"Percayalah bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri."
-Xavira Naraya Rahadi-
----------
Teruntuk Xavi...
Xavi...
Bintang di langit yang berwarna biru itu jaraknya amat jauh dari bumi.
Seperti yang kukatakan waktu itu.
Akan ada saatnya aku tidak ada lagi di sampingnya.
Tidak lagi bisa melihat senyummu atau tidak bisa lagi tertawa bersamamu.
Itu karena adanya jarak, Xavi.
Xavi, kamu tahu tidak sudah berapa lama kita bersama?
Tujuh ribu tiga ratus hari, tepat di hari aku menulis surat ini.
Tujuh ribu tiga ratus hari itu tidak mudah dilupakan.
Ada banyak kenangan. Bahkan, tangisan yang terjadi di antara kita
Maaf.
Pernah membuatmu terluka untuk yang kesekian kalinya.
Maaf juga untuk hal yang seharusnya tidak aku ambil malam itu.
Bersabarlah, Xavi.
Tiga tahun lagi aku akan menikahimu.
Tiga tahun lagi akan aku pastikan bahwa Papi mau menerima kehadiranku.
Tiga tahun itu juga aku akan berusaha menahan merindukanmu.
Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar, Xavi.
Jadi, mohon lebih sabar lagi.
Aku ingin jujur akan perasaanku.
Aku memang tidak tahu makna cinta yang sebenarnya, Xavi.
Tapi, aku akan belajar mencintaimu mulai dari detik ini.
Jika kamu merindukanku, maka tataplah bintang malam yang berwarna biru.
Jika kamu ingin aku datang, maka panggil aku 3×.
Jika kamu tidak bisa bersabar, kamu boleh mencari yang lain.
Jangan menungguku. Jika kamu tidak kuat.
Aku di sini sedang berjuang akan kehidupan yang selalu orang-oranng banggakan. Tentang uang dan harta melimpah.
Xavira menyeka air matanya seraya mengumpat kecil. Ia sudah mengatakan ribuan kali, jikalau perasaan bahagianya itu tidak bisa dibeli dengan uang.
Aku dengar, Papi akan menjodohkanmu dengan anak dari teman perusahaannya.
Terimalah, Xavi.
Karena pilihan orang tua itu yang terbaik.
"Baru tadi dia bilang, suruh nunggu. Sekarang beda lagi."
Membaca surat yang ditulis langsung oleh Xabiru melalui lembaran kertas putih bertinta hitam seakan ia mendengar laki-laki itu sendiri yang mengatakannya di depannya saat ini.
Tapi, aku sangat ingin kamu menungguku.
Aku tidak tahu.
Apakah aku pantas ditunggu atau malah sebaliknya.
Karena aku sejujurnya tidak sebanding dengan kamu, Xavi.
Aku tidak pintar.
Tidak dari keluarga kaya.
Dan aku bisa apa selain menjadikanmu adik? Sahabat? Bahkan, aku menganggapmu saudara kembarku karena banyaknya hal batin yang terikat di antara kita.
Xavi hanya satu yang aku minta, jika kamu sudah menikah dan tidak mau menungguku lagi...
Jangan pernah balas surat ini.
Jangan pernah memberiku kabar akan keadaanmu.
Aku anggap itu artinya, kamu tidak mau menungguku.
Namun, jika semua itu tidaklah benar... tolong segera hubungi aku.
Kita sama-sama berjuang di tempat yang tidaklah sama.
Dari laki-laki berengsek yang menyanyangimu.
Bulir bening itu terjatuh dari sudut matanya. Dadanya terasa sesak menahan gejolak yang bergemuruh. Tangannya meremas amplop berwarna kontras yang sedang ada di genggamannya.
Xabiru benar-benar telah pergi dalam kehidupannya.
Tadi, Xavira membuka kaca jendela kamarnya. Melakukan hal seperti biasa, yaitu mengamati bunga mawar yang merekah di balik kaca jendela. Namun, bukan tumbuh kembang bunga itu yang ia dapat melainkan surat dari pemilik hatinya.
Dalam surat itu banyak hal yang Xabiru katakan. Namun, Xavira masih merasa kurang. Ia selalu ingin berkomunikasi dengan Xabiru lagi dan lagi.
Pikiran Xavira masih dipenuhi dengan Xabiru lalu kalimat laki-laki itu menelisik masuk ke dalam memori otaknya.
Xabiru tadi mengatakan bahwa Rahadi akan menjodohkannya dengan anak dari teman perusahaan papinya?
APA?!!!!
Itu tidak mungkin, 'kan?
Xavira baru sadar, jika Rahadi memang sudah merencanakan itu semua semenjak dirinya memaksakan diri berdiam di dalam kamar dan tidak mau buka suara.
---------
Hari-hari biasa dilalui oleh seorang Xavira Naraya Rahadi. Pergi ke kampus diantar oleh sang sopir, mengerjakan tugas kuliah, pergi belanja seadanya lalu mulai bergelut lagi dengan tugas di dalam kamar.
Itu sudah kegiatan rutin seorang perempuan bernama Xavira yang membuat Rahadi geram.
"Xavi, keluar!"
"Aku lagi sibuk, Pi."
Itu yang selalu terjadi kala Rahadi menyuruhnya keluar kamar. Rahadi merasakan sikap Xavira yang berbeda karena ia melarangnya berhubungan dengan Xabiru. Biasanya Xavira sangat terbuka akan semua hal yang terjadi. Menceritakan kegiatan kampusnya hingga teman-temannya yang sering berdandan menor biasanya Xavira ceritakan pada Rahadi. Namun, kini tidak lagi ada cerita-cerita ringan dari Xavira yang seperti itu.
Xavira lebih memilih bercerita di atas sebuah kertas putih dengan pena hitam di tangannya.
Ini sudah minggu ketiga Xabiru pergi ke luar negeri. Dan hari ini juga Xavira baru tahu, jika Xabiru bekerja di salah satu perusahaan swasta yang ada Los Angeles, Amerika Serikat.
Itu berita yang beredar dan Xavira dengar dari Dea.
Xavira tidak tahu secara pasti pekerjaan laki-laki itu apa. Yang jelas, Xabiru tidak ada di sampingnya.
Tok... tok... tok...
"Pi, jangan ganggu aku."
"Non Xavi, ini Mbak Siti."
Ah. Ternyata, bukan Rahadi yang mengetuk pintu kamarnya.
"Ada apa, Mbak?" tanya Xavira setelah membukakan pintu kamarnya.
Dilihatnya Siti ada di depan kamarnya sembari membawa bingkisan kotak kecil berwarna pink.
"Ini tadi ada kiriman dari Mas Ferdi."
Mas Ferdi?
Saat nama dari kakak laki-laki Xabiru disebut, Xavira langsung mengajak asisten rumah tangganya itu untuk masuk ke dalam kamarnya.
Siti menjelaskan bahwa tadi siang Ferdi menitipkan bingkisan itu padanya agar diberikan kepada Xavira. Tentu saja Xavira tersenyum semringah akan hal itu. Bingkisan itu tidak lain dari Xabiru.
"Papi nggak tahu 'kan, Mbak?"
"Aman, Non." Siti menggelengkan kepalanya sambil mengacungkan jempolnya. "Ya, udah. Mbak, pamit dulu."
Setelah kepergian Siti dari kamarnya, Xavira mendudukkan dirinya di tepi ranjang sambil mengusap-usap bingkisan itu. Membayangkan yang ada di hadapannya saat ini bukanlah sebuah kotak kecil berwarna pink, melainkan Xabiru.
Gerakan tangan Xavira sangat lembut membuka pembungkus bingikisan itu lalu mendapatkan sepucuk surat lagi.
Xavira meletakkan bingkisan kecil berwarna pink itu, tatapannya beralih pada sepucuk surat yang ada di tangannya. Apalagi kali ini yang mau Xabiru katakan padanya?
Untuk Xavira si manja nan lembut penyuka ice cream rasa cokelat...
Maaf.
Surat ini bukan hasil tulisan tanganku sendiri.
Ya, Xavira saat ini membaca surat yang ditulis hasil dari ketikan.
Sejak hari kedua ada di sini, aku sering mengirimimu e-mail. Tapi, sepertinya kamu masih marah sehingga tidak ada satu e-mail yang aku kirimkan itu kamu balas.
Ah. E-mail?
Xavira bahkan lupa mengecek akun media sosialnya.
Kali ini, jika melalui surat pasti kamu baca, 'kan?
Tentu saja!
Xavi, di sini aku bertemu gadis yang masih berumur 17 tahun. Gadis itu mirip sekali denganmu. Penyuka ice cream rasa cokelat dan penikmat novel yang berakhiran bahagia.
Bertemu dengan gadis ini, membuatku semakin ingin rasanya pulang ke Indonesia.
Untuk menemuimu.
Namun, aku berpikir lagi. Aku harus bertahan di sini.
Xavi, kamu baik-baik saja 'kan di sana?
Kamu membaca semua pesanku, 'kan?
Oh, iya. Entah kamu ingat atau tidak... tapi, aku akan tetap memberikannya.
Coba buka bingkisan yang Kakakku berikan padamu.
Xavira langsung membuka kotak kecil itu. Di dalam kotak itu ada sesuatu yang ia minta tempo tahun yang lalu.
Itu gelang yang kamu minta.
Sewaktu kita bolos sekolah, padahal besok akan diadakan ujian.
Maaf. Baru bisa membelikannya sekarang setelah sekian lama.
Aku tahu kamu bisa membelinya sendiri, tapi kamu memintaku yang membelikannya.
"Biru, aku mau itu!" rengek Xavira manja pada Xabiru kala itu. "Itu gelangnya lucu banget."
Waktu itu, aku hanya diam karena tidak bisa menuruti keinginanmu.
Bagaimana sekarang? Kamu sudah bahagia?
Xavi, gelang itu yang menjadi penggantiku mulai dari sekarang.
Katamu, bintang-bintang yang melingkar di sepanjang rantai itu adalah dirimu. Sedangkan, yang berwarna biru itu aku.
Bukankah kita saling melengkapi, Xavi?
Xavi, sudah dulu, ya. Hanya ini yang bisa aku tulis.
Jika ada waktu balas pesanku. Tenang saja. Aku tidak akan pernah bosan untuk mengirimimu pesan saat aku ada di sini.
Dari laki-laki yang berharap bisa menjadi bagian dalam hidupmu.
Xavira mengusap wajahnya dengan kasar. Perasaannya akan Xabiru memang sudah tertanam terlalu dalam hingga mematikan sebagian fungsi organ tubuhnya.
Tangannya mulai melingkarkan seutas gelang perak itu di pergelangan tangannya lalu memejamkan matanya sebentar. Mencoba merasakan kehadiran Xabiru di dadanya yang menimbulkan ilusi semata.
Dan satu hal yang Xavira putuskan setelah kepergian Xabiru, ia tetap akan menunggu, menanti, bahkan akan tetap tinggal di hati yang sama. Meskipun, banyak hal yang membuatnya harus merelakan hati itu. Karena Xavira ingin mencintai, bukan dicintai. Meskipun, terasa amat menyakitkan.
Bersambung...