Sambil menggosok tubuhnya dengan sabun beraroma vanilla pemberian Sifa, Aira bernyanyi sesekali di dalam kamar mandi. Padahal Bunda sudah melarang keras Aira bernyanyi ketika sedang berada di kamar mandi, beruntung lah kamar mandinya tak lagi berada di bawah jadi ia tidak akan mendapatkan teguran dari Bunda.
Seperti biasa jika sudah selesai mandi maka ia akan mencuci muka nya, lalu setelah itu ia mengelap wajahnya dengan pelan agar kulitnya tetap sehat. Tak banyak yang Aira lakukan untuk wajahnya, ia tak seperti teman-teman nya yang lain yang mengharuskan diri untuk menggunakan banyak produk. Ia hanya cukup cuci muka dengan sabun bayi, lalu setelah itu ia akan merasa wajahnya bersih seperti bayi baru lahir.
Sekitar 15 menit ia menghabiskan waktu di kamar mandi, Aira keluar sambil menenteng handuk di tangannya lalu ia meneruskan langkahnya ke balkon untuk menaruh handuk. Selepas menggantungkan handuknya di jemuran yang ada di balkon kamarnya, Aira lantas duduk di depan cermin. Ia menatap dirinya sambil menyisir, pikiran Aira melayang pada kejadian tadi siang.
“Kenapa sampai kaya gini ya..” Gumamnya sendirian.
Ia telah mengenal Langit sebelumnya, walaupun tidak ada riwayat yang banyak soal kedekatan atau komunikasi di antara mereka berdua. Tapi setidaknya tadi bukan kali pertama Aira melihat Langit. Bahkan Aira pernah terlibat obrolan dengan Langit dan itu pun membahas ia dan Daffa. Tapi saat itu ia menatap Langit biasa saja selayaknya ia menatap orang-orang yang ia kenal di sekolah.
Aira menghembuskan napasnya sambil menaruh sisir di atas meja, ia kini beranjak dari tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Banyak pertanyaan yang mampir di kepalanya, ia khawatir pertanyaan ini bukan sekedar mampir tapi akan menetap dalam jangka waktu yang lama. Terbesit rasa senang ketika ia sadar ia bisa menatap orang lain seperti dulu ia menatap Zaidan. Tapi, tetap rasa khawatir mengiri rasa senang itu. Ia hanya tak mau kejadian dulu terulang kembali, rasa itu ada hanya karena kekosongan dan kebetulan Aira menemukan momen tertentu yang membuat pandangannya berbeda terhadap seseorang.
Dari banyaknya pertanyaan yang mampir di otaknya, semuanya tertuju pada satu makna. Apa pantas ia untuk seorang Langit, karena pertanyaan ini juga yang membuatnya berpikir apakah Langit mau dengan orang seperti Aira? Sudah sejauh itu pertanyaan Aira, padahal ia baru saja menatap Langit dengan takjub satu kali. Itu pun mungkin karena Langit sangat mempesona ketika berada di lapangan. Ia tampak lebih manis dengan keringat yang membasahi wajahnya, kulitnya memang tak secerah Zaidan. Ia bahkan lebih gelap dari sini warna sawo matang.
Saat itu bukan hanya Aira yang takjub dalam hatinya, tapi ia juga menyadari bahwa banyak kaum hawa yang juga memanggil-manggil namanya. Diamnya Langit saja membuat semua orang berteriak padanya, sekali ia bergerak dan mencetak goal seluruh siswa meneriakinya saat itu.
Ingatannya melayang pada setiap hari yang telah ia lewati sebelumnya. Ia seolah mendeskripsikan dirinya sendiri yang jauh dari kata pantas untuk seorang Langit. Ia berisik, pecicilan, so sibuk, tidak feminim, hitam, banyak omong, dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak baik.
Bandingkan dengan Karin, mantan terakhir dari Langit. Ia juga satu sekolah dengan Langit dan Aira. Di mata Aira Karin itu cantik, putih, anggun, suaranya yang merdu, semua hal-hal indah yang mestinya wanita pada umumnya memiliki hal itu ada pada diri Karin.
“Sedangkan gue?” Tanyanya pada diri sendiri.
Aira saja tertawa miris melihat dirinya sendiri yang jauh dari kata itu. Ia jauh dari penyebutan wanita seutuhnya, mungkin bagi sebagian orang Aira sudah cukup. Tapi bagi mereka yang Aira inginkan, tetap saja Aira adalah pilihan dari banyaknya gadis cantik di sekolah yang pasti akan menjadi nomer sekian.
Drrttt....
Tiba-tiba tubuhnya merasakan getaran, ia mencari sumbernya. Ternyata getaran itu berasal dari bawah bantal yang ia tiduri, ponsel Aira yang ia selipkan di sana menyala dan memberikan getaran.
Aira mengambil ponselnya, setelah mengetahui siapa penelpon itu ia segera mengangkatnya.
“Hallo..” Ucapnya setelah menempelkan ponsel ke telinga nya.
“Eh? Lo sibuk enggak?”
“Enggak, kenapa?”
“Enggak apa-apa sih, gue cuman mau tanya aja besok jadi ke rumah Alika?”
Aira diam sejenak, ia lupa kalau besok teman-temannya akan pergi ke rumah Alika. “Enggak tahu, Sif. Gue takut ada rapat juga.”
“Oh iya ya, besok juga enggak tahu sih yang ikut siapa aja. Soalnya kan ada sebagian yang juga sibuk kayak lu ngurusin acara.”
Aira mengerutkan dahinya. “Emang siapa aja yang ikut?”
“Alika sih bilang sama tim futsal sekolah kita, soalnya dia ajak Radit kan.”
Aira menghembuskan napasnya. Kenapa ia jadi gugup begini ketika mendengar kabar itu, jantungnya sudah berdegup lebih kencang. Padahal tidak ada hal aneh yang terjadi.
“Engga apa-apa kali? Lagian lu kenal semua pasti.” Tanya Sifa.
“Iya enggak apa-apa sih, cuman gue enggak tahu deg-degan aja.” Ucapnya lalu tertawa malu setelah mengucapkan itu.
“Deg-degan kenapa anjir? Kok lu enggak cerita sih?”
Aira berdecak. “Baru aja ngerasain nya tadi siang, gue juga enggak ke kelas kan gimana gue mau cerita.”
“Ya udah sekarang aja.” Paksa Sifa.
Sifa adalah teman yang memang dekat dengan Aira semenjak SMA, tapi di antara keduanya merasa walaupun masih ada beberapa teman yang dekat tetap masing-masing dari merekalah yang mengerti satu sama lain.
Ia berkebalikan dengan Aira, walaupun Sifa memiliki waktu untuk pecicilan dan berisik tapi ia bukan bagian dari wanita-wanita sibuk seperti Aira. Ia lebih suka bermain, berkumpul dengan temannya atau sesekali ribut dengan orang-orang yang tak menyukainya.
“Gue tadi liat futsal kan, terus lo tau enggak sih? Masa gue tiba-tiba kayak suka gitu sama di antara mereka.” Ucapnya sambil berekspresi layaknya mereka tengah mengobrol secara langsung.
“Siapa anjir? Siapa ih?” Tanyanya penasaran.
Aira tertawa sendiri, ia malu dan tidak menyangka dengan apa yang ia rasakan saat ini.
“Heh? Siapa?” Tegur Sifa yang menunggu jawaban Aira.
“Yang di atas.” Ia tak berani menyebutkan nama, tapi Aira mencoba memberikan kode.
Tidak ada suara, tiba-tiba Sifa tertawa.
“Lu ketawa sih?”
“Demi apa sih lo suka dia? Gas lah anjir!”
Aira lagi-lagi tertawa. “Serius?”
“Bagus lah, lo udah bisa lupain orang modelan Zaidan. Merjuangin tuh ya modelan Langit, udah cakep kalem lagi, enggak banyak gaya, banyak prestasi.”
Aira mengubah posisinya, ia juga mengambil guling yang ada di sampingnya. Sambil menatap lurus ke depan ia menghela napasnya. “Iya sih, dia hampir sempurna. Tapi, emang dia mau sama gue?”
“Yah anjir, kaya gimana sih emang selera Langit? Biasa aja kali, dia juga enggak ganteng-ganteng amat.”
Dasar Sifa, baru saja memuji sudah dikurangi lagi.
“Iya sih, tapi kayak..”
“Ah enggak, bisa sih. Besok lo harus ikut, ya kalau lu rapat dulu juga dia juga rapat kan sama lu. Bareng dia aja ke sana nya.” Usul Sifa yang membuat Aira kelabakan karena usulnya yang sering menantang mental para pecundang seperti Aira.
Baru saja diucapkan, dan belum tentu sesuai rencana. Aira sudah panas dingin, ia sudah tidak enak hati mulai dari Sifa mengucapkan kalimat itu.
“Eh tapi gimana? Canggung lah.” Aira ragu.
“Hih, bareng aja belom udah bilang canggung.” Cibir Sifa, ia memang ahlinya dalam hal ini. Kalau saja tukar posisi, Sifa akan langsung menerima tantangan itu tanpa harus berpikir panjang lagi.
Aira tertawa, sudah menjadi kebiasaan Aira memang. Cupu sekali kalau diajak bertemu.
“Terus gimana dong?”
“Gimana apanya? Kan belum ngapa-ngapain hih.”
Aira tertawa, ia benar-benar dibuat mabuk kepayang oleh Langit.
“Bagus lah, gila sama modelan Langit sih masih masuk logika. Dari pada lu kepikiran si Zaidan mulu.”
“Ya udah lah ya.”
Mereka terdiam sejenak, hingga Sifa membuka kembali suaranya. “Udah dulu deh, entar cerita-cerita di sekolah. Besok jangan lupa usahain buat ikut.”
“Iyaa, Sif.”
Panggilan dimatikan, Aira menghela napas setelah menatap layar ponselnya yang kembali pada tampilan awal. Pikirannya masih saja tertuju pada Langit, rasanya canggung jika berhadapan dengan Langit. Padahal Langit sendiri tidak tahu menahu soal perasaannya saat ini.
Perempuan itu kadang sering menerka-nerka sendiri, bahkan ia sering membuat kesimpulan yang tak pernah menemukan sebuah dasar. Dibalik itu semua mereka hanya ketakutan, takut kalau saja apa yang mereka harapkan tidak pernah sesuai dengan apa yang terjadi.
Aira selalu menerapkan itu, karena baginya lebih baik membuat kesimpulan buruk dibanding harus berprasangka baik. Kacau akhirnya jika prasangka itu justru terjadi berbanding terbalik.
Ia memutuskan menyalakan musik dari ponselnya, lalu setelah itu menyimpan ponselnya di atas meja dekat lampu tidurnya. Ia menarik selimutnya dan memposisikan diri agar senyaman mungkin sembari memeluk guling kesayangannya.
*
Brak.
Suara itu membuat seisi ruangan kaget. Daffa hanya tertawa ketika melihat targetnya kaget dengan gebrakan meja yang ia lakukan. Ia sengaja melakukan itu karena melihat targetnya sedang menahan kantuk sambil melihat turnamen di lapangan dari dalam ruangan.
“Apaan sih lo? Enggak jelas banget.” Kesalnya sambil mencubit Daffa yang malah tertawa keras.
“Ya lagian mau tidur mah di rumah, ngapain di sini? Begadang ya lo?” tebaknya so tahu.
“Mau gue begadang atau enggak juga bukan masalah buat lo anjir, lo bisa enggak sih enggak ganggu gue sehari aja.” Omelnya sambil menatap sinis ke arah Daffa.
Sedangkan Daffa hanya tertawa saja melihat respon Aira yang sangat marah sekali padanya. Mana bisa Daffa bosan menganggu Aira, ia saja tidak tahu kenapa ia begitu. Ada kesenangan sendiri yang membuat nyas semangat jika sudah menganggu Aira dan hasilnya Aira marah dengan gangguannya itu. Aira memang benar-benar mengantuk sekali siang ini, Aira juga bete karena ponselnya tidak ia charger semalaman akibat lagu yang terus berputar hingga pagi. Mau melampiaskan nya pada Daffa pun ia tak tahu apa-apa walaupun ia bisa saja membuat alasan karena sudah dikagetkan oleh Daffa. Tapi ia sedang malas berdebat, apa lagi meributkan hal yang tidak jelas dengan Daffa.
“Kenapa heh?” Tanyanya dengan nada meledek.
“Kenapa apanya sih, Daf? Pusing tahu gue, udah ngantuk hp gue juga batre nya abis.”
“Dih curhat lo?” Ledek Daffa.
Aira benar-benar kesal pada Daffa, kenapa juga ia harus menjawab pertanyaan Daffa yang tidak jelas akhrinya. Pertanyaan terakhir nya tak berniat sama sekali untuk is jawab. Ia langsung beranjak dari tempat duduknya, mengambil almamater yang ia taruh di dekat tas lalu pergi ke luar ruangan untuk menghindari Daffa.
Tapi s**l, baru saja ia melangkah hingga depan pintu. Ia sudah menabrak seseorang yang juga hendak masuk ke dalam ruangan.
“Eh?” Ucap Aira spontan ketika wajahnya menabrak d**a bidang yang entah milik siapa.
Aira segera mengangkat kepalanya, melihat siapa yang berdiri di sana dan ia tabrak.
“Maaf.” Ucap laki-laki itu lalu pergi masuk ke dalam ruangan menemui seseorang.
“Hah iya-iya.” Jawab Aira gugup.
Ia baru saja menabrak Langit, iya benar dia Langit. Sikapnya yang dingin itu yang membuatnya yakin kalau Langit tidak akan gagal jika dijadikan pasangan hidup.
Tapi, apa Langit tahu kalau Aira menaruh hati padanya? Apa Alika sudah memberitahu Langit perihal itu? Kalau iya, bisa mati Aira.
“Ah bodo amat deh.” Ucap Aira, ia sudah dibuat kesal lebih dulu oleh Daffa.
Ia lantas pergi menuju kelasnya, barangkali di sana ia bisa numpang tidur sebentar saja untuk mengistirahatkan tubuhnya.
Benar saja kelas lumayan sepi, ini akan membuatnya lebih nyaman untuk tidur. Ia memutuskan duduk di bangku yang biasa iya duduki, Aira memang tidak langsung tertidur. Ia memasang earphone di telinganya lalu menyalakan musik, barulah ia menenggelamkan wajahnya di dalam lipatan tanganya di atas meja.
Lumayan batre nya yang hanya tersisa beberapa persen saja bisa menemaninya setidaknya untuk istirahat sebentar sebelum kembali mengurus acara.
Pikirannya lagi-lagi melayang pada kejadian semalam. Di mana ia tertidur begitu saja saat melamun, dan entahlah itu pada pukul berapa. Ia saja lupa untuk mematikan musik yang ia putar di ponselnya. Beruntung ia tidak bertemu Langit dalam mimpi, kalau saja itu terjadi mungkin Aira akan telat bangun dan kesiangan untuk sampai sekolah.
*
“Habis ini lo mau ke mana?”
“Habis dari mana maksudnya?”
“Ya habis dari rumah Alika.” Ucapnya sambil mengendarai motor dengan pelan.
“Enggak tahu sih, emang kenapa?”
Ia terdiam lumayan lama, membuat Aira mengira-ngira apa yang akan diucapkan oleh si pengendara motor ini.
“Kalau gue ajak nonton mau?”
Aira terdiam, ia menutup mulutnya agar tidak berteriak setelah mendengar ajakan dari seseorang yang ia sukai saat ini.
“Serius?”
“Iya, kenapa? Enggak mau ya?” Tebaknya dengan nada kecewa.
Aira terkekeh pelan. “Mau.”
“Mau apaan sih?” Tiba-tiba tubuhnya berguncang, suara yang ia dengar bukanlah suara dia yang ia sukai lagi.
“Heh Aira?”
“Mau! Ayo nonton.” Kata Aira setengah berteriak.
“Aira!” Tepukan kencang yang mendarat di bahunya membuat Aira terbangun dari tidurnya.
“Sifa?” Ia kaget saat melihat justru Sifa yang berada di sampingnya, dan ia juga masih berada di kelas.
“Lo mau apaan ih? Lo mimpi ya?”
Aira mengusap wajahnya, “Sumpah ya kenapa lo ngancurin mimpi gue. Gue hampir mau nonton sama..”
“Sifa?” Panggil seseorang yang berdiri di ambang pintu.
“Hah? Iya, Lang?” Sifa sama terkejutnya dengan Aira ketika melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
“Dicariin Alika.”
“Oh iya, bilang aja entar gue nyusul sama Aira.”
“Oke.” Balasnya lalu segera menghilang dari ambang pintu.
Aira sangat bersyukur ia belum menyebutkan nama Langit. Karena dengan suasana yang sudah sepi, jika Aira tadi menyebut namanya itu sudah pasti ia akan mendengarnya.
“Pasti lo mau nyebut nama dia kan?” Tebak Sifa setelah kepergian Langit.
Aira lantas mengangguk cepat. “Gue mimpi.”
"Gue mimpi diajak nonton pas mau ke rumah Alika, lo emang ya ganggu gue aja."
“Gila ya lo tidur sampe nyenyak banget padahal di luar acara rame.”
Aira berdiri, ia melihat dari dalam melalui jendela. “Kok sekarang sepi?”
“Iya lah udah selesai, lu liat aja jam berapa sekarang.”
Aira segera membuka ponselnya, ia tak percaya saat melihat pukul berapa saat ini. “Demi apa sih udah sore?”
“Lo tidur jam berapa tadi?”
“Jam 1.” Jawabnya dengan wajah polos.
Sifa menepuk dahinya. “Sekarang jam 4 sore, Ra. Gila lo udah kayak tidur di rumah.”
“Elu sih semalem nelpon, gue jadi enggak karuan. Jadi aja gue enggak bisa tidur.” Aira tak mau kalah, ia menyalahkan Sifa.
“Kok nyalahin gue sih anjir?” Ucap Sifa tak terima.
Aira lagi-lagi tersenyum masam. “Sumpah gue kepikiran, kayak gimana nih besok gue ketemu dia.”
“Ih gila ya lo, beneran gila. Lo tuh emang sekalinya suka tuh gini, Ra. Semua lo kasih jadi enggak ada sedikit aja buat lo."
“Woii! Buruan lah mau berangkat nih.” Teriak beberapa orang dari luar kelas.
“Eh ayo deh, nanti aja ceritanya di rumah Alika.” Kata Sifa, ia memakai tasnya sambil berdiri.
“Ya udah, gue ke ruangan panitia dulu ngambil tas.”
Baru Aira hendak melangkah. “Itu tas lo anjir, enggak keliatan bukan sih? Ruangan panitia udah dikunciin.”
“Wah gue segitu lamanya tidur.”
Sifa hanya menggelengkan kepalanya, lalu ia bersama Aira beranjak dari kelas untuk menemui anak-anak yang sudah menunggu.
“Lama amat sih.” Tegur Abi yang sudah menyalakan motornya.
“Ini nih si Aira, tidur anjir di kelas.” Jawab Sifa dengan suara yang cukup keras.
“Wuuuuuuu...” Teriak orang-orang yang tengah menunggu mereka sedari tadi.
“Anak kecil so soan sibuk sih.” Cibir Radit.
“Ketiduran bukan sengaja tidur.” Ucap Aira membela diri.
“Udah-udah, sekarang naik motor dah udah sore nih.” Kata Abi sambil melirik pergelangan tangannya.
Sifa segera mengambil motornya, lalu Aira segera duduk di jok belakang motor Sifa.
Aira bisa melihat dari kejauhan, Langit berada di depan dengan teman-temannya yang juga ikut ke rumah Alika. Padahal kalau saja semesta mendukung, Aira ingin duduk di belakang Langit seperti di mimpi tadi. Setidaknya ia bisa berada sedekat itu, walaupun tetap menjadi teman.
“Ikut, Ra. Aman.” Ucap Sifa seolah membaca pikiran Aira.
Aira terkekeh saja sambil menoyor kepala Sifa. “Dasar lo!”
*
Setelah sampai di rumah Alika, semuanya berbeda kesibukan. Ada yang bernyanyi sambil bergitar, ada juga yang sekedar mengobrol, meminta makan, bahkan masih sibuk menceritakan pertandingan siang tadi.
Di jaman seperti ini kumpul hanya membuat banyak orang ada di satu tempat, bukan di satu obrolan. Mereka akan sibuk masing-masing tanpa memikirkan sekitarnya.
“Eh, Ra?” Panggil Radit.
“Hm?”
“Sekolah luar yang bertahan di babak tadi siapa?”
Aira menoleh pada Alika, meminta jawaban Alika agar ia membantu menjawab pertanyaan dari pacarnya itu.
“Mana si Aira tahu, Dit. Orang dia tidur di kelas.”
“Sumpah ya, Ra. Lo dicariin anak-anak tadi, gue enggak kepikiran lo tidur di kelas. Daffa bilang katanya lo marah gara-gara dia.”
Bisa-bisanya Daffa menyalahkan diri sendiri, walau ia memang kesal tapi tak sepenuhnya karena Daffa.
Aira tertawa. “Iya, gue ngantuk dia nganggetin gue di ruangan. Ya gue kesel lah, udah hp gue abis batre juga.”
“Ngapain emang lu bisa ngantuk begitu?” Tanya Alika curiga.
“Biasa lah, Aira ngapain lagi kalau enggak mikirin Zaidan.” Ucap salah satu temannya.
Semuanya mendengarkan percakapan itu ternyata, Aira tiba-tiba tidak mau jika Langit juga mengira kalau Aira masih memikirkan Zaidan.
Mana tahu Langit bisa saja menyukainya juga walaupun ini khayalan nya, tapi tetap saja apa lagi yang membuatnya senang selain berandai-andai.
“Enggak lah, gue enggak mikirin Zaidan lagi.”
“Iya lah mikirin yang di sini kan?” Celetuk Alika yang mendapatkan pelototan dari Aira.
“Siapa si?” Kata Abi yang mulai penasaran.
“Apaan anjir enggak ada.” Bela Aira sendiri
“Yah suka rahasiaan nih, siapa ni cowonya Aira di sini?” Tanya Abi setengah berteriak.
“Langit..”
Plak.
Sifa kaget saat Aira tiba-tiba memukul bahunya. “Apaan sih? Gue minta ambilin tas gue di deket Langit.”
“Ah enggak jelas.” Kata Abi menyudahi percakapan mereka.
Aira yakin beberapa dari mereka juga ada yang mengerti dengan ucapan Aira dan Sifa, pasti setelah ini juga akan ada yang membicarakan Aira diam-diam.