•Tentang Rasa•

1333 Kata
"Aku tidak mencintaimu. Perasaanku padamu itu lebih dari sekadar cinta." -Xabiru Kamajaya- __________ Xabiru Kamajaya Maafin aku, Xav. Pesan yang sama. Dan pesan itu ia dapatkan hampir seratus kali dalam sehari ini. Xavira menggigit bantal yang menjadi tumpuannya saat ini. Ia tidak mau Rahadi mendengar suara tangisannya. Xabiru Kamajaya Jangan lupa diminum obatnya. Dan maafin aku, Xav. Xavira menutup salah satu aplikasi di ponsel pintarnya lalu meraih tablet obat yang tergeletak tidak jauh dari tempatnya berbaring saat ini. Obat herbal. Obat yang Xabiru belikan sebelum mengantarnya pulang ke rumah. "Awh!" ringis Xavira seraya memegangi bagian bawah tubuhnya. Perih, nyeri, dan ngilu itu masih tersiksa di inti tubuhnya. Xavira masih bisa merasakan ada yang mengganjal di bagian bawahnya itu. Xabiru yang mengetahui hal itu pun segera menghampirinya lalu merengkuh pinggangnya. Membantunya berjalan. Xavira hanya diam saja saat Xabiru menuntunnya keluar dari kelab itu sehingga ia tidak sadar saat ini sudah berada di dalam mobil. Melihat kondisi tubuh Xavira yang masih tegang, akhirnya Xabiru meraih seatbelt dan mulai memasangkannya di tubuh perempuan itu. Xavira menahan napasnya sejenak. Selalu seperti itu. Tubuhnya dibuat kaku oleh gerakan lembut yang Xabiru lakukan padanya. "Kita mau ke mana?" tanya Xavira tatkala Xabiru melajukan mobilnya berlawanan arah dengan rumah mereka. Merasa tempat yang mereka tuju bukanlah rumahnya. "Beli obat." "Buat apa?" Xabiru tidak menjawab pertanyaan Xavira itu. Karena selanjutnya, Xavira tahu maksud Xabiru. Laki-Laki itu ingin mengurangi rasa sakit yang sedang dideranya kali ini. Xavira membalikkan tubuhnya, menatap langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Bayangan indah raut wajah Xabiru tergambar jelas di sana. Tanpa terasa, Xavira mengusap perutnya lalu mengucap sesuatu yang bisa disebut dengan doa. "Semoga apa yang terjadi kemarin malam itu membuahkan hasil." ----------- Pak Jason Jadi, kapan kamu bisa mulai bekerja? Xabiru Kamajaya Maaf, Pak. Saya butuh waktu. Perasaan bimbang kini menyelimuti lubuk hatinya yang paling dalam. Seharusnya, Xabiru mengatakannya saat Xavira membuatkan kue untuk Thalita siang itu. Seharusnya juga, Xabiru tidak melakukan sesuatu yang buruk pada perempuan itu. Sesuatu yang membuatnya selalu dihantui rasa bersalah. Bahkan, Xabiru tidak bisa tidur dengan tenang tadi malam. "Dea!" Xabiru melambaikan tangannya ke perempuan dengan rambut keriting di hadapannya saat ini lalu menanyakan sesuatu pada perempuan yang ia sebut sebagai Dea. "Xavi di mana? Masih ada kelas?" "Dia nggak ada jadwal kuliah hari ini," jawab perempuan bernama Dea itu. "Tapi, tadi gue lihat dia masuk ke perpus." "Oh... ya, udah." Xabiru memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya. "Makasih." Setelahnya, Xabiru menelusuri koridor kampus itu. Xabiru memang bukan mahasiswa di sana, tapi ia kerap kali menginjakkan kakinya di gedung mewah itu. Ya, mahasiswa-mahasiswi yang bisa bersekolah di sana merupakan orang-orang pilihan. Sayangnya, Xabiru tidak termasuk. Bukan hanya karena biayanya yang mahal, tetapi juga karena tingkat kecerdasannya yang perlu diperhitungkan. Dan Xavira mempunyai itu semua. Sebenarnya, semua orang itu dianugerahi otak yang sama. Tingkat kecerdasan yang sama. Namun, tergantung orang itu yang merealisasikannya dengan cara apa. Xabiru merasa, tingkat kemampuannya memang bukan di bidang pendidikan. Buktinya, ia sudah mencoba mengikuti beberapa tes masuk perguruan tinggi. Hasilnya seperti apa? Selalu saja gagal. Xabiru mengembuskan napas panjangnya lalu memasuki sebuah ruangan hening dan dipenuhi oleh buku-buku yang berjajar rapi di atas rak. Laki-laki itu menuju ke sudut ruangan. Sudah belasan tahun Xabiru hidup berdampingan dengan perempuan itu, mana mungkin ia tidak tahu segala seluk beluknya. Xabiru berjalan pelan seraya memerhatikan raut wajah yang penuh dengan kesenduan itu. Meskipun, sebagian raut wajahnya saat ini tengah tertutupi oleh sebuah buku yang sedang dibacanya dalam diam, Xabiru tahu Xavira menangis sesenggukan saat ini. "Kenapa dipaksain?" kalimat pertama yang ia lontarkan tatkala sudah berada di samping Xavira. Tentu saja Xavira terkejut bukan main. Mendengar suara Xabiru lalu menemukan sosok itu sudah duduk di sampingnya sambil menatapnya tajam. Tatapan tajam yang seolah mempertanyakan semuanya. "Kenapa nangis?" tanya Xabiru dengan tangannya yang tidak tinggal diam. Tangan itu sudah menari-nari di atas pipi lembut milik Xavira. Mengusap pipi itu dengan tangan kokohnya secara perlahan. "Hmm?" Xavira memalingkan wajahnya, tidak mau bertatapan secara langsung oleh Xabiru. "Kamu marah sama aku?" "Enggak..." jawab Xavira parau. "Kamu sakit?" "Enggak..." nada suara Xavira semakin memelan hingga tidak terdengar. "Kamu belum bisa maafin aku?" "Enggak..." Xabiru menggeratakkan giginya. Tangannya mengarahkan pandangan Xavira tepat di dua bola matanya. "Apa maksudnya enggak?" "Nggak papa, Bi." "Kalau kamu marah sama aku, bilang! Kalau aku ada salah, bilang! Kamu jangan diam aja. Seolah kamu memendam semuanya." Xavira menelan salivanya dengan susah payah. Dengan napas yang terengah-engah Xavira meraih satu tangan Xabiru lalu mengarahkannya pada bagian dadanya, tempat jantungnya berdetak saat ini. "Kamu bisa merasakannya? Jantungku seolah mau keluar." Xabiru terdiam. Laki-laki itu menikmati degupan jantung Xavira yang abnormal. Setelah dilihat tangis Xavira mereda, Xabiru kembali bertanya. "Kenapa nangis? Kamu nangisin aku?" "E-enggak," jawab Xavira yang langsung mendapatakn tatapan tidak terima dari Xabiru. Xavira pun memberikan buku yang sedang ia baca kepada Xabiru. "Aku nangis gara-gara baca buku ini." Xabiru membaca sekilas apa yang Xavira baca. Novel bergenre romantis lagi. "Sad ending?" tanya Xabiru yang dibalas anggukkan oleh Xavira. Xavira tidak sepenuhnya berbohong pada Xabiru karena alasannya menangis pun bukan murni karena laki-laki itu. Tadinya, Xavira mencoba mengalihkan pikirannya dengan membaca buku. Namun, ia salah. Ternyata, cerita yang baru saja ia baca itu begitu menyayat hatinya. Membuat Xavira seakan ikut merasakan kepedihan yang dialami tokoh dalam cerita itu. Dan cerita itu pun mengingatkannya akan hubungannya dengan Xabiru. Apakah akan berakhir bahagia atau malah sebaliknya? "Kita mau ke mana?" Xavira baru sadar Xabiru membawanya keluar dari perpustakaan. "Ke rumah sakit." "Eh, mau ngapain?" "Ya, periksain keadaan kamu lah. Kamu hamil apa enggak." Xavira mengerjapkan matanya beberapa kali lalu tertawa sumbang, membuat satu alis Xabiru terangkat naik. "Kenapa ketawa?" "Kamu lucu, Bi." "Apanya yang lucu?" Xavira tersenyum lalu menjawabnya. "Ini baru beberapa hari sejak kita ngelakuin itu. Nggak mungkin bisa langsung tahu aku hamil apa enggak. Ya, mungkin beberapa minggu ke depan baru kita akan tahu." Xabiru terdiam sejenak lalu mengangguk paham. Akhirnya, mereka berdua berjalan beriringan menuju pelataran kampus. Hati Xabiru rasanya seperti tercabik-cabik tidak berdaya. Melihat perempuan yang ada di sampingnya dengan mata sembap. Itu sangat kentara bahwa Xavira menghabiskan waktunya semalaman hanya untuk menangisinya. "Xav..." "Hmm?" "Kamu penginnya... kamu hamil anak aku apa enggak?" Pertanyaan itu begitu menyentil lubuk hati Xavira. "Kamu pengin aku nikahin kamu apa enggak?" Tentu saja jawabannya iya. "Aku takut nggak bisa bahagiain kamu." "Bi..." "Benar kata Papi, aku nggak punya apa-apa," Xabiru menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku nggak bisa bahagiain kamu... yang ada nantinya, kamu hidup sengsara sama aku." "Enggak," sangkal Xavira. "Aku cinta sama kamu itu murni. Aku sayang sama kamu itu tulus, Bi. Aku nggak pernah lihat dari harta kekayaan, bahkan aku nggak pernah mikirin itu." Ah. Satu fakta yang masih belum bisa Xabiru terima. Xavira mencintainya. Sangat mencintainya. "Aku ini siapa, Xav? Aku nggak pantes dapetin kamu..." Xavira langsung memeluk tubuh yang berada di hadapannya itu. Menyatukan aroma keduanya. Meleburkan sesak di d**a. Xavira tidak peduli, jika ada yang melihat mereka berdua. "I love you. Still loving you..." Aku nggak bisa, Xav. "Kamu nggak bakal bisa bahagia sama aku, Xav." "Kenapa kamu seyakin itu, Bi?" Xabiru diam. Bibirnya bungkam, tidak berucap apa lagi pun saat ini. "Mungkin, bukan aku yang nggak bisa bahagia nantinya. Tapi, kamu! Karena kamu nggak pernah mencintai aku, Bi." Xavira menguraikan pelukannya. Namun, Xabiru menarik pergelangan tangan Xavira lalu membiarkan tubuh mereka berpelukan lagi. "Aku nggak bisa mencintai kamu. A-aku..." Ya, Xavira tahu itu. "Aku ngerasa kamu lebih dari itu. Kamu itu adek aku, sahabat aku, dan mungkin kamu---" "Stop!" sergah Xavira berlinang air mata. "Aku nggak mau dengar lagi." "Xav..." "Ini terlalu menyakitkan, Bi. Aku nggak sanggup." Xavira pikir, apa yang akan terjadi selanjutnya berjalan lancar. Dirinya hamil lalu Xabiru mau mempertanggung jawabkan semuanya. Menikahinya dan membina hubungan rumah tangga yang lebih dari sebatas sahabat. Namun, semuanya terasa begitu sulit. Mulai dari Rahadi yang tidak merestuinya. Dirinya pun belum bisa dipastikan hamil atau tidak. Yang pasti saat ini adalah Xabiru tidak mencintainya. Sepertinya, hubungan keduanya memang hanya dibatasi oleh persahabatan belaka. Tidak boleh lebih dari itu. Nyatanya, semakin Xavira mengungkapkan perasaannya itu kian banyak halangan yang ia temui. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN