***
Maika menatap ragu ke arah pintu bercat putih yang ada di hadapannya. Tadi saat Rafan memutuskan untuk pergi ke kamarnya. Maika diajak berbincang oleh Nara dan bundanya Nara– eh maksudnya Bunda. Biasalah perempuan kalau gak ngerumpi dikit pas ketemu tuh kayaknya kurang afdhol.
“Masuk aja kali, kamar suami lo ini,” kata Nara dengan nada sedikit jahil. Gadis itu baru saja menaiki tangga.
Maika meringis, tetap saja rasanya gugup.
“Paling juga lagi mandi, udah buru masuk!” Nara mendorong Maika masuk lalu menutup pintu Rafan dengan keras. Dasar Nara!
Benar seperti kata Nara kalau suaminya itu tengah mandi, buktinya terdengar suara air di dalam sana. Maika meneliti kamar Rafan yang cukup rapi untuk ukuran cowok. Dindingnya dicat abu muda. Lalu ada lemari baju berwarna putih dengan ukuran cukup besar. Ranjangnya berukuran sedang, terpasang sprei abu bermotif kotak-kotak. Nyaman sih.
Ceklek
Pintu kamar mandi terbuka, Maika menolehkan kepalanya. Seketika pipinya bersemu saat mendapati Rafan shirtless dan hanya mengenakan celana selutut.
“Kamu mau mandi juga enggak?” tanya Rafan basa-basi.
“Aku gak bawa baju ganti, Kak. Gimana dong? Baju aku udah masuk koper semua,” balas Maika. Sebenarnya dia sangat ingin mandi. Apalagi siang begini rasanya sangat gerah.
“Kamu bawa dalaman ‘kan?”
Hening. Baik Rafan maupun Maika sama-sama tertegun. Pipi Maika semakin merah. Sungguh dia sangat malu harus membahas seperti ini bersama lelaki.
“A–ada kok,” balas Maika gugup sambil mengalihkan pandangannya.
“Ya udah mandi dulu aja, ntar pakai baju aku aja.” Akhirnya Maika mengangguk dan memutuskan untuk mandi. Jujur saja, dia masih belum terbiasa dengan kehidupannya saat ini. Apalagi ‘kan selama ini dia terbiasa apa-apa sendiri. Makanya ketika tiba-tiba hidup berdua dengan orang baru dia masih merasa asing. Tapi mungkin lama-lama akan terbiasa juga.
“Kak, bajunya!” kata Maika dengan suara agak kencang. Untung kamar Rafan kedap suara :/ Rafan yang tengah memainkan ponselnya langsung beralih berjalan menuju lemarinya. Lalu mengambil kaos oblong berwarna hitam dan sebuah celana pendek yang menurutnya itu paling kecil.
“Ini,” kata Rafan. Entah kenapa dia sangat ingin menjahili Maika. Tangannya pun tergerak untuk mematikan saklar lampu kamar mandinya.
“KAK! JANGAN USIL DONG!” teriak Maika ketakutan. Dia paling malas kalau harus di kamar mandi. Cerita horor yang disampaikan oleh nenek buyutnya masih terngiang-ngiang hingga sekarang.
“Aku diem kok.” Rafan menahan tawanya.
“Kak ih nyalain!”
Tidak ada jawaban. Gelapnya kamar mandi ditambah lagi dengan keadaan yang hening. Membuat Maika membayangkan hal-hal yang seram. Kalau tiba-tiba ada yang narik dia gimana? Maika langsung panik. Hingga terdengar suara isak tangis.
Lah nangis beneran? Rafan buru-buru menyalakan lampu kamar mandi. Dan masuk ke dalam, didapatinya Maika tengah berjongkok dan hanya mengenakan handuk. Rafan menelan ludahnya susah payah. Astaghfirullaah. Dia tidak pernah menyangka bisa melihat Maika hanya handukan saja. Padahal selama ini gadis itu begitu tertutup dan galak.
Godaan iman ini mah, jadi dia yang kena.
“Ssst, udah jangan nangis. Aku cuman bercanda, nih bajunya.” Rafan menahan diri untuk tidak menyentuh bahu mulus Maika.
“Nyebelin banget, aku takut tau kalau di kamar mandi!” Maika mengelap wajahnya yang penuh air mata dengan punggung tangan.
“Mau ditemenin?” Mata Maika langsung membulat seketika. YANG BENAR SAJA! Dia juga baru sadar kalau sekarang dia hanya mengenakan handuk. Asli sih, ini siaga 3. Sontak saja dia langsung memeluk tubuhnya sendiri.
“Kak Rafan!” Rafan tertawa nyaring. Seru juga menggoda istrinya itu.
“Kenapa? Padahal ‘kan niat aku baik. Siapa tau nanti ada yang nyolek kamu atau-“
“Oke, temenin tapi jangan ngintip.”
Baru saja Maika mau mengenakan pakaiannya. Tapi Rafan sudah tidak betah berlama-lama di sini.
Ini tidak baik untuk kewarasannya. Bisa-bisa dia sendiri yang terjebak. Berabe urusannya.
“Eh aku tunggu di luar aja.” Rafan buru-buru keluar dari kamar mandi. Ini first time lihat cewek handukan, dan itu istrinya sendiri. Benar-benar meresahkan.
Maika kicep, suaminya itu aneh sekali. Maika menatap pakaian di tangannya, lalu mulai mengenakannya satu persatu. Sepertinya agak aneh kalau mengenakan celana ini. Alhasil Maika memutuskan untuk mengenakan kaosnya saja, kaos itu sangat besar ditubuhnya. Panjangnya sepaha. Dan hal itu membuat Maika sadar, betapa pendeknya dia.
“Aneh enggak?” tanya Maika meminta pendapat. Rafan meneliti gadis itu, tidak ada yang aneh. Malah sangat bagus. Hanya saja pakaian ini hanya memungkinkan untuk dilihat oleh Rafan. Tidak untuk siapapun.
“Gak usah keluar kamar ya,” ucap Rafan membuat kening Maika berkerut.
“Ih nanti kalau dikira ngapa-ngapain gimana?” kata Maika. Maika berjalan menuju balkon, lalu menjemur handuknya di jemuran handuk yang ada di balkon.
Rafan tersenyum, dapat bahan lagi dia. “Ngapa-ngapain gimana?”
Maika gelagapan. “Gak tau,” balas Maika agak salah tingkah.
“Gak tau gimana?”
Ternyata Rafan yang dingin tuh aslinya jail banget. Sampai kadang bikin kesel.
“Masa harus dijelasin?” Maika sudah putus asa. Kalau terus begini, bisa-bisa mukanya semerah tomat busuk.
“Haha ya biarin aja lah, kita ‘kan udah nikah. Wajar dong,” balas Rafan santai.
“Emang kamu gak mau jadi mama muda?” Rafan menaik turunkan alisnya.
Allaahu akbar! Ini laki kenapa senang sekali buat Maika salah tingkah, sih?
***
“Abang sama Maika kok gak turun-turun ya, Bun?” tanya Nara.
Nara dan Bundanya sedang menonton telivisi. Biasalah menghabiskan wajtu siang.
“Biarin aja lah, namanya juga pengantin baru,” jawab Bundanya dengan santai.
“Hah? Maksud Bunda gimana?”
“Ck, yang belum nikah gak usah kepo. Terima jadi aja.” Nara semakin mengerutkan keningnya. Maksudnya apaan sih? Terima jadi apaan? Bahasa orang-orang yang sudah menikah sulit dipahami. Terlalu banyak kode-kodean. Berasa anak pramuka aja.
***
“Kata aku juga apa, tariknya jangan yang ini. Kalah ‘kan kamu,” ejek Rafan ketika melihat wajah Maika sudah cemong oleh bedak bayi.
“Mana ada? Tadi aku nariknya udah pelan, tapi kak Rafan gangguin terus. Makanya aku gak fokus,” balas Maika tak terima.
“Amasa?” Maika mencubit pelan perut suaminya. Heran hari ini kok Rafan jail banget.
“Gak tau!” Maika mulai merajuk. Gadis itu hanya diam saja sambil membereskan uno. Rafan tertawa, wajah Maika yang tengah merajuk menurutnya sangat menggemaskan.
Tiba-tiba saja Rafan memeluknya. Ck! Kalau begini siapa yang tidak luluh sih?
“Maaf, abisnya kamu gemesin. Eh tidur siang yuk!” Maika menerima ajakkan suaminya.
“Aku taro ininya dulu,” kata Maika menutup kotak uno. Rafan memperhatikan setiap gerak-gerik istrinya.
“Ayo!” Maika menarik tangan Rafan. Keduanya mulai berbaring dengan posisi saling berhadapan. Rafan memeluk pinggang Maika. Dan satu tangan Maika yang bebas memainkan rambut Rafan. Mendapat perlakuan seperti itu membuat mata Rafan memberat.
“Aku masih penasaran tau,”kata Maika.
“Apa?” tanya Rafan setengah sadar.
“Waktu aku kelulusan, Kak Rafa dateng, ya?” Rafan mengangguk samar.
“Tuh ‘kan bener, aku gak salah liat.” Rafan tidak menjawab.
“Aku padahal ketemu sama Kakak juga tau, yang pas Kakak jemput Rama. “ Mata Rafan langsung membuka. Rasa kantuknya mendadak lenyap.
“Kok kamu tau?” Maika meringis. Duh, bisa-bisa salah paham.
“Eh jangan salah paham, waktu itu sebenernya aku abis ngobrol sama dia.” Ekspresi Rafan agak mengeruh.
“Ih denger dulu, enggak berdua. Ada Risya juga.”
“Ngobrolin apa?” tanya Rafan dengan nada dingin.
“Ada deh–“ Rafan langsung membalikkan tubuhnya membelakangi Maika.
Ini mah mampuy kalau misalkan Rafan beneran marah. Bisa habis Maika.
“Denger dulu. Jangan langsung marah dong Kak, aku gak ada apa-apa kok. Dia waktu itu pengen serius sama aku, tapi enggak aku terima. Tanya aja Risya. Lagian ‘kan sekarang aku udah jadi istri kakak.” Maika membujuk Rafan yang kini tidur membelakanginya. Rafan tidak menggubris ucapannya.
“Kak .... “ panggil Maika.
Kok nyes banget ya rasanya kalau orang yang kita sayang itu marah? Ini yang Maika takutkan. Dia takut kalau dia tidak bisa membuat Rafan bahagia.
Gadis itu terisak kecil. Rafan yang menyadari isakkannya langsung membalikkan badannya menghadap gadis itu. Dia baru tahu kalau dibalik sifat garang dan judesnya Maika. Ternyata gadis ini punya hati yang sangat lembut dan begitu peka.
“Hei, aku gak beneran marah kok. Jangan nangis,” kata Rafan sambil berusaha membuka tangan Maika yang menutup wajahnya.
Ck, bener-bener ye lu Pan.
“Maaf,” kata Maika. Seketika Rafan merasa bersalah. Dia sudah membuat istrinya menjadi sedih.
“Aku yang harusnya minta maaf. Udah ya, kita tidur sekarang. “
Rafan mengusap air mata Maika. Keduanya pun tidur saling berpelukkan.