PART 2

1194 Kata
Aku memang tidak seperti salah satu sepupuku, adiknya Dave, yang jago beladiri, tapi kalau untuk kasih pelajaran ke cowo-cowo kurang ajar di kampus aku bisa lah, Dave yang mengajariku beberapa gerakan karatenya, untuk jaga-jaga katanya. Seperti sekarang ini, seorang mahasiswa menatapku dengan tatapan lapar, dia terus mengikutiku sejak tadi, ntah apa motifnya yang jelas aku sangat jengah dengan tingkahnya. Seseorang ingatkan aku untuk mengundang spesialis kejiwaan ke kampusku, ya untuk memeriksa apakah kampus ini salah memasukan mahasiswa dengan gangguan jiwa stadium akut. Aku kesal diikuti terus akhirnya aku hentikan langkah kakiku yang tadinya berniat menuju mobilku, ku tatap mahasiswa itu, wajahnya makin sumringah membuatku ingin menggantungnya di puncak genteng gedung rektor. "NGAPAIN LO IKUT-IKUTIN GUE?!!" bentakku kesal pada makhluk itu. Dia hanya tersenyum dan berjalan lebih dekat denganku, tangannya mencoba menyentuh pipiku namun langsung ku tepis kasar. "Jutek banget sih jadi cewe," godanya masih dengan senyuman yang buat aku mual. "Lo jangan macam-macam ya Kalau masih mau selamat!" Kutudingkan jari telunjukku ke hadapan mukanya. Dengan cepat ia memegang tanganku yang dekat dengan wajahnya lalu memelintirnya ke belakangku. "Jangan galak dong cantik," bisiknya di telingaku dengan suara yang dibuat s*****l membuatku bergidik dan mual. "Lepas ngga, atau lo gue habisin!" gertakku, namun tidak di gubris, dia justru semakin memperlancar aksinya, meniup-niup tengkukku bahkan hampir mencium leherku kalau saja kakiku tidak cepat mengambil alih dengan menendang masa depannya. Ia tersungkur ke belakang sambil memegang hartanya yang pasti rasanya ngilu banget. Ku pamerkan smirk kemenanganku yang ku pelajari dari salah satu tanteku, adik Papa. Ternyata makhluk ini belum mau menyerah, dia masih mencoba bangkit dan berusaha menerjangku. Emosiku yang sudah di ubun-ubun membuatnya berakhir seperti beberapa mahasiswa yang sebelumnya ku hajar habis-habisan. Setelah berhasil melumpuhkan, aku beranjak ke mobilku untuk pulang. Dan aku punya firasat kalau Mama akan tahu hal ini saat aku sampai rumah, karena tadi aku melihat siluet mata-mata Mama melihat hal ini. "Stephanie," baru saja aku masuk ke dalam rumah, suara merdu mama sudah terdengar memanggil namaku. Sebagai anak yang berbakti, aku akhirnya menghampiri mama, bersiap mendengar intrograsi mama. "Ya ma?" Jawabku malas. Mama sedang duduk di sofa sambil menatap televisi, mata cantiknya beralih padaku saat aku duduk di sampingnya. Mama membenarkan posisi duduknya untuk menghadapku, bersiap mengeluarkan suara. Okay i'm ready. "Siapa mahasiswa yang udah kurang ajar lagi hari ini sama putri kesayangan mama? Apa perlu mama minta papa untuk mengurusnya?" Kata-kata dari mulut manis mama membuatku terperangah, tidak ada kalimat intrograsi namun lebih pada membelaku. "Mama.." aku sampai speechless. "Maafin mama ya sayang, mama lebih percaya orang lain dari pada putri mama sendiri," mama mengelus sayang rambutku, aku terharu, sungguh. Thanks for my lovely Dad. Ku peluk mama erat, ngga tau mau bicara apa, yang pasti aku senang mendengar ucapan mama. "Putri mama ini cantik, jadi mama paham kenapa banyak yang ganggu," aku mendengar kekehan kecil mama di puncak kepalaku. "Jadi, perlu mama sewakan bodyguard untuk menjaga princess Pradipta di rumah ini?" Goda mama saat aku melepas pelukan mama. "Mama lebay deh, Stefi bukan anak kecil Ma, Stefi bisa jaga diri kok," Aku masih merengut sebal. Mama tersenyum, senyum yang sangat hangat dan kembali membelai rambutku sayang. "Ya udah kamu ganti baju dulu lalu makan siang ya," ucap mama lembut, aku mengangguk dan mencium pipi mama kemudian beranjak ke kamarku. Yaa moodku hari ini jadi bagus banget deh berkat mama. ---- Suara ponselku mengalun sebagai penanda ada panggilan masuk, membuatku menunda sebentar jadwal tidur siangku. "Halo?" ucapku malas tanpa mengecek lebih dulu caller id karena mataku sudah berat rasanya. "STEPHIIIIEEEE!!!" pekik sebuah suara cempreng di seberang sana, reflek ku jauhkan sebentar ponselku demi keselamatan gendang telinga, ya aku kenal suara ini, "Kenapa ngga sekalian aja lo pake toa telpon guenya?!" sewotku dengan nada ketus, dan aku tebak dia hanya nyengir aneh di sana. "Duh maaf ya say, soalnya gue semangat banget deh, mau curhat nih!" sambung Lea dengan antusias. Well aku tahu kelanjutannya, apalagi kalau bukan tentang pacar tercintanya yang satu kampus tapi beda jurusan. Bla bla bla bla.... "Gue seneng banget deh hari ini Tephi!" Akhirnya Lea menyelesaikan ceritanya, dia selalu semangat kalau sudah menceritakan soal pacarnya, apa dia ngga mikir ya nih sahabatnya masih jomblo? "Phie.. lo denger gue ngga sih" Terdengar gerutuan Lea, oh iya aku lupa kalau aku tidak ada bicara sama sekali selama dia bercerita. "Iya Lea gue denger semuanya dari awal, pertengahan hingga akhir cerita lo barusan kok," Aku memutar bola mataku, sahabat yang unik. "Kalau lo sendiri gimana Phie?" Eh gimana apaan? "Apaan Le?" "Mr. Conner lho Phie!” Astaga nih anak kenapa jadi bahas tuh rektor sih. "Ish Tephi, cerita dong, lo kan udah deket gitu sama rektor muda nan tampan pujaan mahasiswi seantero kampus kita Phie.." "Deket palalo pitak!" Sergahku kesal, "Ish gue ngga pitak!! Serius gue Phie, penasaran tau!" Nih anak kekeuh banget sih, wong emang ngga ada apa-apa. "Ngga ada apa-apa Lea ku sayang, kan lo tau sendiri kalau gue bisa bareng dia gara-gara insiden dia nyerempet mobil kesayangan gue!" Lea hanya diam, biasanya dia akan manggut-manggut lalu bergaya sedang berpikir. "Tapi cocok kok!" Tuuuut tuuuutt... 'GRRRR LEA' tuh anak ngga sopan, udah ngeledek main tutup telpon ngga pamit, dasar sahabat yang patut di contoh. Aku kembali bergelung di kasurku, sayangnya ngantukku tadi menguap ntah kemana gara-gara bocah bernama Lea! Ngga lama ponselku kembali berbunyi, pasti si Lea nih. Sejurus kemudian ponselku sudah menempel di telingaku, tanpa membaca id callernya --kebiasaan-- "APA LAGI LE??" suaraku ku buat tinggi, agar Lea tau aku kesal padanya. "Le? Le siapa Phie? Lea?" Lha kok jadi suara cowo? Ku lihat layar ponselku. 'Kak Dimas in Calling' Waduh! Kak Dimas, seniorku di kampus. "Eh eh maaf kak, iya Stephi pikir tadi Lea kak, maaf maaf," astaga aku malu banget, sumpah. "Hehe ngga apa Phie, kakak ngga ganggu kan?" "Eeh ngga kok kak, ngga ganggu," aku tertawa garing, masih malu banget. "Besok ada acara ngga Phie?" Tanya kak Dimas Aku mengingat kegiatanku besok, sepertinya kosong, "Ngga kok kak, besok Tephi kosong, ada apa kak?" "Ngga apa, cuma mau minta temani beli sesuatu, bisa?" Tanya Kak Dimas lagi, beli apaan ya? Jadi penasaran. "Oke kak, bisa kok," jawabku, setelahnya kak Dimas langsung pamitan dan menutup telepon. Kak Dimas itu salah satu seniorku yang keren, banyak banget fansnya, kami kenal saat aku masuk semester 4, waktu itu aku dan Lea sedang mengerjakan essay kami dari dosen killer, kak Dimas yang memang satu jurusan dengan kami sedang berada di meja yang sama di perpus. Otakku sedang buntu mengerjakan soal essay itu, kak Dimas yang melihatku dan Lea menawarkan bantuan, aku akui dia memang mudah bersosial, Lea sempat menaruh perasaan namun sebatas kagum karena setelah menemukan tambatan hati dia malah deketin aku dengan kak Dimas, eh kemarin aku ke kelas bareng Pak Ardi dia juga heboh, dasar labil. Merasa sudah tidak bisa tidur, akhirnya kuputuskan untuk main ke ruang kerja Papa. Aku memang sering di sana, terkadang menemani Papa lembur kalau Mama sedang kecapean buat menemani Papa, sambil membaca novel-novel yang sengaja ku taruh di salah satu rak buku Papa. Siang ini Papa sedang di kantor, jadi ruang kerjanya kosong. Ku ambil salah satu novelku dari rak, dan duduk di sofa yang biasa ku pakai jika menghabiskan waktu di sini. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN