Kegiatan sekolah kini tidak terlalu padat, pasalnya benar apa yang dikatakan Diva beberapa hari yang lalu kalau pembagian rapot akan dilaksanakan minggu depan. Tepatnya di minggu ini.
Aira hari ini akan ke sekolah bersama Bunda, ia sebutan untuk Ibunya tersayang. Aira memilih mengenakan hoodie berwarna abu dengan motif panda yang tidak tergambar jelas di sana. Ia juga mengenakan rok abu sebagai bawahannya, memakai sepatu lalu tetap menggendong tas yang biasa ia bawa untuk ke sekolah.
Jam dinding menunjukkan pukul 7 pagi, Aira baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengendus-ngendus sambil melangkahkan kakinya ke dapur, penciumannya kuat sekali jika soal makanan. Langkahnya berhenti tepat di belakang wanita paruh baya yang sedang sibuk mengaduk-aduk masakannya di atas kompor, ia tetap terlihat cantik walaupun hanya menggunakan daster dan celemek berwarna merah.
“Ehemmm..” Aira memberi isyarat keberadaan dirinya di dapur.
“Kalau soal makanan enggak dipanggil juga udah nyamperin ya, Ay..” Kata Bunda Aira sambil mengambil piring di rak sebelah kompor.
Ay adalah panggilan Bunda pada Aira, kalau kata Bunda jangan biarkan teman-teman Aira memanggilnya dengan sebutan Ay. Bahaya katanya, Bunda takut Aira baper dengan panggilan itu.
“Bunda pernah muda, dipanggil sayang kayak makanan yang jatuh sebelum 5 menit aja bapernya enggak ketulungan.” Begitulah kira-kira kata Bunda Aira.
Aira bergegas mengambil sendok yang ada di rak, ia hanya mengambil satu lalu berdiri tepat di samping Bundanya sambil memegangi sendok.
“Kamu ngapain, Ay?” Tanya Bunda yang seolah-olah tidak paham mengapa Aira berdiri di sampingnya.
“Ih Bunda!” Aira mendengus kesal.
“Iya ini.” Kata Bunda sambil menyerahkan sepiring nasi goreng buatan Bunda.
“Asik, aku makan duluan ya. Enggak apa-apa kan?” Tanya Aira yang kita tengah memegang sepiring nasi goreng pemberian Bunda.
“Kamu makan duluan juga, tetap ikut makan bersama nanti.” Sindir Bunda yang kini sedang sibuk membuat s**u.
Aira menyengir, ia menggigit sendoknya sembari berjalan ke meja makan. Benar kata Bunda, walaupun ia makan lebih dulu tetap saja ia akan ikut makan bersama. Karena setelah sepiring nasi gorengnya habis, ia akan kembali menambah porsi atau mencoba menu masakan lain.
Badan memang boleh kecil, tapi untuk porsi makan bisa boleh diadu.
Selama Aira menghabiskan makanannya, ia memperhatikan Bunda yang sibuk bolak-balik sejak tadi. Padahal Ayah sedang tidak ada di rumah, ia mestinya lebih santai dari biasanya. Karena sarapan pagi ini hanya untuk Aira dan dirinya sendiri.
“Bun? Udah lah ayok makan, sibuk banget sih.” Protes Aira yang sudah kesal melihat Bundanya bolak-balik sejak tadi.
“Enggak betah, Ay. Bunda biasa kayak gini setiap hari.” Kata Bunda sambil mencuci alat masak yang baru saja digunakan.
“Iya tapi kan Ayah lagi enggak ada, santai sedikit aja.”
Bunda tak menjawab lagi, setelah menyelesaikan cucian piringnya Bunda duduk di hadapan Aira sekarang.
“Nambah lagi?” Tawar Bunda.
“Enggak, aku pengen makan roti aja.” Jawab Aira sambil mengolesi selai coklat di atas rotinya.
“Ya ampun, Ay.” Bunda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya saja.
Setelah Aira selesai mengolesi rotinya dengan selai coklat, ia menaruh rotinya di atas piring lalu meneguk s**u coklat buatan Bundanya.
“Bun?”
“Iya?”
Aira menunda sesi untuk makan roti, ia kini tengah menatap Bundanya yang sedang lahap dengan nasi gorengnya. “Ada cowo..”
“Zaidan?” Tebak Bunda.
Aira langsung mengerutkan dahinya. “Kok Zaidan sih Bunda? Aku kan belum sebut nama.”
“Iya kamu kan biasanya selalu cerita Zaidan. Kalau Bunda tanya kamu siapa namanya, jawaban kamu ya siapa lagi Bunda kalau bukan Zaidan.” Jelas Bundanya dengan memeragakan gaya bicara Aira.
“Iya sih.” Aira membenarkan ucapan Bunda, ia terlalu sering bahkan setiap hari menceritakan Zaidan.
Maklum, gagal move on.
“Tapi yang ini beda.” Aira kembali melanjutkan ceritanya.
“Beda apa nya?”
“Beda pokoknya, dia itu pendiem, aktif di olahraga, pokoknya enggak banyak gaya tapi mempesona Bunda..” Aira bercerita sambil membayangkan sosok yang ia ceritakan pada Bunda.
“Siapa?”
“Namanya Langit, Bunda.”
“Anak baru?”
Aira menggeleng cepat. “Enggak, bukan Bunda.”
“Terus kalau baik dan beda dari yang lain, kenapa baru sekarang?”
Aira berdecak, Bundanya kalau bertanya sudah seperti wartawan. “Iya kan kemarin-kemarin aku kelilipan mungkin.”
“Zaidan dan Zaidan, bosen Bunda dengernya. Padahal rumahnya di blok depan, tapi setiap hari Bunda selalu dengar kamu kangen Zaidan.”
Bunda lag-lagi benar, ia jatuh terlalu dalam pada sosok Zaidan. Sehingga orang-orang macam Langit pun baru ia lihat sekarang.
“Ganteng?”
“Manis gitu sih, item tapi menawan lho Bunda. Apalagi kalau udah olahraga.” Jelas Aira, lagi-lagi sambil membayangkan Langit.
“Kelas berapa?”
“Sama kayak aku, kelas kita sebelahan lho Bunda.”
Bunda manggut-manggut saja. “Syukurlah kalau mata kamu sudah terbuka.”
“Ih dasar Bunda.”
Bunda berdiri dari tempat duduknya, dan merapihkan piring yang sudah digunakan. “Iya jadi Bunda enggak lagi denger-denger Zaidan, bosen banget Bunda nih. Padahal setiap Bunda ke warung depan itu Bunda lewatin rumah dia dan ketemu sama dia. Bunda sampai mikir, apa yang bikin kamu segitu jatuhnya sama Zaidan.”
Aira menggeleng lemah. “Ay juga enggak tahu, Bunda.”
Bunda Aira hanya menghela napas, ia kembali sibuk dengan piring-piring kotornya dan membawanya ke dapur.
Aira melirik jam dinding, sudah hampir pukul 8 pagi. Aira bergegas ke kamarnya dan mengambil tasnya. Aira memang akan pergi lebih dulu ke sekolah, barulah nanti pukul 9 Bunda datang ke sekolah.
“Bun...” Teriak Aira sambil memakai sepatu.
“Iya apa?” Balas Bunda yang juga berteriak.
Tak ada jawaban, Bunda hanya mendengar suara sepatu yang bersentuhan dengan lantai semakin mendekat.
“Berangkat duluan ya, nanti Bunda chat aku aja.” Pesan Aira sambil mencium tangan Bundanya.
“Jam 9 kan, Ay?” Bunda kembali memastikan.
“Iya. Aku berangkat ya, Assalamualaikum.” Setelah mengucapkan salam Aira langsung pergi meninggalkan Bundanya.
Entah apa gunanya mengharuskan siswa datang lebih dulu daripada orang tua, padahal hari ini tidak ada agenda belajar.
*
“Sif? Aira mana?” Tanya Alisa yang datang sambil berlari kecil.
“Belum datang. Kenapa? Kok lu lati-lari gitu sih?”
Alisa menepuk dahinya. “Aduh, kok belum datang sih.”
“Emang ada apa?” Tanya Sifa dengan pertanyaan yang sama.
“Dicariin sama Bu Anna.”
Sifa mengangguk saja, ia tak berminat untuk menanyakan apa-apa lagi. Percuma, harus beberapa kali bertanya baru Alisa akan menjawab. Tidak ada beda nya dengan Diva.
Alisa langsung mengambil ponselnya, entahlah apa yang dia lakukan. Mungkin menghubungi Aira, padahal Sifa tahu kalau Aira sudah berangkat dan sebentar lagi akan sampai.
Sekitar 5 menit Alisa sibuk dengan ponselnya, ia kembali memasukkan ponselnya di saku jaket yang ia kenakan. “Sif, nanti kalau ada Aira langsung disuruh ke ruangan Bu Anna ya. Ditunggu gitu.”
Sifa mnaggut-manggut. “Iya.”
Lantas Alisa kembali ke ruang guru sambil berlari kecil seperti pertama ia datang tadi. Sifa bingung, kenapa harus sampai begitu terburu-burunya padahal bukans edang lomba.
“Susah emang anak pinter mah.” Gumam Sifa sendirian.
Sifa memandang dari kejauhan, ia melihat Aira tengah berjalan ke arahnya tapi bertemu dengan Alisa dan membuat Aira berputar haluan.
“Udah ketangkep aja si Aira.” Sifa menghela napas kecewanya karena harus menunggu Aira lagi.
*
“Egois banget emang, kita semua disuruh datang Cuma buat persiapan anak-anak juara kelas doang.” Aira mendengarnya jelas ketika ia melewati lorong sekolah yang ada di bawah.
Lorong ini menghubungkan ruang guru dengan deretan kelas Ipa. Aira memilih melewati lorong karena lebih sepi dibanding harus melalui jalan yang lain.
“Lo denger?” Tanya Alisa.
“Denger banget, Sa. Gila ya masih aja ada pikiran ke sana, padahal emang ada edukasi juga.”
Para siswa memang diminta lebih dulu datang, selain untuk mempersiapkan para juara juga untuk memberikan edukasi pada murid-murid lainnya setelah mengahdapi pembagian rapot ini.
Karena banyak sekali pertengkaran atau bahkan ucapan atau sikap yang bermula dari pembagian rapot. Semua karena nila-nilai mereka yang kadang tidak memuaskan orang tua masing-masing. Padahal seharusnya baik orang tua dan anak harus ada kerja sama dalam hal ini.
“Udah biasa disalahin banget ya.” Kata Alisa sambil terkekeh.
“Iya gitu lah, bentar lagi juga ada aja omongan enggak enak dari temen-temen.”
Bukan Aira berprasangka buruk, tapi memang keadaannya akan selalu begitu.
Aira dan Alisa sampai di aula, mereka segera masuk dan duduk di sebelah Sifa.
“Lama banget dah.” Protes Sifa pada Aira.
“Nunggu Aldo lama banget datangnya.”
“Tuh kan Aldo telat, si Alisa udah panik aja lo belum datang. Padahal gue tahu bentar lagi lo sampe.” Ucap Sifa memberitahu dengan nada pelan.
“Biasa lah.”
Edukasi dimulai, beberapa guru mulai memberikan materi dan hal-hal penting yang berkaitan dengan kondisi saat ini. Dari tempat duduk para murid, Aira bisa melihat para orang tua sudah datang dan mulai memenuhi aula kedua yang ada di depannya.
Aira mengecek ponselnya, benar saja Bunda sudah mengiriminya pesan. Bahwa Bunda Aira sudah masuk ke dalam aula, dan sempat mencari Aira tapi tidak bertemu.
“Yang datang siapa, Sif?”
“Ayah, Bunda udah datang?” Tanya Sifa.
“Udah, katanya udah masuk aula juga. Ayah lo gimana?”
Sifa menaikkan bahunya. “Enggak tahu, enggak ngabarin.”
“Eh itu tuh.” Kata Sifa sambil menunjuk laki-laki memakai batik tengah berjalan masuk ke dalam aula.
“Oh iya, syukur deh.”
Tiba waktunya untuk pengumuman hasil secara umum, terutama untuk juara umum yang diambil dari setiap jurusan.
Aira termasuk di dalamnya, ia bersyukur sekali dengan hal ini. Gagal dalam percintaan bukan berarti harus gagal juga dalam pendidikan. Semua juara diminta maju ke depan, sekedar untuk memberikan apresiasi pada mereka dan memberika sertifikat penghargaan. Lalu, setelah itu orang tua akan dipecah untuk masuk ke dalam kelas anaknya masing-masing. Barulah saat itu dijelaskan hasil yang didapat di setiap kelasnya.
Aira tak ikut masuk ke dalam kelas, ia menunggu di luar bersama anak-anak yang lain.
“Heh Aira!”
Aira lantas menoleh, mendapati teman-temannya memanggil. “Apa?”
“Kok bisa sih lo sering izin, OSIS lah, sibuk ekstrakulikuler lah tapi dapet juara.”
Benar dugaan Aira sebelumbnya, pasti akan ada saja yang mengatakan itu padanya dalam bentuk kalimat yang berbeda-beda namun tetap satu makna.
“Mending gue jadi elu lah.”
“Enggak adil sih.”
“Gue mati-matian nih belajar, lo yang modal sistem kebut semalam doang. Harum bangte nama lo.”
Aira hanya tersenyum tipis mendengar ocehan itu, ada Sifa dan Alisa yang mengusap bahunya mengisyatkan untuk tidak terpancing emosi.
“Enggak apa-apa, diemin aja. Mereka enggak tahu usaha lo sekeras apa buat ada di titik ini.” Ucap Alisa dengan nada pelan.
“Becanda kali, Ra. Jangan baperan.” Ucap salah satu temannya yang sadar akan perubahan sikap Aira.
Ini yang terkadang sulit ditoleransi lagi, sudah berbuat salah dengan ucapannya yang jelas tidak akan bisa ditarik lagi. bukannya meminta maaf dan menyesal, justru membuat lebih parah lagi.
“Orang tuh udah tahu salah ya minta maaf, bukan bilang baperan. Ucapan lo sendiri enggak mau diambil hati kan, ya sama dia juga kayak gitu.” Sifa sudah tidak bisa menahan emosinya lagi. Teman-temannya itu sudah sangat kelewatan.
“Bercanda doang kan.” Tambah salah satu temannya.
“Iya buat lo bercanda, hati orang enggak ada yang tahu. Candaan lo sampah, enggak lucu banget.” Semuanya langsung diam ketika mendengar ucapan Sifa.
“Hai, Raaaa..” Sapa seseorang yang tiba-tiba datang ke arah Aira.
“Haiii..” Balas Aira dengan senyumnya yang tipis.
“Kenapa ini?” Tanyanya pada Sifa dan Alisa.
“Biasa lah, enggak terima anak sibuk di sekolah jadi juara.” Jelas Sifa pada Faradina.
“Ya ampun jahat banget. Kamu yang sabar ya, Ra.” Ucap Faradina, si gadis anggun yang berasal dari kelas sebelah.
Aira tersenyum tulus menatapnya, mungkin kalau fisiknya sepeti Faradina laki-laki akan lebih menghargainya.
“Orang-orang enggak ada yang tahu perjuangan kamu, jadi biarin aja. Ada saatnya mereka butuh kamu.”
Aira mengangguk pelan. “Iya makasih ya, Far.”
Faradina mengangguk sambil tersenyum pada Aira.
Tak lama berselang, Aira yang kini hanya sendirian karena teman-temannya sibuk dengan urusannya. Alika menelponnya secara tiba-tiba.
“Kenapa, Lik?”
“Di mana?”
“Di depan kelas gue.”
Tutttttt........
Telepon diputus begitu saja, ia tidak mengerti apa maksud Alika. Tiba-tiba saja Bunda nya datang menghampiri Aira dengan membawa rapot miliknya.
“Selamat ya, Ay..” Kata Bunda sambil mencium kening Aira.
“Maaf Cuma segitu bisanya, Bun.”
“Kamu udah lebih dari cukup, aktif organisasi, ekstrakulikuler, kewajiban kamu juga dilaksanakan dengan sangat baik.”
Baru saja Aira hendak membalas ucapan Bunda, tiba-tiba mulutnya terbungkam saat melihat Alika datang dengan seseorang dan berjalan ke arahnya.
“Bun, Alika ke sini.” Kata Aira memberitahu.
“Mana?”
“Itu di belakang Bunda.”
Bunda Aira membalikkan badannya, mendapati Alika tengah berjalan ke arahnya dengan seorang laki-laki yang tidak Bunda kenali.
“Sama pacarnya bukan?” Tanya Bunda dengan nada pelan.
Aira berdecak. “Itu Langit, Bun. Yang aku ceritain tadi pagi.”
“Bundanya Aira...” Sapa Alika langsung mencium tangan Bunda Aira.
“Tante..” Laki-laki di sampingnya juga ikut mencium tangan Bunda.
Andai saja ia adalah kekasih Aira, bahagia sekali Aira hari ini.
“Bunda sehat?” Tanya Alika.
“Sehat sayang, kamu gimana?”
“Sehat juga Bunda..”
“Aduh Bunda buru-buru harus pulang, banyak kerjaan di rumah.” Seolah mengerti kalau Aira pasti meminta Bundanya untuk pulang lebih dulu.
“Enggak bareng sama Aira, Bun?”
“Enggak, Ayi katanya ada urusan dulu.”
“Bunda hati-hati, nanti Ayi pulang nyusul.” Aira mencium tangan Bundanya, dan diikuti lagi oleh Alika juga Langit.
Selepas kepergian Bunda, Aira bingung harus bagaimana. Ia juga tidak tahu apa maksud Alika membawa Langit menemuinya. Ia jadi malu setengah mati, kalau begini keadaannya sudah jelas sekali Langit tahu kalau Aira menaruh hati padanya.
“Lang? Foto dulu boleh?” Kata Alika mencairkan suasana.
Tapi, kalau begini keadaannya bukan mencairkan suasana. Aira benar-benar dibuat canggung, apa nanti kata Langit setelah ini.
Aira dan Langit memposisikan diri untuk difoto, Alika mengambil gambarnya beberapa kali. Beruntung juga keadaan sekolah sedang sepi, padahal sebelum kedatangan Alika keadaan di depan kelas Aira sedang ramai.
Setelah foto, tidak ada yang bersuara termasuk Aira. Ia bingung harus bertanya apa pada Langit.
“Lik? Udah?” Kata Langit seolah ia tidak betah saja berada di dekat Aira.
“Udah kok, lo mau balik?” Tanya Alika.
“Iya kayaknya. Gue duluan ya.” Pamit Langit pada Aira dan Alika.
“Makasih, Lang.” Ucap Aira memberanikan diri.
“Iya, Ra.”
Dua kata saja yang keluar dari mulut Langit mampu menggoyahkan dunia Aira saat itu. Ia sangat bahagai sekali walaupun tidak ada obrolan yang lebih panjang lagi.
“Seneng kan?” Tebak Alika.
“Kok ngagetin sih? Kenapa enggak bilang?” Protes Aira.
“Iya gue juga enggak tahu dia bakal mau.”
“Lo bilang apa sama dia? Gue kan enggak minta foto.”
Alika menatap Aira, lalu ingatannya melayang pada saat ia bertemu Langit tadi. “Jadi gue basa-basi gitu, terus gue bilang pulang bareng lah.”
“Beda arah, Alika.” Aira memotong pembicaraan Alika.
“Iya diem dulu, kata dia kalau dia enggak bareng nyokapnya mungkin bakal bareng. Terus soal hp dia juga belum bener, jadi sabar aja. Udah habis itu gue bilang, foto aja deh gitu. Dia langsung jawab ayo, yaudah gue bawa ke sini.”
“Gemes banget sih, Lik.”
“Pinter ya gue.”
“Gue akuin buat saat ini iya.” Kata Aira sambil menahan tawanya.
“Eh iya, akhir bulan ada turnament lo tahu?”
Aira mengangguk, baru saja hendak membicarakan itu tapi Alika sudah memulainya lebih dulu.
“Tahu kok, lo nonton Radit?”
“Kayaknya sih, belum tahu juga datang ke sana sama siapa. Langit juga main kok.”
“Iya sih, tapi masa iya gue dateng?”
Alika terkekeh. “Datang aja, siapa tahu diantar balik. Iya kan?”
Aira mengangguk ragu saja pada Alika. “Enggak lo, enggak Sifa, sama aja.”
Alika tertawa saja menanggapinya, entah ia sendiri mengerti atau tidak Aira juga tidak peduli.
“Gue balik ya, udah ditungguin sama Hanna.”
“Iya duluan aja, gue mau nemuin orang dulu.”
“Yaudah gue duluan ya, kabar-kabaran aja.” Pamit Alika, setelah itu ia bergegas menemui Hanna yang telah menunggunya di parkiran.
Aira lantas memilih masuk ke dalam kelas, menemui beberapa temannya di dalam sana.