2. Evan x Rainier

1121 Kata
Diam berarti sedang berbuat kerusuhan. Rainier menengok ke kaca bulat, melihat kedua anaknya yang diam-diam sedang bekerja sama membongkar vacuum cleaner. Rainier ngelus d**a. “Jangan dirusak vacuum cleaner-nya. Nanti Mama kalian sedih.” Yuda dan Raja yang tak menduga Daddy mereka tahu langsung melepas benda yang mereka pegang. Berboncengan mengendarai mobil-mobilan menuju Daddy mereka. “Daddy, Daddy,” teriak mereka dengan nada lagu anak-anak. Polos dengan tampang tak berdosa. Rainier melihati anak-anaknya, dibalas Yuda dan Raja dengan senyum aneh. Mengembuskan napas lelah, Rainier berkata, “Tunggu Daddy selesai. Habis ini main sama Daddy.” “Yay!” jawab si kembar bersamaan. Baru juga ditinggal Lyssa dua jam, dan rasanya Rainier sudah akan menyerah. Bermain dengan dua jagoan mereka benar-benar melelahkan. Butuh tenaga super. Rainier sungguh tak bisa membayangkan bagaimana istrinya sanggup bermain dengan si kembar setiap hari. Selesai makan siang, Rainier segera meninabobo si kembar. Pergi ke dapur saat kedua anaknya sudah pulas. Rainier pikir ... mereka sudah tidur. Rupanya tidak. “Daddy, Daddy!” Suara tangis Yuda terdengar. Rainier setengah berlari pergi ke kamar. Seperginya Rainier tadi, si kembar langsung bangun. Bermain lagi. Entah bagaimana ceritanya, mereka mulai bertarung. Saling meniban. Raja dengan tubuhnya yang lebih berisi, menang. Dia meletakkan bantal di tubuh Yuda yang tengkurap, lalu naik di atasnya, menginjak-injak. Pantas saja Yuda menangis. “Raja, turun dari kakakmu,” ujar Rainier tegas. Raja tak mengindahkan. Langsung ditarik oleh Rainier. “Jangan naik di atas kakakmu!” ucap Rainier. Menatap Raja tegas. Raja memasang wajah tak bersalah. Memeluk kaki ayahnya. Rainier melepaskan anaknya. Yuda yang masih menangis ikutan memeluk kaki Daddy-nya. Rainier menarik napas dalam. Duduk berjongkok di depan anak bungsunya. “Peluk kakakmu. Kamu harus minta maaf.” Raja hendak kabur. Langsung ditarik bajunya oleh Rainier. “Peluk kakakmu!” bilang Rainier tegas. Ditegasi ayahnya, Raja ikutan menangis. Jadilah kedua-duanya menangis. Namun, Rainier tetaplah Rainier. Pemuda itu membawanya anak bungsunya ke dapur. Menginterogasi. “Kenapa menginjak kakakmu?” tanya Rainier. Raja menangis kian keras. Tangannya membuat gestur memohon ampun. “Pergi ke kakakmu dan minta maaf. Peluk dia.” Raja mengangguk berurai air mata. “Berjanji tidak akan melakukannya lagi?” “Iya,” jawab Raja sedih. Rainier memeluk anaknya. Kemudian mengantar Raja kembali ke kamar. Kedua anak kembar itu saling berpelukan. Bergantian mengucap kata maaf. Kali ini, Rainier tak langsung pergi. Menunggu sampai dua bocilnya benar-benar tidur baru ia kembali ke dapur. Pas sekali, selesai Rainier bersih-bersih, Lyssa pulang. Betapa bangganya Rainier saat melapor. “Aku sudah bersih-bersih apartemen, anak-anak sudah mandi, sudah makan siang, dan sekarang tidur,” ucap Rainier dengan cengiran. “Keren. Terima kasih, Daddy.” Lyssa meletakkan barang bawaannya, memeluk suaminya. Rainier tersenyum penuh misteri. Melihat pada istrinya. Lyssa yang tanggap, lanjut berkata, “Kalau Daddy-nya? Daddy-nya sudah mandi belum?” “Belum,” balas Rainier dengan cengiran. “Ayo. Mommy mandiin. Habis ini Mommy ninabobo sekalian.” “Hahaha. Okay. Sayang Mommy.” Pasutri muda itu saling bercanda, pergi berdempet-dempet ke kamar mereka. Sore harinya, Rainier dan keluarga pulang ke rumah utama. Apartemen milik Lyssa kemarin hanyalah tempat hang out sementara tiap akhir pekan. Rainier di usianya yang muda bukanlah lelaki sembarangan. Suami Lyssa itu pemilik gedung empat puluh lantai, dia juga memiliki beberapa usaha perhotelan dan klub malam. Banyak orang mungkin tidak tahu, tapi dulu, saat mereka akan menikah, Rainier memberikan semua harta miliknya untuk Lyssa. Lyssa, si wanita kaya raya itu sibuk menekuni lembaran nada. Dia fokus membaca nada, memainkan piano besar di depannya. “Lomba pianonya tanggal dua ‘kan?” tanya Lyssa tanpa mengalihkan mata dari sheet lagu. “Benar, Nyonya,” jawab pelayan yang menemani Lyssa. Lyssa mengangguk. Lanjut berlatih. Alunan nada-nada klasik memenuhi aula. Rumah besar itu senyap, hanya suara piano Lyssa yang memenuhi setiap ruang. Wanita cantik itu terus berlatih. Mengisi waktu sore. Tak berhenti sampai pelayan memberitahunya. “Tuan Muda Kembar sudah pulang,” beritahu Dian, pelayan yang menemani Lyssa. “Oh? Okay.” Lyssa menerima sapu tangan pemberian Dian. Mengelap peluh di kening. Suara mobil berhenti depan rumah. Disusul dengan ramainya celotehan Raja. “Apa Evan juga ikut?” tanya Lyssa, mengembalikan sapu tangan. Dian berbisik sebentar dengan walkie-talkie. “Tuan Evan dan Nyonya Sheila yang datang, Nyonya.” Lyssa mengembuskan napas lelah. Mengangguk pada Dian. Langkah wanita itu berat, namun tetap anggun menuju pintu depan. Evan Ageng Sanjaya, ayah dari kembar sulung Lyssa, Yuda Alessio Sanjaya. Dulu, saat Lyssa hendak bertunangan dengan Evan, Rainier menculik Lyssa. Menikahi Lyssa di gereja dan langsung mendaftarkan pernikahan mereka. Evan, pemuda tampan dengan wajahnya yang teduh, terlihat damai mendengarkan celotehan Raja yang anteng dalam gendongan. Sesekali mengangguk menanggapi. Di sebelahnya, mamanya Evan, Nyonya Sheila Sanjaya sibuk membungkuk. Mengeluarkan aneka hadiah dari dalam mobil. Berbicara entah apa pada Yuda. Lyssa berhenti di tempat, tak jadi maju saat Evan mengangkat wajah, melihat ke arahnya. “Mommy!” panggil Raja senang. Tante Sheila menoleh, melihat Lyssa. “Lyssa, sini. Mama bawain kamu oleh-oleh.” Meski canggung, Lyssa tetap mengangguk. Berjalan gugup menuju mantan orang-orang terkasih. Baru juga Lyssa menuruni dua tangga, mobil hitam Rainier masuk pekarangan. “Daddy!” teriak Yuda dan Raja bersamaan. Raja bergeliat minta diturunkan. Belum juga Rainier turun dari mobil, tapi dua anak kembar itu sudah berlari kencang menuju Daddy mereka. Lyssa sungguh merasa bersalah melihat ekspresi sedih Evan dan mamanya. Lyssa canggung berdiri di tempat. Serba salah. “M-Mau mampir dulu?” tawar Lyssa pada Tante Sheila, mengalihkan wanita itu yang terlampau sakit melihat cucu kesayangan begitu lengketnya dengan Rainier. Tante Sheila mengembuskan napas lelah. Melihat pada putranya. “Menikahlah, Nak. Biar kamu bisa ambil hak asuh Yuda. Apa kamu mau Yuda sampai besar nggak ngenalin kamu?” Evan melihat Lyssa sekilas. Meski wanita itu tersenyum, Evan juga bisa lihat bibir wanita itu yang bergetar-getar takut. “Aku akan menikah jika sudah waktunya,” balas Evan pendek. “Mau nunggu sampai kapan lagi?!” Evan tak membalas. Wajahnya datar saat melihat Rainier dan kedua anak mereka dalam gendongan. Wajah dua lelaki itu sama-sama datar. Siapa pun yang melihat pasti ikut gugup. “Lyssa, Lyssa. Sini, Mama bawain kamu oleh-oleh,” ujar Tante Sheila. Berusaha mencairkan suasana. Lyssa kaku mendekat. Keberadaan Evan di sebelah membuatnya tegang. Dia sungguh tak berani berdekatan dengan Evan. “Ini tas asli kulit buaya. Kembaran sama Mama.” “Lihat jam tangan ini. Bagus kan?” Tante Sheila yang pulang dari Singapura bawa banyak sekali hadiah. Pelayan-Pelayan di rumah Rainier sampai kewalahan membawa masuk. “Mampirlah,” kata Rainier. Wajahnya sedatar triplek. Rambutnya yang hitam klimis, setelan formalnya yang serba hitam, menambah kesan dingin pemuda itu. Lyssa dag-dig-dug menunggu jawaban Evan. Evan tak kalah dingin menatap Rainier lurus-lurus. “M-Mampirlah,” kata Lyssa lagi. Tangan wanita itu bergetar-getar saat menambahkan, “A-Aku masak sesuatu untuk makan malam. M-Mampirlah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN