Demi meyakinkan bahwa memang dirinya tidak salah mendengar apa yang dikatakan oleh Yona tadi, Rangga mengulangi pertanyaan yang Yona tujukan padanya. Campuran antara rasa kesal, khawatir dan juga penasaran menjadi satu di benaknya.
“Ditolak?” lirih Rangga sekali lagi.
Yona menarik nafas dalam-dalam demi mengenyahkan rasa kesal yang tiba-tiba muncul dalam dirinya.
“Ih malah nanya balik, Gaga gimana sih.” sahut Yona ketus karena jujur saja dia kesal dengan reaksi Rangga yang tidak menjawab pertanyaannya, justru malah balik bertanya.
“Ya, gimana Gaga nggak tanya balik. Kamu bilang ditolak? Memangnya kamu habis nembak cowok?” selidik Rangga, kedua matanya menyipit menatap Yona. Mencoba mencari kejujuran di mata gadis itu. Namun yang dia dapatkan hanya tatapan yang mengisyaratkan rasa kesal yang perlahan meredup berubah menjadi seperti raut kecewa.
Oke, sepertinya bukan waktunya untuk mencari tahu apakah Yona jujur atau berbohong. Yang harus dia dahulukan saat ini adalah mendengarkan dengan baik apa yang akan diceritakan oleh gadis bermata abu-abu itu.
Rangga hanya tak habis pikir, karena baru beberapa hari yang lalu dia memperingatkan Yona belum boleh pacaran. Dan hari ini apa yang didengarnya? Ditolak? Tentu saja itu mengejutkan. Seolah apa yang dikatakan olehnya tidak didengar, padahal Rangga menasehati Yona demi kebaikan gadis itu sendiri.
Yona menggeleng keras, “Nggak. Aku nggak nembak cowok kok.”
“Oke, Gaga percaya kamu nggak nembak cowok. Terus gimana ceritanya? Kamu lagi suka sama cowok, gitu? Siapa?”
Sedikit melirik Rangga yang duduk di depannya, Yona lalu mengangguk pelan.
“Iya… Tapi…”
Kemudian mengalirlah cerita dari Yona. Cerita tentang dirinya yang menyukai seseorang, sejak beberapa waktu yang lalu. Tentang kedekatannya dengan orang yang disukainya itu. Tentang rasa yang semula biasa, dan perlahan berubah menjadi rasa sayang yang tidak mampu dia hindari. Tentu saja Yona tidak menyebutkan siapa nama orang yang dimaksud. Karena orang itu kini duduk di depannya, mendengarkannya bercerita.
Yona menyimpan rasa itu hanya di dalam hatinya, tanpa orang itu tahu bagaimana perasaannya. Menurut Yona selama ini perasaan itu membawa bahagia dalam kehidupannya. Saat melihat orang itu tersenyum, seolah tertular virus Yona akan ikut tersenyum bahagia.
Hingga beberapa hari yang lalu, saat Yona tahu ternyata orang itu sudah memiliki kekasih, perasaan itu berubah. Rasa bahagia yang selama ini dirasakannya, berubah menjadi kecewa. Dan hal itu bagi Yona sangat mengganggu. Tidak hanya mengganggu konsentrasinya saat di sekolah, tapi juga mengganggu fokusnya saat melakukan apapun. Yona selalu terbayang-bayang tentang orang itu dan kekasihnya.
“Jadi, kamu tahu dia punya cewek, pas kamu nembak dia? Trus kamu ditolak?”
Luar biasa sekali seorang Rangga Senjakala ini menarik sebuah kesimpulan, pikir Yona. Belum juga Yona selesai bercerita. Bagaimana bisa lelaki itu menyimpulkan bahwa Yona mengungkapkan isi hatinya dan langsung ditolak oleh orang itu, yaitu Rangga sendiri.
“Bukan gitu, Ga. Aku nggak nembak dia. Dia duluan yang kenalin aku ke ceweknya.”
“Dia temen sekolah kamu? Satu kelas?”
Yona menggeleng, “Rahasia.”
Rangga menjitak kening Yona dengan cukup keras hingga membuat gadis itu mengaduh kesakitan. Kesal rasanya, karena Yona kini mulai bermain rahasia-rahasia dengannya. Sebelumnya Yona tidak pernah menyembunyikan apapun darinya. Tapi, Rangga mencoba mengerti. Mungkin bagi gadis seusia Yona, memiliki rahasia sendiri tentang perasaannya bisa membuatnya merasa lebih baik, membuatnya merasa memiliki privasi yang harus dihormati.
"Sakit" seru Yona, tangannya bergerak mengusap-usap keningnya yang terasa panas dan nyeri.
Sementara itu, Rangga menarik nafas dalam-dalam sambil menatap gadis kecilnya yang kini sudah tidak bisa dikatakan gadis kecil lagi. Gadis kecilnya yang sepertinya mulai mengenal apa itu cinta. Meskipun bagi Rangga itu hanya cinta monyet semata.
Bola mata Rangga menerawang, terbang pada masa belasan tahun yang lalu. Saat gadis kecilnya masih berusia sekitar empat atau lima tahun. Dan saat itu dirinya sedang disibukkan dengan skripsinya. Yona lah penghibur baginya. Pengalih semua kepenatan dalam dunia perkuliahannya. Saat bertemu Yona, semua lelah yang dirasakannya seakan menguap tak bersisa.
Tak jarang dulu dia menemani Arfa yang juga disibukkan tugas kuliahnya, untuk membantu sahabatnya mengurusi Yona kecil. Saat Arfa sibuk menyelesaikan tugas, maka Rangga yang akan menemani Yona bermain. Dan ketika kesibukan Arfa selesai, barulah Rangga pamit untuk pulang.
Yona kecil akan selalu sumringah menyambut kedatangannya. Bahkan saat membuka pintu rumahnya, Yona kecil sudah bergerak-gerak heboh di dalam gendongan Arfa. Sembari mengangkat kedua tangan kecilnya, meminta untuk digendong oleh Rangga. Dan saat Rangga menyambut uluran tangannya, Yona kecil akan mengalungkan kedua tangannya di leher Rangga, lalu menenggelamkan wajahnya ke d**a Rangga yang bidang.
Tanpa sadar Rangga menggelengkan kepalanya perlahan. Menyadari betapa cepat waktu berlalu. Yona kecilnya kini sudah beranjak dewasa.
Lamunannya buyar saat telapak tangan lembut milik Yona menyentuh lengannya, menggerakkannya perlahan sambil memanggilnya. Menarik kesadarannya kembali.
"Gaga… Kok ngelamun?"
Rangga menggeleng, lalu memasang tampang datar.
"Gaga nggak ngelamun."
"Terus? Apa? Dari tadi aku lihat diem-diem aja."
"Ehmm… Lanjut sama cerita kamu tadi. Terus maksud kamu ditolak tadi apaan?” ucap Rangga mengalihkan perhatian Yona.
“Mmm… Ya… Gitu. Sama aja kan perasaan aku sekarang ini kayak ditolak? Aku bahkan ditolak sebelum nembak, Ga. Hhhh…” dengus Yona kesal.
Tangan Rangga bergerak mengambil alih toples stik balado yang sejak tadi di pangkuan Yona, namun tak dihiraukan gadis itu sejak mulai bercerita.
“Gaga kan udah bilang…” Rangga mengacungkan sebuah stik balado tepat di depan hidung Yona.
“Aku nggak boleh pacaran.” potong Yona cepat. Tangannya bergerak mengambil stik balado dan menyuapkan ke mulut Rangga.
Sembari mengunyah Rangga berkata, “Nah itu kamu ngerti. Gaga bilang gitu, karena Gaga tahu kamu masih kecil, Yona. Kalau kamu mulai jatuh cinta, kamu harus siap patah hati saat kenyataan nggak sesuai apa yang kamu bayangkan. Dan Gaga nggak mau kamu merasakan nggak enaknya patah hati.” ucap Rangga dengan tegas. Wajahnya tiba-tiba berubah seperti… entahlah. Sulit untuk dijelaskan. Mungkin seperti… terluka?
Yona tidak tahu harus berkata apa. Yang jelas jauh di dalam hatinya dia ingin berteriak. Agar lelaki di depannya ini tahu. Agar Rangga mengerti. Bahwa sebenarnya Yona pun tidak ingin membiarkan rasa ini menguasai dirinya. Hanya saja, ketika cinta sudah berlabuh siapa yang bisa mengelak? Siapa yang bisa menghindar?
Jika boleh memilih, Yona tentu ingin melabuhkan cintanya pada salah satu teman sekolahnya saja. Namun ternyata rasa itu justru tertuju pada Rangga. Sosok yang selalu ada untuknya. Sosok yang bahkan sudah mengenalinya ketika dirinya belum lahir ke dunia ini. Sosok sahabat yang menghibur mamanya ketika terpuruk, dan sosok yang seolah mengisi kekosongan hatinya akan cinta pertama seorang gadis. Yaitu ayah.
Bukankah cinta pertama setiap gadis kecil adalah sang ayah?
---
22 - April - 2021
10.03 WIB