Kembali, pagi menyapa. Walau sang surya belum menampakkan batang hidungnya, tapi Thea telah beranjak dari ranjang dan melaksanakan tugas rutinnya. Gaun tidur Thea menyapu sisi tempat tidur. Ia menoleh, menatap pria yang masih terlelap di alam mimpi. Perlahan, bibir tipis Thea menyunggingkan senyuman. Ia sangat jarang melihat suaminya tertidur walau mereka tinggal satu atap. Ri Han lebih hobi melewatkan malam di ruang kerja. Entah apa yang pria itu lakukan, Thea tidak berani mengusik.
Tetapi, kadang Ri Han juga memakai ranjang yang sama dengan sang istri walau hanya untuk beberapa jam saja. Pria itu tidak pernah tidur dalam waktu yang lama. Tidak seperti Thea yang bisa tidur selama yang ia suka.
Manik indah itu masih memakukan pandangan pada sosok pria yang mengisi hatinya. Seolah kehangatan menyeruak di d**a. Ia pun terdorong untuk melakukan hal manis saat pagi menyapa. Thea menyondongkan tubuhnya dan mengecup kening Ri Han. Wanita itu pun terkekeh geli sebelum beranjak dari kamar. Yah, entah mengapa Ri Han yang tertidur terlihat sangat manis di matanya. Seperti bocah yang tidak berdosa. Sangat berbeda saat pria itu membuka mata, tatapan tajam siap menyapa.
“Masak apa ya, hmm....” Thea bergumam sembari membuka pintu lemari es. Melihat bahan apa saja yang bisa dijadikan kudapan di pagi hari.
Suaminya selalu berangkat pagi dan ia pun harus bisa menyesuaikan diri dengan jadwal kerja sang suami. Pagi-pagi, ia memasak untuk sarapan. Thea tidak peduli jika Ri Han kadang menolak sarapan di rumah, yang terpenting ia sudah mengusahakan yang terbaik untuk suaminya.
Atau mungkin lebih baik ia membawakan bekal untuk Ri Han? Ia tidak bisa memantau Ri Han saat bekerja, bukan? Bisa saja pria itu melewatkan makan siang dan jam istirahatnya.
Thea mengangguk semangat. “Baiklah. Aku akan membuat sesuatu yang spesial!”
Mengambil beberapa butir telur dan sayuran, Thea pun melangkah cepat untuk mempersiapkan semua peralatan. Ia memang tidak terlalu pandai di dapur, tapi ia akan berusaha sekeras mungkin untuk menyajikan makanan penuh cinta untuk sang suami.
Tak perlu waktu lama, Thea sudah hampir selesai membuat dua porsi omelet dan satu bekal spesial untuk Ri Han. Ya, siapa tahu dengan begitu Ri Han menjadi lebih memperhatikan pola makan. Lagi pula, bekal dari rumah dan makanan di restoran pasti berbeda, bukan?
Thea, meletakkan masakannya di meja makan. Bersamaan dengan itu, Ri Han muncul dengan pakaian yang sudah rapi. Seperti biasa, setelan jas hitam dan dasi hitam yang setia membalut tubuhnya. Rambutnya pun sudah tertata rapi.
“Ri Han, jangan lupa sarapan,” ujar Thea dengan senyum simpul di bibirnya.
“Hmm.”
Thea kembali tersenyum saat Ri Han duduk di meja makan. Ia sendiri masih sibuk membereskan sisa-sisa peralatan masak yang harus dibersihkan.
“Hari ini pulang malam lagi?”
Terlalu sunyi, Thea pun mencari tema pembicaraan untuk menghangatkan suasana. Ia tidak akan menunggu Ri Han untuk menyapa terlebih dahulu, karena itu hal yang sangat mustahil. Pria itu sangat hemat berbicara. Seolah ia hanya menyimpan kata-kata dalam benaknya.
“Entahlah,” jawab Ri Han.
Thea hanya tersenyum. Yah, ia mulai terbiasa dengan sikap Ri Han. “Tolong kabari aku jika kau pulang larut malam. Agar aku bisa lebih tenang.”
Sejenak, Ri Han berhenti menggerakkan garpu dan sendoknya. Manik tajamnya menatap Thea yang masih sibuk membereskan dapur. Entah apa yang ia pikirkan, tak ada yang tahu pasti.
“Akan aku kabari,” jawabnya, setelah terdiam beberapa saat.
“Baik,” jawab Thea dengan senyum simpul.
Ri Han kembali terfokus pada makanannya. Menyuapkan satu sendok omelet yang telah ia potong. Satu, dua, tiga kunyahan, dan pria itu terdiam sejenak. Thea yang menyadari kejanggalan perilaku Ri Han pun meletakkan sendok dan garpunya.
“Ada apa? Tidak enak? Ka-kalau tidak enak, jangan paksakan dirimu untuk memakannya.” Thea, terlihat sangat cemas. Bisa jadi masakan yang ia masak memang tidak memenuhi selera sang suami, mengingat betapa payah dirinya untuk urusan dapur.
Di luar dugaan, Ri Han kembali mengunyah makanan yang dihidangkan oleh Thea. Saat pria itu menelan makanannya, raut sang istri terlihat begitu cemas. Khawatir jika keahliannya mengolah makanan tidak mengalami kemajuan.
“Ma-maafkan aku. Aku akan belajar lebih giat agar aku bisa memasak masakan yang enak untukmu.” Thea membuang muka, kecewa pada dirinya sendiri. Ia sangat ingin membalas kebaikan sang suami, tapi yang ia lakukan hanya memperparah suasana. Tak heran jika selama ini Ri Han selalu bersikap dingin padanya.
Namun, sedikit yang Thea tahu bahwa alasan Ri Han terlihat begitu terganggu bukan karena masakannya, melainkan ponselnya yang selalu bergetar.
“Tidak. Ini enak,” sangkal Ri Han. “Tapi aku tidak bisa menghabiskannya, aku harus berangkat sekarang.”
Pria itu merasa kesal karena sedari tadi getaran ponsel di sakunya tak kunjung berhenti. Pastinya, itu panggilan untuk bekerja. Jika teror telepon telah terlaksana, maka ia harus cepat menampakkan wajah di depan direktur dan rekan kerjanya. Kalau tidak, mungkin ia akan menerima hukuman spesial nantinya. Ah, terkadang Ri Han membodohkan dirinya sendiri karena tidak bisa mengabaikannya dan memasang tampang tak berdosa seolah tak tahu apa-apa di depan atasannya. Mungkin lain kali ia harus membanting ponselnya sendiri agar ia memiliki alasan untuk melarikan diri teror panggilan dan hukuman.
“Aku berangkat,” pamit Ri Han seraya beranjak dari meja makan.
Namun, Thea segera menghentikannya. Tangan mungil itu memegang ujung jas Ri Han. Mencegah sang suami melangkah lebih jauh. Menoleh, pria itu masih menatap dengan raut datar, tak mengerti apa yang akan istrinya lakukan.
“Dasimu kurang rapi, biar aku rapikan.” Pipinya kini mulai memerah.
Sebenarnya, itu hanya akal-akalan Thea agar ia bisa mempunyai waktu berdua dengan pria yang ia cintai. Walau beberapa detik saja, itu sudah sangat berharga baginya. Entah mengapa, Thea merasakan keresahan setiap Ri Han pergi bekerja. Rasa takut akan kehilangan sang suami tercinta selalu saja membayang. Seolah, ia bisa kehilangan Ri Han kapan saja.
Tapi tentu saja Thea membuang jauh-jauh pemikiran itu. Suaminya tidak akan pergi meninggalkannya. Ia akan melihat cintanya pulang malam ini. Dan esok hari, ia akan memasak lagi untuk Ri Han. Kembali, tangan mungil Thea membenahi dasi hitam yang menggantung di leher kokoh sang suami. Sementara pria berambut kelam itu masih mematung.
“Sudah,” ujar Thea sembari menarik tangannya.
“Terima kasih,” jawab Ri Han.
Thea mengangguk. Tangannya meraih kotak yang sudah ia bungkus dan menyerahkannya pada Ri Han. Layaknya Thea ingin mencoba tips dari artikel yang ia baca. Tentu saja, artikel yang ia baca berhubungan dengan jalinan cintanya dengan sang suami. Ia ingin membangun rumah tangga yang lebih terbuka dan harmonis. Siapa tahu, tips itu memang manjur. Tapi entah mengapa, sekarang jantungnya malah berdebar kencang. Berada di dekat pria yang ia cinta benar-benar membuatnya gugup.
“Aku membuat bekal makan siang untukmu. Jangan lupa makan dan istirahat, ya?” Thea kini memasang raut bersemu merah.
Ri Han tampak ragu menerima bekal itu, tapi pria itu tahu bahwa ia tak bisa menolak. “Terima ka—”
Belum sempat Ri Han mengucapkan terima kasih, tangan mungil Thea terlebih dahulu menangkup pipinya. Setelah itu, yang ia rasakan hanya bibir lembut yang menempel di bibirnya. Sebuah kecupan sayang di bibir, ia terima. Anehnya, tubuh Ri Han tak menolak. Pria itu seolah tidak bisa menggerakkan tangan untuk mendorong Thea menjauh darinya. Walau kepalanya mengatakan bahwa semua yang Thea lakukan adalah hal yang salah, tubuhnya tak mampu menyangkal bahwa ia tidak keberatan dengan kecupan yang Thea berikan.
Di sisi lain, Thea masih berusaha mengatur jantungnya yang masih berdegup kencang. Ia pernah membaca sebuah artikel, dikatakan bahwa sebuah kecupan singkat di pagi hari akan membuat dampak positif bagi sepasang kekasih. Thea pun tergoda untuk mencoba tips yang ia temukan. Namun, tentu saja efek samping yang ia rasakan begitu luar biasa. Bahkan kini wajahnya masih serupa dengan tomat masak.
Sementara itu, Ri Han hanya membeku dengan benak yang berhamburan. Jika dipikir-pikir, ia bisa menghindari peluru senapan dengan mudah, tapi mengapa ia tidak bisa menghindari kecupan dari sang istri? Lucu. Sungguh lucu. Membuat Thea menjaga jarak dari dirinya bukanlah hal yang sulit. Namun, semua itu tidak pernah Ri Han lakukan. Dalam hati, pria itu mungkin tidak mempermasalahkan tentang perlakuan sang istri. Sayangnya, pria itu terlalu malas untuk mengakuinya. Atau lebih tepatnya, Ri Han pun sebenarnya bingung dengan reaksi macam apa yang harus ia berikan.
“A-aku ... mencintaimu,” bisik Thea.
Itu juga tips dari artikel yang Thea baca. Ia hanya penasaran, apakah semua itu memang benar-benar berdampak baik bagi mereka? Sebenarnya, Thea hanya ingin suaminya sedikit membuka diri. Agar pria itu tidak terlalu kaku dan tidak berekspresi. Tapi sekarang, semua itu malah berdampak juga pada jiwanya. Itu sangat membuatnya malu. Sungguh!
Sementara itu, Ri Han yang melihat kelakuan aneh sang istri hanya bisa mencuramkan alis. Tak mengerti apa yang Thea maksud. “Aku akan pulang cepat hari ini. Sepertinya kau harus mengunjungi dokter secepatnya.”
Seketika Thea mengernyit. “Eh?”
***
Entah mengapa benak Ri Han selalu memutar kejadian pagi ini. Istrinya bertingkah aneh. Tiba-tiba membawakan bekal, bahkan wanita itu berani mengecup dan membisikkan kata-kata yang ... lupakan. Sejujurnya, semua yang Thea lakukan membuat Ri Han bingung.
“Aarrhh!!”
Ri Han menoleh pada seorang pria yang terikat di kursi. “Kau bisa diam sebentar? Aku sedang berpikir.”
“k*****t! Lepaskan aku! Lepas—uuurrhhh!”
Tangannya mencengkeram erat rahang sang pria malang. Kali ini, ia berhasil menuntaskan misi dengan cepat. Hanya tinggal membuat target menutup mata selamanya dan semuanya pun beres.
“Aku bilang diam!” Ri Han mendesis kesal.
Sementara pria malang itu hanya bisa menatap ketakutan. Berharap Ri Han menaruh belas kasih padanya.
“Ah, Sunbae-nim, belum selesai juga? Mau dibantu?” Seorang pemuda bersurai cokelat datang, melambaikan tangan dengan ramah.
Menoleh, Ri Han menatap pria bersurai cokelat yang melangkah mendekat. “Ada apa, Hyun Soo?”
Pemuda itu tersenyum lalu melemparkan sesuatu. Dengan cekatan, Ri Han menangkap benda itu, yang ternyata adalah ponselnya.
“Istrimu mencarimu dari tadi,” ujar Hyun Soo seraya mengambil sebilah pisau. “Bicaralah padanya, sisanya biar aku yang bereskan.”
Mengernyit, manik tajamnya menatap layar ponsel yang menampakkan nama sang istri tercinta. Untuk apa Thea menelepon dirinya saat jam kerja? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Cepat-cepat, Ri Han melepas sarung tangan dan melirik Hyun Soo yang sudah siap mengeksekusi korban.
“Maaf merepotkan, Hyun Soo. Aku akan segera kembali.”
“Tidak apa-apa, Sunbae-nim.”
Ri Han pun beranjak. Wajahnya masih menggambarkan kecemasan, walau semua itu tertutup oleh raut datarnya. Jemari kokohnya menggeser cepat layar ponsel. Ia harus berbicara pada Thea, bisa jadi ada sesuatu yang terjadi di rumah. Beruntung, tak perlu waktu lama baginya untuk mendapat tanggapan dari Thea.
“Ri Han,”
“Ada apa sampai kau meneleponku berkali-kali?”
“Tidak ada apa-apa. Aku hanya ingin mengingatkanmu untuk makan siang.”
Seketika, Ri Han mencuramkan alis. Mengingatkan makan siang? Jadi ... tidak ada hal penting yang terjadi?
“Hanya untuk itu?”
Seolah, ia merasa kecemasannya terbuang sia-sia. Thea meneleponnya di saat jam kerja hanya untuk itu? Betapa konyol!
“I-iya, aku khawatir kalau—”
“Berhentilah mengkhawatirkanku. Aku baik-baik saja dan aku sedang sibuk. Aku tidak ada waktu untuk meladeni ocehan konyolmu,” potong Ri Han.
Hening seketika, hingga Thea kembali mengatakan sesuatu dengan suara yang bergetar.
“Ma-maafkan aku. Aku ... tidak akan melakukannya lagi.”
Bagi Ri Han, yang paling penting dalah pekerjaan dan karir. Persetan dengan Thea. Toh, pada akhirnya wanita itu pun akan menghilang dari kehidupannya.
Pria itu tak lagi mengatakan apa pun. Dengan kejamnya, ia menutup telepon. Kekesalan seolah membuncah di d**a. Hari ini ia telah melewatkan waktu berharganya hanya untuk ocehan Thea. Bahkan pekerjaannya yang belum tuntas harus ia tinggalkan hanya untuk mendengar ocehan tidak penting Thea. Betapa konyol!
“Bukankah itu cara yang terlalu kasar?”
Menoleh, manik tajam Ri Han terfokus pada pria paruh baya yang berdiri di belakangnya. Seketika, ia melunakkan pandangan.
“Daniel-ssi?”
***
Aku harap kau menyukainya! Jangan lupa istirahat sejenak. Jaga dirimu baik-baik. Selamat makan! Aku mencintaimu, Sayang....
Thea.
Selembar kertas tertempel di atas kotak makan siang. Ri Han membaca kata per kata dengan raut yang masih datar.
“Aku tidak menyangka dia serius menganggapmu sebagai suaminya,” ujar Daniel.
Menghela napas, Ri Han pun memijat pangkal hidungnya. Thea, apa yang sebenarnya wanita itu pikirkan? Ri Han sungguh tak mengerti jalan pikiran istrinya.
“Ri Han, aku rasa dia benar-benar mencintaimu.” Daniel menyesap rokok di tangannya sembari sesekali melirik Ri Han.
“Kalau itu benar, maka semuanya akan menjadi tambah merepotkan,” ucap Ri Han sebelum menipiskan bibir.
“Merepotkan?” Daniel terkekeh. “Kau bahkan tidak pernah menganggapnya sebagai istri. Tak peduli ia mencintaimu atau tidak, suatu saat kau akan tetap membuangnya, bukan?”
Ya, ia melakukan semua ini hanya untuk melindungi dirinya sendiri. Tapi akan lebih sulit jika Thea semakin hari malah semakin menunjukkan kasih sayangnya.
“Kau takut terpengaruh?”
Seketika, Ri Han tersentak, “Tidak. Bukan begitu.”
Daniel terkekeh. Pria itu menepuk bahu Ri Han beberapa kali sebelum menatap Ri Han dengan manik tajamnya.
“Kau juga harus melindungi rahasia yang membuatmu terancam, bukan? Kalau kau kaku seperti itu, lama-kelamaan istrimu pasti tahu kalau kau menyembunyikan sesuatu.”
Benar. Daniel mengatakan hal yang benar. Jika ia tetap berperilaku seperti bongkahan es berjalan, Thea pasti akan curiga. Dengan status mereka sekarang, bertindak tak acuh bisa saja menjadi hal yang mendatangkan bencana di masa depan.
“Bayangkan saja, hubunganmu dengan istrimu adalah bagian dari pekerjaan, Ri Han. Jika kau ingin semuanya seperti yang kau rencanakan, maka kau tidak boleh setengah-setengah.” Daniel menyondongkan tubuh kokohnya, menatap tajam tepat ke manik kelam Ri Han. “Kau juga harus memerankan peranmu, Ri Han. Kalau istrimu curiga, maka semuanya akan hancur. Bersikaplah, layaknya suami pada umumnya.”
Bersikap layaknya suami pada umumnya?
“Aku tidak mengerti.”
Hening sejenak. Hingga Daniel berdeham. “Rubahlah sikapmu.”
“Bukankah dengan memberi uang dan tidak berselingkuh dengan wanita lain sudah cukup untuk dipandang sebagai suami baik-baik?”
Daniel membulatkan mata. Ri Han memang pria paling konyol yang pernah ia temui. “Bagaimana dengan kasih sayang? Semua wanita membutuhkannya? Sebuah kecupan, pelukan, atau percintaan yang panas? Kau tidak akan rugi memberikan semua itu walau hanya pura-pura, bukan?”
Ri Han menatap makanan yang Thea buatkan untuknya. Bahkan, nasinya pun di bentuk simbol hati. Apa semua wanita memang sangat jelas ketika mengungkap kasih sayang? Sayangnya, Ri Han tidak mengerti semua itu. Ia tumbuh dengan kepedihan, bertahan hidup dengan kepedihan, menjalani hari demi hari pun dengan kepedihan. Dari mana ia bisa mengerti hal semacam itu?
“Apa itu perlu?”
Sang pria paruh baya kembali membeku, menatap tak percaya pada Ri Han. “Aku tahu kau pembunuh bayaran profesional. Tapi kau tak perlu membunuh ekspresi dan perasaanmu secara total.”
Ri Han hanya terdiam. Menghela napas, ia lebih memilih terfokus pada kotak makan. Sepertinya, memakan masakan Thea pun tak ada salahnya. Mungkin, maksud Daniel adalah saling menguntungkan. Thea memberi, dan ia menerima. Begitu pula sebaliknya. Interaksi tidak bisa dilakukan secara sepihak.
Ri Han termenung, sibuk dengan benaknya sendiri. Sampai saat Daniel berdiri, bermaksud untuk beranjak.
“Ingatlah itu baik-baik Ri Han.”
Kata-kata itu masih menggema walau Daniel telah melangkah menjauh. Dan sekarang, Ri Han semakin sibuk dengan berbagai macam pertanyaan dalam benaknya. Mungkin ... kata-kata Daniel ada benarnya.