9
Author POV
Daniel menatap Camelia di sampingnya dengan perasaan kesal. Sedari mereka keluar dari kantor, Camelia hanya berkutat dengan ponselnya. Saat memilih perabotan juga Camelia acuh tak acuh dan lebih tertarik dengan ponselnya daripada segala perabotan mewah di depan matanya.
Dengan perasaan amarah yang menumpuk di d**a, Daniel membelokkan mobil Audy-nya memasuki perkarangan rumah orangtuanya.
“Rumah siapa? Untuk apa kita ke sini?” tanya Camelia sambil mengerut kening.
“Rumah orangtuaku. Ayo,” ajak Daniel sambil beranjak keluar dari mobil.
Daniel mengitari mobil dan membukakan pintu untuk Camelia yang terlihat masih mematung.
“Sampai kapan mau duduk di situ? Ayo!” kata Daniel tidak sabar. Hatinya masih terbakar cemburu melihat Camelia bermain ponsel sedari tadi. Ia yakin Camelia pasti sedang berkirim pesan dengan Andrew.
Dengan wajah cemberut Camelia turun dan menyimpan ponsel ke dalam tasnya.
Daniel menggandeng Camelia masuk ke dalam rumah mewah bergaya minimalis milik orangtuanya.
“Ngapain kita ke sini?” tanya Camelia penasaran.
“Mau ajak kamu lihat kamar pengantin kita,” kata Daniel datar.
Daniel menekan bel, dan tidak lama kemudian pintu terbuka, terlihat seorang wanita paruh baya tersenyum hormat padanya.
“Mami sama Papi mana, Bi?” tanya Daniel pada pembantu orangtuanya yang membukakan pintu untuknya.
“Jalan Pak, katanya Ibu mau belanja,” kata Bi Sumi sambil membungkuk.
Daniel tidak bersuara lagi untuk menanggapi jawaban pembantunya. “Ayo, Mel,” ajak Daniel sambil menarik tangan Camelia. Camelia mengikutinya dengan langkah berat dan malas-malasan.
“Ini kamar kita nanti,” kata Daniel begitu membuka pintu sebuah kamar yang terletak di lantai dua. Kamar kosong yang sangat luas tanpa perabotan sama sekali.
Camelia berdiri kaku di depan pintu, “aku... kita tidak...”
“Kita akan menikah,” tukas Daniel. “Pilih warna kesukaanmu. Aku akan menyuruh orang untuk mengecat ulang sesuai warna yang kamu suka,” lanjut Daniel tanpa peduli pada raut wajah Camelia yang terlihat mulai pucat dan kaku.
“Daniel… kita masih punya kesempatan untuk membatalkan pernikahan ini. Kita harus jelaskan pada orangtuamu kejadian yang sebenarnya…” kata Camelia dengan suara berat.
Daniel menghela napas. “Jadi mau pilih warna apa?” tanya Daniel tanpa memedulikan perkataan Camelia barusan.
“Daniel…”
“Sudahlah. Aku sudah bosan mendengar kalimat itu, Mel.” kata Daniel jengkel. Ia kesal karena Camelia masih saja berusaha ingin membantalkan pernikahan mereka, padahal ia sudah sangat semangat mengingat sebentar lagi Camelia akan menjadi miliknya.
“Aku sudah punya pacar, kamu juga punya pacar, kan?” kata Camelia tidak menyerah untuk membujuk Daniel.
“Aku tidak pernah punya pacar.“ jawab Daniel kesal. “Lupakan mantan pacarmu, sekarang pilih warna yang kamu suka. Aku masih banyak kerjaan.”
Bukan menuruti perkataannya, Camelia justru menuruni anak tangga tanpa menoleh lagi. Daniel mengejar Camelia dengan langkah cepat. Tapi Camelia semakin cepat berlari. Ia baru berhasil menarik tangan Camelia saat mereka di ruang tamu.
Tanpa menunggu lama, Daniel membopong tubuh Camelia dan menghempasnya ke sofa.
“Lepasin!“ teriak Camelia marah dengan suara bergetar.
“Aku sudah kehilangan kesabaran melayani sikapmu yang kekanakan,” kata Daniel sambil melepas jasnya dan menarik lepas dasinya. Ia gerah melihat sikap Camelia yang terus berusaha memancing amarahnya. Seribu wanita di luar sana dengan senang hati ingin menjadi istrinya, tapi Camelia justru terus menolak dan tidak tergiur sama sekali dengan uang dan wajah tampannya.
Daniel menarik lepas beberapa kancing kemejanya dan membuat dadanya yang penuh bulu terpampang sempurna.
Camelia berusaha bangkit dari sofa, tapi Daniel dengan cepat menindih tubuhnya.
“Lepaskan aku!” teriak Camelia dengan wajah memerah.
Tanpa mendengarkan permintaan Camelia, Daniel menunduk dan mennyentuh bibir gadis itu dengan buas.
“Kalian?!!”
Tubuh Daniel kaku. Rontaan Camelia berhenti.
Daniel menarik dirinya mendengar suara yang sangat akrab di telinganya. Ia berdiri dan berbalik menatap wajah kedua orangtuanya yang sudah merah padam.
“Sebaiknya kalian capat menikah! Jangan terus menimbun dosa,” kata Dennis dengan wajah memerah.
Daniel memandang wajah Camelia yang sudah pucat pasi. Camelia duduk sambil merapikan pakaiannya.
“Benar! Mami juga sudah bosan melihat kalian b******u tak kenal tempat,” kata Sita jengkel.
Wajah Camelia memerah mendengar kalimat orangtua Daniel.
Berbeda dengan Camelia, Daniel justru senang dengan kejadian ini, itu artinya semakin cepat Camelia akan menjadi miliknya.
“Selama ini Papi sering mendengar sepak terjangmu Daniel, baru sekarang Papi tahu, ternyata kamu lebih liar dari rumor yang beredar di luar sana!”
Daniel terdiam mendengar kalimat ayahnya, wajahnya memerah antara malu dan kesal. Bukan ia yang liar, tapi orangtuanyalah yang beruntung bisa memergokinya berkali-kali.
“Dinikahkan secara agama dan hukum saja dulu, Pi. Urusan resepsi nanti saja. Mami pusing lihat tingkah Daniel yang makin menjadi-jadi!”
***
Camelia POV
Dengan perasaan berat, aku berdiri di balkon kamar yang terletak di lantai dua rumah orangtua Daniel. Kejadian dua hari lalu sukses membuatku menjadi istri Daniel hari ini.
Setelah dipergoki oleh orangtua Daniel dua hari lalu di ruang tamu rumah mereka, orangtua Daniel langsung memaksa kami menikah. Hanya secara hukum dan agama, sedangkan pesta pernikahannya akan digelar beberapa bulan lagi, menunggu persiapan matang.
Aku menolak dan protes pada Daniel dan kedua orangtuaku. Tapi siapa yang peduli? Daniel terlihat santai dan menerima keputusan orangtuanya dengan wajah sumringah. Heran, mengapa playboy sejati seperti dirinya tiba-tiba saja sangat senang menikah? Mungkin ada yang tidak beres di kepalanya.
Sedangkan orangtuaku begitu antusias mendapat berita dari Pak Dennis yang ingin segera menikahkan kami. Orangtuaku acuh tak acuh saat aku memohon dan menangis menolak pernikahan ini.
Aku menatap langit biru tak berawan dengan perasaan gamang. Pikiranku melayang pada Andrew yang sama sekali tidak tahu aku sudah menjadi istri pria lain. Kami masih terus berkirim pesan seperti biasa, walau dua hari ini kami mulai jarang berkomunikasi lewat telepon. Andrew bilang dia sangat sibuk di kantor barunya.
Aku menghela napas panjang dan memasuki kamar tidur. Baru dua hari lalu Daniel menyuruhku memilih warna dinding kamar ini dan aku menolaknya. Sekarang kamar yang tadinya kosong, sudah berubah. Memang, warna cat di dinding masih sama, yaitu cokelat pastel, tapi berbeda dengan sebelumnya, kamar ini sudah indah dengan berbagai perabotan mahal yang kupilih beberapa waktu lalu atas paksaan Daniel.
Ranjang berukuran besar menghiasi tengah-tengah ruangan. Lemari dan meja rias yang mahal, TV LED 42 inch menempel di dinding menghadap ranjang, lengkap dengan satu buah sofa panjang empuk di depannya. Aku tidak menyangka Daniel akan menyiapkan kamar ini dengan sangat mewah.
Dengan langkah lesu aku menuju kamar mandi. Setelah acara pernikahan kami sah secara hukum dan agama selesai, aku terdampar di sini. Di rumah dan keluarga baruku. Aku heran, kenapa Daniel memilih tinggal bersama orangtuanya dan bukan di rumah sendiri seperti pasangan muda pada umumnya. Serumah dengan orangtuanya, pastinya membuat aku tidak bisa bebas marah-marah padanya.
Aku mengisi air dalam bathtub. Menuang sabun dan melepas bajuku. Setelah air bathtub penuh. Aku mulai berendam.
Kupejam mataku rapat-rapat sambil menikmati rileksnya berendam air hangat. Bayangan wajah Daniel muncul di pelupuk mataku. Tiba-tiba darahku berdesir dan dadaku berdebar. Aku takut untuk melewati malam ini. Pasti Daniel akan meminta haknya sebagai suami. Dan bagaimana aku bisa menolaknya? Bila aku menolak dan berteriak, pasti suaraku akan terdengar hingga ke luar sana. Dan rasanya sangat tidak etis bila sampai didengar orangtua Daniel. Kebetulan, kamar orangtua Daniel berada tepat di sebelah kamar kami. Aku sempat melihat Bu Sita masuk ke kamar sebelah tadi.
Atau semua ini sebenarnya hanya akal-akalan Daniel agar aku tidak bisa berkutik? Makanya dengan sengaja dia mengajakku tinggal bersama orangtuanya, agar aku menjadi istri yang lebih lembut padanya dan tidak marah-marah seperti di kantor.
Rasanya memang seperti itu niat Daniel. Secara untuk membeli banyak rumah pun Daniel sangatlah mampu.
Aku mendesah kesal. Tiba-tiba bayangan Andrew menyapaku. Perasaan berat seketika menekan dadaku Bagaimana dengan Andrew? Apa aku harus berterus terang padanya atau terus berpura-pura bahwa aku masih setia menunggunya? Dan bila Andrew pulang nantinya apa yang harus aku lakukan?
Aku memejam mataku rapat-rapat dan berusaha menyingkirkan seluruh pikiran yang membuatku gelisah.
***
Love,
Evathink
Follow i********:: evathink