Chapter 5

2105 Kata
“Permisi.” Nana melangkah masuk ke apartemen Thea. Karena beberapa hari terakhir Thea merasa kesepian, akhirnya ia mengundang Nana untuk menginap di rumahnya. Tentu saja, Thea tidak memberitahu Ri Han mengenai hal ini. “Anggap saja rumah sendiri,” Thea tersenyum dan melangkah ke dapur. “Mau minum apa?” “Apa saja boleh,” Nana mengamati setiap sudut ruangan dan merebahkan tubuhnya di sofa. Kekehan puas pun terdengar. “Ini jauh lebih baik dari apartemenku. Di sini bersih dan nyaman, kau pasti sangat rajin membersihkan rumah.” Thea tersenyum. Tangannya menuang dua cangkir teh yang ia siapkan. Ia selalu membersihkan apartemennya setiap hari. Ri Han melarangnya bekerja. Jadi, ia menetap di rumah setiap harinya. Rasanya akan sangat membosankan jika ia tidak melakukan apa pun. “Suamiku sedang bertugas ke luar kota, jadi aku merasa kesepian. Aku akan sangat senang kalau kau bisa menginap di sini dan menemaniku.” Thea tersenyum lemah. Sebenarnya bukan karena itu. Thea mengundang Nana agar ia bisa mengalihkan pikirannya dari perilaku dingin Ri Han. Akhir-akhir ini ia sering tidak bisa tidur karena masalah itu. Thea sadar, jika dibiarkan berlarut-larut semua itu akan berdampak buruk pada hubungannya dengan sang suami. “Tentu saja! Dengan senang hati!” Nana berseru gembira. Bagi Nana yang belum menikah, tentu tidak akan menjadi masalah jika ia beberapa hari menemani Thea. Lagipula, akhir-akhir ini pacar Nana pun sedang sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya mereka berdua memang sama-sama kesepian. Saat Thea menyajikan teh, tiba-tiba Nana melihat foto yang langsung menarik perhatiannya. Foto pernikahan Thea, yang dipajang tepat di atas meja ruang santai. Cukup besar untuk bisa dilihat dari posisi Nana. “Itu foto pernikahanmu?” Thea menoleh sebelum kembali meletakkan secangkir teh di meja. “Iya.” Thea menjawab datar. Nana mengamati lekat-lekat. Thea terlihat berbeda dengan balutan baju pengantin putih. Rambut panjang Thea digelung setengah dan yang sebagian lagi dibiarkan terurai. Berbeda dari orang lain, Thea memakai mahkota bunga sebagai hiasan kepala. Thea terlihat begitu cantik dan bahagia. Senyum Thea, bersinar secerah mentari pagi. Bergeser, Nana mengamati sosok asing di samping Thea. Pastinya itu suami Thea, pikirnya. Nana akui, pria itu sangat tampan. Tapi saat Nana mengamati lebih teliti, entah mengapa ia merasakan sebuah ancaman dari sorot mata pria itu. Tersenyum kecut, Nana pun menoleh pada Thea yang kini menenggak secangkir teh. “Itu ... suamimu?” Thea meletakkan cangkir itu di meja lalu mengangguk. “Namanya Ri Han.” Dari senyum Thea, sepertinya pria itu tidak bermasalah. Tapi Nana masih meragukan semua itu. Mata tajam yang penuh ancaman, juga bibir yang seolah enggan menyunggingkan senyuman. Bukankah aneh jika seorang pengantin tidak tersenyum di hari pernikahan mereka? “Maaf sebelumnya,” ujar Nana. “Suamimu tampan, tapi sepertinya dia terlalu—” “Dingin?” Thea memotong tanpa mendengar pernyataan lanjut Nana. Tentu, hal itu membuat Nana tersenyum canggung. Ia pikir Thea tersinggung. Tapi semua pikiran itu hilang saat Thea menghela napas dan tersenyum pahit. “Sebenarnya, ada yang ingin aku bicarakan padamu,” bisik Thea. “Aku tidak tahu lagi pada siapa aku bercerita tentang semua ini selain dirimu. Aku harap kau mau mendengarkan curhatanku.” *** Aura yang ada dalam ruangan terasa begitu mencekam. Saat dua manik tajam saling menatap penuh kebencian, maka kobaran api pun seolah dipercikkan. Masing-masing pihak sudah menyiapkan senjata mereka, tinggal menunggu saat yang tepat untuk menjalankan eksekusi. “Bagaimana? Apa Anda mau bekerja sama dengan kami?” Ri Han masih duduk santai sembari meminum teh yang ada di depannya. Sang pria bermanik kelam tidak peduli walau beberapa bodyguard musuh sudah bersiap menarik pelatuk. Baginya, cemas hanya mendatangkan petaka. Ia pembunuh bayaran profesional, semua yang ia kerjakan harus rapi dan tersembunyi. Manik tajamnya masih mengancam pria tambun yang kini menatap nyalang. Asap cerutu yang pria itu embuskan seolah membisikkan tanda bahaya. Namun, Ri Han masih tetap di tempatnya, mengamati dan menganalisa setiap gerak-gerik musuh. “Kau pikir datang kemari dan menggertakku adalah hal yang tepat? Kau bahkan kemari seorang diri. Dan di sini, di kediamanku, aku mempunyai puluhan bodyguard yang bisa mematahkan seluruh tulangmu.” Ri Han mengangguk paham. Tentu saja ia mengerti kondisinya. Di lihat dari sisi mana pun, tindakannya memang bunuh diri. Tapi itulah gayanya ketika ia menunaikan tugas. Menjadi umpan, sekaligus pembantai di medan pertempuran. “Itu bukan masalah bagi saya,” sanggah Ri Han. “Yang saya buru adalah kepala Anda. Saya tidak keberatan menumpas semua penghalang.” Totalitas. Ri Han tidak akan pandang bulu jika ia sudah memasuki medan perang. Siapa pun yang menghalanginya, harus dibinasakan. Dan selama ini Ri Han bersyukur ia masih bernapas walau mempunyai prinsip yang begitu mencemaskan. Tepat setelah Ri Han mengatakan pendapatnya, pria tambun itu terkekeh keras. Matanya yang berair mengejek keteguhan Ri Han. “Memangnya kau bisa apa?” tanyanya dengan nada mengejek. “Aku tidak yakin kau bisa—” Pyarr! Kaca jendela pecah berkeping-keping. Yang terjadi setelahnya membuat semua orang merinding. Sebuah lubang terbentuk tepat di tengah dahi pria tambun. Darah merembes keluar, menyiram wajahnya yang masih mengekspresikan tawa. Tapi anehnya, hanya ada lelehan air mata yang keluar dari mata yang masih terbuka. Tentu saja, para bodyguard yang ada di sana langsung menarik senjata. Tapi pisau Ri Han terlebih dahulu menancap leher mereka. Pria itu tak mau menyia-nyiakan kesempatan, ia berlari dan melakukan sentuhan terakhir untuk menghabisi para korban. Pisaunya menari, menancap setiap jantung yang masih berdetak. Dalam sekejap, lautan darah tercipta. Semua tubuh terkapar tak bernyawa. Ri Han berdiri di tengah tumpukan mayat dan menghela napas. “Terlalu lama dengan para udang bisa membuat kepalaku memanas,” gerutunya. Selembar kain putih mengusap pisau Ri Han, membebaskan noda darah yang ada. Satu lagi tugas yang belum Ri Han kerjakan. Pria itu bergegas menghampiri koper yang ia bawa. Lembaran uang yang ada di atas hanya kamuflase belaka. Di dalamnya, sebuah benda kotak dengan penanda waktu terikat kencang. Awalnya, misi yang diberikan padanya hanya untuk negosiasi. Tapi karena Ri Han mulai gerah dan arah pembicaraan semakin tidak jelas, ia memilih untuk langsung mengeksekusi. Waktu yang ia butuhkan hanya sepuluh menit untuk keluar dari sana. Bagi Ri Han, itu lebih dari cukup. “Misi selesai.” Setelah Ri Han keluar, yang tersisa hanya bara api yang melahap rumah megah seisinya. *** Nana tercengang. Mendengar semua penuturan Thea membuatnya sedikit miris. Ia pikir kehidupan pernikahan Thea seindah kisah cinta negeri dongeng. Ternyata, semuanya tidak seindah yang ia bayangkan. Wajah sendu sahabatnya membuat Nana tak nyaman. Baru kali ini ia melihat sahabatnya putus asa. Althea Lee, terkenal sebagai pemecah masalah handal saat mereka sekolah dulu. Tapi kali ini Thea bahkan tak berkutik ketika dihadapkan dengan satu orang pria, yang tak lain adalah suaminya sendiri. “Aku tidak tahu lagi harus bagaimana.” Thea berbisik sembari memijat pangkal hidungnya. Nana tahu itu. Tak heran jika kantung mata Thea terlihat jelas akhir-akhir ini. Jujur, Nana juga tidak tahu bagaimana cara menyikapi pria sedingin es macam suami Thea. “Apa kau sudah mencoba berbicara pada suamimu?” Nana mengerutkan alis. Helaan napas Thea pun terdengar. Hingga setelah beberapa detik keheningan menyela, Thea menjawab dengan anggukan pelan. “Kalau begitu coba saja tanyakan—” “Tidak semudah itu,” potong Thea. “Dia selalu menomorsatukan pekerjaannya. Rasanya, menjadi istrinya hanya sebagai peran sampingan.” Senyuman lemah Thea membuktikan betapa merananya dia. Sebagai seorang sahabat, Nana pun berusaha memikirkan jalan keluar untuk Thea. Sebuah kesalahpahaman? Pertengkaran? Ketidakpuasan? Orang ketiga? Dalam rumah tangga ada banyak sekali masalah yang menerpa. Dan dari banyak kemungkinan itu, Nana tidak yakin apa penyebab retaknya hubungan Thea dan suaminya. Ia tidak bisa menebak. Baik Thea dan Ri Han, keduanya memiliki karakter yang sulit untuk dibaca. Nana membelai lembut tangan Thea. “Kita akan memikirkan bersama.” Thea mengangguk haru, bahkan matanya sekarang terlihat berkaca-kaca. “Terima kasih, kau sahabat terbaikku.” Nana mengangguk dan tersenyum. Baginya, Thea sudah seperti saudarinya sendiri. Ia tidak akan tega membiarkan sahabatnya terpuruk dalam kesendirian. Thea sudah tidak memiliki orang tua atau kerabat lagi. Ia ingin menggantikan hal yang hilang dari Thea, sebuah keluarga. Tiba-tiba ponsel Thea bergetar. Cepat-cepat ia mengambil benda kotak itu dari atas meja. Nama Ri Han tertulis jelas di layar ponselnya. Sejenak, ia menatap Nana. Sahabatnya mengangguk dan tersenyum, mengisyaratkan Thea agar menerima panggilan itu. “A-ada apa Ri Han?” Thea mencoba mengendalikan suaranya yang bergetar. “Aku akan pulang besok. Kau mau oleh-oleh apa?” Thea menyeka air mata sebelum tersenyum bahagia. Sedikit perhatian saja dari Ri Han bisa membuatnya berbunga. Ia ingin suaminya tetap seperti itu. Tapi pria itu selalu saja berubah dingin padanya. Thea tidak tahu apa yang Ri Han tidak sukai darinya. Andai sang suami mengatakan yang sejujurnya, Thea rela merubah segalanya agar mereka bisa tetap bersama. “Kau tidak perlu membelikan apa pun untukku,” bisik Thea. “Aku hanya ingin bertemu denganmu. Aku sangat merindukanmu.” Aneh. Rasanya seperti remaja yang baru saja mengenal cinta. Walau hanya mendengar suara Ri Han, Thea tidak bisa memungkiri kebahagiaan yang tiba-tiba membasuh semua kesedihan. Sebelum ia menyadarinya, ia sudah jatuh cinta. Ia jatuh cinta setengah mati pada suaminya sendiri. “Baiklah,” jawab Ri Han. “Sampai bertemu besok.” “Ri Han!” Thea berteriak sebelum Ri Han menutup telepon. “Apa?” “Aku sangat mencintaimu,” bisik Thea dengan pipi merona. Hening beberapa saat, hingga Ri Han pun menjawab, “Terima kasih.” Sambungan telepon sudah ditutup. Walau jawaban Ri Han memang terdengar aneh, tapi Thea tidak mempermasalahkan semua itu. Yang paling penting, besok ia bisa bertemu suaminya tercinta dan melepas rindu. Senyum cerah Thea berhasil membuat Nana penasaran. Baru saja sahabatnya hampir menangis, tapi sekarang malah tersenyum-senyum seperti sedang kasmaran. Mengagumkannya lagi, hanya satu orang pria yang bisa membuat Thea menjadi seperti itu. “Jadi? Kalian berdamai?” Thea menyeka air matanya yang tersisa. Entah itu air mata haru atau sedih, ia tidak terlalu menggubrisnya. Yang paling penting sekarang ia bahagia. Semoga saja Ri Han tidak kembali menghempasnya. “Aku sangat senang, ternyata dia tidak melupakanku,” bisik Thea. “Besok dia pulang, aku harus bersiap-siap.” Melihat semangat Thea, Nana tersenyum lega. Sungguh, hati wanita itu memang tidak serumit yang pria pikirkan. Hanya sekelumit perhatian bisa membuat hati para wanita bergetar. “Selamat bersenang-senang dengan cintamu,” Nana mengedipkan sebelah mata. “Jangan lupa beri dia pelayanan spesial agar kali ini dia meleleh. Kau harus berdandan yang seksi.” Nana tersenyum penuh makna sebelum menepuk bahu Thea. Tentu saja, semua itu untuk memberi semangat pada sahabatnya yang terpuruk beberapa hari ini. Tapi diluar dugaan Nana, Thea malah menatap polos dengan alis yang bertaut bingung. “Apa itu perlu?” Thea tersenyum canggung. Seketika, Nana melebarkan mata. “Kau itu … tentu saja itu sangat penting!” Melihat senyum kecut Thea, Nana langsung bisa menebak bahwa sahabat satunya itu pasti tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Sungguh, Nana ingin menepuk jidatnya. Bagaimana bisa seorang wanita yang telah menikah tidak mengerti hal semacam itu? Nana merasa bahwa ia telah menemukan penyebab keretakan hubungan Thea dan Ri Han. Mengapa dari semua masalah, malah masalah yang paling sensitif yang mereka alami? Ia merasa tidak enak jika menjelaskan secara gamblang, sedangkan posisinya sendiri masih belum mendapat pasangan resmi. Tapi jika dibiarkan., sahabatnya yang terlewat polos tidak akan mengerti dan semuanya malah menjadi semakin kacau. “Baik, Thea,” Nana menarik napas. Sesi interogasi. Ia harus mengupas sedalam-dalamnya masalah rumah tangga Thea. Persetan dengan batas pribadi, ini semua demi kebahagiaan sahabat tercinta. Ia akan melakukan apa pun agar Thea mendapat pengalaman yang berarti. “Sekarang ceritakan padaku bagaimana caranya kau mengekspresikan cintamu pada Ri Han, memeluk? Mencium? Atau yang lainnya?” Thea mengernyit. “Memasak setiap hari untuknya.” “Hanya itu?” Nana menelisik. Thea berpikir sebelum kembali menjawab, “Aku selalu mengurus rumah dan memperhatikan keperluannya. Kehidupan kami tidak terlalu spesial. Dari pagi, aku memasak, Ri Han berangkat bekerja. Kami bertemu lagi saat Ri Han pulang. Kami tidur, dan hari-hari pun berulang lagi.” Nana menyipitkan mata. Jelas, ada yang kurang dari penjelasan Thea. “Hanya itu? Bagaimana dengan mencium, memeluk, bercinta, merayu, waktu untuk berdua, dan sebagainya?? Kau buang di mana semua itu??” Thea tidak menyangka pertanyaannya akan menjurus ke sana. Tersenyun kecut, ia tidak mampu menjawabnya. Faktanya, sang suami selalu menolak untuk membalas pelukan atau ciumannya. Pria itu seakan enggan menyentuh Thea. Entah apa penyebabnya, ia tidak tahu pasti. “Sudah aku bilang ... Ri Han tidak memikirkan yang lain kecuali pekerjaannya,” bisik Thea. Kini wajahnya pun berubah sendu. Sudah dipastikan. Nana yakin bahwa masalah pribadi mereka yang meyebabkan semua ini. Gebrakan tangan Nana di meja, membuat Thea tersentak. Saat keduanya saling menatap, Thea menemukan kobaran semangat dalam manik indah sahabatnya. “Na-Nana??” “Althea Lee ... kau harus diberi les privat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN