Part 4 - Jerat

2284 Kata
Setelah merasa Xavi tidak mengikutinya, Irene menepis tangan Quinn. Keduanya telah tiba di basement apartement. Meski sempat bingung ia harus merasa aman atau mencurigai pria bernama Quinn ini, Irene tetap merasa salah jika ia percaya begitu saja pada pria ini. “Terima kasih, tapi kau tidak perlu melakukannya,” ujar Irene tertunduk. Tidak berani menatap pria tinggi yang ada di hadapannya. “Melakukan apa? Menyelamatkanmu dari pria sakit jiwa itu?” “Merangkulku, menciumku, seolah kau adalah kekasihku. Aku sudah cukup dipermainkan oleh Xavi. Aku tidak ingin memiliki hutang dengan orang lain. Terima kasih telah membantuku, tapi cukup sampai di sini, kau tidak perlu membayar hutangku pada Xavi. Karena aku tahu, kau juga menginginkan bayaran yang sama dengan Xavikan?” Quinn tertawa. Ia lalu memandangi Irene dari kepala hingga ujung kaki. Ia kemudian mengusap dagunya seolah sedang menilai bagaimana tubuh Irene. Membuat Irene menutupi bagian atas tubuhnya dengan risih. “Pantas saja Xavi tergila-gila padamu. Tenang saja, aku sudah menikah. Dan aku memang berniat membantumu. Kau bisa bekerja di perusahaanku.” Quinn mengeluarkan dompetnya, dan menarik kartu nama berwarna hitam itu dan memberikannya pada Irene. Irene terdiam. Terkejut dengan pernyataan Quinn bahwa ia sudah menikah. Jadi, pria ini sudah memiliki seorang istri? Tapi kenapa ia merayunya kemarin? Ia bahkan tidur dengannya. Astaga, apa ia baru saja tidur bersama suami orang lain? Good job Irene, lepas dari gelar jalangg pribadinya Xavi, apa ia kini akan mendapat gelar baru? Penggoda suami orang lain? Sialann. Ia tidak akan melakukan itu. Bodohnya ia sempat mengagumi pria yang ada di hadapannya saat ini. “Kau sudah menikah?” dan, kalimat itu ke luar begitu saja dari bibir Irene. Irene tertunduk, merasa janggal dengan pertanyaan yang ia lontarkan begitu saja pada Quinn. “Kenapa kau terdengar kecewa? Bukankah kau sudah menolakku tadi?” Quinn terkekeh, gemas dengan tingkah polos Irene. “Ah, bukan begitu… Kau, di club…” “Oh, ciuman itu? Tenang saja, istriku melakukan lebih dari pada itu. Jadi, aku tidak perlu terlalu setia padanya, bukan?” “Eh?” “Mulai sekarang kau adalah pegawaiku. Sekretarisku sudah mentransfer hutangmu pada Xavi. Jadi, kau tidak bisa menolakku saat ini.” “Apa?” Irene menatap Quinn, sorot mata yang tidak terlihat tulus baginya. Ya, sepertinya ia terjerat dengan pria lainnya karena hutang sialann itu. Hutang yang sepertinya tidak akan bisa ia tebus meski pun ia bekerja seumur hidupnya. Kecuali, dalam satu malam ia bisa berubah menjadi artis atau selebgram dengan rate tertinggi. Astaga, andai saja hidupnya semudah itu. *** “Kau berhasil mendapatkannya?” Quinn mengangguk dengan penuh kemenangan, pria yang ada di hadapan Quinn tertawa sambil tepuk tangan. Harus ia akui, Quinn hebat dalam hal ini. Tentu saja, perempuan mana yang akan menolak seorang Quinn Dyson? Quinn adalah pemilik DYS Group, perusahaan yang bergerak dibidang teknologi dan internet yang didirikan di Singapura. DYS Group menjalankan bisnis di 3 lini utama, yakni hiburan digital, perdagangan digital alias e-commerce, dan pembayaran digital. Hiburan digital berupa game online yang diberi nama CGPlay menjadi salah satu anak utama dari DYS Group, mengandalkan game berjenis multiplayer online battle arena (MOBA) yang kini banyak diminati oleh remaja di berbagai negara dan Indonesia menyumbang peminat terbanyak di game milik anak perusahaan DYS Group ini. Karena itu Quinn juga mendirikan DYS Group di Indonesia. Meski Quinn mendapatkan CGPlay melalui pernikahannya dengan Gwenn yang notabene putri satu-satunya pendiri CGPlay ini. Tak hanya itu, E-commerce naungan DYS Group dengan basis operasi di Asia Tenggara yang bernama Dyshop juga memiliki banyak peminat di Indonesia. Hal ini juga memperkuat Quinn untuk melebarkan sayapnya hingga ke Indonesia. Karena itu, Quinn harus bolak-balik Indonesia-Singapura untuk kepentingan bisnis. Meski Quinn memiliki orang kepercayaan untuk membantunya, sehingga Quinn lumayan memiliki banyak waktu luang untuk bermain-main. Tak hanya memiliki karir sempurna, Quinn juga memiliki wajah yang tampan, tubuh yang tinggi, d**a yang bidang, bahu lebar dan kotak-kotak yang menghiasi perutnya semakin membuat Quinn mempesona. Terlebih, Quinn juga terkenal di ranjang. Permainan Quinn mampu memabukkan para wanita beruntung yang ia minta untuk menemaninya dalam semalam. One night stand adalah hobi Quinn sebelum menikah dengan Gwenn Isabelle karena perjodohan. Ya, pernikahan untuk memperbesar bisnis keluarga. Jika bukan karena itu, Quinn mungkin tidak akan pernah menikah dengan gadis mana pun. Karena itulah kelebihan Quinn yang sangat diidamkan oleh para kaum hawa itu menjadi terkenal seibu kota. Dan Quinn tidak menganggap hal itu sebagai hal yang memalukan. Justru itu adalah kebanggaan baginya. Apa yang tidak ia miliki? Ia memiliki hidup yang sempurna. Anak tunggal kaya raya yang juga memiliki wajah dan tubuh yang nyaris sempurna. Wanita mana pun tidak akan ada yang berani menolaknya. Ah. Ada satu wanita yang menolaknya. Yaitu Clarisa Irene, yang juga terkenal karena menjadi kekasih seorang Xavi Daymond, yang terkenal karena kebrengsekannya bermain dengan sembarang wanita. Berbeda dengan Quinn yang memilih wanita ketika bermain, Xavi cenderung asal dan kasar dalam bermain. Irene terkenal dikalangan pria seperti Quinn karene kecantikan Irene, kulitnya yang putih, lekukan tubuh yang menonjol dengan sempurna, sungguh memanjakan mata para kaum adam termasuk Quinn yang sudah mengincar Irene sejak lama. Hanya saja, pernikahannya merusak rencananya waktu itu. Tapi kini, rumah tangganya bersama Gwenn hanya sebatas formalitas saja, karena itu Quinn tidak peduli dan tetap menjalankan rencananya. Terlebih, saat Irene sudah mencampakkan Xavi. Astaga, Quinn tidak akan melewatkan kesempatan ini sedikit pun. “Tentu saja, besok ia akan ke perusahaan. Wawancara dia sebagai formalitas, buat dia menjadi sekretarisku. Dan jangan coba-coba untuk menyentuhnya, Ben.” Pria bernama Ben itu tertawa, Quinn tidak pernah pelit padanya soal uang mau pun wanita. Tapi Irene? Ia bahkan belum menjadi gadis Quinn. Tapi Quinn sudah melarangnya seperti ini. Ben merasa, Quinn memang sudah tertarik pada Irene dengan dalih rencana yang sudah lama ia buat bersama. Ah. Harga diri Quinn memang sangat mahal. “Baiklah, tenang saja.” “Kita jalankan sesuai rencana,” “Alright. Sekarang katakan, wanita mana yang akan menemanimu malam ini?” Ben merangkul Quinn. Keduanya mengedarkan pandangan sambil menatap sekeliling. Keduanya tengah berada di club, club yang berbeda dengan sebelumnya. Club favorit Quinn dan Quinn karena banyak wanita cantik kelas atas yang datang ke club ini. Seperti artis, model dan pengusaha muda. Quinn melepas rangkulan Ben dan menenggak minumannya. Ia lelah hari ini karena mengurus dan membuntuti Irene sejak gadis itu meninggalkannya di kamar hotel. “Sepertinya aku harus pulang, aku lelah.” “Really? Seorang Quinn bisa lelah dan menolak wanita? Kau lihat siapa yang tengah menatapmu di sana,” “Shit.” Quinn menelan ludah melihat wanita cantik yang ada di hadapannya. Dengan cepat Quinn pergi dari hadapan wanita cantik yang pernah ia kencani beberapa kali sebelum bertemu dengan Irene. Ya, wanita cantik yang berprofesi sebagai model itu menjadi gadis Quinn yang kesekian. “Kenapa dia pergi?” tanya wanita itu pada Ben yang masih ingin menenggak habis minuman mahal yang dipesan oleh Quinn. “Dia sudah ada wanita baru. Lupakan Quinn Dyson,” ujar Ben dengan dingin, menyadarkan wanita cantik yang sepertinya benar-benar menyukai Quinn itu agar tidak semakin mengejar Quinn sehingga akhirnya harus ia lagi yang turun tangan. *** “Kau yakin Quinn tidak akan pulang lagi malam ini?” tanya seorang pria pada wanita cantik yang hanya mengenakan lingerie tipis itu. Wanita cantik itu sedang memoleskan berbagai jenis skin care di wajahnya. “Meski ia pulang, aku juga tidak akan pernah peduli. Seperti ia yang tidak pernah peduli padaku sejak kami menikah.” Wanita bernama Gwenn itu menarik nafasnya. Membuat pria itu mendekat pada Gwenn dan mencium pundak Gwenn dengan mesra. “Harusnya kau menolak permintaan konyol keluargamu itu,” pria itu kemudian memeluk leher Gwenn yang masih duduk di depan kaca riasnya. “Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu, Damian.” Gwenn menelan ludah. Tidak sepenuhnya ia menyalahkan keluarganya karena ia juga ingin pernikahan ini terjadi dengan harapan Quinn akan mencintainya suatu saat nanti. Namun sudah menikah selama tiga tahun, Quinn tak kunjung berubah. Quinn hanya menganggapnya istri di atas kertas, istri yang menemani setiap launching aplikasi baru, istri yang menemani jika ada meeting penting yang mengharuskan kehadirannya. Istri yang hanya untuk dibanggakan saja karena kecantikannya. “Quinn sangat bodoh tidak mencintai wanita sepertimu. Kau cantik, pintar, kau bisa melanjutkan CGPlay milik keluargamu tanpa bantuan Quinn. Bahkan, aku juga bisa membantumu.” Gwenn tersenyum, menatap pantulan wajah pria yang harusnya menjadi suaminya dulu. Jika saja Damian terlahir dari keluarga terpandang, orang tuanya pasti tidak akan menolak Damian. Sayangnya, Damian hanya seorang pembalap terkenal. Terkenal saja tidak cukup, Damian harus memiliki kekayaan seperti yang dimiliki oleh Quinn. Gwenn bersyukur, Damian tetap mau menerimanya meski kini ia menjadi istri seorang Quinn Dyson, pria brengsekk yang punya segalanya tapi tidak memiliki hati nurani itu. “Aku beruntung memilikimu, Damian.” Gwenn meraih tangan Damian dan memeluknya. Sementara Damian kembali memeluk leher Gwenn sembari mencumbuu leher indah milik Gwenn. “Sekali lagi? Sepertinya masih ada waktu,” “Tidak Damian aku lelah, besok pagi sekali aku harus ke kantor. Bertemu dengan si brengsekk itu karena ada proyek yang sialnyaa harus ditanda tangani olehnya terlebih dahulu.” Gwenn berdiri, menuju ranjang dan bersembunyi di balik bed cover tebal itu. Dengan gemas Damian menyibak selimut dan menyelinap di antara kedua kaki Gwenn. “Damian hentikan, ah… s**t Damian!” Gwenn mengerang. Baiklah, Damian kembali memenangkan tubuhnya. Persetan dengan bangun pagi esok hari. Gwenn menarik Damian dan menciumi bibir pria itu. Melampiaskan kekesalannya karena Quinn yang tidak pernah menyentuhnya sama sekali. *** Quinn tidak langsung pulang ke rumah mewah miliknya dan Gwenn. Quinn dan Gwenn memutuskan untuk tinggal di Indonesia, karena cabang CGPlay dan Dyshop di Indonesia yang memiliki banyak customer. Selain itu juga karena Quinn menyukai negara ini, sedangkan Gwenn, tentu saja karena ia lahir di negara ini, dan yang utama adalah karena kekasih gadis itu yang ada di kota ini. Quinn tentu saja tahu Gwenn saat ini tidak ada di rumah, Quinn juga tahu keberadaan Gwenn karena GPS yang ia pasang di ponsel gadis itu tanpa Gwenn ketahui sama sekali. Tanpa ragu Quinn mengeluarkan kartu akses ke penthouse miliknya di salah satu gedung apartemen termahal di kota ini, penthouse tempat ia melarikan diri dari pernikahannya bersama Gwenn. Sebenarnya, Gwenn cantik dan kadang ia tertarik pada tubuh istrinya sendiri. Tapi mengingat kisah Gwenn dan kekasihnya yang tidak pernah usai itu membuat Quinn enggan menyentuh Gwenn. Karena ia tidak ingin berbagi dengan siapa pun. Quinn melangkah masuk dan pintu otomatis tertutup. Quinn melepas dasinya dan melempar dengan sembarang. Ia kemudian duduk sambil merentangkan kedua tangannya lalu menutup matanya. “Hiks hiks…” Terdengar suara tangisan, membuat Quinn menoleh dan merinding seketika. Kenapa ada suara tangisan di penthouse miliknya? Ah. Sialan. Bisa-bisanya ia lupa. Ia meninggalkan Irene di penthouse ini tadi. Quinn melangkah ke sumber suara dan mendapati Irene tengah meringkuk dan menangis. Bahu gadis itu bahkan bergetar. Quinn menarik nafas panjang. Kenapa ia membawa Irene ke tempat istirahatnya? Ia bisa saja mencari rumah biasa dan menempatkan Irene di rumah itu. Tapi, kenapa ia lebih menginginkan Irene ada di tempat ini bersamanya? “Hei,” Quinn berjongkok, mengelus bahu Irene agar gadis itu mendongak. Sesuai dugaannya, Irene terkejut dan menjauh darinya. “Apa kau sudah makan?” ah. Harusnya ia tidak perlu menanyakan hal itu karena tidak ada makanan di penthouse ini. Ya, isi kulkas mahalnya itu hanya minuman beralkohol dan air putih karena Quinn selalu makan di restoran favoritnya atau makan dari koki pribadi yang selalu ia panggil untuk memasak di hadapannya, koki yang selalu siap ia panggil di mana pun dan kapan pun dengan bayaran yang mahal tentunya. “Kau menangis karna kelaparan? Dasar bodoh. Apa kau tidak punya ponsel? Kau bisa memesan makanan dari aplikasi milik perusahaanku. Itu fitur baru di Dyshop. Kau sudah mencobanya?” “Bagaimana aku bisa memesan makanan kalau aku bahkan tidak bisa membuka pintu canggihmu itu?!” teriak Irene dengan kesal, membuat Quinn tertawa. Benar, ia lupa memberikan kartu akses pada Irene karena pintu itu tidak akan terbuka jika tanpa kartu akses miliknya atau sidik jari dari tangannya. “Kau punya nomorku. Kenapa tidak menghubungiku?” “Untuk apa? Agar kau kemari dan menghabisi malam bersamaku?” Irene menatap Quinn, air mata masih membasahi pipi gadis itu. Dengan perlahan, Quinn mendekati Irene dan menarik Irene agar berdiri, ia juga menghapus air mata Irene dengan tangannya. Quinn kemudian meraih tangan Irene dan menuntun gadis itu untuk duduk di ruang tamu. Irene menurut. Tubuhnya sedang lemah untuk melawan Quinn. Yang jelas, setelah makan, ia akan pergi dari tempat ini. Ia harus pulang, ia tidak bisa bersembunyi lebih lama lagi, ia juga harus berani menghadapi Xavi. Quinn telah membayar hutangnya, jadi, Xavi tidak akan mengganggunya lagi bukan? Quinn memesan berbagai jenis makanan, karena ia tidak tahu apa yang Irene inginkan dan terlalu gengsi untuk bertanya pada Irene. Tak butuh waktu lama, berbagai jenis makanan itu tiba. Tentu saja karena restoran di gedung ini tahu siapa yang memesan makanan di saat semua koki sudah terlelap seperti ini dan dengan segera memproses permintaan Quinn karena Quinn tidak suka menunggu terlalu lama. Irene melongo. Menatap berbagai jenis makanan yang ada di hadapannya saat ini. “Kau akan mengundang teman-temanmu?” tanya Irene sambil menelan ludah. Wangi dan tampilan makanan ini semakin membuat penghuni perutnya berteriak kelaparan. Quinn menggeleng sambil memeriksa ponselnya, memantau saham perusahaannya dan beberapa hal lainnya. “Lalu makanan sebanyak ini untuk siapa?” tanya Irene lagi. Membuat Quinn berdecak karena Irene terlalu banyak bertanya saat ia tengah fokus memeriksa perusahaannya. “Untukmu, makan saja. Aku harus bekerja sebentar,” Quinn meninggalkan Irene, menuju ruang kerja pribadi miliknya. Irene menatap Quinn hingga tubuh pria itu tidak terlihat lagi dimatanya. Quinn sempurna. Bahkan cara ia berjalan saja mampu membuat Irene ternganga. Penuh wibawa, dengan kemeja yang digulung dengan sembarang. Bokongg sintal dari celana kain yang pria itu kenakan. Astaga, Irene sepertinya memang harus segera melahap makanan yang ada di hadapannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN