Part 3

2503 Kata
Hari ini ia datang tak terlalu pagi seperti biasanya, Ayah libur membuat Aira bisa menentukan sendiri akan berangkat ke sekolah di jam berapa. Kadang rasanya bosan sekali jika setiap harinya harus diantar Ayah, mendengarkan Ayah berulang kali mewanti-wanti nya untuk tidak berpacaran lagi. Hal ini sama saja membuatnya kembali mengingat Zaidan. Dulu, sewaktu ia masih bersama Zaidan. Aira ketahuan pulang diantar oleh Zaidan, padahal kondisinya sore sekali dan jarang ada angkutan umum yang bisa mengantarkannya pulang seperti biasanya. Tapi hari itu Aira meminta Zaidan untuk tidak mengantar nya hingga pertigaan jalan besar, tapi Zaidan yang keras kepala tidak menuruti permintaan Aira saat itu. Hingga kesalahan terbesarnya adalah, Zaidan memberhentikan motornya tepat di depan Ayah Aira. Saat itu Aira hanya bisa pasrah dengan apapun yang Ayah ucapkan pada nya. Ia tertawa saja, tanpa sadar kalau ia sudah ada di ruangan panitia. Setelah menaruh tas nya di atas meja, aira menutup kembali pintu ruangan yang berwarna coklat itu, di sana terpampang jelas secarik kertas bertuliskan “RUANGAN PANITIA”. Helaan napas terdengar setelah Aira menutup pintu itu rapat-rapat. Ia melihat keadaan sekitar yang masih sepi, lalu pandangannya berakhir tepat di ruang kelas yang berada di samping ruangannya. Ruangan yang mungkin jika semesta masih berpihak padanya maka ia akan selalu senang berada di sini. “Kalau aja masih, mungkin lo bakal sering ke sini.” Batinnya sendiri tanpa ia suarakan. Aira berpikir, mungkin kalau saja ia dan Zaidan masih memiliki hubungan ia akan sering melihat Zaidan ke sini. Rasa cemburunya yang sangat tinggi pasti akan membuat Aira kewalahan sekaligus tertawa secara bersamaan, apalagi ia seringkali mengiriminya hal-hal kecil sebagai bentuk perhatiannya. Aira lagi-lagi menghela napasnya, padahal di sekolah ini siswa laki-laki sangat banyak. tapi, bisa-bisanya Zaidan membuatnya sulit untuk berpindah hati. Berulang kali Zaidan membuatnya sakit hati, tapi itu tidak cukup membuat rasa sayangnya menghilang begitu saja. “Airaaaaa?” Teriakan itu samar-samar ia dengar. “Airaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa..” Teriakan itu semakin kencang, membuat Aira menoleh ke arah parkiran sekolah. Seseorang tengah berdiri sambil melambaikan tangan padanya, tapi entah siapa. Penglihatannya tidak terlalu jelas karena matanya menderita rabun jauh. “Apaa?” Balasnya sambil berteriak. Aira cukup penasaran, ia memutuskan untuk berjalan ke parkiran dan menemui seseorang yang memanggilnya sejak tadi. “Heh! Gue kira lo siapa.” Tegur Aira, ketika penglihatannya sudah cukup jelas dan langkahnya semakin dekat dengan seseorang itu. “Ngapain sih pagi-pagi ngelamun di sono? Gila lo anjir, gue panggilin daritadi juga.” Cerocos Ica pada Aira sambil mempraktikan apa yang ia lakukan dan ia lihat. Aira cengengesan, ia menyadari kalau memang sejak tadi ia melamunkan Zaidan. “Itu gue mikirin acara.” Alibi Aira. “Halah mikirin acara kok sambil nengok ke kelas sebelah sih, pasti ngelamunin Zaidan kan?” Tebak Ica. Ica adalah teman barunya yang kebetulan satu kelas dan kini lumayan dekat dengannya. Sebetulnya tanpa dekat pun, satu sekolah sudah tahu cerita tentang Aira dan Zaidan. Aira yang gagal move on, dan Zaidan yang amat keterlaluan telah meninggalkan Aira dengan sahabat Aira sendiri. “Kayaknya itu bukan pertanyaan deh, Ca.” “Lo tuh ya, Ra. Manis, pinter, baik, aktif juga, siapa sih yang enggak mau sama lo.” Sambil berjalan menemani Ica menuju kelasnya, lagi-lagi topik itu lagi yang ia dengar dari mulut teman-temannya. “Ya emang enggak ada, Ca.” Jawab Aira dengan santai. Ica berdecak kesal. “Heh bukan enggak ada ya, tapi lo aja yang enggak mau nerima.” “Jangan kira gue enggak tahu gosip lo di Osis ya, di eksrakulikuler lo juga, banyak banget yang ngeship lo sama si inilah si itulah. Tapi, ujungnya yang gue denger lo malah terang-terangan cerita sama mereka kalau lo enggak bisa move on.” Aira tertawa. “Ya emang harusnya gitu enggak sih? Biar mereka tahu keadaaan gue. Biar mereka tahu gue emang respon yang karena gue friendly. Kalaupun mereka serius mereka pasti bakal ngeusahain gue buat move on.” “Enggak gitu dong konsepnya, Ra.” Ica berhenti melangkah dan memilih duduk di bangku dengan pohon. “Orang yang belum selesai sama masa lalu nya akan menyakiti siapapun yang sedang bersamanya sekarang. Karena apa? Masa lalu bener-bener punya pelet nya sendiri yang susah atau bahkan enggak bisa dilawan.” Aira terdiam, ia juga mengerti apa yang Ica katakan. Bahkan semua temannya juga tidak pernah jauh dari kalimat itu, dan ia sangat-sangat memahami semua itu. Ia juga sadar kalau dirinya salah, tapi hati jelas-jelas tidak bisa ia kendalikan semudah itu. Aira menatap Ica, baru saja ia hendak membalas ucapan Ica. Ica sudah memotong pergerakan Aira. “Lo pasti mau bilang soal hati kan? Ra gue tanya sekarang, apa yang bikin lo enggak bisa move on? Kalau kenyataannya lo diselingkuhin dan lo ditinggalin gitu aja. Dan dia milih sahabat lo sendiri, terus apa yang bikin lo enggak bisa move on?” Ica menarik napasnya, lalu menghembuskannya kasar. “Kebaikan dia? Karena lo satu daerah sama dia? Kebaikan apa sih, Ra?” “Banyak cowo baik di sini, ngapain lo masih galauin cowo enggak jelas kayak dia. Dih najis.” Aira tersenyum kikuk, “Iya gue bakal nyoba.” “Gue sama temen-temen lo, mau yang terbaik buat lo. Jelas dia enggak akan balik lagi buat lo dan lo enggak pantes sama dia, karena level lo jauh di atas dia.” Aira meganggukkan kepalanya beberapa kali. “Udah ya gue ke kelas, lo semangat jadi panitia. Inget ya, gue enggak mau liat lo enggak jelas kayak tadi. Kalau lo kenapa-napa atau ada sesuatu menimpa lo dan lo enggak sadar karena ngelamun, lo rugi besar.” “Iya, Ca. Makasih ya.” “Oke, gue tinggal ya.” Ucap Ica sebelum beranjak meninggalkan Aira. Aira lantas meninggalkan tempat yang sama, ia harus mempersiapkan banyak hal karena acara sebentar lagi akan dimulai. * Setelah bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan lain, memastikan acara benar-benar matang dan akan lancar ketika sudah berjalan. Aira menghela napasnya lega sambil menegak minuman kemasan yang baru saja ia beli di kantin. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. “Udah jam 12 aja.” Ucapnya sambil menutup botol kemasan dengan tutupnya. Aira duduk di sebuah bangku yang memang sengaja disiapkan untuk panitia, kebetulan bangku itu diletakkan tepat di depan kelasnya dan beberapa kelas lainnya yang menajdi spot tertentu untuk panitia. Di belakang Aira berdiri teman-temannya yang turut meramaikan acara, ia juga baru sadar kalau ternyata ini adalah jadwal tim sekolahnya yang bertanding. “Lo abis dari mana?” Tanya Alika yang baru saja duduk di sebelahnya. “Enggak tahu, so sibuk aja.” Jawab Aira sembari cengengesan. “Btw cowo gue maen.” Aira menoleh, mendapati Alika sedangn tersenyum gigi padanya. “Terus?” “Ya ngasih tahu aja, Ra. Dia kan temen lo juga.” Aira menggelengkan kepalanya. “Enggak peduli gue, Al.” “Otak lo isinya Cuma Zaidan aja, ya?” Aira terkekeh. “Gue baru aja diceramahin sama Ica tadi pagi, lo malah mancing-mancing lagi. gue juga udah berusaha sibuk hari ini biar enggak ada waktu mikirin Zaidan.” Alika mangut-mangut saja, maklum ia agak lama dalam berpikir. Aira hanya bisa menarik napas panjang agar sabar menghadapi Alika. “Iya maaf, Ra. Gue kan enggak tahu.” “Yaudah lo fokus noh liat cowo lo.” Alika mengangguk saja, lalu benar-benar memperhatikan pacarnya bermain di lapangan. Aira juga melakukan hal yang sama, dalam hatinya terbesit rasa andai Zaidan anggota futsal dan berada di lapangan sekarang. Siang-siang seperti ini hanya membuat Aira berpikir yang tidak-tidak saja. Pertandingan berjalan semestinya, Aira juga hanyut dalam suasana pertandingan itu. Ia benar-benar memperhatikan pertandingan itu, hingga suatu momen membuat perasaanya berbeda dari sebelumnya. “Anjir.” Ucapnya refleks ketika bola berhasil ditahan oleh seorang kiper asal sekolahnya. “Gila ya, emang terbaik banget si Langit.” Puji Alika yang juga melihat kejadian takjub di lapangan saat itu. Entah ada angin darimana, Aira tiba-tiba saja ingin menanyakan perihal seseorang yang membuatnya terpana hari ini. Bukan karena Aira tidak kenal, ia kenal namun tak sedekat itu seperti Alika. “Heh? Kok lo senyam-senyum sih?” Tegur Alika yang ternyata memperhatikan gerak-gerik Aira. Aira menutup wajahnya. “Serius gue senyam-senyum?” “Iya, lo liatin siapa?” Tanya Alika dengan nada tidak sabar. “Kalau gue punya cowo anak futsal seru kali ya, nontonin dia, nemenin gitu kaya lo sama Radit.” “Iya, cowonya siapa?” “Kan masih kalau, belum kejadian Alika.” Balas Aira memperjelas. “Enggak, ini tuh gue nanya lo senyam-senyum karena siapa? Pasti dia juga yang bikin lo ada pikiran kayak tadi, Ra.” Tebakan Alika benar-benar tepat kali ini. “Ah gue kasih tahu juga belum tentu dia mau kan. Lo Cuma sebatas tahu aja, enggak bisa bantu.” “Ih kok lo meremehkan gue sih?” Kata Alika sembari menatap Aira secara intens. “Bukan gitu, gue denger terakhir soal dia ya dia setia banget.” “Yaudah Aira emang siapa?” Tanya Alika lagi lebih penasaran. “Lo pasti bisa tebak.” Alika langsung mengarahkan matanya ke lapangan, menabak siapa kira-kira yang mampu memikat hati temannya. “Ryan?” Aira menggelengkan kepalanya. “Rivaldi?” “Apa sih gila, enggak lah. Jangan karena gue nyari-nyari dia waktu itu terus lo sangkut pautin aja sama dia.” Alika berdecak. “Namanya juga nebak, lo kan nyuruh gue nebak tadi.” “Udah ah gue mau ke ruangan lagi.” Baru sjaa berdiri, Alika sudah menarik tangan Aira agar tetap duduk di sampingnya. “Langit?” Sial, tebakan Alika kini benar-benar tepat. “Dia masih sama Kania kan?” Kania adalah adik kelas yang memang ramai diperbincangkan karena Langit masih terus mengejarnya walaupun sudah lama hubungan mereka telah usai. “Enggak tahu deh, tapi setau gue sih Langit lagi enggak sama siapa-siapa sekarang.” “Oh yaudah.” “Beneran Langit?” Tebak Alika lagi. “Banyak nanya deh.” “Baik tahu, Ra. Dia bener-bener definisi cowo dingin yang Cuma bucin sama pacarnya sendiri, enggak tahu sih ya kaya gimana. Tapi yang gue liat dia sama Angel aja kaya bener-bener ada terus padahal Cuma sahabatan.” “Emang serius sahabat?” Tanya Aira ragu. “Angel udah lama sama Alwi kali, udah 3 tahun.” “Iya Angelnya enggak, Langitnya? Kita enggak ada yang tahu.” “Yaudah intinya mau gue kenalin?” “Boleh?” “Ya boleh aja sih.” “Yaudah sok aja.” Ucap Aira menantang, ia padahal jelas ragu soal ini. “Oke.” Ucap Alika menyanggupinya. Aira lantas berdiri lalu meninggalkan Alika begitu saja, ia memilih untuk kembali ke ruangannya setelah sadar kalau pertandingan tim sekolahnya telah usai. * “Lang?” Bukan Alika namanya kalau berpikir panjang lebih dulu sebelum bertindak, agak ceroboh memang. Pemiliki nama merasa dipanggil, ia langsung menoleh ke samping dengan wajahnya yang masih penuh keringat. Radit dari kejauhan hanya memperhatikan Alika yang bukan menghampiri pacarnya sendiri setelah bertanding, justru menemui laki-laki lain. “Lo sekarang kosong?” Langit mengerutkan dahinya. “Kosong?” “Iya, kosong gitu. Iya atau enggak?” Langit benar-benar sedang tidak fokus, Alika menanyakan hal seperti itu dalam keadaan yang tidak tepat. “Aduh, Al. Gue enggak fokus, bentar deh gue cuci muka dulu.” Alika mengangguk, ia masih memandangi Langit yang beranjak dari tempat duduknya menuju keran air. “Heh? Ngapain?” Tegur Radit yang tiba-tiba berdiri di hadapannya. “Eh, udah minum?” Tanya Alika tanpa merasa bersalah. “Udah minum-udah minum, elu ngapain di sini? Bukannya nyamperin gue malah nemuin si Langit.” Omel Radit pada Alika yang justru tidak merasa bersalah sama sekali. “Ya emang kenapa? Tempat umum kali.” “Ya ampun Alika, gue dosa apa punya cewe kayak lu.” Radit sangat geram dengan tingkah Alika. Lebih menyebalkannya lagi, Alika langsung mengalihkan fokusnya pada Langit yang baru saja selesai mencuci muka dan duduk di sampingnya. “Lang ih, gue nanya tahu.” Langit terkekeh. “Iya apa Alika? Gue enggak ngerti.” “Ck, cape gue punya cewe kayak lu.” Radit langsung meninggalkan Alika tanpa basa-basi. Sedangkan Alika justru tak menahan Radit sama sekali. “Eh, dit?” Panggil Langit. “Udah enggak usah dipeduliin, dia emang gitu. Sekarang gue tanya sama lo, gimana kosong enggak?” Langit menghela napasnya. “Kosong apa dulu, Al? Waktu? Atau apa? Dompet?” “Ih kok dompet sih, enggak jelas banget.” Pantas saja Radit pergi, dengan kondisi selelah ini meladeni manusia semacam Alika hanya ingin membuatnya baku hantam saat itu juga. “Yaudah apa?” “Maksudnya lo ada cewe enggak gitu? Masih sama Karin atau siapa gitu?” “Ya ampun dari tadi dong, Al. Biar gue paham, kalau gini kan gue gampang jawabnya juga.” “Yaudah jawab.” Paksa Alika. Langit menggelengkan kepalanya sembari mengelap wajahnya dengan handuk kecil. “Enggak ada, kenapa?” “Enggak apa-apa sih, nanya aja.” Langit mangut-mangut saja, ia bukan tipe laki-laki penasaran dan banyak tanya. “Tapi, temen gue ada yang nanyain lo.” “Siapa?” “Ya ada, tapi lo nya kosong beneran kan?” Langit menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Iya gue kosong, siapa emang?” “Panitia.” “Oh iya.” “Lho kok oh iya doang?” Tanya Alika tak terima. “Terus apa lagi?” Alika mengubah posisinya. “Ya lo tanya kek siapa namanya, anak kelas berapa, kenapa bisa nanyain.” “Tadi gue udah nanya, lo bilang panitia. Yaudah, beres kan?” Alika frustasi. “Ah lo bukan dingin, tapi batu.” Langit mengerutkan dahinya. “Lah salah gue di mana?” “Pokoknya temen gue nanyain elo, seangkatan sama kita terus panitia juga.” “Iya.” “Mau foto bisa?” Tanya Alika lagi. “Mau foto mah ya foto aja.” Alika langsung berdiri. “Yaudah makasih ya.” Langit mengangguk. “Iya oke.” Langit menghela napasnya lega, bisa-bisanya sedang selelah itu ia malah ditanya pertanyaan yang tidak ia mengerti sama sekali. * “Ra?” “Hm?” Jawabnya tanpa mengalihkan wajahnya dari ponsel. “Langit udah enggak sama Kania.” Aira langsung menaruh ponselnya di meja. “Kok cepet banget sih dapet infonya?” “Iya lah, gue gitu.” “Serius udah enggak sama Kania?” Alika menggeleng. “Enggak, dia sama Ryan.” “Lo kapan nanya nya, Al?” “Tadi, abis dia tanding gue langsung nyamperin.” Aira kaget, ia menatap Alika tak percaya. “Serius lo? Abis tanding banget?” “Iya.” “Lo bukanya nemuin Radit, tapi malah nemuin Langit?” “Iya kan buat lo, Ra.” “Enggak gitu juga, Al.” Aira benar-benar tak percaya dengan apa yang Alika lakukan. “Gimana?” “Gimana apanya?” “Mau?” Aira tertawa, “Ada juga si Langit nya mau apa enggak?” “Belum tahu sih, lo nya aja dulu mau atau enggak.” “Terus kalau gue mau, Langitnya enggak mau?” Alika mengangkat bahunya. “Ya itu kan hak dia, Ra.” “Gila lo sumpah nyebelin banget, Al.” Aira benar-benar sangat kesal dengan tingkah laku Alika yang sulit untuk dijelaskan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN