Part 7. Kontradiksi

1107 Kata
Cuaca mendung pagi ini mengiringi langkah kaki Yona saat memasuki gerbang sekolahnya. Sesekali mulutnya terbuka - menguap - karena rasa kantuk masih tersisa. Entah karena tidur terlalu malam, atau karena terlalu kenyang menyantap sarapannya tadi. Tugas sekolah yang cukup banyak menjelang ujian kenaikan kelas bulan depan, membuat Yona bekerja keras hingga larut malam. Dan saat pagi menjelang, Arfa membangunkannya dengan membuka pintu kamar lebar-lebar. Membuat aroma sop ayam merebak dan menyapa penciuman Yona hingga gadis itu membuka mata karena perutnya yang menjerit lapar. Bergegas mandi dan berpakaian, Yona lalu duduk dengan manis di meja makan dan menyantap semangkuk sop ayam beserta sepiring nasi hangat. Lengkap dengan kerupuk udang dan sedikit sambal yang membuat selera makannya meningkat tajam. Perpaduan antara perut yang kenyang, hari yang mendung dan sisa-sisa rasa kantuk semalam membuat Yona langsung memejamkan mata sejenak sambil bersandar di tempat duduknya sesaat setelah memasuki kelas yang masih sepi. Masih ada waktu sekitar setengah jam lagi sebelum pelajaran dimulai. Penghuni kelasnya pun baru sekitar tiga orang yang datang. Tak perlu waktu lama bagi Yona untuk terlelap tidur karena memang suasana yang mendukung. Yona memang salah satu siswa yang cukup populer karena berprestasi di sekolah. Namun jangan mengira bahwa sosok Yona adalah sosok sempurna tanpa cela. Yona juga siswa biasa yang terkadang bisa tertidur di kelas seperti pagi ini. “YONA. BANGUN.”  “YONA…” Iva menggerakkan lengan Yona yang masih terlihat nyenyak dalam tidurnya. Sesaat kemudian terdengar lenguhan dari bibir Yona. “Ehhmm… Udah mau bel ya, Va?” tanya Yona sambil mengucek-ngucek kedua matanya. Lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruang kelasnya yang ternyata setiap bangku sudah terisi lengkap. Hanya tinggal menunggu guru hadir saja. Sejenak dia melempar pandangan ke arah jendela. Cuaca yang tadinya hanya sedikit mendung, kini berubah menggelap. Lengkap dengan rintik hujan yang mulai turun. Membuat hawa dingin terasa di kulit gadis itu. Iva mengangguk sambil melirik ke arah jam dinding yang terletak di atas papan tulis. “Lima menit lagi. Sana, cuci muka dulu.” Yona berdiri dan beranjak menuju ke toilet yang posisinya paling dekat dengan kelasnya. Lalu membasahi wajahnya dengan air, membuatnya kembali segar. Rasa kantuk yang tadi menguasai, sudah hilang tak berbekas. Sambil menatap wajahnya di cermin, Yona mengambil tisu di saku rok abu-abu miliknya. Lalu mengeringkan jejak-jejak air yang masih tersisa di wajahnya. Yona menatap pantulan wajahnya di cermin sambil tersenyum. “Semangat…” ujarnya pada dirinya sendiri, lalu membuang tisu di tempat sampah dan bergegas kembali ke kelasnya. Siap untuk menunaikan tugasnya sebagai siswa. Belajar. --- Sesuai dengan apa yang dikatakan Rangga beberapa hari yang lalu, Yona bertekad akan menyibukkan diri dengan belajar lebih giat. Agar dia tidak terlalu larut dalam perasaannya.  Bagaimanapun juga, lelaki itu mengerti bahwa gadis seusia Yona sangat wajar jika merasakan ketertarikan pada lawan jenisnya. Hanya saja Rangga menunjukkan bahwa dia terlalu khawatir Yona akan terluka. Maka Yona pun meyakinkan Rangga bahwa dirinya akan baik-baik saja. "Jatuh cinta itu wajar dan normal. Dulu waktu Gaga seusia kamu juga merasakan kok, apa yang namanya jatuh cinta." Ujar Rangga kala itu. "Oh ya? Sama siapa? Terus Gaga jadian sama cewek itu?" tanya Yona antusias, ingin mengetahui lebih banyak tentang masa lalu Rangga yang meskipun lelaki itu adalah sahabat mamanya sendiri, tidak banyak yang Yona ketahui tentang masa lalu mereka saat bersekolah dulu. Rangga menggeleng sambil tersenyum penuh arti. "Nggak. Ternyata dia berjodoh sama orang lain." Tangan Yona refleks bergerak menutup mulutnya karena terkejut. Merasa tidak yakin bahwa seorang Rangga pernah mengalami penolakan. Wanita mana yang bisa menolak pesona seorang Rangga yang bagi Yona sebegitu sempurna. "Makanya, Gaga nggak mau kamu terluka kalau mencintai seseorang terlalu dalam. Belum waktunya." Lanjut Rangga. Yona diam.  Lalu Rangga melanjutkan nasehatnya. Layaknya seorang ayah yang menasihati anaknya, yang ingin melindungi putrinya dari sakitnya rasa kecewa dan terluka. "Nggak ada yang bisa melarang kamu untuk jatuh cinta, termasuk Gaga. Karena diri kamu sendiri, nggak akan bisa mengelak ketika cinta itu datang. Iya kan?" Yona tidak menjawab, namun kepalanya mengangguk tanda setuju. "Kalau ternyata perasaan kamu nggak berbalas, Gaga yakin akan ada rasa kecewa. Tapi Gaga mau kamu jangan larut dalam kesedihan. Alihkan perhatian kamu untuk hal lain. Belajar, misalnya. Atau cari kesibukan apapun. Jadi waktu kamu untuk memikirkan orang itu jadi berkurang. Dan lama-lama kamu akan melupakan perasaan kamu ke dia. Ingat, kamu masih muda. Jalan yang akan kamu tempuh masih panjang. Dibandingkan hanya sekedar urusan perasaan, masih banyak hal lain yang harus kamu perhatikan. Ujian. Kuliah. Kerja. Dan yang lainnya. Gaga yakin suatu saat kamu akan bertemu sama seseorang yang tulus menyayangi kamu. Dan ketika orang itu datang, maka kamu nggak akan bisa berpaling dari dia. Karena apa? Karena tulusnya perasaan dia ke kamu." --- Ketika Yona sudah mulai bisa menguasai dirinya, kembali fokus pada sekolahnya, maka hal sebaliknya justru terjadi pada Rangga.  Apa yang dia katakan pada Yona beberapa waktu yang lalu, seolah tergiang-ngiang dan berputar di otaknya sendiri. "Alihkan perhatian kamu pada hal lain. Maka waktu untuk memikirkan orang itu jadi berkurang. Sehingga lama-lama perasaan itu akan terlupakan." Benarkah?  Apakah waktu bisa membantu seseorang untuk melupakan perasaannya?  Perasaan yang tersembunyi di salah satu sudut hatinya, yang sampai kini tidak diketahui siapapun. Kenapa hal itu tidak terjadi pada dirinya? Rangga menggeleng miris. "Jadi kayak munafik gitu nggak sih? Sok-sok an nasehatin Yona. Padahal aku sendiri sampai sekarang belum bisa melupakan perasaan itu. Belum bisa move on." monolog Rangga pada dirinya sendiri. Tangannya bergerak, menarik laci di nakas yang terletak di samping tempat tidurnya. Mengambil sebuah pigura yang posisinya tertelungkup menghadap ke bawah.  Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman, namun bukan senyum bahagia. Melainkan senyuman terpaksa, atau lebih tepatnya senyuman yang mengisyaratkan luka. Di pigura kecil itu terbingkai rapi sebuah foto berukuran 4R. Tiga orang di foto itu tersenyum lebar. Dirinya adalah salah satunya.  "Kayaknya dulu aku salah berdoa. Aku selalu berdoa supaya bisa bersanding di pelaminan sama kamu." Bisik Rangga, sembari telunjuknya mengusap wajah seorang wanita yang merupakan pengantin di foto itu. "Tuhan memang mengabulkan doaku untuk bersanding di pelaminan, berdiri di sebelah kamu. Tapi sayangnya sebagai tamu, bukan sebagai suami kamu. Mungkin dulu harusnya aku berdoa supaya kamu jadi milikku. Tapi sekarang, aku pikir sudah terlambat kalau aku berdoa seperti itu." Rangga menarik nafas dalam-dalam, untuk melegakan dadanya yang tiba-tiba terasa sesak.  "Kali ini, aku akan melupakan kamu. Aku akan mencoba mencintai Hasna. Maafkan aku ya… Aku sayang kamu." --- 29 - 04 - 2021 Akhirnya... Aku memulai cerita baru. Semoga lancar nggak ada hambatan sehingga aku bisa update terus setiap harinya. Berteman yuk? Fesbuk : Sweet July Ig : @sweetjuly.me Di follow ya, karena aku update info di kedua sosmed itu. Ntar aku follback juga. Buat yang belum aku follback, boleh DM aja. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN