Part 5

3011 Kata
Lagi-lagi kadang semesta sulit sekali untuk ditebak, ia bisa saja membuat Aira lupa pada Zaidan tapi kini Aira dibuat pusing dengan Langit. Banyak pertanyaan yang makin hari bersarang di kepalanya dan membutuhkan jawaban pasti. Perasaan itu makin hari makin saja menjadi, padahal keduanya tidak ada komunikasi lagi. Walaupun sebelum perasaan ini ada memang mereka jarang sekali mengobrol, tapi rasanya saat perasaan itu ada Aira jadi semakin canggung berada di sekitar Langit. Seperti kejadian yang telah berlalu, setelah acara yang membuat Aira jatuh hati pada Langit sudah selesai. Pesona Langit tidak terkalahkan dengan memakai seragam sekolah, ada saja point yang membuat Aira salah tingkah sendiri. Padahal Langit sudah biasa seperti itu sebelumnya, hal ini membuat Aira seketika memandang Zaidan dengan tatapan yang biasa. Ia selalu merasa kalau Langit tahu betul perasaannya, itu sebabnya ia selalu dibuat salah tingkah setiap berada di dekat Langit. Aira juga sempat bertanya-tanya soal Langit mengetahui atau tidak siapa yang menaruh hati padanya, pasalnya sikap Langit yang biasa ia lakukan setiap harinya terasa beda bagi Aira seperti lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin ini hanya perasaan Aira saja yang kadang membuatnya menjadi lebih sensitif dari sebelumnya. Sudah 3 hari berlalu, Aira belum juga bertemu dengan Alika yang pasti tahu jawaban dari pertanyaan Aira. Kelas mereka berdua yang terpaut cukup jauh, belum lagi istirahat hanya diberikan waktu sebentar kadang baru saja berjalan menuju kelasnya bel masuk sudah berbunyi. Ia tak mau terlihat terlalu bersemangat dengan mencari-cari Alika. Biar saja Alika yang nantinya menemui Aira ke kelasnya. Kalau soal Langit, tidak perlu jauh-jauh, ia hanya cukup keluar kelas dan mampir di kelas sebelahnya maka dia akan menemukan Langit. Hari ini Aira datang sedikit siang, Ayah terhambat bangun jadi Aira harus menunggu Ayah siap-siap sambil mengomel. Padahal jelas-jelas ini salah Ayah, tapi tetap saja Aira yang kena. Perkara ia lupa membawa botol minum saja, Ayah mengomelinya hingga sampai sekolah. Sesampainya ia di sekolah, ia langsung di sapa oleh beberapa anggota osis yang tengah berjaga hari ini, Aira melirik pergelangan tangannya untuk memastikan bahwa ia tidak terlambat. Sebelum masuk ke kelas Aira menyempatkan lebih dulu ke ruang OSIS. Ada yang harus ia siapkan untuk diserahkan ke pihak sekolah. Tapi, Aira kesulitan untuk membuka pintunya. “Kenapa?” Tanya Bagas salah satu anggota OSIS. “Susah, Gas. Bantuin dong, gue mau ngambil hasil print.” Bagas mengangguk, lantas menggantikan posisi Aira yang di depan pintu. Aira memilih duduk karena keringat sudah menetes di pelipisnya akibat kesulitan membuka pintu. Aira mengeluarkan ponselnya dari dalam saku roknya, ia langsung menyalakan data seluler untuk memperbarui notif ponselnya yang belum ia baca. Dengan santai Aira membaca satu persatu. “Kok susah ya, Ra?” Tanya Bagas yang juga kesulitan membuka kunci. “Enggak tahu, Gas. Kemarin juga udah agak susah, Cuma enggak sesusah ini.” Jawab Aira sambil menyeka keringatnya. “Emang gara-gara apa sih begini?” Tanya Bagas lagi yang mulai kesal. “Dibanting, Gas.” “Sama siapa?” Tidak ada jawaban. “Sama siapa, Aira?” Aira terfokus pada ponselnya, matanya menyipit, bibir membentuk lekukan yang biasa orang lakukan ketika bahagia. Aira sama sekali tidak mendengar apa yang Bagas katakan, fokusnya hilang hanya karena satu kalimat yang tertera di ponselnya. LangitPutra_mulai mengikuti anda “Ih sumpah?” Batinnya dalam hati, kalau saja membantin terdengar jelas hingga ke telinga orang lain. Mungkin semua orang sudah menutup telinganya saat ini. Ada dua perasaan saat ini, senang dan bingung. Senang karena Langit sudah menunjukkan pergerakan, sedangkan bingung karena ia harus bersikap bagaimana pada Langit nantinya. “Aira?” Panggil Bagas. “Heh gilaaaaaa....” Teriak Aira. Aira langsung bangun, ia langsung menggoyangkan bahu Bagas sambil berekspresi kegirangan. Percayalah, Aira benar-benar merasakan definisi bahagia tanpa disentuh. Ia baru kali ini merasa kebahagiaan yang sempat hilang karena kehadiran Zaidan di hidupnya. Bagas yang sedari tadi mengusahakan pintu justru diam tak berkutik, ia kebingungan harus menjawab apa karena ia juga kaget melihat sikap Aira yang tiba-tiba saja berubah aneh. “Gassss....” “Ra? Apaan sih? Gila ya lo?” Tanya Bagas sambil menatap heran pada Aira. “Bagas ih gue seneng banget.” Jawab Aira yang masih tetap mempertahankan kegirangannya. “Nih, pintunya udah kebuka.” Bagas memberikan kunci ruangan pada Aira, lantas ia segera meninggalkan Aira yang masih kegirangan entah karena apa. “Lu kenapa anjir?” Kali ini bukanlah Bagas yang bertanya. Aira juga dibuat diam saat melihat siapa yang bertanya padanya. “Kepo.” “Dih gila banget bocah.” Ia mencibir sikap Aira yang sudah ia perhatikan dari jauh. “Apaan sih lo so tahu banget, baru datang udah bilang gue gila. Lo yang gila!” Jawab Aira yang tidak mau kalah dengan lawan bicaranya. “Dih, dikira gue enggak punya mata kali.” “Oh lo merhatiin gue dari jauh? Idih kenapa lo? Rajin banget.” Aira lagi-lagi tak mau kalah. Aira memang bisa menjadi kepribadian yang berbanding terbalik dengan aslinya, ia bisa menjadi se galak ini dan bisa menjadi sosok yang serba iya dan diam. Tergantung dengan siapa ia berbicara, dan bagaimana yang ia rasakan pada lawan bicaranya. Aira cenderung galak jika bercanda dengan orang yang dirasa membuatnya nyaman dan ia tidak sadar kalau ia menyimpan rasa pada orang tersebut. “Apaan sih?” Selalu begitu saja respon yang ia berikan pada Aira, seperti menjijikan sekali Aira di matanya. “Daf, jauh-jauh deh lo dari gue.” Aira lantas masuk ke dalam ruangan dan mengambil hasil print yang akan ia bawa. Daffa lantas berdiri di ambang pintu, memperhatikan Aira yang sedang sibuk mencari sesuatu. “Nyari apa?” Baru mendengarnya saja Aira langsung mencibir dengan menggerakan bibirnya tanpa menjawab pertanyaan Daffa, apa ia sebegitu lupanya dengan yang ia lakukan tadi. Lantas sekarang ia dengan polosnya bertanya pada Aira. “Menurut lo? Gue nyari apa?” Daffa tak menjawab, ia hanya memutar bola matanya malas. Lantas meninggalkan Aira begitu saja di ruang OSIS. Aira juga tidak peduli, pikirannya hanya tertuju pada hasil print yang tengah ia cari. Daffa sering kali begini, seenaknya saja tanpa tahu sekesal apa orang pada dirinya. Ia berlaga baik, lalu setelah itu menyebalkan, lalu kembali baik dan lupa dengan apa yang ia lakukan. Perasaannya juga sudah sepenuhnya fokus pada perasaan senang karena satu notif yang ia dapatkan tadi. Sederhana sekali mood Aira bisa berubah hanya karena hal kecil yang ia sukai. Sekitar 10 menit lamanya Aira merapihkan sesuatu yang akan ia bawa, setelah semuanya selesai ia segera keluar dengan membawa berkas-berkas yang sudah ia rapihkan. Ia berkaca lebih dulu sebelum keluar dari kamar, bisa saja ia di luar bertemu dengan Langit. Walaupun tidak ada berubah, tapi setidaknya ia sudah berlatih senyum saat ini. Setelah puas berkaca, ia kembali mengunci pintu ruangan OSIS dan segera pergi ke kelasnya. Langkahnya tak terlalu cepat, padahal bel jelas-jelas sudah berbunyi. Biasanya Aira paling anti sekali masih berada di luar kelas saat bel. “Assalamualaikum, selamat pagi.” Seluruh pasang mata tertuju pada Aira, ia sendiri juga tidak sadar kenapa semua orang menatapnya aneh. “Asiikkk..” Jawab beberapa orang di dalam kelas. Aira yang tidak sadar dengan itu, masuk saja dengan wajah polosnya. Lalu duduk di bangkunya, ia juga sempat heran melihat Sifa yang menatapnya beda. “Pada kenapa?” Tanya Aira yang baru saja mendudukan bokongnya di kursi. “Lu yang kenapa, Ra?” “Lah ko gue?” Aira juga bingung ada apa dengan dirinya. “Ya iya orang tuh bingung lu ngucapin salam kayak lagi jaga di gerbang. Segitu mendarah dagingnya apa OSIS di hidup lu.” Cibir Sifa. “Lah iya, gue lupa.” Aira yang baru sadar dengan hal itu langsung terkekeh, ia menertawakan dirinya sendiri. Ia benar-benar spontan dengan hal itu. “Gue enggak nyadar, Sif.” Ucap Aira lagi membuat Sifa menggelengkan kepalanya. "Pantesan pas gue masuk kok anak-anak langsung diem, langsung turun dari meja tiba-tiba padahal belum ada guru." “Bahagia amat kayaknya, beda soalnya lu.” Tebak Sifa yang selalu saja tepat pada sasarannya. Aira tidak menjawab, ia langsung mengeluarkan ponselnya lalu memperlihatkan sesuatu pada Sifa. “Demi apa sih?” Sifa yang ikut kegirangan membacanya. “Tuh udah dinotice sama dia.” “Eh iya ya, itu artinya dia tahu dong gue suka sama dia?” “Yah iya kali, ya iya lah.” Wajah Aira langsung berubah bingung. “Terus gimana dong? Gimana kalau gue ketemu dia? Ih malu banget.” “Iya terus lu mau selamanya suka diem-diem? Kalau gitu kenapa lu bilang sama Alika. Udah pendem aja sendirian.” Ucapan Sifa memang ada benarnya, ia juga ingin Langit tahu tapi ia juga malu jika hal itu terjadi. Bisa saja jika Langit tahu maka ia juga akan mulai pergerakan, jika diam saja mana bisa Langit menerka perasaan Aira. Apa lagi Langit cuek dan dingin, kabarnya ia masih saja menunggu Karin. Padahal jelas Karin sudah memiliki kekasih baru. “Suka mah wajar kali, lu masih dalam batas wajar. Belum sampai ditahap nembak dia duluan kan?” Ucap Sifa dengan santai. “Iya enggak sih, cuman canggung aja,” Sifa menghela napasnya, ia kadang kesal dengan sikap Aira yang seperti ini. “Ya selama ini lu enggak pernah ngobrol kan sama dia? Terus canggung dari mana nya?” “Seenggaknya, Sif. Kayak pas ketemu gitu rasanya beda aja.” Aira terus membuat pembelaan. “Bersyukur aja dulu, siapa tahu dengan dia follow lu duluan itu mengartikan dia oke sama lu. Iya enggak sih? Ya maksudnya kayak lampu hijau aja sih menurut gue.” Aira tetap diam menatap Sifa yang sedang berbicara. “Iya kalau Langit enggak suka sama sekali, mungkin dia juga enggak ada niat untuk follow lu. Kalau gini kan kayak dia juga mau nyoba ngenal lu gitu.” Lanjut Sifa menjelaskan pada Aira yang masih terlihat kebingungan. “Gila ya, baru difollow aja hidup gue berasa berubah seratus persen. “ “Kebayang kan lu, apalagi lu ditag dan masuk story dia kali. Udah hilang ingatan temen gue.” "Lain kali kalau mau percaya diri mending sama Langit, jangan sama orang kayak Zaidan lo kepedean banget berharap dia balik, dia berubah, enggak akan pernah ada fase nya. Malah lo bakal menyesali tuh hari-hari yang lo abisin buat nangisin si Zaidan." Ini serunya berteman dengan Sifa, ia mampu diajak untuk berhalu setinggi mungkin tanpa disadarkan dengan cuitan pedas seperti temannya yang lain. “Jadwal ekstrakulikuler gue juga bareng sama dia, kebayang sih balik bareng gitu. Atau enggak, kayak gue beres duluan terus gue yang nunggu. Dia beres duluan terus dia yang nunggu.” Ucap Aira sambil membayangkan apa yang ia ucapkan terjadi. “Gas lah, jangan enggak.” Sifa menimpali dengan semangat. “Mantap.” Ucap Aira tak kalah semangat. Berjuang bagi mereka berdua tak harus selalu diawali oleh laki-laki, mereka juga berhak menentukan apa yang mereka mau. Atau setidaknya memperjuangkan apa yang mereka inginkan tanpa harus menunggu untuk dimulai. * Menyeruput es di siang hari adalah kenikmatan tiada tara, apa lagi saat melihat antrian panjang setelah ia berhasil mendapatkan es pilihannya. Alika tertawa jahat melihat deretan temannya yang mengantri panjang sekali demi es Bu Ella yang menjadi incaran setiap istirahat. “Ngantri yaa, Lang.” Ledeknya pada Langit begitu ia menemukan Langit berada di deretan antrian es Bu Ella. “Keren lo udah dapet aja, Lik.” Jawabnya dengan sedikit tawa yang ringan untuk didengar. “Iya, tadi gue keluar duluan dari kelas.” “Pelajaran siapa emang?” “Pak Rohman.” Langit mengangguk paham. “Padahal gue nitip.” Alika tertawa saja menanggapinya. “Gimana?” “Apanya?” “Itu temen gue.” Ucap Alika sambil menaikkan sebelah alisnya. “Udah gue follow semalem.” Ucapnya dengan tenang. “Ih gerak cepet banget, kayak gitu dong. Jangan fokus sama mantan lo terus, Lang.” Sindir Alika secara terang-terangan. Dua orang yang sama-sama terpaku pada masa lalu memang harus dipertemukan, bukan karena apa-apa. Setidaknya mereka harus sama-sama tahu bahwa masa lalu hanya berhak ada di belakang, bukan di depan untuk ditangisi atau berharap mereka kembali. Kalaupun kenyataannya akan begitu, mungkin tidak akan mereka berjuang sendirian. Pasti kedua pihak akan sama-sama saling mempertahankan. “Siapa yang fokus sama mantan sih, Lik?” Balas Langit tak terima dengan pernyataan Alika. “Udah chatan?” Alika mengalihkan pertanyaan Langit tanpa dijawab lebih dulu. “Belum, hp gue kan rusak.” “Terus follow pake apa?” Tanya Alika sambil menyipitkan matanya. “Iya kan log in kayak gitu bisa di hp siapa aja.” Alika refleks menepuk bahu Langit. “Jadi lo follow dia pake hp orang lain? Serius?” Bagi Alika itu adalah salah satu usaha yang baik untuk mengawali hubungan di antara Langit dan Aira. Karena mau ia memiliki akses di ponsel sendiri pun jika tidak ada niat maka tidak akan berjalan sedemikian apapun. “Iya.” Jawab Langit mempertahankan sikap cool nya. “Ah so keren deh lo jawabnya. Gue tunggu kabar selanjutnya ya.” “Nunggu hp dulu bener.” “Berarti kalau bener, beneran mau?” “Mau apa?” Tanya Langit pura-pura tak mengerti. Alika berdecak kesal. “Mau lanjut gitu.” Langit mengangguk, ia tak menjawabnya dengan kalimat. Kalau saja Aira melihat sikap Langit, ia pasti sudah dibuat gemas. “Heh?” Baru saja mengatakan gemas dalam hati, ia sudah ditegur dengan kedatangan Radit di kantin. “Apa?” “Ngapain lu? Diri disitu sambil minum es.” Tanyanya dengan nada tengil. “Ih suka-suka gue lah.” “Dicariin si Sifa.” Ucapnya memberitahu sekaligus meminta Alika untuk tidak lagi berada di kantin dan berdekatan dengan Langit. “Cemburu tuh bilang bos.” Kata Alika sambil menjulurkan lidahnya pada Radit, lalu berjalan meninggalkan Radit yang menatapnya kesal. Alika langsung pergi ke kelas Sifa, ia tidak tahu kalau sebenarnya Radit hanyalah beralibi agar Alika pergi dari kantin. Tapi ia juga baru ingat kalau ia memiliki janji pada Aira untuk menjelaskan sesuatu. “Ada Sifa?” Tanya Alika pada salah satu anak kelasan yang berdiri di ambang pintu kelas Sifa. “Ada.” “Sifaaa, ada yang nyariin.” Anak itu segera memanggil Sifa yang tengah mengobrol dengan Aira. “Oke.” Sifa lantas keluar kelas bersama Aira, mereka belum tahu siapa yang mencari Sifa. “Lik? Lo yang nyariin?” Tegur Sifa, begitu melihat Alika tengah berdiri di depan kelas mereka sambil menyeruput es. “Hah? Bukannya lo yang nyariin gue? Mangkannya gue ke sini.” Sifa dan Aira saling berpandangan, sudah tidak aneh kalau Alika bersikap tidak jelas seperti ini. “Enggak ah, kata siapa?” “Anjir ya, Radit emang.” “Ya lu lagian gatel sih deket-deket sama cowo lain mulu, jadi diboongin sama Radit biar lo pergi dari kantin.” Ucap Sifa, ia tahu sekali tabiat kedua temannya. “Enggak gatel sih, gue Cuma ngobrol aja sama temen gue.” “Iya tapi cowo kan?” Tebak Aira. Alika hanya menyengir saja merespon tebakan Aira yang tepat sasaran. Aira baru ingat apa yang ingin ia tanyakan pada Alika. “Eh iya, gimana?” “Ada juga gue yang nanya lo gimana?” Balas Alika yang membuat Aira dan Sifa saling menatap lagi. “Lu bilang ya, kalau gue yang suka?” Alika menggeleng. “Enggak, gue Cuma bilang temen gue anak OSIS terus kelasnya sebelahan sama dia.” Sifa menghela napasnya. “Ya iya anak OSIS yang sebelahan sama kelas dia ya Cuma si Aira.” “Iya tapi gue enggak sebut nama.” Alika tetap membela diri dengan wajah polosnya. “Dia follow gue soalnya.” Kata Aira memberitahu. “Wah iya? Terus?” Alika memasang wajah kaget. “Tadi pagi, mangkannya gue tanyain ini sama lo. Itu artinya dia tahu kalau gue yang suka sama dia.” Alika manggut-manggut saja, ia menyeruput esnya lebih dulu sebelum membalas Aira. “Gue udah tahu sih kalau Langit follow lo.” Sifa lagi-lagi menelan ludahnya sendiri, sambil menatap kesal pada Alika. “Terus kenapa lo tadi kaget si Langit follow Aira? apa guna nya?” “Iyaa kan respon namanya juga, Sif. Harus didramatisir gitu.” Aira hanya menggelengkan kepalanya tak kuasa menahan sabar nya menghadapi teman semacam Alika. “Terus dia bilang apalagi?” “Enggak bilang apa-apa sih.” “Dia cuma bilang kayak gini aja sih..” Sifa menonjok bahu Alika. “Ya lu tadi bilang si Langit enggak bilang apa-apa.” “Iya kan belum selesai.” “Yaudah si Langit bilang apa?” Aira langsung menimpalinya, ia sudah tak kuasa menahan kekesalan pada Alika. “Dia bilang hp dia rusak, terus ya dia mau chat lu Cuma hp nya rusak. Gitu aja sih.” “Terus dia follow pake apa kalau hpnya rusak?” Tanya Sifa penasaran. “Nah, ini bagusnya. Katanya kan log in bisa make hp siapa aja, berarti dia usaha dong buat sekedar follow lu aja.” Sifa membenarkan ucapan Alika. “Tumben lo bener.” “Terus kalau hpnya bener?” “Ya dia bilang tunggu hpnya bener aja.” Aira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Bentar lagi libur padahal.” “Terus apa urusannya?” Tanya Alika tak paham. “Iya takut enggak berkembang aja gitu.” Jawab Sifa greget. “Gosip terus.” Ucap seseorang yang berada di belakang mereka bertiga. “Apaan sih? Ngomong sama cowok salah, sama cewe juga salah.” Jawab Alika ketika tahu siapa yang berdiri di belakangnya. “Kok sewot sih, Lik?” Sifa benar-benar sudah hilang sabar dengan Alika. “Ya kaya serba salah aja gitu gue, tadi dia bilang gue dicariin sama elu tahunya enggak kan.” “Ya udah ya, urusan rumah tangga lo duaan. Gue masuk dulu sama Aira.” "Lagian sih lo suka enggak masuk kalau diajak ngomong jadi orang tuh kesel sama lo." Tambah Sifa memperjelas. Ini niatnya bercanda saja karena memang sering sekali berkata demikian pada Alika. Entah ia sakit hati atau tidak tapi biar lah ini sekaligus menjadi pelajaran baginya. Jika ia mudah dikecoh atau se polos ini maka makin banyak aja orang yang bisa membohongi nya nanti. Sifa dan Aira lantas meninggalkan mereka berdua, itu sudah bukan urusan Aira ataupun Sifa. Tinggalah Alika berdebat dengan Radit saling membenarkan pendapatnya masing-masing. Begitulah nasib berpacaran dengan satu circle, ada saja yang diributkan bahkan mereka tak saling mengerti satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN