Di Salahgunakan

1212 Kata
"Apaan nih?" tanya Bram saat Kinan menyerahkan sebuah berkas untuk di tanda tangani. Saat Ayu akan membaca lebih lanjut Kinan menahannya. Kinan memang meminta Bram membawa Ayu serta, sebab membutuhkan tanda tangannya juga. "Kalian tinggal tanda tangan aja," ucapnya dengan tenang. "Ya harus jelas dong kita tanda tangan buat apa!" seru Ayu dengan melipat tangannya di d**a. "Ini isinya perjanjian 50 persen penghasilan jadi milik aku." "Ya ampun Kinan, Mas Bram itu suami kamu. Bisa- bisanya kamu segitunya gak percaya, sampe harus buat perjanjian segala." Kinan menghela nafasnya. "Ini syarat dari aku. Kalau kalian gak mau gak papa, aku gak usah kasih uangnya." Kinan menutup berkasnya namun dengan cepat Bram menahan. "Aku tanda tangan," katanya dengan meraih ballpoin di meja. "Dimana?" "Disini," tunjuk Kinan. "Disini juga." Kinan membuka lembar kedua, lalu ketiga. Ayu mengernyit. "Banyak banget?" Kinan hanya tersenyum. "Sekarang kamu." Kinan menunjuk tempat kosong lain yang harus Ayu tanda tangani. "Nah udah." Kinan menutup berkasnya. "Sekarang mana uangnya?" tanya Bram. Kinan terkekeh. "Gak sabaran banget sih Mas." Kinan menatap Bram dengan tenang. "Aku udah bilang kan kalau uang aku gak ada segitu. Jadi aku putusin jual motor buat tambahnya." Bram dan Ayu terkejut. "Kamu jual motor? Kenapa gak bilang- bilang? Terus aku kemana-mana naik apa?" Rentetan pertanyaan itu membuat Kinan semakin melebarkan senyumnya. "Kemana-mana ada mobil, kan? Lagian bukannya kamu butuh modal? Ya, kalau gak jadi gampang, aku tinggal batalin. Lagian orang yang beli juga belum datang." Bram terdiam. "Harusnya kamu bilang kita dulu dong, Kinan," ucap Ayu ikut bicara. Kinan menaikan alisnya. "Denger ya, Ayu. Motor itu atas namaku. Di beli sama uangku. Jadi kenapa harus bilang dulu. Lagian apa hubungannya sama kamu?" "Apa?" Ayu nampak terkejut. Apa wanita itu kira motor itu milik Bram hanya karena Bram sering menggunakannya. "Atau kamu kira mobil juga punya Mas Bram?" Bram menipiskan bibirnya merasa malu sementara Ayu masih terkejut. "Rumah ini juga atas namaku. Jadi andai kami bercerai Mas Bram gak dapat apa- apa." Bram mendongak. "Apa- apaan kamu Kinan, kenapa ngomong gitu? Lagian kamu lupa DP awal dari aku. Aku juga beberapa kali ikut bayar angsuran," protes Bram. Pria itu bahkan berdiri dari duduknya. "Ya, aku bilang kan, kalau. Kamu kenapa sih, Mas?" Bram mengerjapkan matanya lalu kembali duduk. Di tempat duduknya Ayu mengepalkan tangannya erat. "Kamu gak bilang mobil dan motor punya Kinan? Bahkan rumah juga atas nama Kinan?" Bram memalingkan wajahnya. "Itu gak penting sekarang. Lagian kamu gak nanya." Apanya yang tak penting. Jelas bagi Ayu itu penting. Dia pikir meski Kinan yang bekerja, tapi semua properti milik Bram. Tapi bagaimana bisa dia justru tak tahu. .... Di sore hari orang yang membeli motor datang dan sepakat setelah melihat motor tersebut dalam kondisi baik, hingga Kinan menyerahkan semua surat- surat kendaraan pada orang tersebut. "Terimakasih, Bu." "Sama- sama Pak." Uang sudah Kinan terima dan pembeli sudah pergi. Di dalam rumah Bram menunggunya lalu Kinan memberikan uang tersebut. "Ingat untuk pakai usaha, Mas. Jangan sampai ini sia- sia," ucap Kinan memperingatkan. "Kamu tenang saja, Sayang. Sore ini juga aku mau sewa kios dan buat persiapannya biar bengkel servisnya bisa segera di buka." Bram berucap dengan senang. Matanya menatap uang di tangannya yang Kinan berikan untuknya. "Aku mau pastikan nanti kalau Mas udah sewa kiosnya." Bram mengangguk lalu pergi dengan membawa kunci mobil di nakas. Kinan menatap kepergian Bram, lalu bergumam. "Semoga kamu benar-benar bisa di percaya, Mas." Kinan menggeleng pelan. Semoga Bram tidak mengecewakannya lebih dalam. Ini adalah harapannya satu- satunya untuk Bram dan Yumna. Suara mobil menderu, Kinan melihat ke arah mobilnya yang di bawa Bram mulai melaju, lalu seperti biasa berhenti di depan rumah sebelah. Kinan menghela nafanya. "Jangan sampai kamu menggunakannya untuk bersenang-senang, Mas. Karena kamu akan menyesal." Kinan tahu saat melihat anggaran modal yang tak masuk akal, ada permainan di dalam otak Bram. Uang yang Bram minta darinya tak sepenuhnya akan pria itu gunakan untuk modal. Pria itu mungkin berpikir bisa mengelabuinya dengan menyerahkan rincian tersebut. Namun dia lupa kalau Kinan juga bukan orang bodoh. Benar saja perkiraan Kinan tentang Bram. Sudah beberapa hari ini pria itu pergi dengan Ayu, atau terkadang membawa Yumna juga. Mereka pergi jalan- jalan bahkan berbelanja. Kinan bahkan melihat beberapa postingan Ayu di media sosialnya dimana dia berfoto di sebuah restoran mewah. Dari mana lagi uangnya kalau bukan dari uang yang Kin berikan. Melihat itu Kinan hanya membiarkan saja. Kinan tak ingin menambah dengan perasaan kesal. Lagi pula Bram akan membayar semuanya. .... Kinan tak peduli dengan apa yang Bram dan Ayu lakukan, meski nyatanya Kinan selalu tahu. Di pagi sampai sore Bram akan pergi ke bengkelnya, lalu sore hari sampai malam dia akan menemani Ayu keluar lagi dengan alasan membeli keinginan Ayu yang tengah mengidam ingin ini dan itu. Kinan sendiri memilih acuh dan menjalani harinya seolah kedua orang itu tidak benar ada. Seperti pagi hari dia akan berolah raga keliling komplek, lalu setelahnya mengurusi kebutuhan Yumna, meski nyatanya kadang gadis itu menolaknya. Namun sebisa mungkin Kinan tak mau terbawa perasaan. Jika pun nanti dia dan Bram bercerai entah Yumna akan memilihnya atau Bram, dia harap Yumna akan baik- baik saja. Sungguh yang Kinan khawatirkan adalah kehidupn Yumna kelak jika ikut dengan ibu tiri. Bagaimana jika nanti Yumna di perlakukan tak baik oleh Ayu. "Bu Kinan?" Kinan yang baru akan mencapai rumah mendengar namanya di panggil pun menoleh. "Beli sayur, gak?" Kinan tersenyum lalu menghampiri pedagang sayur di depan rumah Bu Jani tetangga depan rumahnya. "Pagi, Bu- ibu," sapanya ramah. "Pagi juga, Bu Kinan. Semenjak berhenti kerja olah raganya jadi lebih sering ya, Bu?" Kinan mengangguk. "Iya, Bu. Buat kesehatan aja." Kinan mulai memilih sayuran di depannya. "Saya ngerti sih, Bu. Sebenarnya mungkin bukan cuma kesehatan jasmani aja. Tapi kesehatan hati dan pikiran Bu Kinan juga harus di jaga," ucap Bu Jani lagi dengan nada kasihan. Kinan hanya tersenyum. "Saya gak nyangka ternyata cowok yang kayaknya setia dan lugu kayak pak Bram ternyata buaya." timpal yang lainnya. "Masa ya, Bu-ibu saya lihat setiap sore mereka pergi keluar. Pulang malam bawa belanjaan," ucap Bu Jani dengan kesal. Seseorang menepuk tangan Bu Jani. "Jangan bicara sembarangan, kasihan Bu Kinan," ucapnya tak enak hati. "Saya gak papa kok, Bu. Saya juga tahu. Saya lebih memilih diam karena saya pikir otak saya bisa gak waras kalau terus mikirin mereka." Kinan menyerahkan beberapa sayuran untuk di hitung pedagang. "Kasihan banget sih, Bu Kinan. Kenapa ibu gak milih cerai saja sih Bu. Dari pada batin tersiksa." Kinan kembali tersenyum lalu mengambil barang belanjaannya yang sudah di hitung. "Banyak hal yang harus saya pikirkan, Bu. Terutama Yumna." Semua ibu- ibu menatap kasihan pada Kinan. "Semuanya juga gak semudah itu juga. Apalagi Mbak Ayu lagi hamil sekarang." Kinan menunduk sedih. "Oh, ya?" Kinan menganggukkan kepalanya. "Pelakor sialan, gak ada malunya. Tenang Bu Kinan. Sampai kapan pun kami bakalan tetap bela Bu Kinan." Kinan terkekeh. "Terimakasih loh, Bu Ibu semua." Saat Kinan akan pergi sebuah mobil barang berhenti tepat di sebelau rumah Bu Jani. "Tetangga baru ya, Bu?" tanya Kinan pada Bu Jani. Bu Jani mengangguk. "Katanya sih duda anak satu, Bu." Kali ini Kinan yang mengangguk. "Kalau gitu saya masuk, ya." "Ya Bu Kinan." Kinan melanjutkan niatnya untuk masuk dengan sesekali melihat ke arah mobil barang tersebut dimana sebuah mobil mewah juga berhenti di belakang mobil barang tersebut. Saat seseorang turun dari dalamnya Kinan tak bisa tak mengernyit.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN