Hari-hari terus berlalu. Ratapan dan kesedihan hati Jasmin mulai terbang. Garis bibirnya yang indah perlahan bisa tersenyum manis. Mulai terbiasa dengan kehidupan asramanya.
Asrama khusus mahasiswi tersebut sangat bersih dan nyaman, kegiatannya pun membuat Jasmin bersemangat. Saling terhubung dengan panti sosial yang lain, di bawah satu yayasan. Milik wanita asli Jepang yang sudah pindah ke Indonesia. Suaminya orang Indonesia asli. Tapi sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.
Yuki Harada. Itulah nama pemilik Asama tempat Jasmin tinggal. Perempuan asli Jepang itu begitu mencintai budaya Indonesia. Hingga ia mengabdikan diri tanpa pamrih pada masyarakat di sekitarnya. Dengan memiliki berbagai macam panti sosial.
Kini, walaupun Yuki Harada sudah tidak muda lagi, namun dia terlihat selalu energik. Lincah bergerak kesana-kemari bagaikan anak muda. Kehidupannya disibukkan oleh pekerjaannya sebagai dokter sekaligus menjadi direktur utama di rumah sakit miliknya sendiri, yang mempunyai banyak cabang.
Kehidupan Jasmin pun berubah. Sudah banyak berkembang setelah tinggal di asrama selama setengah tahun. Impiannya melakukan PKL di Belanda sudah ia kubur dalam-dalam. Malapetaka yang menimpanya menjadi penghambat mimpinya. Namun karena dukungan kakaknya, sebagai pengganti ibunya. Satu-satunya keluarga yang Jasmin punya, karena ibunya sudah meninggal setahun yang lalu. Dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya. Jasmin kini sudah bisa bangkit dari keterpurukannya. Perlahan tapi pasti, ia mulai memaafkan dirinya sendiri, menerima dirinya yang sudah tidak utuh. Namun ia tetap menyimpan rapat tragedi Belanda yang menimpanya. Baginya itu adalah aib terbesarnya.
Jasmin baru sadar. PKL di negerinya sendiri ternyata juga menyenangkan. Kakak nya yang selalu mendukung dan memperhatikannya menjadi tenaga terbesarnya. Dan Jasmin mulai melarang Clarissa datang ke asrama sejak perut kakaknya mulai membesar. Ia bahagia, kakaknya mendapat suami sebaik Calvin. Mencintai Clarissa sepenuh hati. Namun ada yang aneh dengan pasangan itu. Clarissa memang benar sedang hamil. Tapi tubuh wanita itu tetap kecil, hanya perutnya saja yang mulai membesar sedikit. Justru Calvin lah yang terlihat aneh. Entah mengapa tubuh pria berotot itu jadi mulai tambun. Perutnya kian hari kian membuncit. Kata Clarissa, sejak dia hamil. Suaminya jadi doyan ngemil dan makan. Seolah ia selalu kelaparan. Belum lagi rasa mual dan pusing yang kerap kali menghampiri suaminya tanpa alasan, membuat pria itu tidak bisa pergi ke gym. Alhasil perutnya perlahan tapi pasti mulai membuncit. Fix kakak iparnya mengalami sindrom couvade.
Dan perusahaan tempat Jasmin magang tidak terlalu jauh dari asrama nya, hanya butuh waktu 20 menit naik motor dari asramanya.
Dan hari itu, perusahaan tempat magang Jasmin memulangkan karyawannya lebih awal, ada salah satu karyawan yang mengalami musibah. Jadi Jasmin dan sahabatnya pun ikut pulang lebih awal. Mereka selalu bersama. Berangkat kuliah bersama. Tempat magang yang sama, dan tinggal di tempat yang sama, mereka satu asrama. Sama-sama tinggal di asrama mahasiswi milik Bu Yuki.
Jam sudah menunjuk angka 3 sore saat Jasmin dan Melani, sahabatnya tiba di kampus, dengan langkah ringan dua sahabat itu berjalan menuju gedung rektorat.
"Sore, Bu Yuriko" sapa Jasmin sopan pada wanita yang tengah berbadan dua di dalam salah satu ruang rektor. Wanita itu adalah dosen matematika nya. Seorang wanita jenius nan cantik. Di usianya yang baru mencapai 30 tahun, dia berhasil menjadi dosen di universitasnya. "Loh ibu mau ke mana? Kok beres-beres?" Tanya Jasmin keheranan, karena dosennya itu bersih-bersih mejanya. Buku2 nya ia masukkan ke tas jinjing. Meninggalkan beberapa file holder di atas meja.
"Aku mau cuti dulu." Ucap Yuriko sembari meletakkan tas besarnya yang berisi buku-buku.
"Ibu…, mau lahiran?" Tebak Jasmin, matanya berpindah ke perut dosennya. Menatap takjub perut yang sudah membesar tersebut.
"Iya, hehe…." Senyum cantik menghiasi bibir wanita keturunan Jepang tersebut. "Menurut perkiraan dokter, Minggu depan." Tangan Yuriko membelai sayang perutnya.
"Wah… selamat ya, Bu. Semoga lahirnya nanti di kasih lancar, sehat ibunya dan dedek bayinya. Kalau cowok ganteng, kalau cewek cantik kayak ibu nya." Jasmin menyentuh perut dosennya. Membelai nya perlahan. Seperti yang sering ibunya lakukan dulu, ketika mendoakan wanita hamil.
"Aamiin… makasih doanya ya. Bisa aja kamu, Jas. Kalau aku doa nya minta cantik kayak kamu aja gimana?" Goda Yuriko sambil membelai-belai perutnya.
"Jangan, Bu!" Sergah Melani. "Ibu mau? Kalau nanti anak ibu udah gede, di kirain anaknya Jasmin? Gimana kalau penyakit cerewetnya Jasmin juga nular? Dia juga lumayan jahat loh, Bu. Di asrama, dia yang paling bawel, kalau lihat anak-anak ngelakuin sesuatu nggak seperti maunya, dia langsung ngomel-ngomel, nyerocos nggak ada hentinya, marah-marah kayak ibu tiri. Lagian kenapa repot-repot di miripin sama Jasmin? Kayak ibu aja juga bagus kok. Ibu kan keturunan Jepang, orang Jepang mah mana ada yang jelek. Ih si ibu bisa-bisa aja. Terus laporan kita gimana?" Melani mengulurkan tangannya yang sedang memegang map warna hijau.
"Sini" Yuriko mengambil map Melani dan Jasmin, meletakkannya dalam file holder. "Taruh di sini aja. Nanti dosen pengganti kalian yang akan memeriksanya."
"Wah udah ada dosen pengganti nya ya. Siapa dia, Bu?" Melani kepo.
"Biar ku tebak," sela Jasmin sebelum Bu Yuriko bersuara. "Melihat pak Mehmed yang akhir-akhir ini sering ngobrol sama ibu. Kemungkinan besar, yang gantiin ibu adalah pak Mehmed. Ya kan?" Jasmin menepuk tangannya sekali, yakin dengan pendapat nya.
"Masa sih aku akhir-akhir ini sering kelihatan bareng sama pak Mehmed?" Yuriko mengernyitkan keningnya. Tangannya lalu meraih tas jinjingnya. Hendak keluar ruangan.
"Iya, Bu. Akhir-akhir ini, ibu tuh sering bareng sama Pak Mehmed. Sini, biar saya bawain aja tas, Ibu" Jasmin meraih tas jinjing Yuriko. Membawanya. Tidak tega melihat wanita yang sedang membesar perutnya itu harus membawa tas yang berat, berisi buku-buku tebal. Kasihan dia, padahal sudah menggembol perut besarnya kesana kemari, pasti semakin susah kalau di tambah membawa tas berat.
Mereka lalu berjalan keluar kantor. "Cie cie… ehem-ehem Melani. Gimana, Mel? Deg-degan nggak, habis ini pak Mehmed ngajar di kelas kita loh. Kalian nanti kalau udah ngerasa cocok, gas in aja langsung ke pelaminan. Hahaha…." Goda Jasmin.
"Apaan sih, Jas. Ngapain jodoh-jodohin aku sama pak Mehmed?" Sumprit, dosen itu culun banget, sama sekali bukan tipe Melani. Otaknya memang encer, sikapnya pun sopan. Tapi di usianya yang sudah mencapai 35 tahun, pria itu masih saja melajang. Mungkin karena wajahnya yang selalu tersenyum kaku, berpadu dengan kacamata tebalnya membuat dia terlihat sangat membosankan. Jadi dia kesulitan mencari pasangan hidup. Atau mungkin tidak laku? Hahaha…. Belum lagi baju nya yang selalu berwarna cerah seperti pelangi. Kadang memakai kemeja kuning, merah, hijau, atau Oren, ia selipkan ke dalam celana nya yang selalu berwarna putih. Celana itu, lalu ia tarik hingga ke atas pusar, tidak peduli dengan celananya yang berubah jadi ketinggian, memperlihatkan kaus kakinya. Hanya mahasiswi kuper yang cocok sama dia, tapi sayang, tidak ada mahasiswi yang kuper di kampus. Semua cantik terawat.
"Jangan sensitif gini, Mel. Pak Mehmed itu sebenarnya ganteng kok. Kalau kalian udah jadian nanti, coba deh pakein skin care mu ke dia, ubah gaya rambutnya yang sekarang berponi ke depan tanpa belah, jadi sisirin ke samping." Saran Jasmin.
"Enak aja, siapa juga yang mau pakein skincare ku ke dia. Rawat aja dia sama skincare milikmu." Melani nge gas.
"Ya nggak bisa lah. Yang di lihatin Pak Mehmed kan selalu kamu. Aku sering loh, mergokin pak Mehmed curi-curi pandang sama kamu, di kantin, di depan kelas, di luar kampus, di perpus. Dimanapun itu, dia sering curi-curi pandang sama kamu, Mel."
"Masa sih?" Yuriko tidak percaya.
"Iya, Bu. Aku nggak bohong. Kasih review dong Bu, tentang pak Mehmed. Biar Melani jatuh cintrong sama dia. Haha…."
"Plis, Jas. Jangan godain aku terus dong." Melani cemberut. Menghentikan langkahnya karena ngambek.
"Uh, ngambek nih." Jasmin menghampiri Melani. Merangkulnya. "Iya-iya aku minta maaf. Nggak godain kamu lagi deh. Hehe… Aku tuh seneng banget godain orang yang mudah ngambek. Semakin dia ngambek, aku makin puas hahaha…." Jasmin tertawa senang. Begitupun dengan Yuriko. Ia menertawakan sikap Jasmin yang suka iseng. "Tapi, Mel. Kamu yakin nggak nyesel?" Tanya Jasmin. Mereka kini berjalan keluar halaman gedung.
"Nggak lah. Buat apa aku nyesel?" Sahut Melani cuek.
"Kali aja, kamu nanti nyesal nggak nerima Pak Mehmed. Kalian kan punya inisial huruf yang sama. Sama-sama pakai huruf M. Kertas undangan pernikahan pasti menarik kalau pake inisial huruf yang sama, MM, atau MeMe juga bagus. Nanti kalau anak kalian keluar, kasih nama MeMe aja sekalian."
"Bu Yuriko, Jasmin bawel banget tuh." Rajuk Melani sambil melingkarkan tangannya manja pada lengan Yuriko. Yuriko memang dekat dengan mahasiswinya. Saking dekatnya, ia sampai menikah dengan mahasiswanya. "Udah ku bilang aku nggak suka sama pak Mehmed ya nggak suka. Emangnya kamu mau ku recokin sama cowok yang nggak kamu suka?" Melani tidak terima.
"Udah-udah, nggak usah ribut." Sela Yuriko. Mereka kini sudah berada di area parkir kampus. "Kalian nggak perlu berdebat tentang pak Mehmed lagi. Soalnya memang bukan dia yang gantiin aku"
"Hah? Bukan pak Mehmed? Hhh…. Kenapa ibu tadi diam aja? Nggak bilang kalau bukan pak Mehmed? Kasihan Melani kan? Ibu udah php in Melani. " Jasmin masih saja menggoda sahabatnya. Hingga membuat mata Melani melotot tajam ke arahnya. Tapi Jasmin tidak peduli, ia malah cengar-cengir.
"Kalau bukan pak Mehmed. Terus siapa Bu?" Melani antusias, senang bukan kepalang, tebakan Jasmin meleset.
"Laki-laki apa perempuan, Bu?" Timpal Jasmin seraya menaruh tas jinjing Yuriko ke dalam mobil. Jasmin buru-buru menganggukkan kepalanya hormat, tatkala di dalam mobil ada suami Yuriko.
"Laki-laki, dia kakak ku. Tapi awas ya? Dia itu jahat banget loh, mirip anjing galak." Yuriko mengangkat kedua tangannya, seolah sedang menyalak. Wajahnya serius. " Dan kakakku ini anti banget sama orang yang nggak disiplin. Kalian nanti yang disiplin dan rajin ya? Biar nggak di makan sama dia. Hihihi…."
"Ih serem banget..." seloroh Jasmin sambil mengangkat bahu ramping nya ngeri. "Biar ku tebak, wajah kakaknya ibu pasti serem banget. Punya kumis besar, hidung seperti terong, dan bibir nya yang suka ngomel-ngomel setipis tusukan sate. Tubuhnya besar dan tinggi berdiri di depan kelas sambil membawa cambuk ilusi. Siap menghukum siapa saja dengan mulutnya yang setajam cambuk."
Mendengar ucapan Jasmin. Yuriko justru tertawa-tawa. Tidak di sangka, suaminya yang berada di dalam mobil pun juga ikut tertawa.
"Ngayal kamu, Jas. Nggak mungkin kakak Bu Yuriko semenyeramkan itu lah" Melani menyikut lengan Jasmin. Mereka berdiri di samping mobil Yuriko. "Kalau Bu Yuriko aja bener-bener cantik, maka kemungkinan besar kakak Bu Yuriko pasti juga ganteng lah. Ya kan, Bu?" Tanya Melani.
"Ganteng sih emang ganteng. Tapi kalau udah tua biasanya kan gitu. Punya kumis yang bisa di pelintir. Tubuhnya tinggi dan besar, dan kalau dia pemarah, suaranya pasti menggelegar kaya petir. Dan anak-anaknya pasti jadi anak yang jenius, punya rasa disiplin tinggi, dan suka protes kalau melihat ketidak teraturan" Jasmin jadi teringat ponakannya yang bermulut pedas.
"Hihihi…, lagi-lagi kamu salah, Jasmin." Yuriko terkikik gemas. "Kakak ku itu masih muda, belum nikah, kami hanya selisih tiga tahun. Kamu benar, Jas. Kalau dia punya kumis, tapi dia selalu mencukur habis kumisnya. Udah ah, kalian tuh lucu banget ya. Jangan lupa nanti jadi anak yang nurut ya, biar dosen kalian nanti nggak mencak-mencak" Yuriko membuka pintu mobil, lalu masuk ke dalam.
"Di-dia belum nikah, Bu?" Seloroh Melani. "Kalau dia ganteng, saya rela di marahin dia sepanjang hari." Melani berharap dosennya ganteng, karena Yuriko dianugerahi wajah yang cantik jelita.
"Nama nya siapa, Bu?" Imbuh Jasmin penasaran.
"Namanya, Rei. Udah ya aku cabut dulu. Kalian juga cepatan pulang, udah sore nih"
"Iya Bu, hati-hati…." Jawab Jasmin sambil melambaikan tangannya, bibirnya tersenyum mengikuti mobil Yuriko yang meninggalkan parkiran.
"Ah rasanya aku udah nggak sabar nunggu kita masuk lagi ke kampus. Pengen cepat selesai PKL. Penasaran banget sama wajah pak Rei. Uh…, dia pasti ganteng banget." Melani memegangi dadanya yang bergemuruh, jantungnya yang berdetak kencang apakah menjadi isyarat? Kalau dosen itu benar-benar tampan adanya? Atau ia hanya berhalusinasi saja? Berharap terlalu tinggi. Dua orang sahabat itu kini berjalan menuju tempat motor Jasmin berada.
"Halah… pasti dia nggak jauh beda sama pak Mehmed. Aa…." Jasmin tiba-tiba berteriak, jantungnya serasa mau copot, tatkala ada motor sport besar yang biasa di pakai untuk balapan MotoGP nongol begitu saja dari arah belakang. Hampir menyerempet tubuh Jasmin.
Ciiiit… bruk…
Sebuah motor Ducati besar warna hitam jatuh tepat di samping Jasmin. Dua penumpangnya jatuh tidak berdaya "Aw… " sang pengemudi mendesis kesakitan dari dalam helmnya yang masih tertutup rapat. Kaki panjangnya tergencet bodi motor nya yang besar. Dan pria di belakangnya yang tidak memakai helm terlihat lebih baik, wajahnya meringis kesakitan, namun masih bisa menahannya. Perlahan ia menarik dirinya sendiri mundur.
"Kamu nggak pa-pa, Jas?" Melani duduk berjongkok di samping Jasmin yang ikut jatuh. Memeriksa khawatir keadaan nya.
"Aku nggak pa-pa" Jasmin menggelengkan kepalanya. Berusaha kembali berdiri. Untunglah motor itu tidak terlalu mepet dengannya. Hanya spionnya yang menyenggol pelan lengannya.
Melani yang tidak terima langsung
menghampiri dua mahasiswa yang menaiki motor secara ugal-ugalan tersebut, heran, mengapa kebut-kebutan di dalam area kampus.
"Heh, kalian punya mata nggak sih? Ada orang jalan di pinggir apa nggak kelihatan? Naik motor tuh yang bener, jalannya di tengah. Bukannya malah mepet ke tepi. Nih temen ku jadi korban kalian. Apa jalanan itu kurang lebar, hah?" Teriak Melani pada pengemudi yang masih mengaduh kesakitan di balik helm hitamnya yang tertutup rapat, kesulitan mengeluarkan kakinya dari bawah motor. Sedangkan temannya juga kesulitan menolongnya. Tubuhnya terlihat lemas, duduk di pinggir jalan. "Rasain tuh sakit! Jelas-jelas jalan masih lebar malah jalan minggir-minggir. Emang enak nabrak pohon? Makan tuh sakit. Itu karma buat kalian. Makanya jangan kebanyakan gaya, baru aja punya motor gede, gaya nya minta ampun!" Caci Melani lagi.
"Udah Mel, aku nggak pa-pa kok." Jasmin berhasil berdiri, mengusap dan menepuk nepuk celana jeans nya. Lalu mendekat ke arah Melani, memegang tangan sahabatnya, meredam emosinya.
"Aw…" Rintih sang pengemudi motor tidak berdaya. Ia terlihat kesakitan dan tidak berdaya ketika menarik kakinya.
Kepala Jasmin celingukan. Mencari seseorang yang bisa menolong pengemudi motor tersebut. Tapi sayang, hari sudah sore. Tidak ada orang yang berlalu lalang. Hanya tinggal tiga kendaraan yang tersisa di tempat parkir.
Melihat pengemudi motor kesakitan, tidak berdaya menarik kakinya yang terjepit motor. Jasmin pun iba. Mengesampingkan emosinya. Tidak tega melihatnya menderita. "Gi-gimana ini, Mas? Gimana sama kakimu?" Wajah Jasmin panik, duduk berjongkok di samping pengemudi motor yang masih memakai helm. Tangannya ingin membantu menarik kaki itu, tapi urung, takut jika luka nya semakin parah karena ia tarik paksa, takut jika kaki itu malah putus gara-gara ia tarik???. "Ka-Kaki mu kegencet motor segede ini. Gimana aku nolongin kamu?" Ucap Jasmin panik, ia berdiri, mengelilingi motor. Ragu bisa mengangkat motor segede itu. Kepalanya lalu celingukan, namun area parkir kampus tetap lengang.
"Mas?" Teriak Jasmin di balik motor.
"Ya?" Jawab si pengemudi singkat sambil mendesis menahan sakit.
"Aku angkat dikit motornya ya? Entar buru-buru cabut kakimu?"
"I-iya, terima kasih" jawab pengemudi itu lagi.
Dengan sekuat tenaga, Jasmin menarik motor gede tersebut. Ia sama sekali tidak menyangka, ternyata bisa mengangkat motor segede itu, lalu membuatnya berdiri dan menjagangnya. Sedangkan Melani dia terlihat menyebikkan bibir, tangannya bersidekap . Tidak senang dengan perbuatan Jasmin.
"Kakimu gimana, Mas? Mana yang sakit?" Jasmin menghampiri kembali si pengemudi. Menatap khawatir kaki bercelana hitam tersebut. "Aduh, kamu ini gimana sih, bisa nyetir motor nggak? Kenapa nggak hati-hati? Gimana kalau ada yang serius? Gimana kalau kakimu patah? A-aku bingung, apa perlu ku panggilin ambulans? Tapi, aku nggak punya nomernya"
"Aw…." Lagi-lagi pria itu mendesis kesakitan, saat tangan jasmin menyingsingkan celana panjangnya hingga lutut. Darah segar merembes pada luka yang terdapat di betis kaki panjang dan berbulu milik si pengemudi. Pengemudi motor tersebut lalu membuka helmnya. Dan terlihatlah wajahnya yang terpahat sempurna. Sangat tampan dengan d******i ke arab-araban sedang meringis kesakitan.
"Da-darahmu ngalir terus, gimana ini?" Jasmin gugup. Buru-buru ia merogoh tasnya, mengeluarkan tisu dengan tangan gemetar. Dengan tisunya, Jasmin buru-buru menutup luka itu, berharap bisa menghentikan pendarahannya.
"Aw…." refleks pria tampan itu menarik kakinya, tentu saja tangan Jasmin yang menekan lukanya semakin menyakitkan.
"Ma-maaf. Aku nggak sengaja." Wajah Jasmin pucat, merasa bersalah karena pria itu semakin kesakitan akibat sentuhan tangannya yang tidak hati-hati. "Sebaiknya luka mu di plester dulu, biar nggak infeksi. Tapi…, gimana nih aku nggak punya plester."
Tangan Jasmin lalu mengobok-obok isi tasnya, mencari botol berwarna hijau yang suka ia bawa kemana-mana. "Aku nggak punya plester, tapi aku punya minyak kayu putih. Ini bisa buat pertolongan pertama luka mu" Jasmin mengeluarkan minyak kayu putih.
Wajah pria itu pucat, menatap minyak kayu putih di genggaman jemari lentik Jasmin.
Perlahan tangan Jasmin mulai membersihkan luka di kaki pria itu menggunakan tisu seadanya. Menyeka darahnya yang belepotan kemana-mana. Dan nafas Jasmin berhembus lega ketika melihat darah tidak lagi merembes dari luka pria itu.
"Apa yang kamu lakukan? Ja-jangan tuangin minyak ini." Tangan Pria itu mencegah tangan Jasmin yang hendak menuangkan minyak kayu putih ke luka si pria.
"Kenapa? Jangan takut ya? Tahan dikit, biar luka mu cepat sembuh. Ibu ku dulu selalu melakukan ini. Saat itu, kami nggak punya banyak stok p3k. Jadi minyak kayu putih pun juga nggak pa-pa" Ucap Jasmin polos.
"Tapi…, ini perih kan?"
"Tahan aja, cuman perih dikit kok. Jangan takut, yang penting sekarang, gimana caranya lukamu nggak infeksi. Biar nanti malam kamu bisa tidur nyenyak, nggak ngerasain sakit yang berdenyut-denyut di kakimu. Aku dulu pernah punya paman, dia meninggal gara-gara infeksi doang. Kamu mau kayak dia?" Jasmin nyerocos.
"Nggak sih." Mahasiswa tampan yang masih memakai tas di punggungnya menggaruk rambut tebalnya. "Tapi, sedikit aja ya? Aku nggak tahan sakit." Senyum kecut tersungging di bibir bergaris tegas mahasiswa tersebut.
Jasmin menganggukkan kepala. Perlahan ia mulai menuangkan sedikit minyak kayu putih tepat di atas luka pemuda tersebut. Jasmin lalu siaga meniup luka itu tatkala pemuda di depannya mendesis menahan perih.
"Udah selesai." Ucap Jasmin riang. Tanpa sadar tangannya menepuk pelan bagian kaki pria itu yang tidak sakit, menyebabkan mahasiswa tersebut mengaduh kesakitan, tentu saja bagian tubuh lainnya ada yang terasa sakit, walaupun tidak terluka.
"Maaf" ucap Jamsin merasa bersalah. "Lain kali hati-hati kalau jalan. Gimana kalau lebih parah dari ini? Habis ini, jangan lupa, pergi ke rumah sakit ya? Cek di sana, parah apa nggak lukamu. Kalau nanti malam tubuhmu sakit semua, besok minta urut ke tukang urut."
"Kalau aku minta urut sama kamu aja, gimana?" Tidak di sangka pria itu menggoda Jasmin.
Jasmin syok mendengar kata-kata itu keluar dari bibir pemuda tampan tersebut. Dia masih sakit, bisa-bisanya menggoda orang. Rasa empati seketika melayang dari tubuh Jasmin. Ia lalu berdiri. "Enak aja, emangnya muka aku kaya tukang urut?" Jasmin membenahi tasnya, bersiap hendak pergi.
"Terus gimana sama aku? Lihat, aku juga kesakitan nih. Aduduh…, lututku sakit…." Pria berambut kribo yang tadi duduk di belakang boncengan, memegang lututnya yang lecet, bibirnya meringis kesakitan.
"Apaan kamu, Dik! Ngeluh-ngeluh sakit segala" Pria tampan itu menjendul kepala pemuda berambut kribo yang duduk di sebelahnya. "Jangan dengerin Dika. Dia ini cuman cari-cari perhatian mu." Ucap pria tampan tersebut pada Jasmin.
"Aku nggak pura-pura, Mir. Aku beneran sakit nih. Aduduh… sakit…" Dika memegangi kakinya yang bercelana bolong, tepat di lututnya. "Kamu nggak adil. Kenapa cuman ngobatin si Emir ini. Gimana sama aku? Mentang-mentang dia ganteng, kamu perlakukan dia spesial!" Protes Dika. Jasmin pun memutar bola matanya malas.
Plak….
Tiba-tiba Emir memukul paha Dika. "Emangnya kenapa sama kakimu? Nggak usah pura-pura sakit. Nih obatmu" Emir menempelkan uang lima puluh ribu di dahi Dika.
"Kok ini obatnya?" Protes Dika, sembari memungut uang di dahinya, bisa menempel karena dahinya basah oleh keringat. "Tapi…, nggak pa-pa deh. Ini juga bisa buat beli obat. Tengkyu bro. Hehe…." Dika memasukkan uang itu ke saku kemejanya.
Dengan susah payah
Emir berhasil berdiri. Tangannya terulur pada Jasmin. "Makasih, udah nolongin aku. Kenalin, nama ku Emir. Anak manajemen bisnis. Semester 7" Emir melempar senyum menawannya, memperlihatkan gigi gingsulnya yang manis.
Jasmin menyambut uluran tangan Emir. "Jasmin." Jawab Jasmin singkat. "Kalau gitu kami permisi dulu. Ini udah sore" Jasmin menarik tangannya, tapi Emir menahannya, matanya tertanam pada wajah Jasmin yang cantik, putih, halus bagai kulit bayi, dan bibirnya yang sedikit penuh, sangat pas berpadu dengan dagu runcingnya.
"Kalau aku..., Melani." Melani tiba-tiba menarik tangan Jasmin. Tangannya lalu menelusup masuk ke dalam genggaman Emir. "Aku dan Jasmin satu jurusan matematika. Senang kenalan sama kamu" Melani tersenyum manis. Uh tahu pria di balik helm itu ganteng, ia pasti tidak akan memakinya. Ia sangat menyesal.
"Oh iya." Emir tersenyum kaku. "Aku juga senang kenal sama kamu" Emir menarik tangannya.
Setelah Melani pamit. Ia pergi bersama Jasmin. Menghampiri motor Jasmin yang terparkir agak jauh dari tempat Emir. Meninggalkan Emir dan Dika yang berdiri termangu di tempatnya, sedang menatap kepergian dua wanita yang sudah berboncengan di atas motor. Meninggalkan area kampus.
"Gimana rasanya? Enak nggak, nubrukin motormu ke pohon? Sial. Aku juga harus kena getahnya" Dika memijat-mijat lengannya.
"Getah apaan? Aku sudah beri bagianmu kan?" Emir menurunkan celananya yang sempat tersingkap hingga lutut. Ia tadi terpaksa seolah sedang benar-benar kesakitan. Padahal sebenarnya, lukanya tidak terlalu sakit. Dan luka itu adalah luka nya yang kemarin. Luka yang ia dapat setelah jatuh dari motor, hasil dari belajar naik motor. Karena sebelum-sebelumnya Emir selalu naik mobil.
"Tetap aja, aku masih kesakitan. Aduduh…. Tulang belakangku, gimana kalau ada yang patah? Apa kata ibuku nanti?" Dika memegangi pinggangnya.
"Nih, buat nyambung tulangmu." Emir menaruh uang seratus ribuan ke bibir Dika. "Kalau masih kurang. Ku ambil lagi uangku. Aku akan membawamu langsung ke rumah sakit."
Buru-buru Dika memasukkan uang itu ke sakunya. Bibirnya terkekeh senang "Bercanda, Mir. Serius banget sih." Dika merangkul bahu Emir. "Duh, yang pengen dapet perhatian Jasmin. Mati pun aku rela Jasmin. Asal dalam pelukanmu. Oh Jasmin ku yang cantik. Abang Emir ini pengagum rahasiamu sejak pertama kali pindah ke kampus ini. Pria campuran Turki-Indonesia ini adalah Aladin mu. Rela mati demi kamu putri Jasmin yang tersohor"
"Dan kamu jin botolnya. Hahaha….." Dua mahasiswa tersebut tertawa-tawa senang. Mereka lalu naik motor lagi. Bercanda ketika motor melaju di atas jalanan.
"Apa rencanamu besok, Mir?" Tanya Dika dari belakang.
"Mulai besok, aku akan terus terang mendekati, Jasmin. Percuma saja selama ini aku kirim salam ke dia, chat ke dia, cewek itu nggak pernah meresponku. Sekarang, aku punya alasan kenapa harus mendekatinya."
"Iya, kamu betul. Ide mu menabrakkan diri, membuat perhatian Jasmin benar-benar teralih padamu. Sedikit atau banyak, Jasmin pasti merasa bersalah."
"Tapi, Jasmin itu benar-benar menarik ya? Selain dia cantik, cewek itu ternyata baik banget. Padahal aku yang nabrak dia. Tapi Jasmin malah nolongin aku, aku kira dia akan marah dan memaki ku. Setelah itu dia menganggap ku musuh. Tapi dugaanku meleset."
"Dugaanmu memang meleset 100 persen, Sob. Ahahaha…."
Bersambung….