2. Frustasi

2604 Kata
Suara isak tangis berdengung di sebuah kamar nuansa feminim. Dinding nya berlapis wallpaper motif bunga sakura yang manis. Mulai akrab dengan tangisan yang bergema hampir sepanjang hari, berminggu-minggu, dan sekarang sudah sebulan lamanya. Namun suara Isak tangis itu tak kunjung berhenti, selalu terdengar lagi dan lagi. Seolah pemilik mata itu punya danau besar di dalam kepalanya. Air matanya tak kunjung kering walau ia tumpahkan selama sebulan lamanya. "Hu…. Hua…" tangis Jasmin Astri Ramlan tidak terlalu keras jika di dengar dari lantai bawah. Namun terdengar cukup jelas saat ada di lantai dua, tempat kamar gadis dua puluh satu tahun tersebut berada. Seperti itulah ratapan Jasmin setiap hari, sejak pulang dari Belanda. Menangisi perbuatan bodohnya, suka rela menyerahkan kesuciannya pada pria yang tak ia kenal. Jangankan kenal, wajahnya saja ia lupa. "Hua… hu…." Raung Jasmin yang tidak pernah berhenti menyesali kebodohannya. Clarissa, kakak Jasmin selalu di buat pusing oleh adiknya. Ia tidak tahu kapan Jasmin mau berhenti menangis. Pekerjaannya setiap hari hanya menangis dan menangis. Menyendiri di kamar, menenggelamkan wajahnya di bantal, lalu mengisak. Rambut hitamnya ia biarkan tergerai, kusut, semrawut, kena air mata bercampur air liurnya. Dan di sela Isak tangisnya, bibir Jasmin sering mengeluarkan sumpah serapah memaki nama William dan Aldi. Menumpahkan seluruh tangisannya yang penuh rasa sesal. Dan ketika Jasmin merasa lapar. Ia akan turun ke bawah. Makan di dapur. Di tengah kegiatannya makan. Seringkali tangisannya pun pecah. Sehingga ia makan sambil menangis. Aneh memang, tapi itulah Jasmin yang sekarang, selalu murung dan tidak ceria lagi. Di kamar mandi pun dia menangis. Air matanya terlihat ajaib. Dapat menyembur setiap saat ketika bayangan-bayangan bercinta dengan pria asing itu muncul di kepalanya. Sekolah di Belanda. Rasa bebas yang baru ia rasakan. Di kelilingi mahasiswa tampan yang banyak mengagumi kecantikannya, memujinya bagai bidadari suci yang turun dari surga. Membuat Jasmin terbang melayang. Daya pikatnya semakin memabukkan pria-pria di sekitarnya dengan suara nya yang khas. Mengalun lembut khas wanita jawa ketika sedang berbicara. Membuat banyak mahasiswa mengerumuni dirinya, lebih populer di antara mahasiswi lain. Sehingga tanpa sadar membuat Jasmin gelap mata, kalap, dan haus akan pujian dari pria berambut kuning khas ras kaukasia. Ya, diam-diam Jasmin memendam obsesi. Ingin punya suami seperti milik kakaknya yang bernama Clarissa. Suami Clarissa bernama Calvin, seorang pria tampan berkulit putih, rambut nya terang, dan punya bola mata yang cerah. Jasmin yakin, pria seperti itu pasti punya sisi romantis yang kuat seperti kakak iparnya yang meggilai Clarissa. Diam-diam Jasmin sering kali memandang kagum dua orang yang selalu terlihat kasmaran tersebut. Kakak iparnya tanpa segan melimpahkan cintanya yang begitu dalam untuk Clarissa. Membuat Jasmin iri. Ingin punya suami sama seperti Calvin, kakak iparnya. Namun anggapannya, harapannya, dan mimpinya ternyata nol besar, kandas di tengah jalan. Hatinya terhempas keras di lautan luas tak berdasar ketika sadar cinta pertamanya yang bernama William mengkhianati kesucian hatinya. Ia baru sadar jika William yang memang sangåt tampan dan romantis itu, ternyata hanya memandangnya sebagai pelampiasan seks*, ingin merasakan tubuh Jasmin, ingin menjadi yang pertama kali mencicipi madunya. Bahkan William tidak peduli sudah melanggar norma yang Jasmin buat. Pria itu tanpa segan melukai hatinya dengan memberikannya minuman beralkohol dan obat perangsang. Jasmin ingat, saat mereka baru tiba di kafe. William memberinya cappucino kesukaannya. Cinta itu membuatnya gila, tidak peduli saat capucinonya terasa ada yang berbeda. Ia terus meminumnya sampai habis. Dan setelah itu ada yang aneh dalam tubuh Jasmin. Ia yang awalnya selalu menolak sentuhan fisik tangan William. Perlahan mulai menerimanya, menikmatinya, bahkan ia ketagihan. Bahkan William sejak awal sudah berterus terang jika ingin bercinta* dengannya. Namun Jamsin selalu menolaknya. Dan karena cappucino aneh itu, ia mau menerima sentuhan tangan William, bukan hanya itu, sentuhan-sentuhan kecil itupun rasanya sangat nikmat. Bahkan ia tidak peduli ketika William membuka kerudungnya yang selalu ia kenakan selama di Belanda. Ia juga tidak mampu menolak, ketika William menyuruhnya menenggak minuman beralkohol. Akibat yang di lakukan William, Jasmin kehilangan harga dirinya. Membuat masa depannya sulit, suram, dan tidak ada harapan. Ia bagai wanita binal* murahan*. Mengemis pada pria asing yang tidak bisa dia ingat wajahnya agar melayani birahinya* yang sudah memuncak. Keadaan Jasmin yang setengah sadar, tidak mampu membuka matanya karena mabuk berat, membuat Jasmin lupa, seperti apakah rupa pria pria yang bernama Aldi itu. Yang Jasmin ingat, hanya lah apa yang di lakukannya dengan pria itu, suara bisikan-bisikan lembut dari nya selalu menghipnotisnya, merindukan suara lembutnya yang menenangkan. Ingat jika namanya adalah Aldi, dari Indonesia. Tapi sayang, Jasmin kehilangan memori wajah pria itu. Jasmin kini sadar. Anggapan jika pria tampan ras kaukasia itu pasti romantis dan baik seperti kakak iparnya ternyata salah, nol besar. Semua pria ternyata sama. Seperti apapun rumpunnya, dia bisa saja jadi pria romantis ataupun pria bajinga*n. Seperti halnya William. Pria tampan dengan segudang uang, ternyata malah membuatnya mabuk. Namun Aldi terasa berbeda. Suara pria itu terasa mengalun lembut ketika menyebut namanya. Setiap sentuhannya juga terasa penuh kasih sayang. Suara itu selalu merasa bersalah ketika tubuh pria itu menguasai dirinya. Selalu meminta maaf ketika Jasmin merasa kesakitan. Seolah dia adalah pria penuh dengan rasa tanggung jawab. Parahnya Jasmin tidak bisa melupakan, ketika pria itu bergumam, mencintai dirinya, berjanji akan menikahinya. "Bodoh-bodoh-bodoh... Kenapa aku kepikiran dia terus sih? Nggak mungkin dia tanggung jawab. Buktinya dia langsung kabur. Hu…" Jasmin menangis tanpa henti. Tangannya memukuli kasur yang sudah tanggal spreinya tanpa ampun, mencubit-cubitannya, terkadang ia juga menggigitnya gemas. Marah pada Aldi dan dirinya sendiri. Ingat, karena dirinyalah yang mengemis, meminta agar Aldi mau bercin*ta dengannya. Dan ia tidak berterus terang pada Clarissa. Bahwa sebenarnya dirinya tidak di *perkosa oleh Aldi. Tapi dirinya lah yang meminta agar Aldi mau bercinta* dengannya. Jasmin masih saja meraung, menagisi perbuatannya, menyalahkan Aldi kenapa merenggut keperawanannya. Tidak peduli dengan sekitarnya yang memandang aneh dirinya. Terutama keponakannya yang berlidah tajam. Namanya Vino, masih TK. Tanpa segan-segan sering melontarkan protes pada ibunya. Mengapa tantenya menangis keras-keras seperti anak kecil. Tapi untunglah, anak kecil itu yang selalu mengekori ibunya, kini sedang main di rumah tetangga, jadi dia tidak perlu menahan diri menangis keras-keras. "Kenapa harus aku yang ngalamin ini sih? Kenapa nggak Sella? Atau Rika aja? Mereka itukan jahat, suka membully ku, iri sama semua yang kudapatkan dari kakak. Hu…." Jasmin jengkel pada dirinya sendiri. Matanya memerah dan wajah cantiknya membengkak akibat terlalu sering menangis. Protes mengapa bukan gadis kecentilan itu saja yang mengalami nasib sialnya. Berulang kali kakinya menendang apapun yang ada di sekitar. Tidak peduli dengan bantal, guling, dan spreinya jatuh dari ranjang. Kamar tidurnya bagaikan kapal pecah. Berantakan bagai gudang. Begitulah keadaan Jasmin setiap hari. Selalu mengurung diri di kamar. Membuat Clarissa - kakak Jasmin bingung. Sehingga dia tidak tega meninggalkan adiknya di rumah sendirian. Dua pembantu di rumah itu tidak bisa bersikap setelaten Clarissa dalam menenangkan Jasmin yang setiap hari murung, sedikit-sedikit menangis. Sudah sebulan ini Jasmin selalu mengurung diri di kamar. Di rumah pemberian cuma-cuma dari kakak iparnya yang tampan. Rumah itu besar. Lebih besar dari rumah peninggalan orang tuanya. Hingga membuatnya lebih memilih tinggal di rumah yang lumayan besar tersebut sejak pulang dari Belanda, dari pada di rumah peninggalan orang tuanya yang kini ia sewakan. Namun Calvin, kakak iparnya selalu datang tidak tepat waktu. Pria itu selalu mampir ke rumahnya, setelah dia pulang kerja sore hari. Selalu mengajak Clarissa untuk pulang. Namun Clarissa lebih sering menolaknya. Memilih menginap untuk menemani Jasmin. Dalam hati, Jasmin menjulurkan lidahnya pada kakak iparnya. 'Wee…. Kakak lebih milih aku dari pada kamu' Sore itu, seperti biasa. Calvin datang sewaktu pulang dari kerja. Pria itu memang tampan, tapi dia sangat menyebalkan di mata Jasmin. Selalu membentak dirinya ketika tidak menurut pada istrinya. Selalu ikut campur mengenai keputusan hidupnya. Selalu memaksakan kehendaknya pada dirinya, dia bertingkah seperti seorang ayah. Huh, dia hanya pria tua yang bersampul kulit tampan. Seandainya Aldi memenuhi janjinya, menemui dirinya, menikahinya, dan bertanggung jawab dengan hidupnya. Aldi pasti jauh lebih baik dari Calvin. Lebih lembut dan penyayang dari kakak iparnya. Tapi sayang. Aldi bagaikan mimpi indah baginya. Tidak nyata, atau mungkin dia tidak pernah ada? Lalu siapa yang tidur dengannya? Gendruwo? Hih…. "Hua…" Jasmin kembali meraung. "Aku benci kamu Aldi. Terkutuklah kamu. Kamu akan jadi perjaka tua seumur hidupmu hu... Nggak akan pernah laku sama perempuan mana pun, sebelum kamu minta maaf sama aku, hu…" Lagi-lahi Jasmin teriak-teriak. "Hush… ngomong sembarangan. Emangnya kamu Mbah dukun? Kutuk-kutuk orang segala!" Clarissa tiba-tiba sudah duduk di ranjang Jasmin. Tanpa rasa jijik, tangannya meraih tisu. Lalu menyeka wajah Jasmin yang basah oleh air mata. Menyeka pula hidungnya yang meler, akibat terlalu lama menangis. Srot.... Jasmin membuang ingusnya ke tisu yang di pegang kakaknya. Setelah itu Clarissa melemparkan nya ke keranjang sampah. Keranjang sampah itu kosong. Karena Jasmin jarang memakainya. Lebih memilih bantal sebagai ganti tisu untuk mengusap wajah nya yang basah, dan juga membuang ingusnya. Hingga bantal itu basah semua. "Masih gadis kok jorok banget sih kamu, Jas?" Keluh Clarissa. Ibu jari dan jari telunjuknya mengambil bantal basah Jasmin. Lalu melemparkannya ke keranjang baju kotor. "Biarin aja" bantah Jasmin seraya memungut bantal lain. Lalu menenggelamkan wajahnya lagi. "Lagian Aku udah nggak gadis lagi. Aldi sialan*, udah merenggut semuanya. Aku benci sama dia. Semoga laki-laki itu jadi bujangan sejati. Nggak laku di mana-mana. Hua…." Jasmin memukuli ranjang. "Udah ah, jangan nangis terus. Jelek tahu. Kalau jelek kan jadi nggak laku." Clarissa membelai rambut Jasmin yang berantakan. Karet rambutnya sudah lepas, "Kamu masih gadis, Jas. Hanya saja gadis yang udah nggak perawan." "Sama saja. Gadis artinya perawan. Jadi kalau nggak perawan, namanya nggak gadis lagi. Hua…." Jasmin menanggapi sambil membenamkan wajahnya di atas bantal. "Terserah kamu aja deh." Clarissa lebih memilih mengalah berdabat. "Jas, seminggu lagi kuliahmu masuk kan? Kamu harus siap-siap, bentar lagi kamu juga harus PKL" ingat Clarissa. Ia memunguti barang-barang 52ayang berserakan di lantai. "Aku nggak peduli! Aku udah berhenti kuliah. Hua…." Ketus Jasmin di iringi suara tangisnya. "Sabar, Jas. Jangan ambil keputusan buru-buru. Nanti nyesel loh" Clarissa menaruh bantal-bantal itu di atas ranjang. "Kamu lupa sama perjuangan mati-matian mu masuk ke unversitas? Kamu sampai bergadang berhari-hari gara-gara terus belajar. Ibu pinjam uang sana sini untuk menutupi biaya-biaya yang lain. Waktu itu kita nggak punya apa-apa. Dan sekarang kamu nyerah gitu aja? Kamu nggak mikirin ibu di sana. Setelah syok melihat kelakuan kamu. Ibu pasti makin sedih kalau kamu keluar gitu aja dari kampus. Hidup ini memang nggak mudah, Jas. Semua orang pasti pernah ngalamin yang namanya cobaan. Cobaan itulah yang menentukan sekuat apa kita? Kalau kamu berhasil melalui cobaan itu. Percayalah hidupmu pasti lebih bermakna" ucap Clarissa panjang lebar. Ia menggenggam tangan Jasmin. "Kakak enak tinggal ngomong. Aku yang ngalamin ini rasanya udah sekarat. Aku nggak sanggup begini kak. jadi orang yang nggak berguna, kayak sampah. Nggak layak hidup. Lebih baik aku hilang saja dari dunia ini. Hu…" "Jasmin-jasmin" Clarissa menggelengkan kepalanya. Membuang nafasnya banyak-banyak. Telinganya sudah tebal mendengar ucapan Jasmin yang seperti itu. "Buang perasaan bersalahmu. Kakak percaya sama kamu. Ini adalah kecelakaan. Semua ini bukan salahmu. Oke?" Clarissa menatap tajam mata Jasmin. Setelah itu melanjutkan, " Kakak percaya semua ini salah William sama Aldi. Dan kakak iparmu sudah mengurus semua nya. Dia udah masukin William ke penjara. Karena udah maksa-maksa kamu minum alkohol" "Tapi hukuman dia cuman satu bulan doang. Nggak adil. Aku kehilangan perawan seumur hidupku. Hu…." Tangis Jasmin kembali pecah saat ia ingat bagian demi bagian hari itu. "Terus Aldi gimana?" Ada sebersit harapan di hati Jasmin. "Calvin kesulitan nemuin Aldi. Katanya sih dia bukan orang Belanda. Dan sekarang dia nggak ada di Belanda bagian manapun" Clarissa mengangkat bahunya tidak mengerti. "Entahlah, yang jelas kakak iparmu sampai sekarang masih mengerahkan anak buahnya." "Cari Aldi sampai dapat, Kak. Aku nggak mau hidup kayak gini. Dia harus tanggung jawab. Udah merenggut keperawanan ku. Hu…" Jasmin merangkak. Menaruh kepalanya di pangkuan Clarissa. "Sabarlah, kakak iparmu sedang mencarinya. Walaupun harus masuk rumah suku Eskimo sekalipun." Clarissa menyisir rambut Jasmin. "Ingat kata psikiater mu. Kamu harus rileks. Cobalah maafkan dirimu sendiri. Lalu terima keadaan mu yang sekarang. Percayalah, kamu masih punya masa depan. Masa depan mu bahagia atau sedih, kamu sendiri yang nentuin. Yang jelas kakak selalu ada di sampingmu. Mendukungmu apapun keputusan mu asalkan itu baik dan tidak melanggar agama." Clarissa mengikat rambut Jasmin. "Terima kasih, Kakak" "Iya, Sayang" "Kok sayang? Jangan panggil aku sayang" sergah Jasmin tak nyaman. "Emangnya kenapa?" Clarissa mengrenyitkan keningnya bingung. Biasanya dia memang selalu memanggil Jasmin seperti itu, saat sedang merayunya. "Aku bukan Vino, ataupun kak Calvin" protes Jasmin. "Oh, gitu. Oke." Clarissa mengangkat dua tangannya. Nyerah. Clarissa memang memanggil dua jagoan nya dengan sebutan sayang. Dan mereka fine-fine aja. "Jas, kakak mau ngomong" "Dari tadi kakak udah ngomong" seloroh Jasmin. Ia sedikit membuka wajahnya. Mengintip wajah Clarissa. "Eh iya. Hehe" kekeh Clarissa. "Tentang asrama mahasiswi yang pernah kakak iparmu singgung. Aku tadi habis ke sana, lihat-lihat asrama itu secara langsung" "Kakak jahat, mau membuangku." Jasmin kembali menyembunyikan wajahnya. "Bu-bukan begitu, Jas." Clarissa tergagap. Sepertinya memang benar ucapan Jasmin. Namun demi kebaikannya, Clarissa harus melakukan ini. Sesuai perintah sang psikiater dan juga suaminya. "Kalau bukan membuangku, lalu apa? Ngusir?" Desak Jasmin. "Nggak lah. Kamu ngomong apa sih? Masa iya aku ngusir satu-satunya keluargaku yang nggak berharga?" Clarissa melirik Jasmin. Lalu tertawa-tawa saat melihat bibir Jasmin mecutut. "Bercanda-bercanda… gitu aja marah. Hahaha…." Clarissa mencubit pipi Jasmin yang sedikit chubby. "Aku hanya melakukan apa yang di sarankan psikiater mu, Jas." Kilah Clarissa. "Aku tadi udah lihat calon asrama mu. Dan menurut psikiater mu. Asrama itu recommended banget. Asrama itu bagus loh. Bersih, luas, keamanannya ketat, jangankan kakaknya, ayah mahasiswi pun di larang masuk ke asrama. Hanya pria pengurus asrama yang boleh masuk. Itu pun jarang. Di sana juga banyak kegiatannya, Jas. Lumayan bisa ngelupain masalahmu. Mahasiswi di sana juga di bekali macam-macam keterampilan sampai cara ber wirausaha. Menariknya, di asrama itu juga menyediakan bimbingan skripsi buat mahasiswi yang sedang sekripsi. Kebanyakan mahasiswi di sana cepat lulus sekripsinya." "Alasan!" Jasmin membalik tubuhnya. Memunggungi Clarissa. "Bilang aja terus terang, kalau kakak udah bosan jagain aku." "Kok ngomong gitu? Justru kalau kamu kesana. Kamu bisa mengalihkan perhatianmu, nggak terus mikirin masalahmu. Di sana nyenengin banget, Jas. Ada banyak teman baru, kegiatan baru. Apalagi bentar lagi kamu PKL. Kamu harus mulai sibuk lagi. Kalau kamu berangkat dari rumah. Bisa-bisa kamu nangis mulu di tempat mu magang. Kamu mau dapat nilai jelek?" "Aku nggak mau kemana-mana. Aku mau di rumah aja. Masa depan ku udah hancur. Nggak ada lagi yang bisa di harapkan. Hua…." Jasmin lagi-lagi menangis. "Jangan gitu, Jas. Ayolah kamu harus semangat. Kalau kamu masih hidup, itu artinya kamu masih di beri kesempatan untuk memperbaiki diri. Hm…?" "Tapi aku takut. Gimana kalau ada yang tahu aku udah nggak perawan?" "Kalau ada yang tahu, bilang aja terus terang, kalau kamu habis di perkosa. Gampang kan? Udah lupain itu. Sekarang ayo kakak bantu kamu berkemas. Apa aja yang perlu kamu bawa ke asrama besok" "Besok?" Jasmin membeo. "Iya, besok. Kakak kan udah bilang seminggu yang lalu, waktu kamu habis periksa ke psikiater? Kamu lupa? Waktu itu psikiater mu nawarin asrama mahasiswi itu. Karena kamu diam aja waktu di tanyain. Jadi Calvin langsung daftarin kamu. Dan besok adalah waktu nya berangkat ke asrama." "Apa? A-aku nggak mau" tolak Jasmin. Jasmin bangun. Lalu duduk sambil memeluk lututnya. "Ayolah adikku yang manis. Di sana enak kok. Kamu tetap bisa jalan-jalan. Hanya saja waktumu dibatasin. Selalu boleh keluar tapi harus minta izin dulu." Clarissa mencubit gemas dagu lancip Jasmin. "Dan aku akan menjengukku seminggu sekali." Clarissa tersenyum. "Setiap hari" tawar Jasmin. "Tiga hari sekali deh" tawar Clarissa, bibir Clarissa tak pernah berhenti tersenyum. Menyalurkan rasa optimis dari hati ke hati. Jasmin akhirnya mengangguk menurut. Bersambung…..
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN