Bunga Tidur

1161 Kata
*** Apa yang kamu lakukan sekarang. Berimbas pada masa depanmu nanti. So be a wise. *** Setelah menghabiskan waktu berjam-jam, akhirnya mobil mereka sampai di sebuah Luxurious Villa yang berada di salah satu kawasan Bandung. Tepat pada pukul 8 malam. Saat sampai di sini, Maika dibuat terpukau dengan bangunan kokoh yang ada di hadapannya. Desain interiornya bernuansa islami, didominasi oleh cat berwarna warna putih gading dengan ukiran kaligrafi di setiap sudut. Cahaya lampu yang ada di sekelilingnya membuat Villa ini terlihat sangat nyaman. Maika mengerutkan keningnya saat melihat ada banyak mobil yang terparkir di sini. Dia bahkan bisa melihat beberapa mobil bak milik perusahaan dekorasi dan catering terparkir di sini. Sebenarnya ada apa? “Assalamu’alaikum. Benar ini atas Bapak Revandi?” Tiba-tiba saja seorang pria berpakaian rapi datang menyambut mereka. “Wa’alaikumussalaam. Benar,” jawab Papa Maika dengan ramah. “Baik, ruang pertemuannya ada di lantai dua. Salah satu pegawai kami akan menunjukkan tempatnya. Untuk barang bawaannya akan kami tempatkan di kamar yang sudah disediakan. Mari, Pak,” jelas pria itu. Alhasil, Maika dan keluarganya hanya membuntuti langkah salah seorang pria yang ditunjuk untuk mengantarkan mereka. Sungguh, Maika masih belum paham. Kenapa mereka datang ke sini. Dari tadi saat ditanya, papanya selalu menjawab ‘nanti juga kamu tahu’. Benar-benar jawaban yang tidak memuaskan. Setelah melewati lift, mereka semua sampai di lantai dua. Jujur saja, sebenarnya Maika sudah sangat lelah sekali. Tubuhnya serasa rontok. Tapi ini tidak seberapa, dibandingkan papanya yang sudah membawa mobil dari Bogor ke Bandung. Dan sekarang menggendong Zahira yang sangat berat. Tok tok tok Pria itu mengetuk sebuah pintu berwarna abu. Lalu membuka dan mempersilahkan keluarga Maika masuk. Saat memasuki ruangan itu, nampak ada banyak sekali orang di sana. Mungkin sekitar 10 orang. Dan yang membuat Maika ingin pingsan saat itu juga, Nara ada di sana. Bukankah ini terlalu menyesakkan? Gadis itu sama sekali tidak menghubunginya. Tahu-tahu ada di sini. Di saat Maika tidak bisa tidur memikirkan kabarnya. Hingga kantung matanya bertambah. Tapi .... Kenapa ini terasa sangat tidak adil? Mau marah pun, Maika tidak berhak. Dia sadar diri. Dia bukan siapa-siapa, sampai orang-orang harus selalu memperhatikan dan menjaga perasaannya. Pada akhirnya Maika hanya mampu menundukkan kepalanya. Dia tidak mau melihat siapapun. Yang dia inginkan saat ini, hanyalah pergi dari sini. “Assalamu’alaikum, Gimana kabar lo, Van?” sapa sebuah suara yang Maika tahu kalau itu adalah suara Papanya Nara. “Wa’alaikumussalaam. Alhamdulillah baik, Bang. Akhirnya jadi juga ya,” balas Papanya Maika. Kedua laki-laki paruh baya itu sudah asyik bercengkrama ria. Adik Maika juga sudah berpindah posisi dengan Maika. Iya memang sengaja menawarkan diri untuk membawa Zahira dan membiarkan mamanya berbincang bersama bundanya Nara. Rasa insecurenya semakin tumbuh subur, apalagi saat Rafan menatapnya seolah Maika begitu aneh. Tidak cukup sampai di situ, Nara juga acuh dengan keberadaannya. Mata gadis itu memerah. Tangannya terkepal erat. Dia tidak boleh mmenangis “Teteh pa? (Teteh kenapa?)” Maika terkesiap saat mendapati Zahira yang berada dalam pangkuannya tengah menatap Maika. “Eh, Zahira udah bangun,” ucap Maika sambil mengusap air matanya. “Mau ke Mama?” tawar Maika. Zahira mengangguk. Meski sudah sangat letih, Maika menggendong Zahira. Gadis itu menundukkan kepalanya saat mengucapkan salam. Dia langsung memberikan Zahira pada mamanya. Lalu duduk di sebelah Jihan. Beberapa pelayan berlalu lalang menyiapkan makanan untuk mereka. Namun sungguh, melihat semua makanan yang tersaji di sini. Maika sangat enek melihatnya. Dia bahkan tidak tertarik sedikitpun untuk sekedar mencium aromanya. Dia sangat ingin muntah. “Saya rasa tidak ada yang perlu ditutup-tutupi lagi. Apalagi sudah menjelang H-2 dua acara,” ucap Papanya Nara. “Kamu sudah memberitahu Maika soal ini ‘kan, Van?” Nama gue kenapa disebut? Batin Maika penuh tanya. “Sebelumnya saya mohon maaf, saya belum memberitahukan Maika. Karena saya masih bingung bagaimana mengatakannya.” Mendengar jawaban yang terlontar dari mulut papanya, perut Maika serasa mulas. “Jadi kamu belum memberitahukan Maika soal pernikahannya dengan Rafan? Padahal acaranya sudah H-2,” kata Papanya Nara. Seketika Maika merasa kalau pasokan oksigen di sekitarnya terasa hilang. Gadis itu menatap tidak percaya ke arah papanya. Dia tidak salah dengar ‘kan? “Jadi bagaimana, Maika? Kita tidak mungkin membatalkan acaranya. Undangan sudah tersebar. Beberapa ustadz yang akan mengisi khutbah juga sudah kami hubungi.” Saat itu juga, Maika hanya ingat kalau dia tengah megenggam sendok. Dan dia bisa ingat dengan jelas bagaimana suara sendok itu jatuh. *** “Badannya dingin banget, Dokter yang kamu hubungi udah sampai mana, Nara?” tanya Bundanya Nara begitu khawatir. Di sisi kiri kasur, ada Mamanya Maika yang tengah mengusap lembut kepala Maika sambil menggenggam erat tangan putrinya. “Hiks, aku telepon gak dijawab, Bun,” jawab Nara sambil terisak. Dia sungguh menyesal dan sangat takut jika terjadi sesuatu pada Maika. Dia tadi hanya berniat mengerjai Maika saja dengan bersikap tak acuh padanya. “Kamu jangan malah bikin tambah panik, gak usah nangis. Mintain teh hangat ke pelayannya.” Nara langsung bergegas keluar untuk memenuhi permintaan Bundanya. “dia pasti kaget banget. Aku minta maaf, Nal. Udah buat Maika seperti ini,” sesal Rana-bundanya Nara. “Ini salah aku juga, Mbak. Seharusnya aku kasih tau dia dari awal.” Maika mengerjapkan matanya saat mendengar suara yang cukup bising. Gadis itu meringis saat merasakan cubitan di pipinya. “Heh, bangun. Udah sampai.” Seketika Maika membulatkan matanya, dia menatap ke sekelilingnya. JADI YANG TADI ITU CUMAN MIMPI?! “Kenapa kamu?” tanya Mamanya Maika saat melihat raut wajah Maika berubah sendu. Ini yang namanya sakit tapi tidak berdarah, sudah-sudah senang. Eh ternyata cuman mimpi. Hampir saja dia– Astaghfirullah. Ini tidak baik untuk kewarasannya. “Kita di mana, Ma?” tanya Maika agak linglung. Mamanya Maika menghela napas. Padahal sebelum Maika tidur, mereka sudah membicarakan masalah ini. Kalau mereka pergi ke Villa milik keluarga Nara. Ayah dan Bundanya Nara rujuk dan mengadakan pesta mewah khusus keluarga. Tapi sepertinya Maika tidak mendengar. Mengingat ketika Nala-Mamanya Maika selesai bicara panjang lebar lalu menoleh ke kursi belakang. Yang didapatinya hanya Maika yang tengah tertidur pulas. “Mama ‘kan udah bilang. Kita mau hadirin acara nikahannya orang tua Nara.” Maika meringis. Kenapa dia harus memimpikan hal seperti itu sih? Btw, apa tadi ? Acara nikahan orang tuanya Nara? Itu artinya Bundanya Nara dan Papanya Nara rujuk? Yaampun, Maika turut senang mendengarnya. “Malah bengong, kita udah ditunggu di dalam. Dari 1 jam yang lalu mereka udah nanyain kamu. Mama udah coba bangunin kamu. Akhirnya Mama tinggal sebentar kamu di sini, gak enak juga sama keluarganya Nara. Kamu kebo banget sih. Udah mama cipratin air, tetep gak bangun juga,” jelas Mamanya panjang lebar. Hal itu membuat kepala Maika terasa pening. Mau nangis boleh tidak sih? Kenapa dia kecewa begini, ya? Seperti ada yang retak, tapi bukan tembok. Ternyata yang tadi itu cuman mimpi. “Kenapa kamu hobi banget bengong sih, Nak? Ayo cepetan. Bersihin muka kamu pakai tissue basah. Bentar lagi acara makan malamnya dimulai.” Dengan lesu, Maika membersihkan wajahnya menggunakan tisu. Moodnya mendadak buruk. Dia jadi kesal pada dirinya sendiri, huft.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN