"Bersamaan dengan hilangnya harapan akan kebersamaan kita, biarkan aku ikut menghilang dari hadapanmu."
-Xabiru Kamajaya-
----------
"Anda dinyatakan negatif," katanya.
Seketika itu Xavira melemas. Lututnya seperti tidak bisa lagi bertahan menopang berat badannya atau pun hatinya yang seakan kian tersayat-sayat lagi. Xavira melihat ada raut wajah lega tergambar di wajah Rahadi, sedangkan Xabiru menatapnya datar.
Oh, Tuhan!
Xavira menjerit dalam batinnya kala dokter kehamilan itu selesai menjelaskan semuanya. Semua yang menjadi harapannya untuk bersatu dengan Xabiru telah hilang, lenyap, dan musnah hanya karena satu kata yang dikatakan oleh dokter itu.
Negatif.
"Jadi, sesuai perjanjian. Kalian berdua tidak ada hubungan apa-apa lagi."
"Pi..." lirih Xavira menahan air matanya. Keinginan kuat untuk bersatu dengan Xabiru itu tertanam mantap dalam hatinya. Bisakah Rahadi melihatnya?
Sebenarnya, Rahadi sangat tahu keinginan putri semata wayangnya itu. Namun, melihat Xabiru yang biasa-biasa saja dengan Xavira membuatnya tidak mau memaksakan akan perasaan keduanya. Rahadi tidak mau Xabiru menikahi Xavira karena keterpaksaan semata atau hanya karena belas kasihan. Karena di luar sana Rahadi yakin, ada banyak yang lebih baik dari Xabiru.
"Om..." Xabiru akhirnya buka suara sambil menatap Rahadi dan Xavira secara bergantian lalu mengutarakan keinginannya. "Saya ingin minta waktu sebentar dengan Xavira."
Xavira hanya bisa meremas rok pendek yang ia pakai. Selama satu bulan lamanya ia tidak bertemu dengan Xabiru lalu sekarang semua harapan akan kebersamaan keduanya telah lenyap.
"Saya mau berbicara berdua dengan Xavira," kata Xabiru. "Empat mata."
Rahadi mengembuskan napas beratnya. Sejujurnya, ia tidak tega memisahkan Xabiru dan Xavira. Mengingat mereka berdua telah tumbuh dewasa sedari kecil, bahkan Rahadi tidak ingat sejak kapan ia mengenal Xabiru karena semuanya sudah berbaur sejak dulu.
"Hanya tiga puluh menit waktumu. Ini yang terakhir kamu bertemu dengan Xavira."
Setelah itu, Rahadi terpaksa meninggalkan Xabiru dan Xavira berdua di lorong rumah sakit itu.
"Xav..." Xabiru mendekat, tangannya meraih pergelangan tangan milik Xavira lalu mengusap-usapnya dengan lembut. "Kita bukan anak kecil lagi."
"Hiks... hiks... hiks... hiks..." Xavira menangis sesenggukan. Firasatnya mengatakan bahwa ia akan kehilangan Xabiru untuk selamanya. "Aku nggak mau!"
"Aku nggak bisa lagi selalu ada di samping kamu."
"Enggak!"
Bagaimana bisa Xavira tahu apa yang akan Xabiru ucapkan?
"Aku mundur. Aku nggak bisa sama kamu," kata Xabiru dengan tangannya meraih pundak Xavira, mendekatkan tubuh perempuan itu. "Maafin aku udah ngerusak kamu."
"Enggak!" firasat itu semakin kuat.
"Aku diterima kerja di luar negeri."
Great!
"Enggak, Bi!"
"Aku akan berangkat besok."
"Jangan pergi."
Xabiru sudah mengulur semuanya hingga hari di mana keadaan Xavira akan diperiksa tiba. Memastikan bahwa Xavira hamil atau tidak. Jika Xavira hamil, maka Xabiru tidak akan pergi ke luar negeri menerima tawaran itu. Namun, hasil menyatakan Xavira tidak hamil. Itu artinya, Xabiru harus pergi.
"Tega, ya, kamu?" tanya Xavira dengan suara paraunya. "Kamu mau ninggalin aku? Iya?!"
"Xav..."
"Sebulan nggak ketemu kamu itu udah cukup ngebuat aku mati kesiksa."
Itu memang benar. Xavira rasanya seperti kehabisan oksigen, jika tidak bertemu dengan Xabiru.
"Percuma aku di sini," kata Xabiru memberi penjelasan. "Nggak ada yang ngehargain aku, Xav."
"Inget nggak dulu? Aku rela nggak ambil beasiswaku yang di luar negeri karena aku pengin selalu sama kamu, Bi."
Xabiru ingat itu.
"Dan sekarang? See... kamu..." Xavira menggelengkan kepalanya dengan tatapan mirisnya menatap Xabiru.
"Aku pengin buktiin sama Papi kamu... bahwa aku bisa."
Xavira juga ingin menunjukkan pada Rahadi bahwa Xabiru adalah pilihan hatinya yang paling tepat.
"Aku pengin nunjukkin ke semua orang yang udah hina aku... kalau aku bisa bangkit."
"Dan... demi semua itu... kamu rela ninggalin aku, Bi?"
"Aku nggak rela," jika boleh jujur, maka Xabiru juga tidak rela kedekatan mereka menjadi renggang, terpisah, dan dibatasi seperti ini. Namun, Xabiru menyadari jikalau itu juga karena kesalahannya telah menghancurkan kepercayaan Rahadi.
"Terus kenapa kamu tetep pergi, Bi?!"
"Karena aku nggak ada pilihan lain lagi!" mendapatkan nada tinggi dari Xavira, membuat Xabiru juga ikut menaikkan intonasi dalam berbicaranya. "Aku nggak mau direndahin lagi! Di sini... di Indonesia ini... aku nggak dihargain sama sekali."
Xabiru memang ingin sekali meninggalkan tanah air yang dicintainya itu. Karena banyak sekali orang-orang yang membuatnya muak berada di sana. Makanya, saat lamaran pekerjaannya itu diterima Xabiru ingin sekali segera melenggang pergi. Namun, ada satu perempuan yang menahan kepergiannya. Yaitu perempuan yang ada di hadapannya saat ini.
"Kamu jahat!"
Xabiru mencoba menyejajarkan langkah kakinya dengan Xavira. Namun, perempuan itu semakin berlari kencang dan bergegas masuk ke dalam mobilnya. Lalu meminta Rahadi mengantarnya pulang tanpa mendengar Xabiru lagi.
Xabiru mengetuk-ngetuk kaca mobil itu, berteriak, meminta waktu, dan memohon agar Xavira mau keluar dari dalam mobil. Namun, yang didapatkan Xabiru adalah hempasan kenyataan pahit kala mobil itu malah melaju kencang meninggalkannya seorang diri.
----------
Xavira menorehkan tinta hitamnya di atas kertas. Mencoba mengenyahkan laki-laki bernama Xabiru Kamajaya dari pikirannya. Namun, tidak bisa.
Xabiru Kamajaya terlalu melekat dalam memori ingatannya.
Lekuk tubuh, senyum indah, raut wajah, perilaku, bahkan kebiasaan buruk Xabiru pun Xavira hafal sekali.
Xavira tersentak saat jendela kamarnya diketuk dari luar. Yang lebih membuatnya terkejut adalah Xabiru ada di balik jendela itu, ia yang mengetuk jendela kamarnya.
Bagaimana bisa Xabiru naik ke atas?
Karena letak kamar Xavira yang ada di lantai dua.
Cepat-cepat Xavira membereskan barang-barangnya lalu menutup jendela kamar itu. Tidak menggubris Xabiru yang tengah memohon padanya. Padahal, Xabiru ingin mengucapkan selamat tinggal.
Hari ini Xabiru berangkat.
Hari ini Xabiru akan merantau ke negeri orang asing.
Hari ini Xabiru akan melewati hari-harinya, tanpa melihat senyum manis Xavira.
Dan hari ini juga, di antara keduanya akan sama-sama merasakan sakit yang luar biasa.
Benturan keras antara jendela dan kusen itu lebih menyayat hati Xavira. Ingin sekali ia berontak pada takdir Tuhan, tapi tidak bisa.
Xavira hanya ingin Xabiru.
Sudah itu saja.
Dengan rasa sakit yang bercampur dengan rasa cinta itu, Xavira mengintip Xabiru yang sudah bersiap akan pergi dari lantai dua.
"Selamat tinggal, Xavi."
Bersambung...