Semuanya berakhir tragis. Thea, membanting tubuhnya di atas ranjang. Menatap jauh keluar jendela dengan mata yang sembab.
Pertengkarannya dengan Ri Han mengakibatkan perang dingin sampai sekarang. Bahkan saat Ri Han pulang, pria itu tak mengatakan apa pun. Tanpa sapaan atau hanya basa-basi pada Thea. Perlakuan sang suami sangat membuat Thea hancur.
Apakah salah jika Thea mengkhawatirkan suaminya? Apakah salah jika ia menelepon Ri Han saat jam istirahat? Bukankah semua itu hal yang wajar dilakukan oleh seorang istri?
Thea tidak mengerti. Mengapa Ri Han lebih memilih pekerjaan daripada dirinya? Ya, ia memang bukan siapa-siapa sebelumnya. Tapi Ri Han sudah mengikat janji suci di depan altar dengannya. Tidak bisakah pria itu menunjukkan sedikit kasih sayang dan cinta?
Bahkan saat Ri Han berangkat bekerja, pria itu tak mengucapkan salam pada Thea. Makanan di meja pun sama sekali tidak disentuh olehnya. Miris. Thea merasakan dadanya seolah dicincang menjadi lumatan daging giling.
"Ri Han...."
Bisikannya kini berubah menjadi isakan. Hanya ada kepedihan yang kini menjalar di d**a. Ia tidak tahu apa yang bisa ia lakukan agar Ri Han kembali seperti biasa. Seperti ayam yang ditinggal induknya, Thea tak mengerti ke mana arah yang bisa membawanya kembali pada cinta Ri Han.
Apakah dugaan Thea selama ini benar? Apakah Ri Han memang tidak mencintainya? Ataukah Ri Han mempunyai wanita simpanan lain hingga akhirnya pria itu memilih untuk mencampakannya?
Jika semua itu benar, entah apa yang akan terjadi pada Thea. Hancur. Lebur. Apakah satu-satunya yang ia miliki akan terlepas dari genggaman tangannya lagi?
Renungan Thea terpecah saat ponselnya bergetar. Tersadar, Thea menghapus air mata dan langsung menyambar ponselnya. Dalam hati, ia berharap itu adalah Ri Han yang mencoba meminta maaf padanya.
"Ada apa Ri Han?"
Refleks, Thea bertanya setelah menerima panggilan tanpa memedulikan siapa yang memanggilnya. Namun, saat ia mendengar jawaban dari sisi seberang, Thea langsung melebarkan mata.
"Eh?"
***
"Nana?"
"Thea?"
Keduanya tersenyum dan saling berpelukan. Senyuman lebar menghiasi paras elok kedua perempuan yang kini bertemu setelah sekian lama terpisah. Mengabaikan suasana sekitar dan juga beberapa pasang mata yang tertuju pada kedua wanita. Jelas, tatapan yang ditujukan pada Thea dan Nana adalah tatapan penuh kekaguman.
"Astaga! Kau semakin cantik saja!"
"Kau juga, Nana," jawab Thea, terkekeh geli.
Nana adalah teman kecil Thea. Baik Nana dan Thea sering menghabiskan waktu bermain mereka bersama. Mereka berdua sangat akrab hingga banyak orang yang mengira bahwa mereka adalah saudara kandung. Namun, keduanya harus berpisah saat Nana pindah ke kota lain karena urusan pekerjaan ayahnya. Walau jarak memisahkan, tapi keduanya masih saling bertukar sapa. Sampai akhirnya, beberapa tahun lalu Nana kehilangan kontak dengan Thea. Sangat disayangkan, tapi Thea mengerti karena ia berpikir mungkin sahabatnya mempunyai alasan tersendiri.
Walau keduanya kehilangan kontak, mereka masih saling mengingat. Berharap, suatu saat mereka dapat bertemu kembali. Dan sekarang, harapan mereka pun terkabul. Mereka pun tertawa, mengingat masa-masa ketika mereka masih bermain bersama. Ya, kenangan indah kedua bocah yang kesepian. Layaknya, kenangan itu pun membawa sebuah kebahagiaan tersendiri di hati mereka.
"Berapa lama kita tidak bertemu?" kata Nana tanpa menghapus senyum. "Sepertinya, baru kemarin kita masih di sekolah dasar."
Thea tersenyum lembut, mengingat masa-masa di mana ia selalu membuat ulah dengan Nana. Saat mereka berdua hampir jatuh dari balkon kamar Thea atau saat mereka memecahkan guci koleksi ayah Thea, atau saat mereka memanjat pohon dan terjatuh karena tidak tahu bagaimana cara turun.
"Aku kira kau sudah tidak mengingatku," ujar Thea, sebelum menyesap teh miliknya.
"Mana mungkin aku melupakanmu! Hanya karena kita kehilangan kontak bukan berarti aku melupakanmu," kekeh Nana, sembari mencubit gemas pipi Thea.
"Sakit," protes Thea seraya menggembungkan pipi.
Ah, walau sudah berkepala dua, Thea masih saja terlihat imut. Nana heran, apa rahasia Thea agar tetap awet muda? Dari dulu, Thea tak pernah terlihat berbeda. Entah itu wajah atau sifat. Kadang, ia iri saat menatap Thea. Temannya yang satu itu, sangat spesial. Dilihat dari mana pun, Thea tetaplah lebih unggul darinya. Tidak, Thea bahkan lebih unggul dari banyak wanita sebaya yang pernah ia temui sebelumnya.
"Ah, kau membuatku iri." Nana terkekeh pahit.
Seketika, Thea memfokuskan pandangan pada sahabatnya. Memiringkan kepala, seolah bingung dengan kata-kata Nana.
"Maksudmu?"
Menggeleng, Nana tidak mau mengungkit isi hatinya. Walau ada rada iri di hati, Thea tetaplah sahabatnya. Ia tidak akan mungkin menebar garam atau menusuk Thea dari belakang. Mengambil teh di depannya, Nana mulai memikirkan cara untuk mengalihkan pembicaraan.
Setelah begitu lama ia tidak bertemu dengan Thea, tentu ada banyak hal yang bisa dibicarakan. Sebuah kenangan melintas, mengingat kembali terakhir kali keduanya duduk dan mengobrol bersama. Ah, mungkin tiga tahun? Atau lina tahun? Nana tidak tahu berapa lama, tapi perasaannya saat berhadapan dengan Thea jelas-jelas mengatakan bahwa rindunya kini terbayarkan.
"Lupakan," ucap Nana. "Ngomong-ngomong bagaimana kabar paman dan bibi? Sudah lama aku tidak memakan pie apel buatan bibi. Ah, aku jadi rindu."
Nana berujar sembari menangkup kedua pipinya, membayangkan rasa pie apel yang meleleh di mulut. Entah mengapa, itu membuat air liurnya hampir menetes. Di sisi lain, Thea yang mendengar celotehan Nana kini menghapus senyum di bibir. Rautnya berubah sendu. Mengingat kenangan pahit yang sampai detik ini masih membayang di pelupuk mata.
Senyum orangtuanya yang masih membayang, juga wajah damai saat terakhir kali Thea melihat mereka. Benaknya berputar, dan entah mengapa matanya terasa panas. Dadanya terasa begitu sakit jika mengetahui kenyataan pahit yang menimpanya.
"Kapan-kapan aku akan mampir ke rumahmu. Aku merindukan paman dan bi—"
"Mereka ... sudah meninggal," potong Thea. "Hampir satu tahun yang lalu."
Nana melebarkan mata. Menutup mulut dengan tangannya, ia benar-benar tidak tahu tentang kabar itu. Menipiskan bibir, rasa bersalah pun melingkupi hatinya. Tanpa disengaja, ia malah membuka luka lama sahabatnya. Ia yakin, semua itu adalah kenangan yang terburuk dari yang paling buruk dalam kehidupan Thea.
"Ma-maafkan aku," ucap Nana, gugup. "Aku ... sama sekali tidak tahu kalau...."
Nana tidak melanjutkan kata-katanya, ia tidak mau melihat Thea menumpahkan air mata. Menggigit bibir, Nana merasakan hunjaman yang kuat di d**a. Walau ia memang bukan anak dari keluarga Lee, tapi ia juga merasakan rasa sakit ketika mendengar kabar itu. Ia dan keluarga Thea sudah mengenal sejak lama. Bagaimana bisa ia tidak bersedih mendengar semua itu?
"Aku ... turut berduka...."
Seketika, suasana menjadi sedikit canggung. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Keheningan menyelimuti, membuat keduanya pun merasa ragu untuk kembali membuka percakapan.
Namun, layaknya Thea mengerti akan keraguan Nana. Ia tidak boleh menampakkan kesedihan lebih dari ini. Apa yang telah berlalu, tak akan bisa diubah. Yang bisa ia lakukan hanya melanjutkan hidup dan mencari kebahagiaan ... dengan tangannya sendiri.
"Yah, semuanya sudah terjadi. Aku hanya bisa menerimanya dengan lapang dada." Senyum Thea kembali merekah. Namun, ia tidak bisa menyangkal bahwa masih ada sedikit kesedihan yang membayang.
Tentu, Nana mengetahui kesedihan yang terpancar dari sorot mata sahabatnya. Ia tahu hati Thea hancur. Temannya itu ... hanya bisa tersenyum untuk menutupi kepedihan. Namun, di mata Nana senyuman Thea pun terlihat penuh dengan air mata duka. Mungkin, orang lain akan tertipu, tapi tidak untuk dirinya.
"Lalu sekarang kau tinggal dengan siapa? Sendirian?"
Khawatir. Tentu saja. Dalam kedaan seperti itu, sangatlah berisiko untuk meninggalkan Thea seorang diri. Ia tidak akan tahu apa yang bisa terjadi pada Thea sewaktu-waktu.
Bersyukur, apa yang dipikirkan Nana layaknya tak terjadi di dunia nyata. Thea tetap tegar walau semua yang ia miliki direnggut paksa darinya. Thea masih mempercayai cahaya esok akan terus menyinarinya. Dan semuanya menjadi nyata setelah Ri Han datang dan merengkuhnya.
"Setelah orangtuaku meninggal, aku kehilangan semuanya. Pamanku mengambil alih semua aset ayahku, entah apa yang ia lakukan sebelumnya hingga semua itu terjadi. Setelah itu ia mengusirku dari rumah."
Nana menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tak menyangka bahwa semua itu terjadi pada Thea. Semuanya ... semuanya direnggut paksa. Namun, Thea masih menceritakan semua itu dengan senyum di wajahnya. Nana ingin menghambur dan memeluk erat Thea. Ia ingin Thea menumpahkan segala kesedihannya.
"Tapi setelah itu, aku bertemu dengan malaikat penyelamatku," ujar Thea dengan manik berbinar.
Bayangan Ri Han pun terpampang jelas di pelupuk matanya. Walau sang suami memang sedikit dingin padanya, tapi Thea tidak akan pernah bisa berhenti mencintainya. Ia juga tidak bisa menyangkal bahwa semangat hidupnya kembali karena keberadaan Ri Han. Faktanya, pria itu menariknya dari jurang keputusasaan.
"Malaikat ... penyelamat?"
Thea mengangguk dengan senyum yang semakin mengembang. Dan seketika, Nana pun mengerti. Thea telah menemukan obat untuk menyatukan kembali hatinya yang hancur. Siapa pun orang itu, Nana sangat berterima kasih.
"Dia membawaku dan memberiku arti hidup yang baru. Dia ... sekarang menjadi suamiku." Thea berucap dengan pipi yang merah merona. Hanya mengatakannya saja membuat hati Thea bergetar. Ri Han memang luar biasa.
Berbanding terbalik dengan reaksi Thea, Nana yang kaget malah langsung terbatuj-batuk karena tersedak minumannya. Terkejut, satu hal yang Nana rasakan. Ingin rasanya memastikan pendengarannya, tapi sepertinya ia tidak perlu melakukannya lagi karena wajah merona Thea benar-benar mengkonfirmasi ucapan sebelumnya.
"Kau ... sudah menikah? Astaga, aku benar-benar terkejut," aku Nana, masih dengan raut tak percaya.
Thea tersenyum dan mengangguk. Ia lupa, ia tidak mengabari dan tidak mengundang siapa pun ketika ia menikah dengan Ri Han. Maklum jika Nana sangat terkejut.
"Tapi tunggu ... kenapa kau tidak mengundangku?!" Nana terlihat sangat kecewa. Tentu. Bagaimana bisa Thea tidak mengabarinya tentang berita penting semacam itu? Walau mereka kehilangan kontak, tapi tetap saja semua itu membuat Nana kecewa. Salah satu hal yang ia inginkan adalah datang ke acara bahagia sahabatnya.
"Ah, sebenarnya itu hanya acara kecil-kecilan yang hanya dihadiri beberapa orang saja," elak Thea. "Dan juga mendadak. Jadi, aku tidak sempat mengundang siapa pun."
Mengerucutkan bibir, Nana terlihat semakin kesal. "Aku yakin itu hanya alasanmu saja."
"Tidak, itu kenyataannya." Thea tersenyum kecut. Mencoba untuk meyakinkan sahabatnya.
"Dan kau bahkan tidak mengajak suamimu ketika bertemu dengan sahabat baikmu. Sahabat macam apa kau ini?" cibir Nana.
Rasa penasaran pun menggelayut di benak Nana. Pria macam apa yang berhasil membawa Thea ke altar? Setahunya, Thea bukanlah tipe wanita yang mudah jatuh hati pada lawan jenis. Pastinya, pria itu adalah pria yang spesial.
"Dia sibuk bekerja, bahkan selalu pulang larut. Bagaimana bisa aku mengajaknya?" Thea tertawa kecil. Namun begitu, tampak kecanggungan di wajahnya. Andai Nana tahu betapa sulit membuat Ri Han melupakan sejenak urusan pekerjaannya.
"Ah, pasti dia pria kaya yang tampan! Tidak usah kau jelaskan, aku sudah mempunyai gambaran suamimu di kepalaku." Nana terkekeh nakal sembari menepuk-nepuk tangan Thea.
"Nana, kau bukan cenayang." Thea tersenyum kecut.
"Pokoknya lain kali kau harus mengenalkan suamimu padaku, mengerti?"
Thea tersenyum sebelum mengangguk. Nana, selalu saja seperti itu. Selalu bersemangat jika itu menyangkut Thea. Ya, setidaknya ... kali ini ia mendapatkan satu lagi harta berharga dalam hidupnya. Ri Han dan Nana, dua orang yang selama ini memberinya kekuatan agar ia bisa kembali melangkah. Mereka yang selalu berada di sisi Thea. Itu lebih dari cukup bagi Thea untuk merasakan kebahagiaan. Ia sangat bersyukur.
"Jadi ... bagaimana kehidupan rumah tangga? Apakah mengasyikkan?" Nana tersenyum nakal.
Layaknya, Thea mengerti ke mana arah pembicaraan mereka sekarang. Senyum kecut kembali merekah. Ah, suatu kesalahan membicarakan hal semacam pernikahan pada Nana. Faktanya, ia sendiri pun tidak banyak mengerti tentang ukuran "rumah tangga yang normal".
"Biasa saja," elak Thea.
"Ah, jangan malu-malu. Aku tahu semua tentang kehidupan rumah tangga," kekeh Nana. "Kau kan cantik, pasti suamimu sangat gemas saat melihatmu. Aduh, dia bisa menang banyak."
Merah merona. Thea sangat ingin lari dan membenturkan kepalanya ke pilar terdekat. Faktanya, Ri Han bahkan tak menoleh sama sekali walau Thea memakai lingerie seksi yang lebih menonjolkan lekuk tubuhnya.
Berdeham canggung, Thea memutar otak untuk mengalihkan pembicaraan. Akan sangat memalukan jika hal seperti ini sampai ia ceritakan pada orang lain. Entah dirinya yang kurang menarik minat Ri Han, atau mungkin Ri Han sedang tidak bernafsu untuk menerkam, atau pria itu terlalu lelah bekerja sehingga melupakan hiburan malamnya. Thea tak tahu pasti. Walau ia ingin tahu apa penyebabnya, tapi ia tak pernah menemukan sesuatu yang salah dari hubungan mereka.
"Tidak juga," sangkal Thea. "Dia tipe pekerja keras yang hampir melupakan segalanya kecuali pekerjaan."
Ya, semuanya. Termasuk Thea. Senyuman kecut kembali menghias wajah Thea. Ah, mengapa Ri Han sangat sulit untuk dimengerti?
Hening sejenak, sampai Nana memincingkan mata dan menyondongkan tubuh. Tentu, ia merasaka sesuatu yang aneh.
"Entah mengapa, aku mencium bau kejanggalan di sini," bisiknya, tajam.
Dan terkutuklah firasat Nana yang lebih tajam dari katana!
Beku. Thea menelan ludah sembari bersusah payah menyembunyikan kebenaran di wajahnya.
"Mu-mungkin itu hanya perasaan—"
Thea memotong perkataannya saat ponselnya tiba-tiba bergetar. Tangan mungilnya pun meraih ponsel yang ada di tas. Saat ia menatap layar, nama suami tercintanya terpampang jelas. Menautkan alis, benak Thea pun berputar. Untuk apa Ri Han menelepon saat jam kerja? Bukankah pria itu sangat tidak suka mengerjakan hal lain selain pekerjaannya saat jam kerja?
Tak mau membuang waktu, Thea pun menggeser layar ponsel. Menempatkan benda kotak itu di telinganya. Manik indah Thea menatap Nana yang mengisyaratkan pertanyaan. Namun yang Thea lakukan hanya berkedip dua kali, isyarat agar Nana menunda pembicaraan.
"Ri Han? Ada apa?"
"Kau di mana?"
Thea mendapat jawaban langsung dari suaminya. Entah mengapa, Thea merinding mendengar kata-kata Ri Han yang dingin. Menelan ludah, jantungnya pun berdegup kencang. Ia lupa tidak memberitahu Ri Han bahwa ia akan menemui temannya. Apakah Ri Han marah? Apa yang harus ia lakukan?
"A-aku ... aku ada di—"
"Cepat pulang."
Tanpa menunggu Thea menyelesaikan kata-katanya, Ri Han menutup telepon.
Beku. Thea menatap kosong pada sahabatnya. Namun perlahan, rautnya berubah sendu. Ingin rasanya menangis, tapi Thea tidak ingin sahabatnya mengetahui kondisi rumah tangganya yang sangat ... memprihatinkan.
"Ka-kau baik-baik saja?"
Nana menautkan alis, bingung. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan Thea. Ingin rasanya mengorek semua informasi yang tersimpan rapat dalam benak sahabatnya, tapi ia juga memikirkan di mana tempatnya berada sekarang.
Ia tidak boleh mencampuri urusan pribadi orang lain, walau itu sahabatnya sendiri.
Menggeleng lemah, Thea pun tersenyum lembut. "Suamiku pulang lebih cepat. Ia hanya menyuruhku untuk segera pulang."
Thea bangkit, meraih tas dan membenahi kursi yang semula menjadi tempat duduknya.
"Mungkin kita harus berbincang lagi lain kali. Masih banyak yang ingin aku ceritakan."
Nana tersenyum, "Sampaikan salamku pada suamimu. Hati-hati di jalan."
Thea menganggukkan kepala sebelum melangkah pergi. Sementara Nana hanya bisa menatap punggung rapuh Thea dari kejauhan. Melambaikan tangan dengan perasaan gundah yang perlahan menghanyutkan.
Menautkan alis, Nana pun menyentuh dadanya. "Entah mengapa ... aku merasakan firasat buruk...."