•Alasan Dipertemukan•

1332 Kata
"Alasannya sederhana. Karena itu kamu." -Xabiru Kamajaya- ---------- "Xabi, lo kerja di bagian IT." "Emang kenapa, Den?" tanya Xabiru tanpa mengalihkan perhatiannya saat ini. "Ya, kali lo masih nulis surat pakai cara kayak gini." Xabiru meletakkan penanya setelah bait terakhir puisi yang ia rangkai selesai. Ia melirik teman kerjanya yang berasal satu daerah dengannya. "Sekarang ini udah zamannya teknologi serba canggih," katanya dengan nada intonasi yang menggebu. "Bisa nulis surat via e-mail, kan, banyak macamnya bisa lewat yahoo, sss----" "Ini puisi, bukan surat." "Gue juga sering lihat lo nulis surat-surat yang mellow." "Lo lancang baca-baca surat gue?!" Seketika itu Deni membungkam mulutnya dengan telapak tangan. "Ups. Keceplosan." Deni memang saat itu tidak sengaja menemukan beberapa amplop yang tergelatak di atas meja kerjanya Xabiru, hanya berbekal rasa penarasan ia pun membukanya lalu membaca secara perlahan isi surat itu. Suratnya sederhana, bukan surat tentang pernyataan cinta atau puisi Khalil Gibran. Hanya berisi tentang kegiatan sehari-hari yang Xabiru lewati selama berada di Los Angeles, Amerika Serikat. "Maaf, Bro." Deni meminta maaf karena Xabiru tampak marah karena hal yang bersifat privasi itu terungkap. "Mending kita sekarang having lunch. Bentar lagi jam makan siang udah habis." Xabiru tidak banyak bicara selama bekerja. Hanya berbicara, jika menjawab pertanyaan atau bertanya akan sesuatu hal yang ia tidak tahu. Dan satu lagi, Xabiru juga belum terlalu akrab dengan teman kerjanya selain Deni karena laki-laki itu berasal dari negara yang sama. Baru saja Xabiru dan Deni memasuki lift, tapi seseorang memanggil nama mereka berdua dan mengajaknya makan siang bersama. Jelas saja Xabiru dan Deni tidak bisa menolak ajakan itu. Karena yang mengajak mereka berdua makan siang bersama adalah Pak Robert. Xabiru merasa menjadi manusia paling beruntung karena mengenal orang bernama Robert Benedic yang saat ini ada di hadapannya. Karena orang itu juga Xabiru bisa bekerja di salah satu perusahaan swasta yang ada di luar negeri dengan gaji luar biasa. Meskipun, ia hanya berbekal ijazah SMA. "Deni, please order food. I want to talk privately with Xabiru." "Yes, Sir." Setelah kepergian Deni, Xabiru mengucapkan terima kasih secara berulang kali pada Robert. Ia tidak tahu harus dengan cara apalagi melukiskan rasa terima kasihnya. "Do not over do it," katanya. Xabiru mengernyitkan kening, bingung. Apakah mengucapkan terima kasih atas apa yang ia peroleh itu merupakan sesuatu yang berlebihan? "I just want to repay your kindness." Robert hanya tidak ingin mempunyai hutang balas budi pada Xabiru. Makanya, ia memperkerjakan Xabiru di perusahaannya. Anggap saja sebagai balas budinya. Lagipula, Xabiru juga mempunyai skill di bidang IT. Meskipun, Xabiru bukan lulusan dari universitas terkenal yang biasanya ia rekrut. "Are you comfortable living here, Xabi?" "Yes, comfortable." "It's okay," Robert tersenyum senang. Xabiru menautkan kedua tangannya. Jari-jemarinya saling tertaut satu sama lain guna mengurangi rasa gugupnya. Ia ingin bernegoisasi dengan Robert kali ini. "Tentang kontrak kerja saya..." Xabiru gugup ingin mengatakannya. Namun, ia tetap menguatkan tekadnya. "Ah. Jason sudah memberitahuku, Xabi." Xabiru mengulum senyumnya. "Maaf. Saya terlalu merepotkan Anda." "Tidak usah seperti itu," katanya dengan di akhiri kekehan. "Apakah tiga tahun sudah cukup untukmu? Kamu bisa bekerja di sini selamanya, Xabi." Selamanya? Baru tiga bulan saja rasanya sudah hampir mati sesak napas. Hanya dengan melihat foto Xavira yang bisa menyambung hidup Xabiru selama ada di Los Angeles. "Angelina ingin pulang ke Indonesia. Bertemu dengan Mommy-nya." Xabiru mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja sembari mendengarkan Robert bercerita tentang anak perempuannya. Katanya, Angelina merindukan kampung halamannya. "Bukankah Angelina masih berstatus sebagai pelajar di sini?" tanya Xabiru setelah mengetahui, jikalau Angelina akan pulang ke Indonesia dan menetap di sana. "Angelin meminta pindah," kata Robert rendah. "Anak itu selalu mempunyai pemikiran yang tiba-tiba." Ya, Xabiru baru mengenal Angelina. Meskipun, dari awal pertemuannya dengan Robert sudah menceritakan tentang anak perempuannya itu secara panjang dan lebar dengan sangat antusias. Semua itu mengingatkannya akan Rahadi dan Xavira. Apalagi, kebiasaan dan kesukaan Angelina yang bisa dibilang 90% mirip dengan Xavira. Mulai dari suka mengkonsumsi ice cream rasa cokelat, duduk bersantai sambil menyantap cokelat-cokelat kecil berbentuk bulat dengan ditangannya ada satu buah novel yang tidak pernah ia lewatkan barang sehari pun, serta kebiasaan sederhana seperti stalking akun penulis favorit mereka. "Bisakah kamu membujuk Angelina agar tidak pindah ke Indonesia, Xabi?" "Hah?" Xabiru tentu saja tersentak dengan pertanyaan berisi permintaan dari Robert itu. "Saya?" tunjuknya pada diri sendiri. "Yes, Xabi. Can you----" "Sorry, Sir." Xabiru menggelengkan kepalanya secara perlahan lalu berucap pelan, berharap ucapannya itu tidak menyinggung perasaan Robert. "Saya tidak sedekat itu dengan Angelina." -------- Senyum manis yang melengkung secara sempurna di bibir tipisnya itu mampu menghangatkan hati siapa pun yang melihatnya saat ini. "Akhirnya, selesai juga." Xavira baru selesai menanam pohon stroberi di green house yang terletak di belakang rumahnya. Ia merasa sangat jenuh berada di rumah. Tidak ada kegiatan spesial yang bisa ia lakukan. Semua tugas kuliahnya sudah selesai ia kerjakan, tanpa kecuali. "Non Xavi..." panggil Siti, membuat Xavira menoleh pada asal suara. "Non, dipanggil sama Bapak... suruh siap-siap. Katanya, mau ada tamu penting." Xavira memberengut sebal. Tamu penting? Ah. Itu biasa terjadi antara 5-7 kali dalam sehari. Entah siapa saja rekan, sahabat karib, atau sanak keluarga yang selalu berkunjung ke rumahnya. Namun, Xavira selalu enggan menampakkan dirinya. Ia lebih memilih mengurung diri di dalam kamar dengan laptop dan ponsel yang selalu menemani. Xavira melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar lalu menutup pintunya. Membersihkan diri lalu mulai duduk di depan layar canggih yang orang biasanya menyebut dengan nama laptop. Ia membuka salah satu aplikasi yang ada di sana lalu mulai membaca satu per satu pesan masuk. Ada sepuluh pesan masuk dari satu orang yang sama. Siapa lagi, jika bukan Xabiru Kamajaya. Xavira tertawa kecil membaca isi pesan-pesan itu. Di akhir pesan yang Xabiru kirim ia selalu meminta agar Xavira mau membalasnya. Namun, tidak pernah satu dari sekian pesan yang masuk itu Xavira balas. Perempuan itu hanya membacanya dan berharap Xabiru bisa cepat pulang ke Indonesia. Xavira menatap gelang yang melingkar di tangannya lalu bergumam pelan. "Karena bintang biru ini mampu memancarkan cahayanya sendiri, tanpa perlu bantuan dari orang lain." "Xavi..." suara bariton milik Rahadi terdengar di balik pintu kamarnya. Xavira pun membukakan pintu dan bertanya ada apa pada sang papi. "Papi ingin mengenalkanmu dengan seseorang. Ayo, ikut Papi!" "Siapa, Pi?" tanya Xavira saat Rahadi mengajaknya ke ruang tamu. Keinginan orang tua itu begitu tidak adil pada anaknya. Katanya, orang tua melakukan ini-itu selalu berdalil bahwa itu yang terbaik bagi sang anak. Namun, perlu diketahui bahwa anak juga ingin menentukan sendiri keinginannya. Bukan hanya menuruti keinginan orang tua. Xavira menggeleng pelan dengan tatapan mata sayunya kala Rahadi mengenalkannya pada anak dari teman bisnisnya. Namanya Gilang Prasetya dari keluarga terpandang nan kaya. Kedua orang tua Gilang juga hadir di sana, membuat suasana semakin terasa mencekam bagi Xavira. Rasanya ingin sekali Xavira menutup kedua daun telinganya, daripada harus mendengar keputusan Rahadi yang akan menjodohkannya dengan Gilang. Sungguh, itu merupakan berita kiamat kecil yang didengar oleh Xavira. "Pi..." Xavira menggigit bagian bawah bibirnya. Ia ingin meluapkan ketidak setujuan atas perjodohan itu. Namun, Xavira takut nama baik Rahadi tercoreng di depan teman bisnisnya. "Xavi, kamu tidak keberatan 'kan dengan perjodohan ini?" tanya Tiva, mamanya Gilang. "Xavi, kenapa kamu dari tadi diam saja?" Gilang ikut bertanya. Ah. Bagaimana caranya Xavira menjawab semua pertanyaan itu di saat Rahadi menyorotnya dengan tatapan tajamnya yang khas. "Ehm... sa... aku... say..." Xavira gugup tidak terkendali lagi. "Sudah," Pras selaku papanya Gilang menengahi kegugupan yang Xavira hadapi dengan memberinya keputusan. "Tidak apa-apa. Mungkin kalian berdua masih perlu waktu untuk melakukan pendekatan." "Iya. Masalah pernikahan dan lain sebagainya itu bisa dibicarakan nanti." Hah? Pernikahan?! Mimpi buruk apalagi ini, Ya Tuhan?! "Tapi, pertunangan yang sudah direncakan minggu depan tetap akan berjalan lancar 'kan, Pa?" Xavira menatap Gilang dengan pandangan tidak percayanya. "Tentu saja akan berjalan lancar." "Tapi, ki-kita... baru bertemu hari ini..." Xavira memilin ujung pakaian yang ia kenakan saat ini untuk mengurangi rasa gugupnya yang terlalu meluap-luap tidak menentu. "Inilah alasan kita mempertemukan kalian berdua hari ini," kata Tiva. "Untuk memberitahukan tentang pertunangan yang akan dilaksanakan minggu depan." "Soal perasaan itu bisa hadir nanti, jika kalian berdua sudah terbiasa bersama." Omong kosong! Perasaan seseorang tidak sesederhana itu. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN