Sosok yang hampir membuatnya mati tercekik selama tiga tahun belakangan ini.
"Xa-bi-ru..." ucap Reno. Teman-temannya pun langsung bersorak ramai mengiringi langkah kehadiran Xabiru, apalagi teman-temannya yang begitu antusias dengan kehadirannya saat ini. "Akhirnya, partner gue selama masa SMA dateng juga."
Xabiru memelankan langkah kakinya kala dua bola matanya terkunci dengan tatapan sendu milik Xavira. Namun, itu hanya berlangsung sebentar karena Reno sudah memanggilnya untuk memberikan sambutan.
"Gue pikir, lo nggak bakalan dateng."
"Gue pasti tepati janji yang udah gue buat."
Janji?
Janji akan apa itu?
Lantas, bagaimana janji-janjinya pada Xavira yang katanya tidak akan pernah meninggalkannya sendiri?
"Buat temen-temen, mungkin pada lupa siapa Xabi ini..." Reno menepuk bahu Xabiru. "Dia orang di balik layar selama masa-masa SMA kita. Pas ada acara, festival, hingga acara tahunan yang paling banyak andil itu si Xabi. Temen paling konyol, nggak pinter-pinter amat... tapi, cukup menguntungkan buat dijadiin temen."
"Anjir lo!" dengus Xabiru.
"Sekarang, Xabiru udah beda dari yang dulu. Kehidupannya beda dari kita-kita."
Ya, itu kentara sekali dari penampilan Xabiru saat ini. Mulai dari jas yang ia kenakan hingga alas kaki itu. Semua yang melekat di tubuh Xabiru saat ini bermerk dan mempunyai harga tinggi.
"Nggak ada bedanya..." Xabiru bergumam. Tatapannya lurus ke depan, menatap satu objek nyata yang dulu dekat dengannya.
Melihat kehidupan Xabiru yang sudah membaik, membuat hati seorang Xavira Naraya Rahadi juga ikut merasakan senang. Namun, entah mengapa ia mengeluarkan bulir beningnya kala menatap Xabiru intens melalui jarak yang lumayan jauh.
"Xav, lo nangis?" tanya Dea yang ada di sampingnya.
"Ah. Enggak," elak Xavira dengan mengerjapkan matanya beberapa kali. "Cuma kelilipan aja."
"Di sini nggak ada---"
"Gue juga ngantuk," potong Xavira. "Gue ke toilet dulu."
"Mau ngapain?"
"Cuci muka biar nggak ngantuk."
Bohong!
Xavira sangat tidak suka akan dirinya yang saat ini. Berusaha keras menutupi semuanya.
---------
Kadang kala, dipaksa akan sesuatu itu perlu agar terbiasa.
Xavira sudah dipaksa hidup tanpa adanya Xabiru selama tiga tahun. Namun, itu belum cukup membuatnya terbiasa.
Dengan mata terpejam sebentar, Xavira merapalkan do'a dalam hati agar kuat menghadapi apa yang terjadi saat ini. Lalu ia bersiap kembali ke acara semula, tapi langkah kakinya terhenti di depan toilet kala ada yang menghadangnya.
Sekitar lima menit lamanya, tubuh mereka berdua sama-sama diam, tidak bereaksi. Karena rindu itu luruh berjatuhan.
Akhirnya, ia bisa menarik perempuan itu dalam dekapan hangatnya. Mencium puncak kepalanya berulang kali dengan menghirup aroma bunga mawar yang menguar dari tubuh Xavira.
"Lepas!"
Sontak Xabiru terpaku, tangannya terasa kaku saat Xavira menghempasnya begitu saja.
"Xav... ini aku."
"Kamu siapa?" Xavira seakan baru mengenal sosok Xabiru. Melupakan kenangan mereka bersama yang tercipta dulu.
"Aku pulang, Xav."
Xavira tidak peduli. Ia berbalik lalu melangkahkan kakinya dengan cepat agar terhindari dari Xabiru. Namun, usaha Xabiru tidak sampai di situ. Laki-laki itu menahan bahu Xavira lalu menatapnya lamat-lamat.
Mungkin, Xavira masih marah padanya.
"Maafin aku... aku bener-bener minta maaf, Xav."
Xavira terdiam.
"Aku janji... nggak bakal ninggalin kamu lagi."
"f**k!" Xavira mengumpat sembari mengalihkan pandangannya agar tidak menatap Xabiru lagi.
"Kamu boleh tampar aku, maki aku, atau pun pukul aku. Silakan lakukan itu, Xav. Jika itu bisa membuat kamu maafin aku dan nggak marah lagi---"
"Stop!" Xavira menutup telinganya. "Aku nggak butuh penjelasan apa-apa. Anggap aja kita nggak saling kenal, mulai dari sekarang."
"Tapi, kenapa?" tanya Xabiru putus asa.
"Aku sama kamu... bukan kita yang dulu. Aku bukan aku... kamu juga bukan kamu yang aku harapkan dulu. Semua tidak lagi sama."
"Maksud kamu apa, sih?"
"Anggap semuanya nggak pernah terjadi. Kita bukan orang yang saling kenal satu sama lain."
Xabiru tertawa pelan.
Sungguh itu lelucon yang tidak biasa.
"Aku serius. Aku nggak lagi bercanda."
"Aku minta maaf. Oke," Xabiru merogoh saku celananya, mengeluarkan kotak merah dari sana. Ia membuka kotak itu sembari menekuk lututnya. Posisinya saat ini sedang setengah berlutut pada Xavira. "Maaf. Aku baru bisa ngelakuin ini sekarang."
Cincin?
Xabiru benar-benar melamarnya?
Astaga!?
Seperti ada buncahan-buncahan euforia yang meletup tiada henti. Perutnya seakan penuh dengan kupu-kupu sehingga menimbulkan kenyang akan bahagia. Padahal, Xavira belum memakan apa pun hari ini.
"Menikahlah denganku, Xavi."
Xavira tahu, Xabiru benar-benar mengucapkan itu dengan penuh kesungguhan yang luar biasa. Terbukti dari tatapan matanya yang hanya terfokus ada Xavira, membuat perempuan itu tidak bisa lagi berdiri dengan sempurna di hadapan Xabiru karena lututnya yang tiba-tiba melemas.
"Kamu diam. Itu artinya, iya."
Bagi Xabiru, diamnya Xavira adalah iya yang nyata.
Xabiru meraih jemari mungil milik Xavira, mengusapnya lembut. Kala Xabiru akan memakaikan cincin yang baru saja ia keluarkan dari dalam kotak merah itu, bola matanya membola. Ada tatapan kecewa yang tersirat sangat dalam di sana.
"Xav..."
"Maaf," Xavira mulai terisak. "Maaf. Aku nggak bisa nunggu kamu, Bi."
"Kamu... ini... nggak mungkin, 'kan?"
"Aku bukan lagi Xavira yang dulu. Aku udah beda," kata Xavira diselingi dengan tangisnya yang pecah begitu saja. "Aku... udah... jadi..."
Xabiru bangkit dari posisinya lalu memeluk Xavira erat.
Tentu saja itu membuat Xavira bingung. Setelah mengetahui Xavira sudah menjadi milik orang lain, itu semua tidak mengurungkan niatnya sedari awal untuk menikahi perempuan itu.
"Ini alasan kamu nggak pernah mau balas semua pesanku selama tiga tahun ini?" tanya Xabiru yang dibalas anggukkan mantap oleh Xavira.
Katanya, jika Xavira tidak ingin menunggu Xabiru, maka jangan membalas pesan darinya. Itulah yang Xavira lakukan selama ini.
Xavira harus rela menguraikan pelukan Xabiru karena ponselnya yang berdering nyaring. Ia segera menggeser layar ponsel berwarna hijau miliknya setelah tahu siapa penelepon itu.
"Iya. Ini aku udah mau pulang, Pi."
Xabiru mengamati setiap gerak-gerik Xavira saat mengangkat telepon dari Rahadi. Xavira-nya tidak pernah berubah. Tetap patuh terhadap semua perintah Rahadi.
"Papi nyuruh kamu pulang sekarang?" Xabiru menanyakan itu setelah Xavira menutup sambungan teleponnya.
Xavira menganggukkan kepalanya, langkah kakinya menjauh dari Xabiru. Namun, baru beberapa langkah kakinya sudah ditarik lagi oleh Xabiru. Laki-laki itu ingin Xavira tetap ada di dekatnya.
"Bi..."
"Tetep di sini... sama aku."
"Gila, ya, kamu!" teriak Xavira saat Xabiru meraih tangannya lalu melepaskan cincin yang sudah tersemat di sana sejak tiga tahun silam. "Xabiru!"
Dengan gerakan tangan yang cepat, tapi lembut Xabiru melepaskan cincin pertunangan Xavira dengan Gilang. Laki-laki itu menggantinya dengan cincin yang ia beli dari hasil kerjanya selama tiga tahun ini. Senyum merekah kembali terbit di bibir Xabiru.
Xabiru mengusap cincin itu yang sudah tersemat dengan manis di jari Xavira. "Ah. Ternyata, ukurannya sangat pas."
Xabiru pikir, cincin itu nantinya akan kebesaran atau kekecilan. Namun ternyata, sangat pas dan cocok sekali untuk Xavira.
"Terlambat, Bi! Terlambat!"
"Nggak ada yang terlambat. Nggak ada, Xav."
Xavira meronta, memukul, bahkan menendang tulang kering Xabiru kala laki-laki mencoba menghentikan langkah kakinya yang akan bergegas pergi.
"Stay with me, please, Xavi."
Bersambung...