. Amera adalah domba kecil yang terjebak di wilayah kekuasaan singa itu, tidak ada jalan keluar lagi selain dijadikan santapan untuk sang raja hutan. "Ini," Darren tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Kau bisa saja menjadi alasan kematianku." Amera membuka matanya saat Bibir Darren mengecup Bibirnya. Melumatnya kasar dan tangan-tangan nakalnya bergerak membuka seluruh pakaian yang tersisa di tubuh Amera. Udara dingin dari pendingin ruangan menusuk kulit pucatnya. Amera merasakan kulitnya meremang di bawah sentuhan Darren. "Aku gugup," bisik Amera saat Darren menurunkan jajahan Bibirnya menyesap rasa manis kulitnya dari d**a sampai turun ke perutnya. Amera meremas seprai, membuat seprai tak berdosa itu kembali kusut karena remasannya. "Tetap tenang," Darren menggenggam tangannya. Membuat Amera tidak bisa lakukan apa pun selain meremas telapak tangan Darren yang jauh lebih besar dan hangat. Matanya terpejam, menikmati siksaan berbalut surga yang Darren ulurkan padanya. Ketika Bibirnya yang panas menyentuh bagian tubuh paling sensitifnya, Amera menjerit pelan. Dia tahu bagaimana panasnya seks yang Andara alami. Juga bagaimana Tara yang sering terlibat dengan cinta satu malam bersama para berondongnya. Amera merasakannya. Dia merasakan sensasi menggelitik geli bagaikan kupu-kupu terbang di dalam perutnya. Napasnya memberat. Begitu juga dengan terpaan napas Darren di pangkal pahanya. Amera tahu dia sudah basah. Amera membuka sebelah matanya, melihat Darren yang terburu-buru melepas celana tidurnya dan segera memeluknya saat betis mereka bersentuhan. Amera seperti tersengat listrik yang tak kasat mata, tubuhnya kembali meremang dan merona. "Ini yang pertama untukmu?" Amera mengangguk tanpa membuka matanya. Dia takut kalau dia sudah melangkah sejauh ini dan semua hanya mimpi erotisnya. Amera pernah bermimpi e****s tanpa tahu siapa pria yang b******a dengannya. Ya Tuhan, apa ini jawaban dari mimpi panasnya? Darren menatapnya panas. Penuh gairah yang tidak lagi bisa ditahannya. Wajah Amera yang merona dan peluh yang membasahi tubuh juga dahinya menambah nilai lebih untuk kecantikannya. Rambutnya yang tergerai di atas ranjang, sialan, bagaimana bisa dia tercipta seperti dewi seks seperti ini? "Lakukan apa pun padaku untuk meredakan rasa sakitnya," bisik Darren saat dia mendorong keras miliknya masuk dan Amera menjerit. "Sakit?" "Umm," Amera bergumam tidak jelas. Pipinya semakin merona. Sakitnya masih jelas terasa karena tubuh Amera bergetar di bawah tubuhnya. Darren menurunkan tangannya, menyelipkan ke belakang pinggang Amera lalu mengangkatnya. "Ini benar-benar di luar fantasi liarku," Darren melumat Bibirnya saat dia mulai bergerak untuk mencari kenikmatan di dalam milik Amera. Amera membalas ciumannya. Dia bahkan menawan Bibir panasnya dan tidak mau melepasnya ketika Darren hendak menurunkan ciuman miliknya ke dadanya. Ranjang berderit keras. Amera benar-benar terkulai pasrah saat dia sudah mendapatkan k*****s kedua dan Darren sedang berusaha mengejar klimaksnya sendiri. Dia tidak sanggup lagi untuk sekedar membuka matanya, tubuhnya bermandikan peluh dan dia merasa lengket dimana-mana. Amera membuka matanya saat dia mendengar erangan panjang Darren yang mencapai batasnya. Dia melihat pria itu berkeringat, di seluruh tubuhnya dan semakin panas ketika tatapan matanya jatuh ke matanya. Memberikan seringai miring penuh kepuasan saat Bibirnya mencium Bibirnya. "Aku tidak mungkin memaksamu untuk melayaniku lagi setelah melihatmu begini," Darren terkekeh di telinganya. Membuat Amera merona. Pria itu menarik selimut untuk mereka dan melepas miliknya, meninggalkan rintihan kecil dari Amera. "Ini bukan masa suburmu, kan?" Amera mengangguk pelan. "Kurasa," jawabnya. Dia berbalik, menatap Darren yang berbaring. "Kau mengeluarkannya di dalam?" Tangan Darren terulur untuk memeluk pinggangnya. Menyatukan kening mereka dan tersenyum. "Aku selalu mengeluarkannya di luar jika aku b******a dengan orang lain, tetapi denganmu adalah pengecualian." "Bagaimana jika aku hamil?" Amera mendorong d**a Darren, melotot padanya. "Kenapa memangnya? Anak itu punya ayah, apa yang kau takutkan?" Amera cemberut. "Tidak, hanya saja ..." Amera berbaring terlentang. Menatap langit-langit kamar dan menghela napas. "Karirku, karir yang sudah kubangun sejauh ini, apakah kehadiran anak akan menghancurkannya, atau tidak, aku tidak tahu," Amera ragu. Dia hanya belum siap dan ketakutan. "Selama kau belum hamil, kau tidak perlu memikirkannya sempai sejauh itu." Amera melirik Darren yang tetap tenang. Pria itu benar. Dia belum hamil dan mengapa repot memikirkan hal yang belum ada? Amera menarik napas panjang. Membuangnya secara perlahan. Dia menoleh pada Darren yang memejamkan matanya. Amera menatapnya, lama dan dalam sampai kantuk mengantarnya pergi ke alam mimpi. *** Darren bangun keesokan paginya. Dia sedikit terlambat dari bangun biasanya. Dia melirik jam di nakas. Pukul delapan. Tangannya terulur menyentuh sisi ranjangnya dan lagi-lagi mendapatinya kosong. Amera keluar dari kamar mandi. Menggunakan jubah mandinya dan dia terkejut melihat Darren duduk di tepi ranjang. "Aku juga bangun kesiangan," Amera pergi menuju kopernya dan dia terdiam. Darren melihat wanita itu duduk menegang di depan koper miliknya. "Kau kenapa?" Amera berdiri. Dia berjalan ke sisi sebelah ranjang dan menunjuk bercak darah di sana. "Bagaimana dengan ini?" Wajahnya gelisah. "Apa tidak akan jadi bahan omongan para pegawaimu?" Darren melihatnya. Melihat kegelisahan Amera. Dia berdiri, mengambil seprai itu dengan gerakan cukup kasar. Membuat Amera tersentak ketika Darren membawanya ke dalam bak mandi besar, mengambil korek api dari dapur dan membakar seprai itu di sana. "Apa yang kaulakukan?" Amera menjerit. Takut kalau api membesar. "Bagaimana jika hotelmu kebakaran?" Darren meliriknya sekilas. Pria itu keluar dari kamar mandi dan pergi ke dapur. Seolah tidak terjadi apa-apa. Atau dia bisa saja berpikir buruk tentang kamar mandinya yang terbakar. Sialan, Darren. Amera mengumpat dalam hatinya. Mengabaikan rasa ngilu di pangkal pahanya, dia mencoba memadamkan api itu dengan air di kran. Sayangnya, usahanya gagal. Api cepat membesar karena bahan yang mudah terbakar menjadi bahan utama seprai itu. "Biarkan saja," Darren mengintip dari pintu kamar mandi. Melihat asap dari balik pintu dan dia menarik tangan Amera keluar. Wanita itu terbatuk-batuk. "Gila. Kau tidak punya ide lain?" "Mereka akan membersihkannya," Darren duduk di sofa, menonton televisi. "Pesawat sudah tiba. Kita berangkat dua jam dari sekarang." Amera mendesah panjang. Tidak ada gunanya mendebat Darren yang menjengkelkan di pagi hari. Dia ingin sekali menjambak rambut ayam  pria itu tetapi ditahannya. Saat Amera menyisir rambutnya, dia melihat tiga pegawai laki-laki masuk ke dalam kamar. Terkejut salah satunya mendorong nampan di atas troli membawakan sarapan untuk mereka dan dua lagi bergegas pergi ke kamar mandi, membawa sisa seprai tak bersalah itu. Salah satu dari mereka terlihat bingung. Darren menatapnya tajam. "Bereskan sampah itu," bentaknya. "Kekasihku baru saja mengamuk dan dia hampir membakar hotel ini." Mata Amera melotot mendengar kalimat Darren yang jelas sekali menyudutkannya. Dia cemberut, terlebih ketika pria yang menata sarapan mereka pamit untuk undur diri lebih dulu karena mendengar bentakan Darren dari dalam. Dua pria lain menggotong plastik hitam berisikan seprai yang separuh terbakar dengan hati-hati. Ketika mata mereka bertemu Amera, ada wajah bingung bercampur tanya. Mungkin mereka berpikir kalau Amera adalah tipe kekasih menyeramkan. Oh, ya, jangan sampai berita bohong ini menyebar ke publik. Amera pergi ke dapur. Duduk di kursi saat dia mengambil pangsit rebus dan mencelupkannya ke dalam saus pedas. Dia tidak peduli dengan Darren yang berjalan mendekat dan duduk di sampingnya. "Aku menyukai pangsit udang itu, jangan dimakan," kata Darren saat melihat sisa dua potong pangsit rebus di atas piring. "Terserah aku," Amera menjawab galak saat dia memakan pangsit udang itu. Mencelupkannya ke dalam saus dan memakannya santai. Darren melihatnya dengan alis terangkat, lalu mengangkat bahu tidak peduli. "Kalau kau menyukainya, aku akan meminta koki memasaknya lagi untukmu," Darren mengusap wajahnya dan menyalakan ponselnya. "Koreksi, untuk kita berdua." Amera menahan kunyahan pangsit di mulutnya dan terdiam. Matanya melirik Darren yang masih memainkan jemarinya di atas ponsel. Mengetikkan sesuatu di sana. "Kuberikan atas belas kasihku," Amera mendorong piring yang menyisakan satu pangsit udang. Dia merasa jengkel karena Darren menggunakan dirinya sebagai alasan dia membakar seprai itu. Darren kembali mendorong piring pangsit itu, membuat Amera mengernyit. "Makan saja. Aku lebih tertarik melihatmu makan," katanya dengan seringai miring. Menggoda. Amera menggeram. Perlahan kedua pipinya merona dan dia memukul bahu telanjang pria itu agak keras. Darren sedikit mengaduh dengan nada bercanda. Darren masih belum memakai bajunya. Pria itu bahkan belum mandi dan Amera sudah bersiap untuk berangkat ke Jepang. *** Alunan musik dalam mobil yang dikendarai supir pribadi membuat Amera larut dalam tidurnya. Sepanjang perjalanan, dia habiskan untuk tidur. Dia merasa lelah. Darren memang melakukannya hanya satu kali, tetapi tenaga pria itu cukup membuatnya kelelahan dan Amera berpikir mungkin Darren bisa lebih gila lagi setelah ini ketika mereka b******a.  Darren diam di sampingnya. Saat Amera tertidur, pria itu memilih untuk menatap jauh ke luar jendela. Memandang jendela mobil yang berbintik karena air hujan. Jalan sekitar bandara cukup licin. Pesawat mereka mungkin mengalami keterlambatan. Supir menghentikan laju mobilnya ketika mereka sampai di landasan. Darren menggangguk saat supir turun dan membawa barang-barang mereka menuju bagasi pesawat. Matanya melirik Amera yang masih pulas tertidur. "Kita sudah sampai," Darren berbisik di telinganya. Meniupnya pelan bermaksud menggoda dan Amera sama sekali tidak terbangun. " Amera," panggilnya. Darren menepuk pipi wanita itu pelan. Amera merespon dengan erangan kecil, lalu kembali tertidur. Darren punya ide lain untuk membangunkan kekasih pemalasnya. Dia mendekatkan wajahnya, menatap Bibir ranum yang membuatnya candu akan ciumannya. Bermaksud menggoda Amera dengan ciuman di Bibirnya. Amera tiba-tiba membuka matanya, wanita itu tertawa pelan dengan mencubit hidung Darren, membuat pria itu menggeram pelan ketika Amera berdiri, merapikan pakaiannya dan keluar dari mobil. Meninggalkan Darren sendirian. Amera berjalan pelan karena jalanan yang licin. Dia berhati-hati ketika Darren berjalan di sampingnya, menarik tangannya untuk memegangnya dan melangkah mengarah ke anak tangga pesawat mereka. Saat supir itu mengangguk pada Darren, tangga itu sudah tertutup sempurna. Amera menatap takjub pada isi dalam pesawat yang mewah. Dia melihat Darren duduk di sebuah sofa panjang dan dia ikut duduk di sana. Ada sabuk pengaman di sofa itu, Amera memasangnya. "Ada anggur dan jus di sini, pesanlah sesuatu kalau kau mau," kata Darren saat pesawat berputar arah bersiap pergi. Amera hanya mengangguk. Dia menatap ke luar jendela di mana pesawat mulai berjalan pelan membelah landasan yang basah. Dia sedikit takut karena cuaca yang sedang tidak bersahabat itu sedikit menyulitkan sang pilot di depan sana. "Jepang memiliki cuaca yang bagus hari ini. Aku ragu jika kita bisa kembali tepat waktu kalau menunggu cuaca di sini membaik," Darren berbicara, berusaha meredam ketakutan Amera yang amat kentara. Matanya tidak bisa berbohong. Amera meliriknya, menghela napas panjang dengan lirihan kecil. "Aku hargai niat baikmu untuk tidak membuatku takut," dia tersenyum. Memakan apel di keranjang buah untuk memecah fokusnya. Pesawat memiliki sedikit goncangan karena turbulensi dan Amera mulai panik. Tetapi dia bisa bertahan. "Kalau kau ingin tidur, di sana ada kamar," Darren menunjuk pintu berwarna abu-abu di dekat dapur. "Itu kamar pribadi. Hanya satu memang, tapi cukup besar." Amera menatap pintu itu, lalu kembali pada Darren. "Apa maksudmu menyuruhku tidur?" Pria itu menyeringai. "Aku benar-benar bermaksud baik menyuruhmu tidur, tapi sebenarnya kau punya pikiran lain di kepalamu tentang kita, bukan?" Mata Amera melebar. "Tidak," dia hampir menjerit. "Pria sialan." Darren terkekeh pelan. Dia meminum anggurnya dalam sekali tegukan. "Percayalah, Amera, aku lebih senang menahanmu di sini bersamaku lebih lama. Sayangnya, aku berjanji pada manajermu untuk mengembalikanmu tepat waktu." Amera menyeringai. Merasa puas. "Tara yang terbaik," dia mengedip pada Darren. "Kau hanya belum tahu kalau dia bisa saja menghajarmu suatu waktu karena tingkah menjengkelkanmu." Darren memasang wajah datar andalannya. "Kaza sering bercerita tentang sepupunya padaku, aku tidak lagi terkejut." Amera cemberut. "Aku sediki tahu tentang Kaza dan Tara. Walau tidak terlalu rinci, setidaknya teman dekatmu menyenangkan. Begitu?" Amera mengangguk pelan. "Dia satu-satunya orang yang mau menjadi pengganti samsakku." Amera tiba-tiba berwajah muram. Matanya menatap Darren dengan kilatan cemas. "Jangan terlalu jauh melakukannya, Darren." Darren menatapnya tanpa bicara. Pria itu hanya bisa menarik napas dan meminum anggurnya. Tidak berkata apa-apa untuk menjawab kalimat Amera. *** Saat mereka sampai di bandara, Amera yakin ada puluhan penggemar yang menunggu para idola mereka dan bersiap mengambil gambar. Dia juga sangat paham betul bagaimana para wartawan mengambil gambar di depan pintu masuk bandara untuk dijadikan ikon fashion terbaik para artis saat di bandara. Amera tidak begitu mempedulikan penampilannya karena dia bersama Darren saat ini, bukan bersama anggota grupnya. Dan dia bodoh karena melupakan fakta kalau mereka masih jadi pembicaraan hangat di beberapa kalangan. Amera pernah menonton beberapa cuplikan di sosial media tentang beberapa pembawa acara yang begitu ingin tahu tentang hubungan mereka karena sebelum ini Amera tidak pernah dekat dengan pria mana pun. "Kenapa?" Darren sepertinya tahu kegelisahan Amera saat dia berjalan menuju pintu masuk. Pesawat pribadi sudah berputar arah dengan bantuan petugas bandara yang membawa tongkat berwarna untuk mengarahkan sang pilot memutar pesawatnya dengan baik. "Kurasa kau tidak asing dengan kumpulan para penggemar dan wartawan saat kita melewati pintu itu," Amera menunjuk pintu otomatis yang terbuka setiap orang melewatinya. Darren mengangguk singkat menyadari kegelisahan Amera. Pria itu tampak keren dengan kemeja putih dan celana kain juga kacamata hitamnya. Sedangkan Amera, dia tampil apa adanya. Dengan pakaian lengan panjang berwarna merah marun dan rok hitam selutut juga sepatu kets putih tanpa kaus kaki. Rambutnya tidak diikat, tetapi ia menyisir rambutnya sebelum pesawat turun. Sebelum Amera melangkah lebih jauh mendekati pintu yang terlihat seperti gerbang neraka karena dia tidak punya pilihan lain selain bersama Darren saat ini, dia melihat sosok Kaza datang dengan senyum. Amera tidak tahu bagaimana Kaza bisa masuk ke dalam bandara yang hanya bisa dimasuki penumpang yang memiliki tiket. "Apa-apaan," Amera tidak bisa melanjutkan kalimatnya saat Darren menarik tangannya untuk ke luar dari pintu itu. Bersamanya. Dengan tangan mereka saling menggenggam. Amera tahu wajahnya bisa saja memanas, tapi ini di muka umum dan mereka memperhatikannya. Riuh penggemar pecah seketika saat Amera berjalan melewati mereka. Dia berusaha memberikan sedikit senyum pada mereka saat para penggemar itu berdesak-desakkan mencoba mengambil gambar dengan tidak tertib. Darren menerobos mereka dengan sedikit kasar. Dibantu Kaza yang berjaga layaknya pengawal pribadi Amera. Pria itu menjaganya dengan baik. Apa Tara menyuruhnya? Amera bertanya dalam hati. Penggemar tampak brutal. Mereka saling dorong guna mendapatkan gambar yang lebih baik dan sempurna. Amera tidak bisa mengangkat kepalanya lebih tinggi karena cahaya flash ponsel penggemar itu berada dekat dengan matanya. "Hati-hati," Amera berbisik ketika dia menarik salah satu penggemar wanita yang tersandung dan terinjak penggemar lain ketika dia mencoba mengambil gambar dari sisi sebelah kanannya. Penggemar itu mengangguk dengan wajah hampir menangis karena Amera menolongnya. Amera hanya bisa membalas dengan anggukan kecil karena Darren kini menariknya, atau pria itu menyeretnya pergi karena saat ini lengan Amera ditarik pria itu. Mobil sudah siap di depan pintu bandara. Kaza melompat ke kursi di depannya dan Darren membukakan pintu untuknya. Beberapa penggemar wanita menjerit karena melihat Darren yang tampil oke malam ini. Benar-benar khas seorang pebisnis sejati. Darren menutup pintu penumpang dengan bantingan. Dan para penggemar masih saja mengejar mobil mereka sampai petugas keamanan menghentikan mereka dengan bentakan. Amera menoleh, menatap kerumunan penggemar itu dengan alis tertekuk. "Mereka tidak lelah? Tidak seharusnya mereka menunggu seperti itu." "Terkadang penggemar fanatik bisa menjadi gila karena idolanya," ujar Kaza di depan. Amera mengangguk. Menyetujui ucapan Kaza yang duduk di sebelah kursi pengemudi. "Aku tidak bisa membayangkan kau hidup dalam lingkungan seperti itu di waktu yang lama," suara Darren terdengar dingin. Dia menatap Amera setelah melepas kacamatanya. Amera hanya bisa mengangkat bahunya. "Ini adalah poin minusnya. Kau harus siap menganggung segala resikonya saat dirimu terkenal," Kaza  menoleh dengan anggukan kepala pada Amera. "Kau benar, Amera. Itu mengerikan." Amera tertawa pelan melihat wajah ngeri milik Kaza. Pria itu memang punya seribu ekspresi untuk menggambarkan suatu keadaan atau suasana hatinya. "Kau baik-baik saja karena publik tidak tahu tentang hubunganmu." Darren menyeringai. Kaza pucat. Amera menatap Darren. Menyikut pria itu dan Darren menggeleng pelan seolah itu bukan masalah besar karena menggoda Kaza. Tetapi melihat ekspresi Kaza baru saja, membuat Amera tidak enak hati. "Sialan kau, Darren." *** Hari pertama di Jepang setelah Amera benar-benar istirahat total dari aktivitasnya. Tara tahu dia sudah kembali ke Jepang dan memang Tara memberitahu Kaza tentang kepulangan Amera juga Darren yang menghubunginya untuk menjemputnya di bandara. Kaza punya akses masuk ke dalam bandara dengan mudah karena dia memiliki kenalan petinggi bandara agar dia bisa leluasa bebas melakukan suatu pertemuan dengan beberapa klien dan orang penting lainnya. Amera tidak terkejut mendengarnya. Kaza pintar bergaul. Pria itu mudah dekat dengan siapa saja. Jadi, sebelum Amera pergi ke agensi untuk melapor diri pada sang owner, dia akan pergi keluar untuk mencari sarapan sekaligus menghirup udara pagi. Dia terlalu lelah, mengusir Darren yang ingin menginap di apartemennya dan tentu saja Amera tahu maksud lain pria itu. Itu membutuhkan tenaga dan kesabaran ekstra karena Darren benar-benar keras kepala dan menjengkelkan. Yuki mengirimkannya pesan untuk datang ke agensi dan mereka akan makan siang bersama. Para anggota menunggu Amera untuk berkumpul dan Amera tidak tahu harus darimana dia memulai menceritakan perjalanannya bersama Darren juga malam panas itu. Wajahnya memerah! Amera berlari mengambil hoodie miliknya dan turun menuju lobi menggunakan lift. Dia akan berjalan kaki untuk mencari camilan dan beberapa jajanan ringan pengisi perut sebelum dia kembali ke agensi. Atau dia bisa membungkus sarapan untuk dimakan di dalam apartemen. Bukan ide yang buruk. *** Amera duduk di sebuah kursi kecil menunggu takoyaki miliknya matang. Selain menunggu takoyaki, dia juga memesan seporsi yaki udon. Amera merasakan mulutnya berliur karena sudah lama dia tidak merasakan jajanan pinggir jalan kesukaannya semasa sekolah dulu. Penjual itu memberikan Amera dua bungkus plastik untuk pesanannya. Amera mengeluarkan uang dari dalam dompetnya, memberikan beberapa pecahan uang yang membuat penjual itu kebingungan karena Amera memberikan uang berlebih dan dia tidak memiliki uang kecil untuk kembalian. "Tidak perlu, kembalian itu untukmu," Amera tersenyum setelah mengucapkan terima kasih dan pergi dari sana. Salah satu tangannya masuk ke dalam kantung hoodie miliknya. Amera melihat restauran penjual ramen yang buka di pagi hari. Melihat isi restauran yang sepi, Amera masuk ke dalam. Memesan semangkuk kecil ramen untuk sarapan bukan masalah sepertinya. Perutnya masih cukup menampung banyak makanan. "Dibungkus saja," kata Amera saat pelayan laki-laki itu mencatat pesanannya. Amera duduk di kursi kecil. Menunggu ramennya. Karena hanya ada tiga pembeli di restauran ini, pesanannya akan cepat seleAska dan dia bisa kembali ke apartemen lebih cepat. " Amera?" Amera dikejutkan dengan Arata yang duduk di sampingnya. Memberikan senyum tipisnya dan mengambil tempat yang nyaman untuknya bersandar. "Memesan ramen?" "Ya, untuk sarapan," jawab Amera. Matanya menatap Arata bingung. "Bagaimana bisa kau—" "Aku baru saja dari kamar kecil. Aku sudah di sini lima menit sebelum kau datang," Arata menjawab santai. Amera mengangguk singkat. Berdeham. "Hanya restauran ini yang buka lebih pagi dari lainnya. Ramen di sini juga tidak terlalu buruk," kata Arata. Dia menatap layar menu di atas etalase kaca. "Terdengar kau sering kemari?" Tebak Amera. Arata mengangguk kecil. "Tiga sampai empat kali, mungkin?" Amera tertawa pelan merespon ucapan Arata. "Kapan kau kembali?" Arata bertanya, membuat Amera terdiam sebentar. "Kemarin sore aku sampai di Jepang. Bagaimana denganmu?" "Aku sampai semalam," Arata menatap lurus ke depan. Amera menatap sisi wajah pria itu, melamun. "Bersama kekasihmu, eh?" Arata menggodanya dan Amera memalingkan wajahnya, merona. "Ya, kau tahu," Amera mengibaskan tangannya. Mencoba mengusir rasa malu di pipinya. "Aku tahu tentang pertunanganmu. Aku ada di sana saat pria itu mengumumkan pertunangan kalian," wajah Arata terlihat serius dan Amera perlahan-lahan merasakan perasaan lain melihat tatapan mata pria itu. "Entahlah, aku hanya berpikir kalau ada yang kalian sembunyikan?" Arata menimbang-nimbang memilih kalimat yang baik pada Amera. "Aku tidak tahu. Hanya pikiran jahilku." Mata Amera mengerjap sesaat. Dia tidak tahu kalau Arata sudah berdiri untuk mengambil pesanannya. Pria itu menggunakan kartu miliknya. Membayarkan ramen miliknya dan Amera. "Kau tidak seharusnya begitu," kata Amera. Melarang Arata membayar makanannya. Arata menggeleng dengan tawa kecil. "Tidak apa. Santai saja." Arata menenteng sebungkus ramen di tangannya. Saat pesanan Amera seleAska dibungkus, pelayan itu memberikannya pada Amera. Amera terdiam ketika Arata menatapnya dengan tatapan mata lain. Pria itu tidak kunjung masuk ke dalam mobilnya. Hanya berdiri, menatap Amera tanpa bicara. "Arata?" Arata menyipit dengan senyum samar. "Aku berpikir keras tentang  Darren yang berusaha menahanmu untuk tetap di sisinya," kata Darren dengan kalimat yang coba Amera cerna dengan baik. "Maafkan aku karena mencampuri urusan pribadimu. Tetapi Darren melakukan hal yang sama padaku. Mencampuri urusan yang tidak seharusnya dia lakukan." Amera mengernyit tidak mengerti. "Sampai jumpa, Amera. Aku harap bisa bertemu denganmu lebih sering setelah ini," Arata melambai padanya. Dan Amera membalas dengan lambaian kecil saat mobil pria itu maju keluar dari parkiran dan berbaur bersama mobil lainnya di jalan. Meninggalkan Amera seorang diri dengan seribu pertanyaan di kepalanya. "Memang apa yang Darren lakukan?" Amera bergumam pelan. Berjalan santai menuju apartemennya. Dia mungkin bisa bertanya dengan pria itu apa yang terjadi di antara dirinya dengan Arata. Yah, semoga Darren mau menjawabnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN