•Alasan Melakukan•

1566 Kata
"Alasan aku melakukannya? Sederhana. Karena aku mencintaimu." -Xavira Naraya Rahadi- __________ Kau, diam-diam aku jatuh cinta... Kepadamu... Ku bosan sudah ku menyimpan rasa... Kepadamu... Tapi tak mampu... Ku berkata didepanmu... Aku tak mudah mencintai... Tak mudah bilang cinta... Tapi mengapa kini denganmu... Aku jatuh cinta... Tuhan tolong dengarkanku... Beri aku dia... Tapi jika belum jodoh... Aku bisa apa... Tak bisa ku paksakan dirimu... Tuk jadi kekasihku... Bila tak jodoh ku... Menyimpan Rasa - Devano Danendra ---------- Xabiru mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memulihkan kembali kesadarannya yang telah hilang akibat pengaruh alkohol. Kepalanya masih terasa berdenyut. Laki-laki itu merasakan hangat napas yang menguar di dalam dekapannya. Sejurus itu, Xabiru pun mengingatnya. Mengingat kejadian kemarin malam. Ya, laki-laki itu telah menyakiti Xavira. Perempuan yang sudah ia anggap sebagai adik, sahabat, bahkan saudara kembarnya sendiri. Karena selama hidupnya di dunia ini, Xabiru lebih banyak menghabiskan waktu bersama Xavira. Umpatan-umpatan kasar ia keluarkan berulang kali. Sungguh, Xabiru tidak dapat mengontrol semuanya kemarin malam. Semua terjadi begitu saja, mengalir bagaikan air. Air terjun yang mengalir dari atas ke bawah tanpa bisa ditahan, alirannya semakin deras dan tidak terkendali. Bagaikan ombak yang menerjang karang-karang di pantai. Xavira bergerak secara lembut dalam keadaan setengah sadar karena kondisi tidurnya tidak nyaman. Tangan Xabiru yang semula menggantung di udara kini mengusap pipi lembut itu. Tanpa Xabiru sadari, ia meneteskan air matanya. Memang benar ia mengalami patah hati. Bukan berarti ia memiliki hak untuk merusak seseorang, apalagi yang dirusak adalah Xavira. Perempuan paling berharga baginya. "Maafin aku, Sayang." Bisik Xabiru seduktif lalu mengecup pipi Xavira. Laki-laki itu tahu, pipi lembut itu tadi malam basah oleh air mata yang bercucuran tiada henti. Kecupan Xabiru di pipi Xavira itu membuat si empunya menggeliat. Xavira pun membuka kelopak matanya secara perlahan lalu kian melebar tatkala melihat bola mata Xabiru memerah. "Bi..." "Aku bakal tanggung jawab. Aku janji." "Enggak-enggak," ucapnya seraya menggelengkan kepalanya. "Kamu nggak salah, Bi." Xabiru menangkup kedua sisi wajah Xavira. "Kenapa kemarin malem kamu nggak nolak aku? Kamu bisa berontak, Xav!" Xavira melihat ada gurat kecewa di wajah Xabiru. Ya, laki-laki itu menyesal telah menghabiskan malam panjang nan panas bersamanya kemarin malam. Berbagai umpatan pun masih tidak ada henti-hentinya keluar dari bibir laki-laki itu. "Gimana aku bisa nolak kamu, Bi? Gimana?!" Xabiru terdiam. Xavira memang penurut sekali. Apa pun yang Xabiru katakan, ia turuti. Apa pun yang Xabiru inginkan, mencoba untuk dilakukannya. Dan apa pun yang Xabiru lakukan, tidak akan sanggup ia tolak. "A-aku... terlalu..." Aku terlalu cinta sama kamu, Bi. "s**t!" umpatan yang kesekian kalinya. "Aku bakal nikahin kamu secepatnya." What?! Seharusnya, Xavira berteriak girang. Namun, mengetahui Xabiru melakukannya secara terpaksa membuat hatinya menangis dalam diam. Tentu saja Xavira tidak bahagia. "Nggak usah." "Apa maksud kamu ngomong nggak usah, Xav? Hah?!" "Nggak usah nikahin aku!" "Aku udah nidurin kamu, Xav." "Bukan berati... kamu punya hak buat nikahin aku, Bi." Sekuat tenaga Xavira mencegah air matanya agar tidak jatuh melalui sudut matanya. "Xav..." "Aku bukan pelacur... aku bukan jalang. A-aku... nggak sanggup nolak kamu karena aku terlalu cinta sama kamu, Bi." Bum. Xabiru seperti dihantam oleh sesuatu yang keras tepat di tengkuknya. Karena laki-laki merasakan pening yang luar biasa setelah mendengar itu. Xavira mencintainya? Itu tidak mungkin. "Kemarin malam... itu bukan nafsu. Itu rasa cinta aku sama kamu." Ya, setidaknya perasaannya kini telah lega. Lega karena bisa mengungkapkan perasaan yang selama ini tertahan itu sungguh bisa mengurangi beban di benaknya. Namun, dadanya masih merasakan sesak yang luar biasa, seperti ditimpa benda dengan berat ribuan ton. "Bisa nggak, sih, kamu lihat aku? Lihat! Kalau ada aku yang selalu siap jadi sandaran kamu. Apa kamu tahu? Seberapa sakit saat kamu membahas tentang Thalita? Hmm? Apalagi, kemarin malam... kamu ungkapin semuanya." Bola mata Xavira kian memanas hingga akhirnya, ia tidak bisa menahannya lagi. Xavira menangis sesenggukan. "Aku berusaha keras nutupin semuanya. Selama bertahun-tahun, Bi." Xabiru mendekat. Namun, Xavira menjauh. "Aku nggak tahu." "Munafik!" "Beneran, Xav." "Seharusnya, kamu bisa lebih peka. Di antara laki-laki dan perempuan itu nggak ada yang namanya sahabatan. Karena salah satunya pasti menyimpan rasa. Dan yang menyimpan rasa itu termasuk paling lemah, yaitu aku." Melihat kondisi Xavira yang sudah sangat berantakan, membuat rasa bersalah dalam hati Xabiru semakin tumbuh besar. Xabiru membawa Xavira dalam dekapannya, menenangkan tangisan perempuan itu. "Kenapa kamu nggak pernah bilang, Sayang?" tanya Xabiru. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?" "Aku selalu nunggu kamu, Bi. Nunggu kamu bisa bales perasaan aku." Maaf. Aku nggak bisa. ---------- Alasan keduanya berbeda. Xabiru melakukannya atas nafsu dan sebagai pelampiasan semata, sedangkan Xavira melakukannya berdasarkan rasa cintanya untuk laki-laki itu. Xabiru bukan pengecut. Ia mengantarkan Xavira pulang ke rumahnya lalu menjelaskan semua yang terjadi pada Rahadi. Ya, semuanya secara detail. Tidak ada yang terlewati sedikit pun. Tidak lupa juga ia meminta maaf secara berulang kali. Meskipun, permintaan maafnya itu tidak akan bisa mengembalikan diri Xavira menjadi suci kembali. "Saya akan bertanggung jawab, Om." "Bukan masalah mau tanggung jawab atau tidak," kata Rahadi penuh penakanan. "Ini masalah kekecewaan, Bi. Kamu sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Hanya kamu yang saya perbolehkan dekat dengan Xavira. Dan kamu juga yang merusak dia." "Pi..." Xavira memegang lengan Rahadi. "Ini bukan sepenuhnya salah Biru." "Diam kamu, Xavi!" Mendapatkan bentakan keras dari sang papi, membuat Xavira mati kutu. Ia harap-harap cemas. Apa yang akan Rahadi lakukan pada laki-laki yang amat ia cintai itu? "Saya akan menikahi Xavira secepatnya." "Tidak!" tolak Rahadi secara tegas. Rahangnya mengeras melihat putri tunggalnya kehilangan kehormatannya akibat Xabiru, laki-laki yang ada di hadapannya saat ini. "Saya tidak akan pernah mengizinkannya." "Papi..." "Saya tidak mau anak semata wayang saya menderita hidup bersama kamu." Menderita? "Mau kamu kasih makan apa anak saya? Hah?!" Xabiru terdiam. "Untuk biaya hidup saja kamu pas-pasan. Lalu bagaimana bisa saya menyerahkan Xavira pada laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan tetap seperti kamu?!" Ya, Xabiru memang bukan dari golongan orang kaya. Hidupnya sederhana. Sejak kepergian kedua orang tuanya, Xabiru terpaksa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Laki-laki itu tidak melanjutkan kuliahnya. Karena ia tidak diterima di salah satu universitas yang diinginkannya. Makanya, Xabiru kesusahan mencari pekerjaan hanya dengan berbekal ijazah SMA-nya saja. "Lihat saja Mas Ferdi! Kakakmu itu! Bagaimana kehidupannya dengan istrinya? Mereka berdua hidup menderita dalam kemiskinan." "Papi!" seru Xavira. Rahadi sudah sangat keterlaluan kali ini. Laki-laki paruh baya itu dengan teganya mengatakan hal tersebut pada Xabiru. "Memang benar 'kan seperti itu kenyataannya?" Xabiru tertawa sarkastis. "Om salah. Hidup Mas Ferdi sama istrinya itu bahagia, meskipun mereka berdua miskin." "Saya tidak akan pernah merestui kamu menikahi Xavira. Tidak akan pernah!" "Bagaimana, jika Xavira hamil anak saya? Apa Om tetap tidak merestui hubungan kami?" "Omong kosong," Rahadi memalingkan wajahnya seraya berdecih. "Membiarkanmu berada di samping Xavira selama hampir 20 tahun ini tidak menjadikanmu punya hak untuk menikahinya." "Saya akan tetap menikahi Xavira. Jikalau Xavira hamil anak saya." "Tidak! Sekali saya bilang tidak, ya, tidak." Setelah terjadi perdebatan yang cukup sengit antara Rahadi dan Xabiru, akhirnya salah satunya mengalah dan meminta maaf. Ya, yang mengalah di sini adalah Xabiru. Ia meminta maaf berulang kali. Memang benar. Semua yang terjadi itu tidak sengaja. Sungguh, Xabiru tidak ingin melukai Xavira. Melihat Xavira yang menangis hanya demi Xabiru yang telah menyakitinya, membuat hati Rahadi meluluh. Hanya Xavira yang ia punya saat ini. Jadi, Rahadi akan melakukan apa pun untuk putri tunggalnya itu. "Baiklah," akhirnya Rahadi mengambil keputusan tersulitnya. "Saya akan merestui kamu menikahi Xavira, tapi hanya jika terbukti dia hamil. Dan selama Xavira belum dibuktikan hamil atau tidak... jangan pernah temui dia lagi. Ini yang terakhir kali kamu bertemu dengan Xavira." "Papi!" tentu saja Xavira tidak setuju. "Aku nggak mau." "Nggak ada penolakan. Ini sudah keputusan Papi. Setelah ini, jangan coba-coba untuk menemui Biru lagi." Dan apa yang dilakukan Rahadi pada Xabiru selanjutnya? Mengusirnya secara tidak sopan. Rahadi memperlakukan Xabiru layaknya binatang. Awal Xabiru mengakui telah meniduri Xavira, laki-laki paruh baya itu langsung mendaratkan tamparan keras di pipi. Dan sekarang, di saat Xabiru masih ingin mempertahankan Xavira, Rahadi menendangnya keluar dari rumahnya. "Bi..." Maafin aku, Xav. Xabiru merasa dunia ini tidak adil. Hanya karena uang, ia ditolak. Xabiru tahu, alasan utama Rahadi menolaknya untuk menikahi Xavira karena ia tidak mempunyai harta yang cukup untuk membahagiakan putri tunggalnya itu. Dan kemarin malam juga, Xabiru ditolak secara mentah-mentah oleh Thalita juga karena status sosialnya yang rendah. "Xabi, lo nggak bercanda, 'kan?" "Apa yang perlu dibercandain? Ini beneran... gue lagi ngelamar elo." "Xabi..." "Gue suka sama elo udah dari dulu, Tha." "Apa yang lo suka dari gue?" "Ya, karena lo baik---" "Gue nggak sebaik yang lo kira," ucap Thalita sambil mengibaskan rambutnya. "Lo seharusnya tahu. Gue baik sama semua laki-laki. Ya, kali gue pasang image asli gue di depan mereka. Yang ada mereka jadi ilfeel sama gue." "Tapi, lo---" "Dan yang perlu lo tahu, gue nggak suka sama elo. Bahkan, buat jadiin lo temen aja kayaknya itu salah besar. Karena apa? Lo nggak sebanding sama gue, Xab!" "Tha..." "Lo punya apa? Sampai-sampai lo berani banget ngelamar gue? Lo tahu Aldo? Pemilik kampus ini aja gue tolak. Sedangkan, elo? Lo nggak punya apa-apa. Seharusnya, lo cukup tahu diri lah." Di saat itu Xabiru tahu, bahwa cinta itu tidak pernah murni tumbuh dari hati. Namun, ada hal lain yang memengaruhinya. Bisakah cinta itu hanya tumbuh dari lubuk hati? Tanpa memandang harta, status sosial, serta keturunan yang ada. Xabiru merogoh saku celananya karena ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk. Pak Jason Anda bisa mulai bekerja besok Senin. Tetap berdiam diri tanpa ada yang menghargai atau memilih melangkah pergi membuka lembaran baru bersama luka yang belum pulih? Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN