Melangkah ragu, Thea merasakan guncangan hebat di d**a. Ia berdiri tepat di depan apartemen yang ia dan suaminya tinggali. Tapi sekarang, rasa takut menyeruak saat ia berniat untuk masuk dan menyapa sang suami tercinta.
Apakah Ri Han marah?
Apakah Ri Han akan menghukumnya?
Semua kekhawatiran bergentayangan di benak Thea. Ia mencoba untuk berbalik dan menjauh, tapi hati kecilnya berusaha untuk tetap bertahan.
Ia istri Ri Han.
Ya. Ia tidak boleh pergi begitu saja hanya karena rasa takut yang kini mengancam. Ri Han bukan pria yang kejam. Suaminya tidak pernah mengangkat tangan. Jikalau ia mendapat hukuman, semuanya pasti berisi ceramah dan kata-kata tajam Ri Han.
Menghela napas, Thea memberanikan diri menemui sang suami. Satu langkah, dua langkah, sampai tiga, namun ia tidak menemukan tanda-tanda adanya kehidupan di sana. Menautkan alis, ia pun heran. Biasanya saat Ri Han kesal, pria itu langsung menampakkan batang hidungnya di balik pintu dengan tatapan tajam. Tapi kali ini berbeda. Sosok sang suami bahkan tidak menampakkan diri.
“Ri Han?”
Tak ada jawaban.
Langkah demi langkah, Thea masuk dan meneliti setiap sudut ruangan. Sosok sang suami masih belum ia temukan. Namun, saat ia membuka pintu kamar, ia melihat pemandangan yang membuat matanya memanas seketika.
“Ri Han!” Thea berteriak sambil menghambur pada suaminya, mencoba menghentikan sang suami yang sedang mengemasi barang-barang.
Takut. Gundah. Sedih. Bercampur menjadi satu. Namun yang Ri Han lakukan hanya menatap datar dan terus memasukkan pakaian ke koper.
Apakah Ri Han begitu marah?
Apakah kali ini Thea akan kehilangan orang yang ia sayangi lagi?
Thea tidak bisa menahan tangisnya. Isakannya pun pecah, tubuh mungilnya bersimpuh dan memegang kaki Ri Han.
“Ri Han tolong jangan seperti ini!” Thea menjerit pilu. “Maafkan aku! Aku tidak akan melakukan sesuatu yang tak kau sukai! Aku berjanji! Tolong jangan pergi! Jangan tinggalkan aku sendiri! Aku sudah tidak punya siapa pun lagi!”
Isakan Thea mewarnai kamar mereka. Memohon ampunan agar Ri Han mau memaafkannya. Di sisi lain, Ri Han yang semula berdiri kini menyejajarkan dirinya dengan sang istri. Menghela napas lelah, tangannya pun menepuk kepala Thea.
“Kau bicara apa?” bisik Ri Han. “Aku memang mau pergi, tapi ini karena urusan pekerjaan. Bukan pergi meninggalkanmu selamanya.”
Seketika, Thea menghentikan isakan. Menatap bingung pada manik kelam suaminya.
“Ka-kau ... pergi karena pekerjaan?” memastikan pendengarannya.
Anggukan pasti ia dapatkan dari sang suami. Seketika, Thea menarik dan merengkuh Ri Han. Menangis di bahu pria itu, tanpa memedulikan ketidaknyamanan yang tersirat di manik kelam Ri Han.
“Aku kira kau marah!” ucap Thea sembari terisak. “Aku kira kau sudah melupakanku dan berniat pergi meninggalkanku!”
Ri Han menghela napas. Ah, wanita selalu menyimpulkan sesuatu seenak jidat mereka. Tidak bisakah mereka lebih tenang dan mengerti kondisi dan situasi?
“Aku tidak akan melakukannya.” Ri Han kembali berdiri dan menata bajunya di koper. “Daripada menangis, lebih baik kau membantuku mengemas baju.”
Thea mengangguk paham dan menyeka air mata. Ia benar-benar lega, mimpi buruknya tidak terjadi di dunia nyata. Mungkin ia saja yang terlalu ketakutan kehilangan cintanya. Jujur, Thea khawatir jika Ri Han sampai meninggalkannya. Karena di dunia ini, hanya Ri Han yang ia punya.
“Apa kau akan meninggalkanku sendirian?”
“Hanya untuk beberapa hari. Tenangkan dirimu.”
Layaknya, Ri Han tahu apa yang sedang Thea pikirkan. Ia juga tahu, istrinya tidak suka jika ditinggal sendirian. Tapi apa boleh buat? Ia tidak bisa menyeret Thea dalam urusan pekerjaannya.
“Aku tidak mau tidur dan makan sendirian,” bisik Thea. “Memikirkan kau jauh dariku saja sudah membuatku gelisah.”
Senyum lemah Thea mampu membuat manik tajam sang suami mengalihkan pandangan. Pria bersurai kelam itu menatap raut sedih istrinya. Entah mengapa dadanya pun merasakan sesak yang Thea alami.
“Bukankah ... kau yang selalu jauh dariku?” Ri Han berbisik lalu menipiskan bibir.
Seketika, tangan mungil Thea yang sibuk menatap baju Ri Han terhenti. Ia menoleh, menatap suami tercinta yang kini ada di belakangnya. Perlahan, Thea melangkah. Memotong jarak antara dirinya dan pujaan hatinya. Tubuh mungilnya ia sandarkan di tubuh kokoh sang suami.
Ia merasakannya. Detak jantung Ri Han yang seirama dengan napasnya. Ia juga bisa mencium aroma maskulin yang menguar dan memanjakan indera penciuman. Ah, sudah berapa lama ia tidak sedekat ini dengan cintanya?
“Aku selalu merindukan momen saat kita hanya berdua,” bisik Thea. Tangan mungilnya kini ia tempatkan tepat di d**a Ri Han. “Denganmu, mengenalmu....”
Tidak ada balasan kata. Ri Han hanya bergeming di tempat, membiarkan Thea bersandar padanya. Tidak ada yang tahu apa yang ia pikirkan di balik raut datarnya. Pria itu tidak merasa terganggu atau berusaha menyingkirkan Thea. Tapi ia juga tidak terlalu nyaman ketika sang istri menyentuhnya. Seperti ada sesuatu yang memang tidak berada di tempat seharusnya.
Suara ponsel terdengar, membuat keduanya tersentak. Thea melepaskan Ri Han dan mengambil jarak. Ditatapnya wajah sang belahan jiwa yang terlihat begitu serius.
“Ya. Aku segera ke sana,” ujar Ri Han seraya menutup telepon.
Ia tidak mengerti, mengapa Ri Han selalu menampakkan raut seriusnya. Tidak seperti orang lain yang mempunyai banyak ekspresi. Bahkan Thea pun tak akan bisa menebak apa yang suaminya pikirkan. Sedih atau senang, bahagia atau kecewa, ia tidak mengerti. Karena semuanya terlihat sama saja.
“Baiklah, aku berangkat sekarang,” ujar Ri Han seraya membawa kopernya. “Jaga dirimu. Jaga rumah baik-baik. Jangan biarkan orang asing masuk ke rumah selama aku pergi.”
Saat Ri Han beranjak, Thea mencengkeram erat tangan kokohnya. Menghentikan pria itu untuk melangkah lebih jauh. Bagi Thea, semua itu tidak lucu. Ucapan salam tanpa kecupan atau pelukan kasih, mengapa sang suami begitu dingin padanya?
“Kau tidak mengecup atau memelukku?” Thea menatap Ri Han yang kini menoleh.
Pria itu menghela napas lalu melepas tangan Thea. “Besok saja. Aku sedang buru-buru.”
Harapan Thea menguap seketika. Pria itu meninggalkannya tanpa sedikit sentuhan cinta. Ri Han lebih memilih memadu kasih dengan ponselnya dari pada dengan istrinya. Pintu yang ditutup dengan tergesa membuat hati Thea teriris. Tapi yang bisa ia lakukan hanya menghempas tubuh mungilnya ke ranjang.
“Dia masih tetap sama....” Thea tersenyum miris.
Thea tidak megerti apa yang kurang dari pelayanannya sebagai seorang istri. Ia merasa sangat gagal.
***
“Yo! Sunbae-nim!”
Ri Han yang menenteng koper mengalihkan pandangannya. Hyun Soo sudah bersiap di kursi kemudi. Sedikit yang Hyun Soo tahu, Ri Han tidak menyukai idenya untuk mengambil alih kemudi mobil.
“Minggir,” desis Ri Han.
“Sunbae-nim, aku berbaik hati menawarkan jasaku untuk mengemu—”
“Minggir atau kupotong tanganmu?” Ri Han mengancam sembari mengeluarkan pisau kesayangan.
Tentu saja, itu membuat Hyun Soo menelan ludah gemetar. Perlahan, ia menggeser tubuhnya. Mempersilakan sang senior untuk menggantikannya. Ia tidak berani bercanda jika Ri Han sudah mengeluarkan tatapan membunuh. Bisa jadi, pria bersurai kelam itu memang serius dengan ucapannya.
“Sunbae-nim, jangan marah. Kau membuatku takut,” Hyun Soo mengawali perbincangan setelah beberapa saat keheningan yang pekat menyelimuti mereka.
Jujur, berada di tempat yang sama dengan Ri Han yang bersuasana hati buruk bukanlah hal yang bagus. Pria itu bisa melayangkan pisau kapan saja. Tentu, Hyun Soo tak menjadi pengecualian. Ia harus tenang dan pandai membaca suasana jika ingin selamat di dekat Ri Han.
Mesin mobil telah menyala. Perjalanan mereka dimulai. Tapi entah mengapa Hyun Soo mengatakan pada dirinya sendiri bahwa hidupnya mungkin sudah berakhir saat mesin mobil menyala.
“Jika aku membiarkanmu mengemudi, yang kita dapat bukan misi yang tuntas tapi dua peti mati sebelum misi dimulai.” Ri Han mendengus kesal.
Hyun Soo memang suka mengemudi kebut-kebutan, tapi ia tetap memperhatikan rambu lalu lintas. Betapa tega sang senior mengatakan hal yang begitu menusuk. Baik, ia memang tidak sesempurna seniornya. Tapi setidaknya Ri Han bisa mengatakan dengan kata-kata yang lebih lembut, bukan?
Betapa repot jika berhadapan dengan Ri Han. Walau sudah beberapa tahun menjadi partner tetap Ri Han, pria itu tetap menganggap Hyun Soo sebagai anak bawang. Yah, Ri Han memang jauh lebih berpengalaman dan lebih dewasa dari pada dirinya. Ditinjau dari pengalaman hidup dan umur.
“Sunbae-nim, tahun ini kau umur berapa?” Hyun Soo asal bertanya.
Tentu saja tatapan tajam Ri Han yang pertama menjawab. Sukses membuat Hyun Soo tercekik rasa takut.
“Memangnya kenapa?”
Pertanda Ri Han tidak menyukai tema yang Hyun Soo pilih. Lebih baik segera mengalihkan pembicaraan.
“Tidak, hanya bertanya,” jawab Hyun Soo, canggung.
“Tiga puluh dua,” jawab Ri Han.
Seketika itu Hyun Soo melebarkan mata. “Kau bercanda?!”
Jawaban Ri Han hanya tatapan tajam. Dan Hyun Soo mengerti apa yang Ri Han maksud. Tidak, ia hanya tidak menyangka umur Ri Han terpaut jauh darinya. Padahal dari segi wajah Ri Han masih seperti berumur dua puluhan. Bahkan Ri Han baru saja menikah. Hyun Soo pikir Ri Han masih di rentang dua puluhan akhir.
“Aku kira masih dua puluhan,” kekeh Hyun Soo. “Sunbae-nim juga baru saja menikah, aku kira hanya terpaut beberapa tahun dariku.”
Ri Han mendengus, “Aku tidak selevel dengan anak bawang.”
Cengiran Hyun Soo muncul. Seniornya selalu saja mengatakan hal yang kejam. “Bukannya istrimu juga masih muda? Lebih muda dariku malah. Walau kau bukan anak bawang, tapi seleramu anak bawang, Sunbae-nim.”
Ri Han kembali mencuramkan alis. Mengingat istrinya yang ia campakkan. Apa mereka pikir, ia benar-benar menaruh perasaan pada Thea? Lucu. Lucu sekali.
“Aku tidak ingat umurnya,” ujar Ri Han. “Aku rasa awal dua puluhan. Lagipula, dia bukan seleraku. Aku tidak terlalu peduli.”
Hyun Soo tercengang. “Apa? Sunbae-nim, kau tega sekali!”
Ri Han melirik tajam. “Kau bicara apa?”
“Bagaimana bisa kau menikahi seorang gadis tanpa sedikit pun perasaan—”
“Dia memang aku nikahi, tapi bukan berarti aku benar-benar menaruh hati padanya.”
Hyun Soo semakin melebarkan mata. Sungguh. Tidak bisa dipercaya. Entah mengapa ia merasa kasihan pada istri Ri Han. Berada satu atap dengan pembunuh berdarah dingin, pasti sangat sulit. Apalagi sang senior sama sekali tidak tertarik dengan perempuan itu.
“Lalu mengapa kau menikahinya?” Hyun Soo menipiskan bibir. Ia merasa tidak tega pada istri seniornya. Walau mereka sesama pembunuh bayaran, tapi ia tidak pernah berniat membunuh perasaannya. Membunuh perasaan, sama artinya dengan membunuh dirinya sendiri.
Lain lagi dengan Ri Han, pria itu sudah lama tak memiliki perasaan yang utuh. Semenjak tragedi yang menimpanya dan semua orang yang ia sayangi, ia telah bersumpah untuk membunuh perasaannya. Dendam di dadanya masih berkobar hingga sekarang. Hatinya pun sedikit demi sedikit tertelan oleh kegelapan.
Sampai suatu hari, kenangan itu kembali terulang di depan matanya. Tepat seperti apa yang terjadi puluhan tahun silam. Dosa yang terukir, perlahan memadamkan sedikit api dendamnya. Tapi iblis kembali berbisik padanya, untuk mengabaikan semua cahaya yang dianugerahkan padanya.
Cahayanya ... Thea....
“Aku mempunyai alasan tersendiri untuk hal itu.” Ri Han menipiskan bibir.
Sudah lama Ri Han menanyakan hal itu pada dirinya sendiri. Tapi tak ada jawaban yang bisa menjawab semua keraguan. Untuk apa ia menikahi Thea? Untuk menyempurnakan pembaurannya di masyarakat? Untuk meredakan kebosanannya? Untuk pajangan?
Semua itu bukan jawaban yang ia cari.
Ri Han tetap mencarinya selama ini. Ia mencari dari waktu ke waktu. Tapi ia tetap tak menemukannya. Ia lupa bahwa ada satu jawaban yang ia lupakan. Jawaban yang ada tepat di depan mata.
“Sunbae-nim, lebih baik kau tidak menikahinya jika kau hanya berencana menyakiti hatinya untuk selamanya.”
Ri Han terhenyak. Menyakiti?
“Aku tidak pernah mengangkat tanganku pada —”
“Bukan itu,” potong Hyun Soo. Pria itu menipiskan bibir. Tak tahu bagaimana menjelaskannya pada Ri Han.
“Sunbae-nim, apa kau juga berlaku layaknya suami pada umumnya?” Hyun Soo bertanya, khawatir.
Tentu, Hyun Soo sudah menebak jawaban Ri Han di dalam hati. Tidak akan mungkin pria seperti Ri Han membangun kehidupan rumah tangga yang harmonis. Bukannya Hyun Soo mengutuk, ia hanya mengatakan kenyataannya dari segi luar.
“Tentu saja,” jawab Ri Han. “Asalkan semua kebutuhannya aku penuhi, dia tidak akan bisa melayangkan protes.”
Hyun Soo menoleh, menatap tidak percaya. “Kebutuhan yang mana?”
“Materi, bukan?” Ri Han menaikkan alis dan menatap partner kerjanya.
Seketika, Hyun Soo menepuk jidat. Sepertinya yang harus mendapat julukan anak bawang itu Ri Han, bukan dirinya. Tebakan Hyun Soo kini terbukti sangat benar.
“Hanya materi?” Jujur, Hyun Soo mengharapkan jawaban lainnya.
Ri Han hanya terdiam. Ia tidak ingin menjawab. Dan tidak berniat menjawab. Layaknya, Hyun Soo tahu gelagat Ri Han.
“Jadi Sunbae-nim tidak memberikannya kasih sayang? Pelukan? Kecupan sayang? Atau jangan-jangan Sunbae-nim belum pernah menyentuhnya sedikit pun?” Hyun Soo menincingkan mata. Sungguh ia tidak mengerti jalan pikiran Ri Han. Untuk apa istri cantik jika hanya dibuat pajangan?
Ri Han yang merasa terusik pun berdeham canggung. Ia tahu Hyun Soo pasti ingin menceramahinya. Dan ia tidak suka itu.
“Kehidupan pribadiku, kau tidak perlu mengusiknya.”
Hyun Soo menipiskan bibir, “Kalau kau tidak butuh istrimu, lebih baik berikan padaku saja.”