"Sayang, uang bulanan yang kemarin kamu kasih udah abis." Kinanti Sekar Arum wanita berusia 29 tahun yang baru saja turun dari lantai dua mengernyit mendengar suara Bram suaminya. Wanita yang sudah berpakaian rapi itu melangkah mendekat ke arah meja makan dimana Bram berada. Pria itu tengah melepaskan apron di tubuhnya menunjukan jika dia baru selesai memasak.
"Kok udah abis sih, Mas? Empat juta abis? baru seminggu loh, ini?" Rumah tangga mereka memang keluarga dunia terbalik, dimana Kinan sebagai seorang istri bekerja dan Bram mengurus rumah dan anak mereka Yumna yang saat ini berusia tujuh tahun.
Bukan tanpa alasan ini semua terjadi. Sulitnya Bram mencari pekerjaan membuat Kinan memilih bergerak dan mencari pekerjaan juga. Dan bagusnya saat dia melamar pekerjaan dia langsung di terima di sebuah perusahaan besar hingga sekarang dia sudah di angkat menjadi Manager umum di perusahaan tersebut. Sementara Bram karena tak kunjung mendapat pekerjaan memilih menjadi teknisi AC panggilan, yang kadang ada orderan kadang tidak. Waktu Bram yang lebih luang membuat Bram lebih banyak di rumah, hingga mereka memutuskan untuk membagi tugas. Selama Kinan bekerja maka Bram yang akan mengurus rumah. Bram tidak keberatan sebab di hari minggu dan hari libur kantor Kinan tetap melakukan pekerjaan rumah, hingga dia memiliki waktu istirahat.
Dan karena rasa saling mengerti itulah pernikahan mereka yang ke delapan tahun ini masih bertahan. Kinan tak keberatan meski nyatanya keluarga ini berjalan karena nafkah yang dia berikan pada Bram. Asal keluarga mereka terus akur Kinan tidak akan memperhitungkan. Namun ada yang aneh dengan suaminya akhir- akhir ini. Uang bulanan yang dia berikan pada Bram selalu kurang dan tak cukup untuk kebutuhan dapur mereka selama sebulan.
Bram mendengus. "Kemarin aku belanja kebutuhan rumah. Kebutuhan Yumna juga. Wajar kalau abis. Lagian aku juga belum ada orderan, jadi semua yang aku pake ya uang dari kamu."
"Ya, aku tahu. Tapi kan uangnya harusnya cukup untuk urusan dapur, dan Yumna. Sementara listrik sama air aku loh yang bayar."
Bram menghela nafasnya. "Maksudnya kamu gak percaya sama aku? Ya udah kalau gitu mulai sekarang kamu atur sendiri. Biar tahu uang empat juta tuh cukup buat apa aja."
"Ya, tapi aku kan sibuk kerja, Mas. Dan kita udah sepakat kamu juga bantu aku di rumah, kalau lagi gak ada orderan."
"Ya abisnya kamu gak percaya kan sama aku?"
"Bukan gak percaya, Mas. Tapi bisa kan lebih hemat lagi. Kalau gaji aku habis setiap bulannya, kita gak bisa nabung buat dana darurat. Trus kalau tiba-tiba butuh uang aku gak pegang gimana?"
"Ya udah, kamu kasih ke aku semuanya. Biar aku yang atur," ucap Bram. Namun dahi Kinan semakin mengernyit. Kenapa dengan suaminya ini, padahal sebelumnya biaya dapur cukup 4 juta perbulan bahkan masih bersisa. Tapi kenapa sekarang Bram justru mengeluh kurang.
"Aku kan juga punya kebutuhan, Mas. Belum lagi bulan ini aku bayar uang sekolah Yumna."
"Ya makanya, kamu tambah aja jatahnya. Lagian kan barang- barang serba mahal sekarang."
Kinan mengurut pelipisnya. "Ya udah aku transfer nanti. Tapi harus cukup sampe akhir bulan Mas. Gajian masih lama."
Bram mengangguk lalu membuka tudung saji. "Kalau gitu ayo makan." Kinan menatap makanan di meja ada sepiring nasi goreng dan telor ceplok di atasnya.
"Cuma ini, Mas?"
"Ya, kamu maunya apa? Ini aja aku udah berusaha masakin loh."
"Maksud aku bukannya kamu udah belanja. Kenapa makanannya cuma ini aja? Terus buat kamu sama Yumna gimana?"
"Kamu tenang aja, nanti aku masak lagi buat Yumna, kamu kan mau berangkat kerja, jadi harus buru- buru." Kinan menghela nafasnya lalu mengangguk.
"Kalau gitu aku makan duluan."
"Ya, aku mau cek Yumna dulu." Kinan kembali mengangguk dan Bram pergi ke arah kamar Yumna putri mereka.
Selesai dengan makannya Kinan masih belum melihat Yumna keluar dari kamarnya. Padahal biasanya anaknya itu tak pernah absen berpamitan saat dia akan berangkat bekerja.
"Yumna-nya mana Mas?" Kinan menatap pada belakang punggung Bram namun tak menemukan Yumna.
"Baru bangun lagi siap- siap."
"Ya udah bilang sama Yumna aku berangkat ya, Mas, aku udah telat." Bram mengangguk, lalu mengantar Kinan hingga ke pintu.
"Aku kerja dulu, Mas." Kinan meraih tangan Bram untuk dia cium punggung tangannya.
"Ya, hati- hati." Bram mengecup dahi Kinan membuat Kinan tersenyum.
Baru saja melangkah ke luar pintu Kinan mengernyit melihat tetangga rumah mereka menghampiri. "Kinan baru mau berangkat?" tanyanya dengan tersenyum.
"Ya, Mbak. Ada apa ya?" Ayuningtyas tetangga rumah mereka. Janda tanpa anak itu baru beberapa bulan tinggal sebelah rumah mereka.
"Oh, ini mau ngasih ini. Kemarin belanja daging. Pas aku masak kebanyakan. Sayang kalau gak di makan. Tahu kan di rumahku cuma ada aku doang," ucapnya dengan menyodorkan mangkuk berisi opor ayam.
"Oh, makasih." Baru saja akan mengambil mangkuk di tangan Ayu, Bram muncul dari dalam.
"Wah makasih loh, kebetulan aku belum masak," ucap Bram dengan mengambil mangkuk di tangan Ayu.
Ayu terkekeh. "Bagus deh kalau Mas Bram suka."
"Aku gak nolak rezeki. Iya, kan, ini rezeki?" tanyanya pada Kinan.
Kinan mengangguk."Iya, makasih Mbak Ayu."
Ayu menoleh pada Kinan. "Iya, sama- sama."
"Ya udah Sayang, bukannya kamu mau berangkat? Nanti telat loh." Bram dan Ayu masih menatap Kinan.
Kening Kinan masih mengernyit melihat Ayu masih diam dan berdiri di teras rumahnya bahkan setelah Bram mengambil mangkuk berisi opor ayam di tangan Ayu.
Kinan memasuki mobilnya, meletakan ponsel di dasbor lalu bergegas berangkat. Sekali lagi Kinan menoleh dan Suami dan tetangganya yang masih ada disana menatap ke arahnya. Bram bahkan melambaikan tangannya membuat Kinan tersenyum. Kenapa pikirannya tiba- tiba menjadi buruk?
Baru setengah jalan menuju ke kantor Kinan mendengar ponselnya berdering. Kinan menerima panggilan tersebut lalu menekan speaker. "Kenapa Gin?" Gina salah satu bawahan Kinan menghubungi.
"Bu Berkas yang kemarin aku taruh di meja udah di tanda tangani, kan?" Kinan mengernyit.
"Sudah, aku simpan di laci," jawab Kinan. Namun saat ini dia teringat. "Eh, tunggu Gin, aku bawa kerumah kayaknya. Bentar aku cek. Aku puter balik dulu, soalnya takut ketinggalan di rumah." Kinan memutar setir untuk kembali ke rumah.
Tiba di rumah Kinan segera masuk dan menaiki lantai dua untuk menemukan berkas yang dia cari. Benar saja ada di kamarnya. Namun mendengar suasana hening Kinan mengernyit. "Mas Bram udah berangkat?" Kinan menggeleng pelan masih berpikir. "Kalau pergi kenapa pintunya gak di kunci." Biasanya di jam ini Bram akan mengantar Yumna sekolah dengan motornya. Namun saat ini langkah Kinan berhenti.
"Tapi tadi motor Mas Bram ada di garasi." Kinan menatap bingung. Lalu pergi ke arah kamar Yumna. Saat melihat Yumna masih tertidur Kinan semakin mengerutkan keningnya. Bukannya tadi mas Bram bilang Yumna sudah bersiap?
Langkah Kinan menyusuri ruangan demi ruangan, namun tetap tak menemukan Bram. Hingga dia tiba di dapur dan melihat piring bekas makan masih ada di meja. Terlihat mangkuk opor yang tadi di berikan Ayu masih bersisa.
Jantung Kinan berdebar kencang saat dia mendengar suara- suara dari kamar tamu di dekat dapur. Suara yang tak asing bagi Kinan.
Langkah Kinan semakin berat saat dia hampir tiba disana hingga Kinan benar-benar tiba di depan pintu. Mata Kinan membulat dengan nafas yang terasa sesak. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas saat mendengar suara apa itu.