Quinn terpaku pada apa yang ada di hadapannya saat ini. Irene, terlelap di sela sofa karena gadis itu duduk di lantai. Beberapa makanan yang tersedia telah habis dilahap Irene, dan beberapa sisa makanan lainnya. Quinn tertawa, Irene pasti telah berusaha semaksimal mungkin melahap makanan yang ada di hadapannya. Ia tidak menyangka Irene akan melahap makanan sebanyak ini.
Quinn mendekati Irene, mendorong meja kaca itu agar menjauh dari tubuh Irene. Quinn menyeka rambut yang menutupi wajah Irene hingga terpampanglah wajah cantik Irene yang terlelap. Tanpa kedip Quinn menatap Irene. Gadis kurang beruntung yang masuk ke dalam hidupnya dengan cara seperti ini.
Lagi pula, dari sekian banyak gadis yang Xavi tiduri, kenapa ia memilih Irene untuk menjabat status sebagai kekasihnya? Xavi bahkan beberapa kali memperkenalkan Irene di hadapan media. Ya, Quinn juga melakukan hal yang sama pada Gwenn. Tapi itu untuk kepentingan DYS Group karena Gwenn adalah putri tunggal dari CGPlay yang kini menjadi anak perusahaannya. Tapi Irene? Ia hanyalah anak pelayan. Kenapa Xavi repot-repot memperkenalkan Irene di hadapan media sebagai kekasihnya?
Karena itu, sejak melihat Irene di layar televisinya, Quinn telah menargetkan Irene. Namun karena harus menikahi Gwenn, rencananya menjadi tertunda hingga saat ini. Tapi seolah takdir mendukung rencananya, Irene datang sendiri ke hidupnya tanpa perlu ia repot merebut Irene dari Xavi. Irene patah hati dan bersedih di sarangnya. Di tempat dimana Quinn mencari mangsa untuk menemaninya semalam.
Quinn harus membayar mahal para gadis yang menemaninya agar bungkam. Sehingga citra Quinn dimedia tidak pernah buruk. Ia terkenal dengan suami yang pekerja keras dan pria yang beruntung karena mendapatkan istri secantik dan sepintar Gwenn. Tapi untuk apa? Gwenn tidak pernah mencintainya dan ia tidak akan pernah mengemis agar dicintai.
Cukup lama menatap Irene, Quinn meraih tubuh gadis itu dan menggendongnya. Memindahkan Irene ke kamar miliknya. Malam ini, Irenelah yang akan menemani tidurnya.
***
Pagi harinya, Irene terbangun karena tubuhnya terasa ditimpa oleh benda berat. Dengan susah payah Irene membuka matanya dan mendapati tangan yang melingkar di perutnya. Eh? Xavi? Tidak biasanya Xavi memeluknya seperti ini.
Tunggu. Ini bukan kamar dirinya dan Xavi. Dan, aroma ini… Jelas bukan aroma tubuh Xavi. Aroma ini lebih maskulin, dan sialann. Seksi. Irene bahkan merasakan hembusan nafas pada lehernya. Irene mencoba untuk bangun dan memeriksa siapa yang tengah memeluknya saat ini. Posisinya tidak memungkinkan untuk menoleh karena pria ini terlalu dekat dengan tubuhnya.
Astaga, bukankah ia tadi malam bersama dengan pria menyebalkan itu? Jangan bilang, pria yang tengah memeluknya dengan erat saat ini adalah Quinn?!
Reflek, Irene melepas tangan Quinn dan segera bangun. Membuat Quinn mengerang karena tidurnya terganggu dengan teriakan dan tingkah Irene.
“Apa yang kau teriakkan? Aku tidak memerkosamu,” ujar Quinn dengan entengnya.
“Kau, brengsekk! Kau memang membayar hutangku tapi bukan berarti kau boleh bersikap seenaknya seperti ini!”
“Shut up Irene, ini masih pagi. Biarkan aku tidur. Kemarilah,”
Irene terdiam. Kemarilah? Apa maksudnya?
“Kemarilah?” ujar Irene mengulang kata yang terucap dari bibir Quinn.
“Ya, kemarilah. Memelukmu sambil terlelap membuatku bisa tidur dengan nyenyak.”
Eh? Apa-apaan itu? Kenapa kalimat itu terucap dari bibir Quinn seperti tanpa beban? Sialann. Irene semakin geram. Ia mengepalkan tangannya, hendak pergi dari tempat ini saat ini juga. Baru saja berbalik, Irene teringat dengan ucapan Quinn. Pintu itu akan terbuka hanya dengan kartu atau sidik jari Quinn. Ah. Sialann. Bagaimana ia bisa pergi dari tempat ini?
“Kembalilah ke ranjang kalau kau ingin ke luar hari ini, atau kau mau berdua bersamaku seharian di tempat ini?”
Irene berbalik. Matanya membulat dan bibirnya mengerucut. Kesal dengan tingkah Quinn yang seenaknya. Tapi ajaibnya, Irene menurut. Memangnya, ia ada pilihan lain? Loncat dari jendela dari dengan ketinggian yang bahkan tidak bisa ia prediksi ini? Ia bisa mati konyol di bawah sana.
“Good girl, kemarilah.” Quinn meraih Irene dan memeluk Irene dari belakang. Membuat jantung Irene berdetak lebih cepat.
“Umm, apa istrimu tidak keberatan kau tidak pulang dan tidur dengan wanita lain?”
“Aku tidak peduli sama sekali dia keberatan atau tidak.”
“Kenapa kalian menikah kalau kau tidak peduli padanya?”
“Karena bisnis.”
“Bisnis? Jadi kau tidak mencintainya?”
“Untuk apa?”
“Bukankah harusnya menikah dengan-”
“Kau mau aku membungkammu dengan bibirku? Kau terlalu banyak bicara.”
Quinn mengukir senyum saat Irene tiba-tiba terdiam. Ia kemudian memejamkan matanya. Entah kenapa memeluk Irene bisa membuatnya tidur lebih nyenyak. Mungkinkah karena aroma tubuh Irene yang sangat menggodanya?
‘Damn Quinn. Irene hanyalah seorang pelayan. Dan Irene hanyalah senjata untuk melawan Xavi Daymond. Hanya itu.’
***
“Dasar gila! Tadi pagi ia memintaku untuk tidur dengannya, sekarang ia malah meninggalkanku seolah tidak mengenalku sama sekali!” ujar Irene dengan emosi. Ia menghentakkan heels yang ia kenakan dan berjalan menuju gedung DYS Group. Astaga gedung itu bahkan masih sangat jauh dan ia sudah diturunkan begitu saja dari mobil.
Benar. Quinn pasti tidak ingin terlihat satu mobil dengannya. Tapi, kenapa hatinya terasa sakit diperlakukan seperti ini oleh Quinn?
“Temui ia di kantornya? Buat apa? Astaga aku bahkan tidak bisa menatapnya setelah satu ranjang dengannya dan kini ia mau aku bersikap seolah tidak mengenalnya? Dasar brengsekk.” Irene terus memaki Quinn hingga ia sadar gedungnya sudah di depan matanya. Irene kemudian merapikan rambutnya yang sudah ia keriting dan tergerai dengan sempurna. Irene menyeka keringatnya menggunakan tisu.
Setelah memastikan dandannannya rapi, ia masuk dengan percaya diri. Menemui resepsionist dan mengatakan bahwa ia sudah memiliki janji bertemu dengan Quinn. Tapi resepsionist mengarahkannya untuk menemui orang lain terlebih dahulu, Ben Harison tanpa menyebutkan apa posisi pria itu. Kenapa ia tidak bisa menemui Quinn langsung? Oh. Benar, ia harus mengikuti prosedur seperti yang lainnya. Mungkin saja, ia akan diwawancara terlebih dulu.
Irene melangkah ke lift dengan gugup, dan menekan angka di mana ruangan Ben berada. Beberapa pegawai wanita masuk ke dalam lift sambil menatap Irene dengan sinis. Astaga, sepertinya ia akan memiliki banyak musuh di kantor ini. Dari atas hingga bawah para pegawai wanita ini menggunakan barang bermerek. Pantas saja ia ditatap dengan sinis karena ia tengah menggunakan tas Dioor yang palsu. Astaga, harusnya ia tidak menggunakan tas ini tadi.
“Apa kau salah alamat?” ujar wanita yang ada di hadapan Irene sambil menyilangkan tangannya, menatap Irene dari kaki hingga kepala Irene dengan sinisnya. Sialann. Irene mencoba untuk bersikap ramah dengan tersenyum manis.
“Tidak, saya karyawan baru di kantor ini…” Eh, aduh. Irene salah bicara. Padahal ia belum pasti diterima di kantor ini. Kenapa ia dengan percaya diri bicara seperti ini?
“Karyawan baru? Bukannya hari ini baru wawancara?” tanya wanita lainnya. Membuat Irene gugup dan salah tingkah.
“Eh, iya Mbak maksud saya, calon karyawan di sini…”
“Percaya diri sekali, karena aku orang yang baik, biar kuberi tahu aturan dasar di kantor ini.” Wanita itu mendekat dan menatap Irene dengan matanya yang besar. Irene bahkan dapat melihat ukuran dadaa wanita ini yang sepertinya lebih besar dari miliknya. Astaga Irene. Nyawamu sedang terancam saat ini. Bisa-bisanya ia salah fokus pada hal tidak penting di hadapannya saat ini.
Irene akhirnya mundur satu langkah karena wanita itu terus mendekatinya, hingga punggung Irene menabrak kaca di belakangnya, Irene akhirnya memberanikan diri untuk menjawab perkataan wanita bermata dan daada besar itu.
“A-apa?”
“Jangan menggunakan barang palsu atau kau akan dianggap sampah di sini,” ujar wanita itu dengan kasar tepat saat lift berhenti dan terbuka. Wanita itu kemudian ke luar, sementara wanita yang lain masih di dalam lift dan menatap Irene dengan iba.
“Jangan dengarkan dia. Dia sedang kesal karena Boss memarahinya tadi. Perkenalkan, namaku Lara, aku di divisi umum, semoga kita satu divisi yah nanti.” Wanita bernama Lara itu melambai pada Irene kemudian ke luar hingga pintu tertutup.
Lutut Irene lemas. Ia berpegang pada besi yang ada di sampingnya dan menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Setidaknya, di perusahaan Xavi, tidak ada karyawan yang berani menatapnya dengan rendah karena seluruh karyawan tahu ia adalah kekasih Xavi. Meski Irene yakin, ia selalu menjadi bahan pembicaraan para karyawan dan ia tidak mau ambil pusing akan hal itu.
Irene akhirnya sampai, tak sulit menemukan ruangan yang tertulis nama Ben Horison, dan anehnya tidak ada jabatan di atas atau di bawah nama Ben itu.
Perlahan Irene mengetuk pintu, usai mendengar kata ‘masuk’ dari dalam, Irene membuka pintu dan masuk dengan sopan. Ia menunduk. Tidak berani menatap pria bernama Ben yang saat ini tengah meneliti tubuh Irene. Astaga, Irene merasa seperti masuk ke dalam kandang buaya. Jelas Ben tengah menatapnya. Membuat Irene akhirnya menengadah dan menatap Ben yang saat ini beralih pandangan ke berkas yang ada di hadapannya.
“Irene, silahkan duduk.” Perintah Ben, saat Irene hendak duduk di depan kursi besar Ben, pria itu justru berdiri dan berjalan, ia kemudian duduk di sofa. Membuat Irene mengikutinya dengan kaku. Kenapa duduk di sofa? Sepertinya kurang formal. Ah, apa Ben akan bersikap santai padanya karena telah mengetahui ia telah mengenal Quinn?
“Langsung saja, kau akan menjadi sekretaris Quinn. Ambil dokumen ini dan ke ruangannya di ujung lorong.”
“Eh?” ujar Irene dengan bingung. Sekretaris? Tanpa wawancara dan seleksi? Apa-apaan ini?
“Apa kurang jelas?” ujar Ben dengan wajah serius. Irene menelan ludah. Ia tidak ingin menjadi sekretaris. Rasanya, ia sudah trauma dengan jabatan itu jika mengingat apa yang telah Xavi lakukan padanya di setiap sudut ruang kerjanya. Sialann.
“Maaf, sepertinya terjadi kesalahan… Saya jadi sekretaris tanpa seleksi dan wawancara?”
“Ya, kenapa memangnya? Bukankah kau sudah berpengalaman di perusahaan sebesar Xtd.Co?” benar. Xtd.Co milik Xavi adalah perusahaan data center terbesar di Indonesia. Ia sudah banyak memiliki pengalaman selain pengalaman minus bersama Xavi tentunya. Tapi tetap saja, ia tidak ingin menjadi sekretaris lagi di tempat ini.
“Saya… Um, maaf… Saya tidak ingin menjadi sekretaris… Bisakah saya bekerja di divisi biasa? Saya bisa di pemasaran, atau di divisi lainnya…”
Ben tidak menjawab. Ia segera berdiri dan menjauh dari Irene, mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Sepertinya Ben menghubungi Quinn. Ah. Apa reaksi pria itu saat ia menolak jabatan yang Ia tawarkan? Bukannya ia tidak bersyukur, hanya saja, menjadi sekretaris lagi rasanya terlalu menyeramkan.
Ben kemudian menutup panggilannya dan kembali duduk di hadapan Irene.
“Baiklah, kau bisa menjadi Office girl. Kau bisa membuat teh, kopi atau yang lainnyakan?”
“Apa?” Ia tidak salah dengarkan? Office girl? Dengan gelar yang ia punya? Apa-apaan ini!
“Keberatan? Setahuku, kau tidak bisa menolak permintaan Quinn. Pilihannya hanya ada dua, bekerja di kantor ini atau di ranjang pribadi Quinn. Jika kau ingin bekerja di tempat ini, silahkan menjadi office girl di sini.”
Irene tertunduk. Perkataan Ben terlalu menusuk hatinya. Ia tidak mengira, Ben akan sejahat ini padanya. Ia pikir, Ben sosok yang friendly karena wajahnya yang tampan dan sepertinya murah senyum. Ah. Ya, ia harus menghentikan sikap sok tahunya ini.
“Baiklah,” jawab Irene dengan lemas.
“Kau bisa bekerja mulai hari ini,” ujar Ben lagi. Irene mengangguk, ia segera berdiri dan hendak meninggalkan ruangan Ben tanpa bertanya apa-apa lagi.
“Mau ke mana kau?” tanya Ben, membuat Irene menghentikan langkahnya dan berbalik.
“Ke ruangan office girl?”
“Kau tahu ruangannya di mana?”
“Eh? Sepertinya di lantai dasar,”
“Ehm, maaf. Aku lupa bilang, kau office girl pribadinya Quinn Dyson.”
“Apa?”
“Sepertinya kau memang harus ke dokter THT. Periksa telingamu.”
Ben berdiri. Kembali pada meja besarnya dan tidak menjawab pertanyaan Irene. Membuat Irene mematung. Ia sungguh tidak mengerti apa maksud perkataan Ben barusan. “Kenapa kau masih di situ? Silahkan ke ruangan Quinn. Dia sudah menunggumu sejak tadi, seragam kerjamu akan menyusul.”
“Tapi, aku baru mendengar office girl pribadi…” desis Irene nyaris tidak terdengar. Tapi, sayangnya Ben mendengar hal itu. Ben menyunggingkan senyum di ujung bibirnya. Sesuai dugaannya dan Quinn, Irene memang polos dan menggemaskan. Pantas saja Xavi betah terhadap wanita seperti Irene. Tidak banyak menuntut dan bisa diperbudak. Sempurna.
“Quinn yang punya perusahaan ini. Jadi, turuti saja perkataannya. Ingat, kalau ada orang lain yang memberimu perintah, kau tidak perlu mendengarnya. Cukup mendengar perintah Quinn dan aku. Silahkan ke luar, kembali ke sini kalau ada yang tidak dimengerti. Jadi, kau tidak berhubungan dengan orang lain di kantor ini selain aku dan Quinn.”
Irene mengangguk. Perasaannya sungguh tidak enak. Ia menolak menjadi sekretaris, dan kini ia malah menjadi office girl pribadi seorang Quinn Dyson. Apa bedanya dengan menjadi sekretaris? Sekretaris juga selalu diberi perintah oleh atasan. Sama halnya dengan office girl, hanya saja jenis perintah yang berbeda.
Padahal, ia menolak menjadi sekretaris agar tidak sering bertemu dengan Quinn. Namun bajingann ini sepertinya tidak kehabisan akal agar ia selalu berada di dekatnya.
“Office girl pribadi? Are you kidding me?!”