Hari-hari yang Aira jalani kini berubah drastis, ia lebih terlihat ceria daripada sebelumnya. Langit benar-benar memberikan pengaruh positif pada kehidupan Aira, hal ini juga dibenarkan oleh beberapa teman Aira. ia tidak lagi bersedih karena ulah Zaidan, bahkan ia terlampau biasa saja ketika melihat Zaidan atau Zaidan menyapanya.
Ini merupakan pencapaian terbesarnya, berlama-lama memikirkan Zaidan yang tidak pernah ada ujungnya. Hingga ketika ia merasakan ini pada Langit, Aira yakin kalau ini bukan pelampiasan seperti biasanya.
Walaupun tidak ada hubungan di antara keduanya, Aira selalu berusaha menjaga hati Langit. Berguna atau tidak, ia tak mau Langit berpikir macam-macam padanya. Tidak ada yang tahu kapan Langit akan berpikir menyukai nya atau tidak, intinya Aira harus selalu menjaga apa yang sudah tertanam dengan baik.
Baru saja menginjakkan kaki di parkiran Aira hendak ke ruang OSIS tapia ia tidak sengaja bertemu dengan Bu Anna, ia diminta untuk mengambil buku anak-anak kelasannya. Ia tidak bisa menolak, pasalnya Bu Anna adalah kesiswaan yang tidak bisa dibantah atau dibercandai seperti beberapa guru lainnya.
“Di meja ibu, pokoknya kamu cari saja yang paling atas bukunya milik anak kelasan kamu ya kamu ambil.” Pesan Bu Anna pada Aira.
“Iya, Ibu.”
“Oh iya, satu lagi Ibu lupa. Ibu minta setelah ambil buku kamu tolong ke kelas Ipa 2, kelas yang di sebelah kamu itu. Minta salah satu siswanya juga mengambil buku di meja Ibu.”
Aira tiba-tiba mendapat semangat yang berkali-kali lipat, padahal sebelumnya ia malas sekali pergi ke ruang guru. Begitu ia mendengar kelas Langit disebut, rasanya ia berharap kalau Langitlah nanti yang akan mendengarkan amanat dari Bu Anna.
“Baik, Bu. Saya permisi kalau gitu.”
“Iya..”
Aira lantas pergi ke ruang guru, ruangannya masih sepi. Mungkin beberapa guru masih ada yang berada di kelas sedang mengajar, baguslah ia jadi tak begitu malu untuk memgambil buku.
Diliriknya setumpukan buku yang berada di samping buku milik kelas Ipa 3, nama Langit tertera paling atas di sana. Melihat namanya saja membuat perasaannya bertambah terus-menerus, apalagi mendapat respon baik dari Langit.
“Ya ampun bukunya calon pacar.” Gumam Aira dalam hati, siapa tahu Tuhan mengiyakan.
Setelah mengambil buku itu, Aira segera keluar dari ruangan guru. Ia agak kesulitan untuk melihat jalan ke depan, karena buku-buku yang ia bawa hampir menutup wajahnya penuh.
Aira menghela napasnya, ia harus cepat-cepat pergi ke kelas agar ia tak kehilangan kesempatan untuk menemui Langit di kelas sebelah.
“Rin?” Panggil Aira ketika ia melihat Ririn sedang berdiri di depan pintu kelas.
“Sini gue bantu.” Ririn seolah paham kalau Aira meminta bantuannya untuk membawa buku itu masuk ke dalam.
“Ini bagi dua aja sama lo.” Kebetulan keadatangan Revan saat ini mempermudah Aira untuk membagi dua buku itu dan dibawa masuk ke dalam kelas.
“Ini bagiin aja, gue mau ke kelas sebelah dulu.” Kata Aira dengan napasnya yang terengah-engah.
“Iya, makasih.” Kata Ririn sebelum membawa buku itu masuk ke dalam kelas.
Aira menarik napasnya dalma-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Ia berusaha mengatur ritme jantungnya yang sedari tadi berdetak lebih cepat. Tibalah ia di depan kelas milik Langit, ia menatap pintu yang menutup. Kalau ia buka pasti semua mata akan tertuju padanya.
Bukan Aira kepedean, tapi semua kelas pasti seperti itu.
Aira menarik napasnya sekali lagi, ia menghembuskannya lagi perlahan sembari bersiap membuka pintu kelas Ipa 2.
Krek.
Benar saja, kericuhan yang smeula terdengar hingga luar tiba-tiba lenyap begitu saja diganti sunyi setelah Aira membuka pintu kelas. Aira benar-benar malu karena semua mata tertuju padanya, termasuk Langit yang tengah melihat ke arahnya. Namun, beberapa detik kemudian ia langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Ada apa, Ra?” Tanya salah satu anak Ipa 2.
“Itu kata Bu Anna, buku udah selesai dinilai langsung diambil aja di meja Bu Anna.” Kata Aira dengan nada yang lumayan pelan.
“Oh iya, ada lagi?”
Aira menggeleng. “Enggak ada, itu aja. Usahain ambil sekarang ya.”
“Iya makasih banyak, Ra.”
Aira mengangguk sembari memberi senyum pada lawan bicaranya, lalu setelah itu ia keluar dari kelas Ipa 2. Perasaannya agak lega, tapi ada perasaan tak karuan yang tiba-tiba menghampirinya. Mungkin karena Aira terlalu berharap kalau Langit lah yang akan berbicara dengannya.
Aira benar-benar ingin menatap Langit lebih lama dari biasanya.
“Abis dari mana?” Tanya Sifa, begitu Aira datang dan menghampiri Sifa di tempat duduknya.
“Dari Ipa 2.”
“Ketemu dong.”
Aira mengangguk pelan. “Iya sih ketemu, tapi enggak ngobrol juga kan.”
Sifa manggut-mangut saja, ia mengerti kalau Aira pasti ingin lebih.
“Tapi, pas tadi semua mata liat ke gue. Langit tuh beberapa detik kemudian langsung buang muka gitu, apa dia enggak suka ya sama gue?” Tebak Aira dengan wajahnya yang so tahu.
“Hih mulai deh, ya emang dia harus gimana? Melototin lo gitu sambil ngomong aku sayang kamu, iya?” Kesal Sifa.
“Iya enggak gitu juga lah, Cuma kan kayak nyesek aja gitu.”
“Kebanyakan nyesek banget hidup lo, pantesan kecil mulu.” Celetuk Sifa dengan nada meledek tanpa menghilangkan kesan kesalnya pada Aira.
“Dih mulut lo ya, Sif.” Ucap Aira tak terima.
“Ya iya lah, lo tuh kebanyakan mikir negatif. Dikit-dikit ngira orang enggak suka, ngira dia enggak mau. Terus kapan lo optimisnya?”
“Gue Cuma enggak mau sakit hati aja.”
“Ya berarti tempatkan apapun ya pada tempatnya, sesuai porsi. Enggak lebih bahkan enggak kurang sama sekali.” Jelas Sifa yang sudah kesal dengan kebiasaan Aira.
Aira mengiyakan saja apa yang Sifa ucapkan. Sebenarnya memang apa yang dikatakan Sifa banyak sekali benarnya, atau hampir semua benar. Tapi, inilah cara Aira mengurangi rasa sakit yang akan datang pada dirinya nanti. Sudah mundur lebih dulu, merasa kurang lebih banyak, agar kalaupun nanti ia mendapatkan apa yang ia perjuangkan itu akan menjadi anugerah yang tidak ia sangka sebelumnya.
Sedangkan Sifa, ia terlanjur menjadi orang yang to the point. Apapun yang akan ia sampaikan tidak akan melalui jalan lain, atau bahkan embel-embel lain untuk mengurangi sakit hati. Ia akan langsung tepat pada niat dan tujuannya.
“Bentar lagi libur bukan sih?” Tanya Sifa mengubah topik obrolan mereka.
“Emang iya?” Aira justru bertanya kembali karena tidak tahu jawabannya.
“Sa? Bentar lagi libur semeter?” Sifa langsung memutar badannya mengahdap ke belakang, tepat ke arah Alisa dan Diva yang tengah mengobrol.
“Iya deh kayaknya, bagi rapot bukannya minggu besok?” Jawab Alisa yang juga masih ragu.
“Gue sih denger bagi rapot minggu depan.” Kata Diva menambahkan.
“Lu kata siapa, Div?”
“Bu Anna lah, enggak percaya banget sih lo kayaknya ke gue.” Protes Diva pada Sifa yang menatapnya tak percaya.
“Bukan gitu, Div. Takut hoax aja kali si Sifa.” Tambah Alisa memperjelas agar tidak terhadi kesalahpahaman.
“Iya sih, Cuma kan kadang si Diva suka kemana-mana gitu kalau orang ngejelasin ya suka beda arti sendiri.”
“Katain aja gue terus, Sif.”
Alisa dan Aira hanya tertawa melihat Sifa tak ada hentinya meledek Diva, padahal Aira sendiri tahu betul kalau Sifa tak hanya sebatas meledek. Ada kalimat tersirat yang ia sampaikan pada Diva, entah Alisa dan Diva memahaminya entah tidak.
“Eh lo tahu enggak sih, bentar lagi sekolah kita juga kan turnament.” Ucap Alisa bersemangat.
“Turnament apaan? Volly? Atau apa?” Tanya Aira yang belum tahu kabarnya.
“Futsal lah, sejak kapan Alisa semangat sama olahraga lain selain futsal.”
“Iya kayak lu ya, Div. Kalau bukan Ryan yang main mah, lo mana mau tuh bela-belain nonton futsal.” Tambah Sifa yang mulai kembali membuat Diva kesal.
“Kapan, Sa?”
“Akhir bulan sih gue dengernya, ya pas kita libur aja.” Jawab Alisa.
“Tumben lo nanyain kapan, mau nonton?” Tanya Diva yang jelas mengetahui jelas kalau Aira biasanya tak tertarik dengan obrolan semacam ini. Jangankan bertanya, ia mendengarkannya saja kadang malas sekali.
“Mau nonton Ryan enggak lo, Div?” Tanya Aira lagi tanpa menjawab pertanyaan sebelumnya.
“Dih tengil banget lo, ditanya malah balik nanya.” Balas Diva sambil menggebrak mejanya cukup keras.
Aira hanya tertawa saja melihat respon Diva. Ia juga tahu kalau Diva bertanya, tapi entah kenapa ia rasa pertanyaannya jauh lebih penting dibanding menjelaskan kenapa Aira tertarik dengan topik ini.
“Diva mah pastu datang lah.” Ucap Raka yang tiba-tiba hadir di antara mereka.
“Ih lo siapa sih? Datang-datang main ikutan aja.” Omel Diva pada Raka yang tak direspon sama sekali oleh Raka.”
“Emang lu mau nonton, Ra?” Kali ini Raka yang bertanya pada Aira.
“Kenapa sih pada nanya gitu?” Tanya Aira dengan wajah heran.
“Iya kan lo biasanya sibuk sama OSIS, kayak libur pun lo masih bilang ada rapat. Apalagi buat nonton futsal yang jelas-jelas lo enggak setertarik itu, mana mungkin lo datang.”
“Enggak tahu sih datang apa enggak.” Kata Aira menajwab pertanyaan yang sedari tadi dilontarkan.
“Heh!” Diva menggebrak mejanya lagi, ia kini menatap serius ke arah Aira sambil menahan tawanya.
“Apaan lu?”
“Lo datang nonton siapa heh? Enggak cerita-cerita ya lo.” Kata Diva dengan suara yang agak keras.
“Emang kalau nonton futsal harus ada tujuan yang ditonton ya?”
“Iya dong, kalau sekedar iseng ngapain juga lu duduk di tribun ngeliatin orang rebutan bola.” Jawab Diva dengan ekspresif seperti biasanya.
“Ribet banget lo, Diva. Ya mungkin si Aira beda enggak kayak lo, datang ke sana khusus untuk Ryan seorang. Padahal yang main tim sekolah.” Sifa membela Aira yang masih saja diam sambil menahan tawanya.
“Dih lo kenapa sih? Sewot banget sama gue.” Balas Diva yang tak mau kalah emosinya dengan Sifa.
“Lo datang buat siapa?” Tanya Alisa pelan pada Aira. Sepertinya Alisa mengerti dengan posisi Aira saat ini.
“Enggak ada, Sa. Enggak tahu juga Cuma iseng aja nanya-nanya.” Jawabnya yakin tanpa memperlihatkan ragu sedikitpun.
“Yakin?”
“Iya lah.”
Diva baru saja hendak bersuara kembali untuk melontarkan banyak pertanyaanpada Aira, terpaksa harus berhenti ketika mendengar kelas langsung sepi saat Bu Anna sudah berdiri di depan pintu.
“Ah ada si ibu lagi.” Gerutu Diva smabil membereskan mejanya yang berantakan.
Selamat lah Aira, ia jadi tak ditanya terlalu banyak oleh Alisa maupun Diva. Ia bisa mngikuti pelajaran dengan wajah yang kelewat gembiara, dan senyum yang tak berhenti terukir.
*
Aira pulang seidkit terlambat karena haru piket lebih dulu dengan Sifa, baru saja selesai membersihkan kelas. Ia hendak menutup pintu kelasnya, padangannya langsung jatuh pada sekumpulan anak laki-laki yang tengah berdiskusi di dekat lapangan.
Aira menebaknya, pasti untuk membicarakan turnament itu.
Ia berharap saja Radit ikut turun pada turnament itu agar setidaknya ia memiliki alasan untuk datang ke turnament. Padahal ia terbilang wajar datang ke turnament karena menyemangati teman satu sekolahnya, tapi perasaannya sendiri yang membuat ia menjadi malu sendiri.
“Sif, pacar gue lagi diskusi. Ganteng banget.” Ucap Aira dengan nada menyebalkan.
“Mana?”
“Itu.” Jawab Aira sambil menunjukkan tempat diskusi nya menggunakan telunjuk.
“Lo mau datang bukan?”
Aira terdiam, ia menarik napas nya kembali. “Datang jangan ya, gue malu.”
“Lah nagapain malu, lo sah-sah aja kok datang karean turnament sekolah lu. Enggak masalah, selagi lu enjoy aja.”
“tetep aja gue jadi grogi sendiri.”
“Siapa tahu nih, lo diajak pulang bareng ya kan.”
Aira tertawa keras saat itu juga, ia kalau bahagia begitu mudah tertawa seperti ada hak yang sangat lucu terjadi.
“Emang lo belum chatan sama Langit?”
Aira menggeleng. “Kan hp nya masih rusak katanya.”
“Iya sih, sabar aja.”
Aira dan Sifa memutuskan untuk pulang, sembari berjalan tak sengaja mereka berpapasan dengan adik kelas. Mereka tahu nama tapi tidak pernah ada komunikasi sebelumnya.
Tiba-tiba Sifa menyenggol lengan Aira.
“Apaan?” Tanya Aira.
“Tiap hari gue liat itu ade kelas pulang sore mulu, capernya enggak nanggung.”
“Caper sama siapa?”
Sifa berdecak. “Di sekolah ada siapa lagi yang pulangnya sampai sore?”
“Anak futsal? Waduh kalau Langit inceran dia gimana?” Tanya Aira sedikit panik.
“Lo kan kakak kelas, kenapa lo yang panik sih?”
“Oh iya lupa, enak aja mau lawan gua anjir. Enggak akan bisa juga, kalau gue enggak bisa sama Langit ya dia juga ga boleh sama Langit.” Ucap Aira menggebu-gebu.
“Lagian belum tahu juga siapa yang dia jadiin tujuan buat caper.” Sifa berhenti melangkah, ia membalikkan badannya untuk melihat adik kelas yang ia maksud.
“Lo liat deh, ngapain coba duduk di pinggiran lapangan ketawa-ketawa. Enggak ada guna banget.” Tambah Sifa sambil menunjukkan hal itu pada Aira.
“Tapi, siapa tahu dia emang punya pacar anak futsal.” Tebak Aira yang mulai so tahu lagi.
“Enggak, lo emang pernah denger? Yaelah jadi pacarnya anak futsal mah kedengerannya cepet banget. Lo jadian pagi, siang udah satu sekolah yang tahu.”
Maklum, mungkin ini yang dibilang anak futsal adalah idaman para siswi di sekolah. Padahal anak basket di sekolah Aira tidak kalah jauh kerennya, ada beberapa anak yang justru lebih tampan di anak basket dibanding futsal.
Mungkin sudah menjadi budaya sendiri kalau anak futsal memiliki daya pikat yang tidak bisa diadu oleh anak manapun.
“Yang jomblo masih banyak ya?” Tanya Aira lagi sambil memperhatikan lapangan.
“Enggak sih, paling yang jomblo tuh Putra, Langit, Rivaldi, sama ade kelas tuh.”
“Tapi, gue justru enggak pernah lihat pacar-pacar mereka setia gitu nemenin di lapangan. Nonton gitu, ngaish semangat, ngasih minum.”
Sifa mengangguk. “Iya, padahal mereka suka banget kalau digituin. Sering banget tuh anak-anak curhat di tongkrongan.”
“Yah salah server enggak sih, harusnya sama gue pasti gue temenin kemana aja.”
“Sama gue juga.”
Sekitar beberapa menit mereka berdiri di tempat yang sama, Langit mulai berubah warna. Anak-anak futsal juga terlihat sudah hampir menyelesaikan latihannya sore ini.
“Heh ayo pulang, udah sore.” Kata Sifa memberitahu Aira yang masih diam terpaku menatap pujaan hati latihan di lapangan sekolah.
“Eh iya, udah lama kita ya berdiri di sini.”
“Udah ayo pulang, malu kalau barengan sama mereka nanti dikira cari perhatian lagi kayak ade kelas.” Sindir Sifa dengan menaikkan nada bicaranya lebih tinggi dari biasanya.
Aira dan Sifa lantas memutar badannya dan berjalan meninggalkan halaman sekolah yang sudah sepi, setelah itu mereka pulang ke rumahnya masing-masing.