•Reuni (A)•

842 Kata
"Tiga tahun yang telah berlalu itu menimbulkan banyak kenangan terlewati tanpa bisa dihela lagi." -Xavira Naraya Rahadi- ---------- Seribu sembilan puluh lima hari kemudian... "Lepas, Lang!" "Kenapa, sih, kamu selalu nolak saat aku cium kamu?!" sudah cukup Gilang menahan hasratnya selama ini. "Aku belum siap." "s**t!" Gilang mencengkeram setir kemudi mobilnya dengan pandangan nyalangnya. "Kamu bilang kamu mau bersabar sama aku..." Xavira memelankan nada suaranya. "Dari awal aku 'kan udah bilang, Lang." "Udah tiga tahun, Xavi!" "Dan waktu itu belum cukup untuk ngerubah semuanya, Lang." Sebab kesiapan seseorang akan sesuatu itu tidak bisa diukur hanya dengan waktu yang telah lama berlalu. Bahkan, ribuan tahun yang telah terlewati pun tidak mampu mengubah semuanya. "Kamu harus ingat... siap atau pun enggak," Gilang menjeda kalimatnya. "Dua bulan lagi kita sudah resmi menjadi suami istri." Xavira memejamkan matanya kala kenyataan pahit yang menghantui selama tiga tahun terakhir hidupnya itu kian terasa menyiksanya, membumbungkan pilu yang teramat menyayat hingga rasanya hati tidak lagi utuh ada dalam rongga d**a. Karena hati Xavira setiap hari selalu tercabik-cabik memahami posisinya yang dipaksa terikat hubungan dengan seseorang bernama Gilang yang ada di hadapannya saat ini. "Aku nggak nerima lagi alasan apa pun dari kamu." Setelahnya, Xavira hanya mampu menggigit bagian bawah bibirnya. Gilang menghidupkan mesin mobil lalu menjalankannya seperti biasa. Mengendarai kendaraan roda empat itu ke suatu tempat yang ingin Xavira tuju. Xavira sedang mencoba lari dari masalah dengan menghadiri acara reuni yang diadakan oleh teman SMA seangkatannya. Gilang melirik Xavira sekilas. Perempuan itu tidak berucap apa pun, membuatnya resah karena bibir Xavira yang terlalu terkatup rapat. Jarang bergumam atau menyuarakan obrolannya secara lantang. Bahkan, saat mereka berdua dalam keadaan bersama tanpa ada orang lain. "Udah tiga tahun hubungan kita nggak ada perubahan." "Maaf." "Butuh waktu berapa lama lagi?" Selama mungkin. "Kamu itu tunangan aku, Xav." "Aku tahu, tanpa kamu perjelas lagi." "Kalau kamu tahu, kenapa kamu nggak bisa sedikit aja coba ngasih izin aku ngelakuin hal romantis ke kamu." Xavira memang selalu menghindar saat Gilang mengajaknya melakukan pendekatan, seperti nonton film romantis di bioskop, menghabiskan malam minggu bersama, pergi jalan-jalan ke pasar malam, dan mencium pipinya meskipun itu hanya sekilas. Pernah waktu itu, Gilang secara cepat mendaratkan ciuman kilat di pipi kiri Xavira yang langsung dihadiahi sebuah tamparan telak dari perempuan itu. Dan sejak saat itu, Gilang mencoba menahan untuk melakukan itu semua terhadap Xavira. "Aku pergi," kata Xavira sembari membenarkan letak sling bag miliknya yang berisi ponsel dan uang dalam tas itu. "Nanti pulangnya aku kabari." "Jangan sampai larut malam, Xavi." Xavira menganggukkan kepalanya, tangannya menutup pintu mobil secara pelan. Selalu seperti ini. Tiga tahun sudah terlewati, tapi rasanya tidak pernah benar-benar mati. Meskipun, Gilang bersikap baik, perhatian, mempunyai segala yang ia butuhkan, dan mampu membelikan segalanya di dunia ini kecuali perasaannya. Itu semua tidak cukup kuat untuk menggeser seseorang yang berarti baginya. Bi, kapan kamu pulang? Xavira memegangi dadanya yang terasa sesak karena rindu yang terkumpul selama tiga tahun lamanya. Ia berharap, Xabiru datang lalu menepati janjinya untuk menikahinya. Terdengar bunyi pop up di ponselnya, membuat Xavira merogoh ke dalam tasnya lalu membuka satu e-mail yang masuk di kotak pesan. XabiruKamajaya@gmail.com Xavi... apa kabar? Kabar baik, 'kan? Aku kangen kamu, Xavi. Setetes bulir bening mengalir dari sudut matanya. Rasa yang terpendam itu kian membesar, membengkak, melebar, dan meluas hingga luasannya tidak dapat diukur lagi betapa lebarnya. Xavira memantapkan langkah kakinya masuk ke dalam gedung yang menjulang tinggi itu. Tempat di mana acara reuni SMA Nusa Dua angakatan 69. Kala sudah berada di dalam gedung itu, Xavira mengembangkan senyum palsunya dengan bola mata yang ia paksakan berbinar bahagia. Ia disambut dengan hangat oleh beberapa teman lamanya. Ah. Rasanya Xavira ingin kembali pada masa di mana ia masih ada di bangku sekolah, mengukir kenangan indah bersama dengan Xabiru yang selalu ada di sampingnya. "Xav!" seru Dea lantang, menyuruh Xavira duduk di kursi kosong sampingnya. "Anak-anak pada kangen kepolosan elo." "Biasa aja kali." Setelahnya, Xavira bersalam-salaman dengan teman-temannya dan saling bertegur sapa. "Teman-teman, minta perhatiannya sebentar," kata seseorang yang sudah ada di depan dengan tangannya terlipat depan d**a. "Terima kasih bagi kalian semua yang sudah menyempatkan hadir di acara reuni ini." Xavira masih ingat siapa yang memberi sambutan saat ini, ia adalah Reno si ketua OSIS kala itu. Menurut Xavira, Reno tidak banyak berubah sejak SMA dulu. Penampilannya tetap sama dengan gaya rambut cepaknya, kacamata hitam, kemeja rapi yang sudah disetrika menjadikannya sangat licin di bagian depan dan belakang, serta tidak lupa juga sepatu jenis pantofel yang selalu laki-laki itu pakai. Acara demi acara pun dimulai dan Reno mengumumkan, jika wakil ketua OSIS pada masa mereka juga ikut hadir. Tentu saja itu membuat Xavira berjingkat kaget di kursi tempatnya duduk saat ini. Degupan jantungnya bergemuruh tidak menentu. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhnya. "Maklum. Dia baru pulang dari luar negeri. Jadi, ada sedikit keterlambatan." Dan saat sosok yang ia harapkan itu mulai menampakkan dirinya, Xavira tiba-tiba menjadi patung yang diam membisu di tempatnya. Bahkan, untuk menghirup oksigen saja rasanya sangat sulit. Karena Xavira terlalu terfokus pada sosok itu. Sosok yang hampir membuatnya mati tercekik selama tiga tahun belakangan ini. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN