Bagian 3

1043 Kata
Sendiri. Itulah yang diraskaan Clarissa ketika matanya sudah terbuka. Semalam, dia sudah menentukan ke mana hatinya akan pergi. Dia juga sudah meyakinkan diri bahwa dia akan mengajukan perpisahannya dengan Aiden hari ini juga. Sudah terlalu banyak luka yang dirasakannya, membuatnya mantap dengan jalan yang akan dipilihnnya. Clarissa mulai turun dari ranjang dengan mata sembab, akibat dia yang terlalu banyak menangis semalam. Kakinya melangkah, menuju ke arah kamar mandi yang terletak tidak jauh darinya. Lemah. Bahkan, rasanya hari ini dia enggan melakukan apa pun. Namun, semalas apa pun, Clarissa tetap harus berjalan untuk kehidupannya. Lima belas menit Clarissa berada di kamar mandi. Dia masih asyik merendam diri di bathup ketika ketukan kecil mulai terdengar, membuat mata yang sejak tadi terpejam mulai terbuka seketika. “Nyonya.” Suara Mbak Asih—asisten rumah tangganya—membuat Clariss menghela napas pelan. “Ada apa, Mbak?” tanya Clarissa tanpa mau membuka pintu kamar mandi. Dia bahkan masih tetap asyik berendam dengan bagian kepala saja yang terlihat. “Nyonya, sarapan sudah siap. Nyonya mau makan sekarang atau nanti?” tanya Mbak Asih tepat di sebelah pintu kamar mandi. “Aku akan turun sebentar lagi,” sahut Clarissa. Hening. Mbak Asih memilih pergi setelah mendapatkan jawaban dari istri tuannya. Perlahan, Clarissa mulai bangkit dan menuju ke arah handuknya berada. Tangannya mulai menenutuip seluruh tubuh dengan handuk dan melangkah keluar kamar mandi. Clarissa tidak banyak berkata. Dia hanya menjalankan satu per satu apa yang biasa dia lakukan. Mengenakan pakaian, merias diri dan segera keluar dari kamar. Tidak ada senyum yang terlihat sama sekali di wajahnya. Hari ini, aku akan mengakhiri semua luka yang sudah kamu berikan, Aiden. Hari ini, aku akan mendaftarkan perpisahan kita dan mengakhiri hubungan yang sudah tidak seharusnya, batin Clarissa dengan tangan mengepal. Berusaha yakin dengan apa pilihannya. Clarissa mulai melangkah menuju ke arah meja makan. Tidak ada Aiden seperti sebelumnya, membuatnya membuang napas pelan, mulai terbiasa dengan kehidupan tanpa kehadiran pria yang sudah enam tahun menjadi pendampingnya. Biasakan tanpa dia, Rissa. Kamu bisa, batin Clarissa menyemangati diri sendiri. “Nyonya.” Clarissa yang baru membalik piring dan akan makan terhenti seketika. Matanya menatap Mbak Asih yang sudah berdiri di sebelahnya dengan tatapan cemas. Bahkan, dia sudah menautkan jemari-jemarinya dan menatap dengan tatapan takut, bercampur cemas. “Ada apa, Mbak?” tanya Clarissa lembut. Mbak Asih menelan saliva pelan. “Maaf sebelumnya, Nyonya. Semalam saya mendengar Nyonya dan tuan bertengkar,” cicit Mbak Asih sembari meremas ujung pakaiannya pelan, merasa takut kalau nantinya sang majikan akan marah. Hening. Clarissa yang mendengar hanya diam dengan senyum tipis. Salahnya yang tidak melihat waktu untuk menegur sang suami. “Apa benar kalau Nyonya dan tuan akan berpisah?” tanya Mbak Asih memberanikan diri. Clarissa mengulas senyum tipis mendengar hal tersebut. Dia mulai beralih, menatap ke arah asisten rumah tangga berada dan mengangguk pelan. “Sudah tidak ada lagi yang perlu saya pertahankan, Mbak. Aiden sudah menemukan rumah barunya,” lirih Clarissa dengan wajah yang terlihat baik-baik saja. Sebisa mungkin, dia menyembunyikan semua lukanya seorang diri. “Apa Nyonya tidak mau mencoba mengatakan dengan tuan? Saya rasa, tuan hany ....” Mbak Asih menghentikan ucapan ketika Clarissa menatapnya tajam, membuatnya menunduk dengan perasaan tidak enak hati. “Maaf,” cicit Mbak Asih lirih. “Tidak masalah, Mbak,” sahut Clarissa dengan senyum merekah. “Saya sudah memikirkannya dan itu adalah jalan terbaik untuk semuanya. Saya akan pergi dari sini dan membiarkan Aiden berbahagia dengan kehidupannya.” Dan sekarang, aku yang harus kembali menyusun hidup untuk terus melangkah, batin Clarissa. ***** Clarissa menatap amplop besar di tangannya dengan tatapan lekat. Rasanya, dia tidak pernah bermimpi akan menapakan kaki di bangunan yang enggan ditapakinya, tempat di mana dia dan Aiden akan mengakhiri hubungan yang menurutnya sudah tidak sehat sama sekali. “Setelahnya, aku akan pergi untuk mencari kehidupan baru,” gumam Clarissa pelan. Terlalu banyak luka di kota besar yang saat ini ditinggalinya. Terlalu banyak kenangan yang akan membuatnya sakit ketika mengingatnya. Clarissa membuang napas pelan. Tangannya segera membuka tas dan mengambil ponsel di dalamnya. Jemarinya masih sibuk menyentuh layar pintar tersebut dan menatap serius. Hingga dia menemukan nama Aiden. Dengan cepat, dia menekan nomor pria tersebut. Diam. Clarissa masih menunggu seseorang di seberang menjawab ucapannya, tetapi tidak ada sama sekali, membuat Clarissa mendengkus kesal. Kakinya sudah menghentak tanah dengan wajah yang berubah masam. Lagi. Clarissa memilih mengulangi hal yang sama. Tangannya menekan nomor ponsel Aiden dan menunggu panggilannya tersambung. Sampai sebuah sapaan mulai terdengar. “Halo,” sapa Aiden dari seberang. “Halo, Aiden, aku hany ....” Clarissa menghentikan ucapan ketika mendengar desahan yang jelas terdengar. Dia tahu apa yang tengah pria tersebut lakukan, membuat tangannya meremas keras kertas di tangannya. Clarissa hanya mematung ketika mendengar desahan keduanya saling bersahutan, membuat luka yang kian bertambah. Sekuat apa pun aku mencoba, akan tetap sakit ketika mendengar kamu menikmati tubuh wanita lain, Aiden, batin Clarissa sembari mendongak, menahan air matanya agar tidak terjatuh. Sampai dia mendengar lolongan keras yang membuatnya semakin meremas ponselnya erat. “Halo,” sapa Aiden setelah dia mencapai kenikmatan di seberang. “Ada apa?” tanya Aiden dengan suara ketus. “Aku sudah mendaftarkan perpisahan kita dan aku akan meninggalkan suratnya di kantormu,” jawab Clarissa dingin. Dia langsung mematikan panggilan dan tidak menunggu jawaban dari pria di seberang. Lagi pula, baginya, dia tidak membutuhkan sama sekali jawaban yang akan membuatnya semakin merasa sakit hati. Clarissa membuang napas pelan. Dia hanya diam, berusaha meredam hatinya yang sudah terlalu hancur dan tidak bisa kembali. Hingga dia merasa membaik, Clarissa kembali melangkah ke arah mobilnya berada. Tujuannya hanya satu, ke kantor Aiden dan meninggalkan surat perpisahannya. Sedangkan di tempat lain, Aiden hanya diam dengan tangan yang masih memegang ponsel. Ada perasaan tidak rela ketika Clarissa mengatakan hal tersebut. Sampai sebuah dekapan membuatnya tersentak kaget dan menatap ke arah sang pelaku. “Siapa?” tanya Elvina sembari memeluk Aiden dari belakang, membuat tubuh tanpa pakaian tersebut saling bersentuhan. “Clarissa,” jawab Aiden tanpa semangat. “Untuk apa dia menghubungimu?” tanay Elvina sembari menatap lekat. “Dia sudah mendaftarkan perpisahan kami,” jawab Aiden lirih. “Itu bagus, Sayang,” sahut Elvina dengan senyum sumringah. “Berarti itu arti kamu dan dia akan segera berpisah. Setelah itu, kita akan menikah dan membesarkan anak kita bersama. Aku yakin, kamu akan bahagia karena akan ad tangis bayi dalam rumahmu. Akan ada anak kecil yang menyambutmu ketika datang.” Aiden hanya mengangguk patuh dan mengulas senyum tipis. Seharusnya memang begitu. Hanya saja, aku merasa ada hal aneh yang tiba-tiba mencekam. Perasaan yang mengatakan aku tidak rela jika dia yang meninggalkanku, batin Aiden dengan tatapan bingung. *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN