8
Camelia POV
Setelah keluar dari ruangan Daniel, aku terduduk lemas di kursi, di ruanganku. Debar di dadaku masih tidak mau berhenti. Bukan hanya itu, pipiku masih terasa panas menahan malu. Sudah tiga kali aku dan Daniel dipergoki orangtuanya. Rasanya aku sudah tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Pak Dennis.
Mungkin sebaiknya aku mengundurkan diri dari perusahaan ini. Dengan begitu, aku tidak perlu lagi menanggung malu atau dilecehkan terus-menerus oleh Daniel.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku menyalakan laptop. Setelah laptopku beroperasi dengan sempurna, aku segera mencari berkas yang berisi format surat pengunduran diri. Ku-edit beberapa bagian yang kurasa perlu, setelah itu mencetaknya.
Dengan gelisah aku berharap Pak Dennis segera meninggalkan ruangan Daniel. Kedua ayah dan anak itu terlihat serius mengobrol. Aku tidak tahu apa tujuan Pak Dennis pagi-pagi ke kantor Daniel, karena aku langsung meninggalkan mereka tadi.
Teringat kejadian tadi, wajahku kembali memerah. Entah kesialan seperti apa yang sedang menimpaku, hingga harus mengalami situasi seperti ini.
Dipergoki duduk berdua dengan Daniel, dipaksa agar segera menikah. Dan anehnya, itu seperti awal yang me-nyebalkan, kami malah terus dipergoki oleh orangtua Daniel saat si playboy berusaha memangsaku.
Memang aku jadi diselamatkan secara tidak langsung dari kebuasan Daniel, tapi tetap saja, aku menanggung malu. Aku merasa menjadi gadis murahan di depan mata Pak Dennis dan istrinya. Walau mereka tidak menunjukkan demikian, malah memaksa Daniel agar segera menikahiku, tapi tetap saja sebagai seorang gadis muda, aku merasa malu. Seolah aku murahan dan mudah digoda untuk dicicipi anak mereka yang notabene playboy sejati .
Kulirik ruangan sebelah yang terlihat kosong. Entah sejak kapan Daniel dan Pak Dennis meninggalkan ruangannya. Dengan langkah berat aku menuju ruangan Daniel dan meletakkan surat pengunduran diriku di atas mejanya. Setelah itu, aku kembali ke ruanganku.
Mungkin ide berhenti bekerja di perusahaan ini adalah yang terbaik untuk saat ini. Selain tidak perlu bertemu Daniel lagi, aku juga bisa kabur dari paksaan untuk menikah dengannya.
Walau Daniel tampan dan kaya, tapi aku tidak sudi punya suami kaki wanita seperti dia. Bisa-bisa setiap hari aku makan hati bila sudah menjadi istrinya. Pastinya kegemarannya akan wanita-wanita tidak akan pernah berubah.
Aku meraih ponselku dari tas dan segera mengirim pesan pada Andrew. Rasanya ingin sekali aku bertemu dengan Andrew saat ini juga. Andai saja boleh, aku ingin ikut dengannya ke Jakarta dan pergi jauh-jauh dari Daniel. Berdekatan dengan pria seperti Daniel membuat hidupku tak pernah tenang.
Setetes air mataku jatuh saat menerima pesan dari Andrew yang mengatakan rindu padaku. Aku mendesah pelan. Andai Andrew tahu aku sudah terlalu sering dicium oleh Daniel, dia pasti kecewa. Seketika rasa sesal menerpa hatiku. Mungkin kesalahan terbesarku adalah bekerja di perusahaan ini dan mengenal Daniel. Sekarang aku sudah terjebak di sini.
Aku ingin kabur, tapi mampukah aku menerima konsekuensinya nanti? Pastinya Pak Dennis tidak akan tinggal diam bila aku berani memalukannya, secara keluarga besar mereka sudah tahu aku dan Daniel akan segera menikah.
Dengan d**a sesak oleh air mata, aku membalas pesan Andrew. Perasaan galau membuat semangat untuk bekerja menguap begitu saja.
Kutatap setangkai bunga mawar merah yang tergeletak di atas meja kerja. Akhir-akhir ini setiap hari aku mendapat bunga mawar merah. Dan pengirimnya masih menjadi misteri.
Aku mengerut kening dan menghela napas panjang. Siapa pun pengirimnya, semoga pada akhirnya dia tidak kecewa.
***
Author POV
“Apa-apaan ini?” bentak Daniel sambil melempar satu lembar kertas ke atas meja kerjaku, atau lebih tepatnya di depan wajahku.
Aku menggerutu dalam hati menahan kesal.
“Surat penguduran diri,” jawabku acuh tak acuh. Aku kembali melanjutkan pekerjaanku, mataku jeli menatap angka-angka di nota-nota dan laptop silih berganti.
“Kamu jangan seperti anak kecil, Mel. Kamu pikir bekerja di sini bisa main-main?” tukas Daniel kesal. Ia berjalan mengitari meja dan berdiri di sampingku.
“Aku bosan dilecehkan terus olehmu!” ketusku tanpa menoleh ke arah Daniel yang sedang berdiri di sampingku. Wangi parfumnya memenuhi rongga hidungku.
“Aku tidak melecehkanmu. Aku hanya ingin bermesraan dengan calon istriku. Apa itu salah?” tanya Daniel lagi dengan wajah tanpa dosa.
Aku menahan amarah dalam hati. Aku tahu pasti Daniel sedang mempermainkanku dengan kalimatnya barusan. Dia tahu pasti aku tidak pernah setuju dengan rencana pernikahan ini.
“Aku bukan calon istrimu! Berapa ribu kali aku harus bilang padamu, aku tidak mau menikah denganmu!” teriakku marah. Akhirnya kesabaranku hilang. Aku benar-benar bisa gila bila terus melayani sikap Daniel yang seenaknya. Wajah Daniel memerah mendengar teriakanku.
“Kenyataannya memang kamu calon istriku, Sayang,” kata Daniel lembut dengan senyum mengejek.
Aku tahu, dia puas bisa menggodaku dan membuatku marah seperti ini.
“Aku sudah tidak sabar ingin bercinta denganmu,” bisik Daniel sambil menunduk.
Wajahku memerah mendengar kalimatnya. Kudorong wajahnya yang mulai mendekati wajahku.
“Kamu gila!”
Daniel tersenyum padaku, membuatku makin ingin membantingkan apa saja ke wajah tampannya.
“Aku gila karenamu.”
Daniel menunduk dan langsung mengucup pipiku.
Darahku berdesir. Dadaku berdebar, jantungku berdetak kencang. Sebelum aku sempat memarahinya atau membanting sesuatu pada wajahnya, Daniel berbalik dan meninggalkanku sambil terbahak, membuat rasa kesal makin menggunung di dadaku.
***
Hari ini aku mengerjakan pekerjaanku dengan lesu. Andrew sudah berangkat ke Jakarta tadi pagi. Dengan air mata berlinang aku melepas kepergiannya. Entah kapan lagi aku bisa bersamanya. Kepergian Andrew seperti awal berakhirnya hubungan kami.
Aku sama sekali tidak berani menceritakan pada Andrew tentang Daniel dan paksaan menikah itu. Aku tahu Andrew akan berusaha mempertahankanku, tapi itu artinya dia harus bersiap menghadapi Daniel yang sejatinya sangat licik.
Lihat saja, aku bahkan tidak berhasil mengundurkan diri dari perusahaan ini, surat pentingku seperti ijazah asli ditahan oleh Daniel, dan otomatis aku tidak bisa bekerja di mana pun. Tapi memang sebenarnya aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku begitu saja tanpa ada yang menggantikannya.
“Nanti siang ikut aku memilih perabotan untuk kamar kita, Mel. Dan aku juga mau kamu memilih sendiri interior kamar kita menurut seleramu.”
Suara Daniel tiba-tiba membuyarkan lamunanku. Entah sejak kapan dia sudah masuk ke ruanganku dan berdiri di sampingku.
Aku hanya diam dan terus melakukan pekerjaanku tanpa menunjukkan reaksi apa pun. Aku masih sedih atas keberangkatan Andrew ke Jakarta, dan aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk berdebat dengan Daniel.
Tiba-tiba leherku terasa panas oleh napas Daniel. Sebuah kecupan hangat singgah di pipiku.
Seketika darahku mendidih. Napasku memburu. Aku sangat tidak suka Daniel bersikap semaunya dan menciumku seenaknya.
Aku mendorong kursiku menjauh dari Daniel. Kutatap wajahnya dengan muka memanas karena amarah, “kamu lancang sekali!”
Daniel mengangkat bahu dan tersenyum mengejek. Dia sama sekali tidak terpengaruh dengan kemarahan dan kata-kataku.
“Kamu ini wanita penuh gairah ya, Mel. Kamu hanya bisa bicara bila sudah mendapat ciuman dariku,” ejek Daniel dengan bibir menyungging senyum menggoda.
Wajahku makin memanas mendengar kalimat Daniel. Dasar m***m! Dia sengaja menciumku karena aku tidak menanggapi kata-katanya.
Dengan perasaan kesal aku berdiri dan bergerak menuju pintu keluar. Lebih baik aku bersembunyi di toilet untuk sementara waktu daripada aku marah-marah lagi dan darah tinggi.
Saat aku melewati Daniel, dia meraih tanganku dan menarik tubuhku ke arahnya. Dalam sedetik aku sudah berada dalam pelukannya. Kedua tangan Daniel dengan kuat memeluk tubuhku membuat aku tidak bisa melepaskan diri.
“Lepasin!” teriakku marah. Wajahku memanas, jantungku berdegup kencang.
Bukannya melepasku, Daniel malah menuduk dan mengecup bibirku. Hanya sebentar, tapi membuat jantungku makin berdegup kencang. Darahku berdesir.
“Nanti sebelum makan siang, kita pilih perabotan untuk kamar pengantin kita, gimana?” tanyanya lembut sambil terus menatap wajahku.
Aku ingin membuang muka, tapi percuma. Toh wajahnya sangat dekat dengan wajahku dan tubuhku masih terkunci dalam pelukannya.
“Tidak akan ada kamar pengantin. Kita tidak akan menikah!”
“Aku yakin kamu akan menjadi istriku,” kata Daniel sambil menundukkan sedikit wajahnya.
“Buat apa kamu menikahiku? Kamu pasti lebih enak seperti sekarang, bebas gonta-ganti pasangan.”
“Mereka tidak ada yang sepertimu!” kata Daniel sambil menelusuri tulang pipiku dengan bibirnya.
Aku mendorong tubuh Daniel, tapi pelukannya sangat kuat mengunci tubuhku.
“Lepaskan aku, Daniel!”
“Kenapa kamu sangat bodoh, Mel? Banyak wanita ingin menjadi istriku, tapi kamu malah menolak,” kata Daniel sambil sebelah tangannya mulai meremas bokongku.
Darahku berdesir. Wajahku memerah.
“Hentikan… tanganmu...” pintaku dengan suara terbata. Aku sudah tidak tahu apa warna wajahku saat ini. Aku malu dan kesal dilecehkan olehnya.
“Katakan kamu setuju untuk ikut denganku nanti siang…” paksa Daniel. Remasan tangannya di bokongku makin menjadi-jadi membuat dadaku berdebar dan gairahku mulai bangkit.
“Ba..baiklah..” jawabku terpaksa dengan suara terbata.
“Bagus, kamu memang calon istri idaman,” katanya sambil tergelak.
Rasanya aku ingin membanting apa saja ke wajahnya agar ia tidak bisa tertawa lagi.
“Sekarang, lepasin aku,” pintaku mulai lemas. Kakiku sudah tidak kuat menopang tubuh. Belum lagi remasan tangan Daniel masih saja tidak mau berhenti.
“Setelah yang satu ini,” katanya sangat lembut, membuat hatiku bergetar oleh suaranya.
Daniel menunduk dan mencium bibirku, sangat lembut hingga membuat seluruh tubuhku menggelenyar. Aku tidak membalas, tapi aku juga tidak menghentikan ciumannya yang mulai berubah menjadi pagutan.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink