01. Ditembak
Pukul tujuh lewat dua puluh menit. Nyaris setengah jam dari waktu seharusnya semua siswa SMA Angkasa harus sudah berada di dalam kelas. Sepanjang lorong tampak sepi, membuat Kaka menghela napas berat untuk ke sekian kali. Pertama kalinya, Kaka terlambat berangkat ke sekolah. Ini semua karena mahluk paling menyebalkan yang biasa Kaka sebut 'Medusa'.
Terlalu sibuk bergelut dengan kekesalannya sendiri, Kaka sampai tidak sadar jika sedari masuk gerbang secara diam-diam tadi, ada seorang siswi berkucir tinggi yang mengikutinya. Jalannya mengendap-endap di belakang Kaka. Seolah tengah berlindung, menyembunyikan diri di balik punggung lebar Kaka. Hingga tiba di sebrang lorong yang memisahkan koridor antar kelas, siswi itu berhenti. Bernapas lega lantas meloncat di hadapan Kaka membuat Kaka terhenyak kecil.
"Makas— eh!" Tiba-tiba siswi itu melotot, memiringkan kepala menatap Kaka yang terdiam. "Ya Tuhan, Kak Kaka ganteng banget. Lebih deket tenyata lebih ganteng lagi!" Dia semakin memajukan badannya. Berjinjit agar bisa lebih jelas.
Kaka menatap tak suka. Merasa risih diperhatikan seperti itu. Kaka membenarkan letak ranselnya, lantas mendorong kening siswi itu dengan telunjuknya agar menjauh dari wajahnya.
"Jaga mata lo," ucap Kaka tampak dingin. Dan setelah itu pergi meninggalkan siswi yang sama sekali tidak dia kenal itu.
Sesaat setelah itu Kaka sudah sampai di depan kelasnya, tampaklah Bu Azila tengah duduk dan seperti menjelaskan materi pelajaran. Saat hendak masuk begitu saja, ekor mata Bu Azila dapat langsung menangkap keberadaan Kaka. Dia sontak berbalik, berkacak pinggang menatap nyalang Kaka.
"Kaka, kamu tau ini sudah jam berapa?" tanya Bu Azila dengan mata melotot.
"Iya," jawab Kaka singkat.
"Lalu kenapa baru datang?!" Suara Bu Azila menggelegar di ruang kelas.
Kaka memasukkan satu tangannya di saku celana. "Maaf. Saya telat karena habis nganter Medusa, Bu."
"Nganter Medusa?" beo Bu Azila.
"Maksud saya, saya habis nganter kakak saya ke kampusnya," koreksi Kaka setelahnya.
Bu Azila menggeleng-geleng tak habis pikir. Tanpa ingin membuang-buang waktu dia mempersilakan Kaka untuk segera duduk di bangkunya.
"Lain kali jangan telat lagi ya, Kakanda," peringat Bu Azila dengan serius.
"Iya." Kaka menghembuskan napas pelan. Dia berjalan santai menuju bangkunya, bangku paling belakang.
"Kok bisa masuk?" tanya Zidan sesaat setelah Kaka mendudukkan bokongnya. Zidan adalah sahabat sekaligus teman sebangku Kaka.
"Bisa." Kaka menyenderkan punggungnya. Matanya terpejam.
"Dihukum nggak?"
"Nggak."
"Kok bisa, sih? Lo manjat pager?"
"Gue bukan lo."
"Gue gitu buat ngasah kemampuan manjat gue, bukan bermaksud jadi anak nakal. Kalo nakal nanti dimarahin Mama." Zidan terkekeh dengan ucapannya sendiri. Dia heran sebenarnya, Kaka tidak pernah mau diajak manjat pager, diajak bolos pun tak mau.
"Gue jadi kepikiran." Kaka sengaja menggantung ucapannya. Kali ini dia duduk tegak, menatap Zidan serius.
"Kepikiran apa?" tanya Zidan serius.
"Gue mau ganti temen aja. Temenan sama lo sama aja masuk ke komunitas aliran sesat."
Setelah mengucapkannya kemudian Kaka kembali menyenderkan punggungnya dan memejamkan mata. Tak memedulikan saat Bu Azila menyuruh semua muridnya untuk mencatat apa yang baru saja dia tulis.
Zidan merenggut, dia menginjak kaki Kaka penuh kesal. Kaka hanya menautkan sesaat alisnya, tak merasa terganggu akibat injakan Zidan. Tak mendapat respon lebih, Zidan mengedikkan bahu, lalu mulai mencatat apa yang ada di papan tulis. Dia malas sebenarnya, tapi takut dimarahi Bu Azila jika buku mereka akan dicek satu persatu. Bodo amat dengan Kaka yang malah asik mejamin mata.
***
SMA Angkasa terlihat padat pada jam istirahat seperti ini. Kantin yang awalnya sepi seketika sesak penuh oleh murid yang kelaparan. Lapangan basket dan koridor yang lenggang pun turut jadi incaran para murid untuk sekadar bermain atau mengobrol ketika jam istirahat tiba. Seperti biasa, empat cowok jangkung menggegerkan seisi kantin hanya dengan langkah tegap mereka. Salah satu dari mereka adalah yang paling dipuja-puja.
"Ka, ada yang senyumin lo tuh. Barbie sekolah." Cowok berambut ikal ber-nametag Ilham itu menepuk bahu sahabatnya yang terlihat cuek-cuek saja.
"Yaudah senyumin balik, lo wakilin," jawab Kaka singkat. Pandangannya lurus, benar-benar tak memedulikan banyak pasang mata yang sedang menatapnya.
Ilham berdecak. "Ya mana bisa?! Umpamanya nih, Ka, pacar lo minta lo peluk, tapi lo minta gue yang wakilin. Kan kasian dianya."
"Ya salah dia kenapa minta peluk."
"Ka, cewek mah gak pernah salah." Kali ini Seno ikut berpendapat. Ucapannya pun dihadiahi tawa renyah oleh kedua sahabatnya itu, Zidan dan Ilham. Sementara Kaka hanya memasang wajah datarnya. Mereka berempat bersahabat sejak lama.
Mereka pun duduk di bangku bagian kanan sudut kantin, bangku dimana mereka biasanya mengisi perut mereka yang demo minta makan, atau sekadar membicarakan materi pelajaran yang memusingkan jiwa dan raga.
"Kalian mesen apa? Biar gue pesenin," tawar Ilham seperti biasanya. Baik, dan perhatian.
"Kayak biasa aja", jawab Zidan singkat.
"Tapi gue es jeruknya gak usah es batu," imbuh Seno mengacungkan jempolnya.
"Bukan es lagi itu namanya, b**o!" keki Zidan.
"Jangan sensi, dong! Gue gak kuat lagi sama yang dingin-dingin. Cukup sikap doi aja yang dingin, esnya jangan." Seno berucap dramatis. Seno memang sedang PDKT dengan teman semasa SMP-nya dulu. Namanya Dila, Dila memang tak merespon apa yang Seno lakukan untuk menarik perhatiannya.
"Alah, cari cewek lain aja. Cewek sok jual mahal gitu dikejar-kejar. Bikin capek dan sakit ati aja." Zidan bersungut-sungut. Ilham menatap dua sahabatnya jengah.
"Kalian berisik banget. Berantem mulu kerjaannya."
"Jangan dipeduliin, udah pesen sana. Samain aja gue." Kaka yang sedari tadi hanya menyimak kini menengahi. Seno dan Zidan memang serasi dalam membicarakan hal-hal yang unfaedah.
Ilham mendengkus. Dia melirik Zidan dan Seno yang merenggut kesal. "Kayak bocah."
Ilham lalu segera melesat untuk mengantre.
"Yaelah, Ka, lo mainin handphone mulu. Palingan juga gak chat siapa-siapa, kan? Ayo ngobrol, lah." Zidan mengintip ponsel yang tengah Kaka genggam penuh penasaran. Sudah tak memedulikan Seno yang memberenggut.
"Ini si Medusa nanti minta jemput," terang Kaka. Permaisuri, atau yang disapa Suri, yang biasa Kaka panggil Medusa adalah kakak satu-satunya Kaka. Umur mereka selisih tiga tahun dengan Kaka yang berumur tujuh belas tahun dan Suri dua puluh tahun.
"Tumben gak bawa motor sendiri." Seno berujar heran. Karena yang dia tahu, kakak Kaka itu bukan tipe orang yang bergantung pada orang lain.
"Motornya di bengkel, keseringan dibuat ngebut ya gitu." Kaka memasukkan ponselnya ke saku celana setelah membalas chat Suri bahwa dia akan menjemputnya.
"Oh. Omong-omong, gak kerasa banget kita sekarang udah kelas 3 yak." Zidan menopang dagu, pikirannya melesat jauh di masa lalu.
"Kenapa? Lo sedih kita bakal pisah? Kek cewek aja," balas Seno disertai cibiran.
Zidan mengedikkan bahu. "Mungkin."
"Gue seneng malah, karena kalo udah lulus berarti gue bisa cepet nikah." Seno mengungkapkan penuh semangat. Dia tersenyum lebar. Matanya berseri-seri.
Zidan mendelik, lalu memukul kepala Seno agar Seno tersadar dari mimpinya itu "b**o. Baru juga tahun ajaran baru, ujian apa-apa juga belum udah mikir nikah mulu."
"Emang calonnya siapa?" Kali ini Kaka ikut nimbrung. Mungkin karena sudah sekian tahun berteman dengan mereka, jiwa kepo Kaka jadi sedikit meningkat.
"Ya Allah Ka, Dila lah, siapa lagi?" ucap Seno mantap dan penuh keyakinan, membuat Zidan tertawa ngakak.
"Situ diabaikan masih aja ngarep doi mau sama lo?" Zidan tertawa mengejek.
Seno berdecak sebal, dia menatap Zidan. "Lo mah gitu, temen lagi berjuang tuh disemangatin, bukan dijatohin gini. Jahat!"
"Dih jijik.." Zidan memasang tampang ingin muntah. "Lagian ya Sen, Dila mana mau sama cowok yang baru liat soal akar aja udah semaput duluan." Lagi-lagi Zidan tertawa ngakak. Dia memang paling bakat membela diri sendiri dan menjatuhkan orang lain. Manusia akhir jaman ya begini.
"Lo sama aja kayak Seno, Dan." Ucapan Kaka sontak merenggut tawa Zidan. Cowok itu memicing menatap Kaka. Merasa tidak terima atas pernyataan Kaka barusan.
"Ka, lo ngomong gitu lagi gue bongkar rahasia lo," ancam Zidan pada Kaka. Wajahnya serius sekali.
Sebelah alis Kaka terangkat. "Gue ada rahasia apa?"
"Ya ada pokoknya. Namanya juga rahasia, gak boleh kasih tau siapa-siapa, lah!"
"Kalo gitu kenapa bilang, bego." Seno jadi keki sendiri. Ingin rasanya memukul kepala Zidan dengan meja kantin.
Sesaat kemudian Ilham pun datang membawa pesanan mereka berempat. Tanpa banyak bicara lagi mereka pun menyantap makanan masing-masing. Hingga tiba-tiba datanglah seorang gadis berwajah ceria mendatangi meja mereka. Senyumnya lebar, matanya fokus menatap Kaka yang acuh tak acuh dengan sekitar.
"Dor!"
Tiba- tiba saja gadis itu berteriak tepat di hadapan Kaka dengan tangan teracung membentuk pistol. Membuat Kaka menaikkan alis bingung, sedangkan ketiga temannya berjingkat hingga mangkok mereka hampir jatuh dari atas meja. Zidan dan Seno melotot. Untung saja jantung mereka ketutup baju, kalo tidak sudah lari-lari mungkin jantungnya.
Mendapat pelototan dari dua cowok di depannya, gadis itu justru nyengir lebar. Dia kembali menatap Kaka dengan sorot memuja.
"Kak Kaka, Kak Kaka udah aku tembak barusan. Jadi gimana jawabannya? Mau jadi pacar aku?"
Mendengarnya, keempat laki-laki itu terdiam. Zidan, Seno dan Ilham bahkan sampai melongo. Berbeda dengan Kaka. Meski diam, Kaka sibuk memperhatikan sekitar. Otaknya memikirkan banyak kemungkinan.
***