Part 8

2473 Kata
Sambil menumis bumbu kuning yang akan digunakan, Bunda Aira melirik jam dinding yang berada di atas rak piring di sampingnya. Jam dinding di rumah ini banyak, bahkan di setiap ruangan ada. Kata Ayah sengaja dipasang di setiap ruang, agar penghuni rumah ini ingat waktu. Bunda Aira menyicipi bumbu itu sambil sesekali melihat ke arah meja makan, ia menunggu kepulangan Aira. anak itu tidak memberinya kabar akan pergi ke mana, dan sampai saat ini belum juga terlihat kepulangannya. “Ke mana Aira ini perginya.” Gumamnya sendirian. Krek. “Aku pulang..” Bunda menghela napasnya lega ketika mendengar suara Aira mengisi ruangan, baru saja hendak dihubungi tapi anak itu sudah muncul lebih dulu. “Bun..” Aira menghampiri Bundanya lalu mencium tangan Bunda. “Kamu ke mana dulu?” Tanya Bunda tanpa menghentikan kegiatannya memasak. Aira menggeleng, ia duduk di kursi meja makan sembari menuangkan air ke dalam gelas. Glek. “Enggak ke mana-mana.” Jawabnya setelah menenggak minumnya sampai habis. “Terus kenapa enggak bareng sama Bunda?” Aira berdecak. “Kok Bunda masih nanya, tadi kan Bunda duluan yang mau pulang.” “Ih Bunda kayak gitu karena tahu kalau Bunda enggak peka, pasti kamu bisik-bisik ngusir Bunda untuk pulang.” Kata Bunda dengan nada yang meyakinkan. “Ih sok tahu deh, Bunda. Kata siapa aku bakalan kayak gitu?” Protes Aira tak terima. “Yaudah sekarang gini, kalau Bunda diem terus disitu terus enggak pulang kamu mau?” Tantang Bunda sambil membawa spatula di tangannya. “Ih serem banget bawa-bawa kayak gituan, taro dulu kenapa sih.” Protes Aira sembari menghindar dari Bundanya. “Ayo jawab.” “Iya enggak mau juga sih.” Jawab Aira dengan wajah tak berdosa. Bunda memutar bola matanya malas. “Siapa tadi itu?” “Nanya lagi, kan udah aku bisikin.” “Mau lebih jelas.” Bunda menjawab sambil menaikan dagunya. “Namanya Langit, yang baru aja tadi pagi aku ceritain.” “Ngapain tadi?” Aira mengangkat kepalanya yang semula fokus pada ponsel. “Ngobrol aja, itu juga ngobrol sama Alika bukan sama aku. Habis itu foto deh.” “Mana fotonya?” “Ih Bunda kepo banget, enggak boleh lihat kan tadi udah ketemu orangnya langsung.” Tolak Aira mentah-mentah. “Ih dasar pelit.” Jawab Bunda sambil melenggang pergi ke dapur. Aira menggeleng-gelengkan kepalanya, kenapa Bundanya seperti anak remaja saja ikut-ikutan marah seperti tadi. “Bun, Ayi ke kamar dulu.” Kata Aira sambil menyeret tas yang ada di atas lantai. “Iya..” Aira bergegas pergi ke kamarnya. Ia harus berganti baju dan pastinya membersihkan badannya agar terasa nyaman untuk tidur siang. Tapi, niat hanya tinggal niat saja. aira hanya mengganti bajunya dan kini duduk di atas lantai yang dibalut permadani warna merah. Jarinya kini sibuk membuka isi dari ponselnya, dan matanya fokus menatap sesuatu yang ditampilkan di layar ponselnya. “Aduh..” Gumamnya sambil memperbesar gambar yang sedang ia lihat. Aira membayangkan indahnya jika benar ia bisa bersama orang yang bersanding dengannya di foto itu, tidak perlu khawatir dan merasa bangga memperlihatkannya pada orang lain. Lagi-lagi ia menghela napasnya, kehaluannya sudah berada pada tingkat tinggi sekarang. Ia sering senyam-senyum sendiri, bahkan menatap foto Langit sambil tertawa. Kini jarinya memindahkan tampilan di ponselnya, ia menyetel musik yang sesuai dengan suasana hatinya saat ini. Ya walaupun tidak persis sama, tapi Aira selalu yakin apa yang ia ucapkan akan selalu menjadi doa untuk dirinya. Ia bernyanyi layaknya seorang penyanyi aslinya, tak peduli Bundanya akan risih dengan suaranya atau tidak ia hanya perlu mengunci pintu kamarnya agar Bunda tidak sembarang masuk ke kamarnya. Aira benar-benar sudah dibuat gila oleh Langit. * Tok tok tok. Suara itu masih samar-samar untuk ia dengar, entah itu berasal dari mimpinya atau bukan. Tapi, makin lama makin jelas dan suara yang mengikutinya sepertia kenali. “Airaa...” “Airaaaa.......” “Ay bangun dong..” Aira membuka matanya, ia terkejut kenapa ia berada di lantai dan tertidur pulas. Seperti biasa musik terus saja berputar sedari tadi, Aira ketiduran lagi untuk ke sekian kalinya karena Langit. “Aira..” Aira langsung menggelengkan kepalanya, ia lupa kalau sedari tadi ada orang yang mengetuk pintu kamarnya. Ia berjalan gontai menuju pintu kamar. Krek. “Sifa?” Aira terkejut melihat Sifa ada di depan kamarnya bersama Bunda yang sudah melipat kedua tangannya di d**a. “Kamu belum mandi kan?” Tebak Bunda di depan Sifa. Aira menggeleng sambil menyengir. “Ketiduran, Bun..” “Itu musik keras banget enggak berhenti dari tadi siang, lihat tuh jam berapa sekarang?” Aira spontan melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Ia juga kaget, jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. “Iya maaf, Ayi kelupaan.” “Sifa masuk aja, maaf ya kelamaan nunggunya. Aira memang telinganya harsu dibawa ke THT.” Setelah mengucapkan itu Bunda melenggang pergi begitu saja. Bisa-bisanya anaknya sendiri disebut gangguan pendengaran. “Eh maaf gue ganggu lu lagi tidur.” Kata Sifa sambil masuk ke kamar Aira. “Enggak, bagus malah gue jadi kebangun.” “Lo tidur di mana dah kasur lo masih rapih begitu.” “Ketiduran di lantai gue, sumpah enggak sengaja gitu.” Kata Aira membela dirinya. Sifa menaruh tasnya di atas meja belajar milik Aira. “Lo tadi ketemu Langit?” “Iya..” “Ngobrol?” Aira menggeleng. “Enggak, Cuma foto aja.” “Hih hambar.” Cibir Sifa. “Ih bentar deh, enggak enak gibahnya. Gue cuci muka dulu, sambil ngambil minum. Lo tunggu bentar ya.” “Udah kayak sama siapa aja lo.” Aira terkekeh, ia lantas langsung keluar dari kamarnya dan berniat untuk cuci muka. Lalu, setelah itu ia mengambil beberapa cemilan yanga ada di lemari esnya, juga minum yang ia janjikan pada Sifa. Sekitar 15 menit kemudian ia kembali lagi ke kamar dengan membawa beberap cemilan dan minuman untuk Sifa. “Lah banyak banget.” Protes Sifa. “Biarin dah.” Jawabnya sambil menaruh camilan dan minumannya di lantai. “Lo ke sini sendirian? Biasanya ajak yang lain.” “Tadinya mau sama Alika sih gue.” “Terus?” “Dadakan nemenin futsal katanya.” Aira memasang wajah malasnya. “Alahhh udah nangis aja boro-boro inget nemenin futsal.” Sifa menaikkan bahunya, ia sudah malas sekali membicarakan teman-temannya yang menghilang karena lebih memilih pacar mereka masing-masing. Jelas memang itu adalah hak mereka, tapi kalau mereka sedihpun siapa yang akan membuka ruang lebih lebar lagi untuk memeluk mereka selain sahabat. “Jadi, gimana?” Tanya Sifa mengawali pergibahan yang lebih serius setelah meneguk minumnya. Aira mengangguk, mengisyaratkan ia akan bercerita setelah mengunyah habis makanan yang tengah ia kunyah saat ini. “Jadi pas lo pergi itu gue kaget banget Alika tiba-tiba dateng dari arah belakang Bunda, dan bawa-bawa si Langit. Disitu gue bingung kan kayak mau apa gitu.” “Habis itu dia ternyata emang jalan ke arah gue, udah tuh pas ketemu Alika cium tangan Bunda dan dia juga kan. Itu rasanya kayak, sumpah gue ngebayangin saat itu Langit emang cowo gue.” Lanjutnya bercerita dengan ingatannya yang melayang pada kejadian yang baru saja terjadi. “Bunda nanyain?” “Nanya tuh, sebelum Langit naympe ke gua Bunda tuh udah nanya. Dia bilang itu cowoknya Alika atau bukan. Gua jawab aja, itu Langit yang tadi pagi diceritain.” “Oh jadi lo udah cerita sama Bunda?” Aira mengganguk, mengiyakan pertanyaan Sifa. “Bunda seneng pas gue cerita, katanya dia enggak akan lagi denger gue bahas Zaidan. Bosen Bunda dengernya.” Sifa tertawa. “Iya lah gila, gue sih jadi Bunda lo udah gue usir anak kayak lo. Tiap hari kerjaannya galauin mantan, padahal lo tuh sama dia tinggal jalan aja juga ketemu.” “Iya kan beda kalau udah putus, enggak akan mau dia juga gue ajak ketemua di jalan.” “Terus lanjut Langit aja.” Ucap Sifa penasaran. “Iya udah gitu pokoknya Bunda pulang duluan kan, terus kita diem-dieman. Gue enggak tahu sih Alika bahas apa sebelumnya, Tiba-tiba foto aja gitu udah foto kita masih diem kok. Habis itu dia pamit duluan katanya udah ditungguin juga.” Sifa menatap Aira dengan tatapan bingung. “Udah gitu doang? Si Alika enggak ada guna banget ya ampun.” “Gue tanya ke Alika kenapa bisa tuh si Langit ke sini. Dia bilang kalau sebelumnya Alika sempet nanya-nanya gitu ke Langit soal gue, terus dia bilang kalau hp nya juga belum bener. Dan lu tahu enggak sih? Alika tuh kayak nawarin gue balik bareng dia.” “Iya terus kenapa emang?” “Iya kan beda arah, terus belum yag deket banget juga.” Kata Aira tidak terima. “Bisa aja karena balik bareng jadi deket, banyak kali anak sekolahan yang kayak gitu.” “Tapi dia enggak bisa, dia bawa Mamahnya kan saat itu. Terus Alika juga sempet bahas turnament itu lho, Sif.” Sifa berpikir sejenak, entah apa yang ingin ia katakan. “Gue juga kayaknya ke sana deh, sama anak-anak juga kan.” “Iya lo sama mereka, terus gue sama siapa?” “Enggak bisa bareng Langit juga ya?” Aira melempar Sifa dengan benda yang ada di sekitarnya. “Pertanyaan lo enggak jelas banget.” Sifa tertawa sambil menghindari benda itu. “Iya kan siapa tahu gitu ide bagus tuh.” “Lagian ngehubungin dia lewat apa, Sif?” “Iya kan ada sosial media kan.” Jawab Sifa dengan entengnya. “Kalau sih gue ceweknya baru, nyari dia buat kabar itu wajar. Ini gue siapa dia Sifa?” Sifa tertawa lagi. “Yaudah sih enggak usah dipikirin juga, intinya lo pikirin mau ke sana gimana. Si Alika pasti bareng sama si Radit enggak sih?” “Dari pagi gitu?” “Iya, kebayang sih dia melongonya di sana gimana nungguin Radit main.” Ucap Sifa sambil membayangkan Alika yang memang sering kali jadi bahan ledekan teman-temanya. “Ya kasian lah gila.” “Bareng dia aja kalau enggak.” “Malu enggak?” “Ya elah banyak kali anak angkatan yang datang, gue juga datang. Ya anggap aja lo niat dukung anak-anak, bukan khusus buat Langit.” Ucapnya dengan santai sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya. “Beda rasanya gila, hati enggak bisa dibihongin.” “Iya terserah lo deh itu mah, susah dikasih tahunya.” Balas Sifa yang sudah kesal pada Aira. “Yaudah nanti gue hubungin Alika, siapa tahu dia enggak sama Radit kan.” Sifa manggut-manggut sambil mengangkat ibu jarinya. Aira meraih ponselnya yang berada di atas meja, ia belum mengecek ponselnya sedari tadi siang. Sifa juga lebih memilih mengeluarka ponselnya dan memainkannya, hingga tidak ada pembicaraan lagi di antara mereka untuk sementara ini. * Sambil menunggu nomer antriannya dipanggil, ia menghela napas lalu melirik ke arah laki-laki yang ada di sampingnya. “Kenapa?” Tanyanya sambil ikut menoleh menatap gadis itu. “Enggak apa-apa.” Jawabnya sambil menggeleng pelan. “Nanti turnament datang kan?” “Harus datang ya, Dit?” Tanyanya dengan wajah polos. Radit berdecak. Ia memutar bola matanya malas, kenapa bisa Radit jatuh cinta pada gadis semacam Alika. “Menurut lo, Lik? Kalau pacar lo turnament lo meseti datang apa enggak?” Radit kembali melemparkan pertanyaan sambil menahan kesalnya. “Iya tergantung sih, Dit. Kalau ceweknya mau, terus cowoknya ngebolehin juga.” “Gue ngelarang lo datang enggak?” Alika menaikkan bahunya. “Enggak tahu, masa tanya gue sih. Harusnya gue nanya sama lo lah, Radit.” Jawab Alika merasa paling benar saja posisinya. “Gue kan tadi nyuruh lo datang, Alika.” Alika mengangguk. “Iya, bareng lo?” Radit diam, ia mencoba memutar memori ingatannya. Ia khawatir lupa takut ada temannya yang sudah ia setujui ajakan untuk berangkat bersama. “Gimana?” “Gue bareng Sandi, Lik.” Alika menghela napasnya. “Jadi gue sendiri ke sana?” Radit tak menjawab, ia hanya menatap Alika ragu. “Iya udah gue sendiri aja, Cuma malu enggak sih?” Radit tersenyum. “Enggak malu kok, nanti pulangnya sama gue.” Alika mengerutkan dahinya. “Terus Sandi sama siapa?” “Pulang kan gampang, banyak yang nonton juga temennya pasti dia ada barengannya kok buat balik.” Alika mengangguk setuju. “Bentar ya, gue ambil pesanan dulu.” Radit pergi menuju meja kasir untuk membayar dan mengambil pesanan yang sejak tadi mereka tunggu. Setelah itu Radit mengajak Alika pulang, karena langit juga sudah berganti menjadi gelap. Ia tak mau membuat Alika terlambat pulang. “Dit, gue mau nanya deh.” Ucap Alika di sela-sela perjalanan pulang. “Iya nanya aja.” Seperti biasa jawabnya dengan nada santai. “Anak futsal yang enggak jomblo siapa aja?” Radit tidak langsung menjawab, ia membenarkan posisi kaca spionnya agar diarahkan ke wajah Alika. Ia penasaran kenapa Alika bertanya seperti itu. “Kenapa lo nanya kayak gitu?” Alika memukul helm yang Radit gunakan. “Gue nanya, kenapa jadi lo balik nanya?” “Ya iya sebelum gue jawab gue tanya dulu, kenapa lo nanya kayak gini.” “Ada juga lo yang jawab dulu, baru habis lo jawab lo tanya sama gue.” Balas Alika tidak mau kalah. Radit berdecak. “Iya paling yang jomblo ade kelas doang.” “Yang seangkatan sama kita udah punya semua emang?” Tanya Alika dengan cepat. “Lo ngincer siapa sih, Lik? Lo kan udah punya cowok.” “Apaan sih, Dit? Cemburuan banget, gue nanya doang kali.” Radit menghela napasnya. “Kali aja lo mau gatel sama angkatan gue di futsal.” Plak. Lagi-lagi Alika memukul helm Radit. “Otak lo kosong bukan? Enggak ada isinya ya?” “Iya lu nanya buat apa?” “Ih yang tadi belum dijawab. Angkatan kita udah punya semua?” Radit menahan kesalnya. “Emang kenapa sih? Lo nanyain siapa? Setahu gue semua udah punya cewek.” Alika diam, kalau begitu Langit juga memiliki pacar. Kenapa bisa jawabannya berbeda-beda seperti ini, apa mungkin Langit berbohong? Atau justru Radit yang berbohong? “Gue udah jawab, sekarang lo yang jawab.” Motor Radit berhenti, kebetulan Alika sudah sampai tepat di depan rumahnya. “Udah sampe, nanti aja gue jawabnya.” “Gila ya lo.” Radit menatap Alika dengan wajah yang sangat kesal. “Apaan sih sama pacar galak banget.” “Iya lo jawab dulu, Alika.” Alika terdiam menatap Radit, ia melakukan itu cukup lama. “Nanti juga lo tahu sendiri, enggak ada hubungannya sama gue. Gue enggak ngincer siapa-siapa.” Jelasnya pada Radit. “Eh ada deh.” Tambah Alika membuat Radit kaget. “Siapa?” “Elo lah, siapa lagi. Dasar lemot.” Ledek Alika. “Enggak ngaca banget lo jadi cewek ya.” “Udah sana pulang, hati-hati di jalan. Gue setia sama lo, jangan mikir macem-macem.” Pesan Alika sebelum Radit pulang. “Iya jelas, lagian siapa yang mau sama lo selain gue?” Radit tertawa puas, lalu segera melajukan motornya sebelum mendengar Alika marah-marah kepadanya. “Gue harus bilang apa sama Aira ya?” Gumamnya sendirian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN