Kriiiiiing kriiiiiing kriiiiing
Sebagian atau bahkan semua murid SMA Angkasa mengembuskan napas lega ketika bel sekolah berbunyi sebanyak tiga kali, tanda jika jam pelajaran telah usai. Semua bergegas merapikan barang-barang dan ingin segera sampai rumah, tak terkecuali Aurara. Cewek itu membuang napas panjang. Menyenderkan punggungnya pada kursi dan merenggangkan tulang-tulangnya yang terasa kaku seperti kanebo kering hingga terdengar bunyi kretek kretek. Nimas yang sedang membereskan alat tulisnya seketika menoleh.
"Astaghfirullah, serem banget tu punggung," ujar Nimas melirik heran. Dia melihat sekeliling, sudah sepi, hanya ada dirinya dan Aurara saja. Memang the best teman-temannya. Mereka bisa sangat cepat jika sudah mendengar bel pulang sekolah.
"Lebay. Gue capek banget gila," ucap Aurara sembari menguap lebar. Dia menegakkan punggung, lalu mengacak-acak rambutnya sendiri. Setelah dia acak-acak, dia menguncir tinggi rambutnya dengan karet gelang hasil merampok pada Claudia.
"Capek apa coba?" tanya Nimas lagi-lagi heran.
"Capek belajar. Otak gue apalagi ini, capek banget. Kalo aja bisa, udah gue puter-puter nih otak biar capeknya ilang. Otak gue bunyi kayak tadi enak kali ya," ucap Aurara mulai ngawur.
Nimas sontak menjitak kepala Aurara keras. Dia menggeleng tak habis pikir. "Nih, dijitak seratus kali baru nggak capek otak lo."
Aurara mendengkus. "Bukannya capeknya ilang, otak gue geser kemana-mana dong!" protesnya.
"Lah, otak lo mah dari dulu udah geser," ejek Nimas menutup resleting ranselnya.
"Nim, kita harus selalu mensyukuri apa yang Allah kasih, kan?" tanya Aurara serius.
Nimas mengangguk.
"Gue selalu bersyukur meski kapasitas otak gue nggak segede kapasitas otak lo. Dan gue pun nggak pernah kepikiran buat ganti otak or oplas isi otak. Sumpah deh, gue nggak ada kepikiran gituan, dosa," ujar Aurara panjang lebar. Dia menatap Nimas serius, jari telunjuk dan tengahnya dia acungkan tinggi.
"Gue kadang nggak percaya bisa punya sahabat macem elo." Nimas menatap Aurara tak percaya. Entah ada dosa apa, Nimas masih bingung hingga saat ini, mengapa dia betah bersahabat dengan manusia macam Aurara hingga lebih dari sepuluh tahun. Mereka selalu satu sekolah, bahkan sangat sering satu kelas hingga satu bangku.
"Istighfar aja yang banyak," saran Aurara acuh. Dia berdiri, lalu menggendong ransel birunya yang terlihat kempis.
Nimas yang memperhatikan itu berdecak. "Ra."
"Ya?"
"Denger, kalo sekolah itu harus bawa buku dan alat tulis. Ngerti?" ujar Nimas pelan-pelan.
Aurara mengangguk seperti anak kucing. Dia tersenyum lebar. "Gue bawa kok, masa lo nggak tau?"
Nimas menghela dan menarik napas dalam-dalam. "Dibawa dari rumah ke sekolah, terus dibawa pulang lagi ke rumah, bukan dititipin di sekolah terus. Ngerti?" tutur Nimas sembari menunjuk pada kolong meja Aurara yang di dalamnya sesak penuh oleh buku tulis dan buku paket.
"Nimas sayang, gue udah coba bawa tuh buku-buku ikut gue pulang, tapi merekanya aja yang nggak betah di rumah. Mintanya di sekolah mulu. Daripada mereka ngambek, gue suruh nginep aja terus di sekolah."
Nimas ternganga, tak sama sekali menyangka atas jawaban Aurara. Nimas masih suka sekali terkejut meski sudah lama mengenal bagaimana karakter Aurara. Cewek berperawakan mungil itu sungguh ajaib. Setiap perkataannya tak dapat diprediksi arahnya kemana. Tapi lebih dari itu, ucapan Aurara sering tak tahu arah jalan pulang, alias ngalor-ngidul.
Melihat ekspresi Nimas yang sulit diartikan, Aurara mengibaskan tangan. Dia menepuk pundak Nimas pelan. "Udah jangan dipikirin, bahasa gue emang kadang tinggi-tinggi. Hanya bisa dimengerti orang-orang istimewa," tambahnya lalu pergi meninggalkan kelas dan Nimas yang masih terdiam.
***
"Ka."
"Hm?"
"Ka."
"Apa?"
"Kandas. Cintaku kandas, cinta hilang tak berbekas," Zidan menyanyikan lagu galau yang entah itu lagu siapa sembari tertawa puas melihat ekspresi Kaka saat ini.
"Nggak jelas."
"Ka," panggil Zidan sekali lagi.
Kaka diam tak menjawab. Sudah terlanjur kesal.
"Gue kali ini serius." Zidan menepuk pundak Kaka. Raut wajahnya berubah serius. Raut yang tak sama sekali cocok dengan kelakuan Zidan yang menyebalkan.
"Apa?"
"Gue ikut lo, ya?"
"Kemana?"
"Ke rumah lo," jawab Zidan setengah memohon.
"Sama?"
"Sendiri. Kan jomlo," jawab Zidan mulai baper.
"Ngapain?" tanya Kaka. Tidak biasanya Zidan ingin main ke rumahnya seorang diri. Karena biasanya Seno dan Ilham juga akan ikut.
"Hari ini mama gue ada arisan di rumah temen mejengnya. Gue lagi gak minat ikut. Hati gue belum siap-siap untuk menerima hantaman-hantaman tak kasat mata yang meyesakkan d**a," ujarnya panjang lebar yang di dalamnya tersirat curhatan, sekaligus kelebay-an.
Kaka menaikkan sebelah alisnya. Dia menyender pada pintu kelasnya seraya melipat tangan di d**a. Saat ini mereka tengah berdiri di depan pintu kelas dengan santai, tak memedulikan protesan teman-temannya yang harus melewati pintu dengan memiringkan badan karena tubuh jangkung Kaka dan Zidan mempersempit jalan.
Kaka tersenyum miring. "Kalo gak mau ya gak usah ikut," sarannya.
"Lo mau kalo tiap hari selama sebulan lo jajanin gue?" tanya Zidan. Memang menyebalkan mama Zidan. Kalau Zidan tidak menurut, uang jajannya akan dipotong.
"Enggak mau," tolak Kaka mentah-mentah. Sayang uangnya jika harus menjajankan macam orang seperti Zidan yang suka sekali makan.
Zidan menghela napas lelah. "Hidup memang begitu berat. Coba lo bayangin, gue disuruh ikut arisan ibu-ibu gue nurut, di sana gue cuma disuruh duduk aja, nge-denger mereka ghibah gue oke-oke aja. Tapi kenapa Ka? Kenapa?!" Zidan mengguncang kedua bahu Kaka sok dramatis. Raut mukanya dia buat semelas mungkin.
Kaka berdecak, dia melepas tangan Zidan kasar. "Lebay."
Zidan cemberut. "Kenapa kuping gue harus ternistakan oleh omongan mereka yang ngomongin kebagusan anak mereka masing-masing sedangkan mama gue cuma diem aja? Seakan-akan gue gak ada bagus-bagusnya buat diomongin gitu." Dia memegangi dadanya, seolah hatinya akan jatuh karena terlalu sering tersakiti.
Kaka menepuk pundak Zidan keras. "Mama lo mungkin nggak suka pamer, udah, jangan sedih. Lo tau? Kelebihan lo ada, banyak malah," ucap Kaka. Dan seketika raut wajah Zidan berubah berseri-seri.
"Apa, Ka? Apa?" tanyanya penasaran.
"Lo lebih lebay dari yang lain, lo lebih gak waras dari yang lain, lo lebih lebih lebih yang jelek-jelek," jawab Kaka santai tanpa ekspresi.
Zidan berdecak. Mengelus dadanya penuh lapang d**a. "Sabar, orang ganteng haram marah."
"Ih, pede banget!" Tiba-tiba saja, ada suara cempereng yang menyahut pedas. Kedua laki-laki itu seketika menoleh. Namun tidak ada siapa-siapa.
"Lah, ada suara kaga ada orangnya." Zidan mengernyit heran. Sedangkan Kaka menautkan alis bingung.
"Iihh, jahat banget! Apa aku sependek itu sampe nggak keliatan? Nunduk dikit!"
Kedua cowok itu pun menurut, mereka menunduk.
"Hadeeehhh," omel Zidan saat tau siapa orang dengan suara cempreng itu.
"Kalian ketinggian, sih!" omel Aurara mencebik sebal.
"Elo yang kependekan, Samsul!" Zidan berucap sewot. Enak saja tinggi badannya yang dia dapat dari gen papanya dinistakan.
"Dasar pikun! Nama aku tuh Aurara, bukan Samsul!" Aurara menggeleng takzim. Tak terima dipanggil Samsul.
"Zidan, inget motto hidup lo, orang ganteng haram marah. Oke, inget baik-baik," peringatnya pada dirinya sendiri sembari menepuk-nepuk dadanya. Aurara benar-benar menguji kesabaran.
"Udah aku bilang, gantengan Kak—" Ucapan Aurara terpotong oleh kelakuan Zidan yang tiba-tiba menutup kedua telinganya. Aurara menatap Zidan kesal. "Kalo cecan ngomong itu didenger! Nggak sopan ya Kakak ini!"
Zidan justru bersiul pelan, seolah dari kedua telapak tangannya yang menempel pada telinganya dapat mengeluarkan alunan musik.
Aurara berkacak pinggang. "Ngeseliiiiin!" teriaknya kesal.
Kaka menonton dengan ekspresi bosan. Dengan cepat dia menarik pergelangan tangan Aurara untuk segera menyingkir dari hadapan Zidan. Jika mereka berdua tidak dipisahkan, gedung sekolah SMA Angkasa gonjang-ganjing tujuh hari tujuh malam karena pertengkaran.
Zidan yang ditinggal pergi pas lagi sayang-sayangnya— eh mencak-mencak.
"Woy, Ka! Gue gimana? Lo tega gue dirubung emak-emak rempong?" teriaknya menggema di koridor yang sudah lengang. Tak mendapat respon dari Kaka yang punggungnya sudah semakin mengecil, Zidan menghela pasrah.
"Orang ganteng haram marah."
***
"Sorry." Kaka melepas pegangannya pada pergelangan Aurara tak enak. Mereka sekarang tengah berada di koridor yang akan menuju ke parkiran.
Aurara tersenyum malu. "Gapapa. Pegang aja yang banyak juga gapapa, kan aku pacar Kakak," ucap Aurara sok malu-malu.
Kaka mengerjap. Kaka benar-benar tak familiar dengan kata pacar.
Aurara mendongak, demi bisa menatap netra hitam milik Kaka. "Kakak lupa?"
Kaka hanya mengedikkan bahunya.
Aurara berkedip dua kali. "Gapapa, kita masih sama-sama amatiran dalam dunia perpacaran, jadi dimaklumi. Tapi, kalo Kakak lupa aku ini pacar Kakak, aku bakal ingetin kok." Di akhir kalimatnya Aurara tersenyum lebar memamerkan deretan gigi putihnya.
Kaka terdiam. Cukup terkejut dengan jawaban adik kelasnya, ralat— pacarnya. Pasalnya, punya pacar diingatkan, dikira minum obat?
"Halo, jangan diem aja, ini sepi loh, kalo Kakak kerasukan gimana? Kan, aku yang repot," ucap Aurara menggerakkan telapak tangannya tepat di depan wajah Kaka. Kaka tersadar. Dia menunduk, dan mendapati Aurara yang tengah menatap ke arahnya dengan ekspresi yang bisa dibilang menggemaskan. Rambutnya pun dia kuncir tinggi, semakin menambah kesan cute pada wajahnya yang cantik.
"Siapa nama lo tadi?" tanya Kaka betulan lupa.
"Aurara Jihana," jawab Aurara seolah memaklumi. Lebih tepatnya berusaha untuk memaklumi.
Kaka hanya mengangguk kecil, kemudian melirik arloji di pergelangan tangan kirinya.
"Ayo pulang, Ra," ajaknya.
Aurara seketika bersorak senang. Dia menarik-narik lengan baju seragam Kaka dengan semangat. "Beneran mau nganterin aku pulang?"
"Bukan. Pulang sendiri-sendiri," jawab Kaka tenang seolah tak terganggu dengan respon desahan berat dari mulut gadis di depannya.
"Kenapa? Aku kalo dibonceng nggak suka gerak-gerak kok. Aku nggak bakal atraksi di atas motor." Aurara mulai melancarkan aksi merayunya.
"Nggak bisa."
"Kenapa, Kaka?"
"Gue harus jemput Suri." Kaka sekali lagi mengecek pergelangan tangannya. Dia sudah hampir telat menjemput nenek sihir itu. Kaka mendesah berat, alamat, dia pasti bakal diamuk.
Mendengar jawaban Kaka, Aurara seketika merasakan nyeri di dadanya. Siapa Suri? Mantannya kah? Aurara menggeleng cepat, dia tidak boleh berpikir yang tidak-tidak. Kaka yang merasa aneh dengan reaksi gadis di depannya segera membuka suara.
"Suri kakak gue," jelasnya.
Aurara seketika menghembuskan napas lega. "Aku kirain siapa. Kalo siapa-siapa nanti aku cemburu," ucapnya kelewat jujur.
Kaka menggeleng sebagai jawaban.
"Jadi, aku pulang sendiri nih?" tanya Aurara sekali lagi. Memastikan.
"Iya."
"Tega nih biarin pacar barunya pulang sendiri?"
"Mungkin," jawab Kaka cepat.
"Beneran? Aku sama Kakak baru jadian beberapa jam loh, kalo aku kenapa-kenapa terus Kakak jomlo lagi gimana? Nggak khawatir?" tanya Aurara terus menerus.
"Gue udah telat," ucap Kaka setengah kesal.
"Maaf. Yaudah, aku pulang sendiri. Udah biasa juga, sih, tapi sekarang udah nggak jomlo lagi, tapi masih aja pulang sendiri," ucap Aurara lirih, setengah menyindir juga.
"Gue pulang" pamit Kaka lalu akhirnya melangkah menjauh.
Masih bergelut dengan pikirannya, Aurara tiba-tiba menepuk jidat. "Aduh, dasar b**o. Gue belum minta nomor w******p-nya. Masa iya udah jadian belum tukeran nomor? Apa kata dunia?!" ucapnya pada diri sendiri frustasi.