“Minum lo di bawah tas, San.” Ucap Langit sambil menyandarkan bahunya di dinding lapangan.
Sandi mengangguk sembari berjalan mendekati tasnya. “Kita main jam berapa nanti?”
“Belum tahu.” Kata Langit tanpa menatap Sandi.
Sandi meneguk minumnya yang telah disiapkan kekasihnya itu sampai habis, sambil beristirahat semua anak futsal terdiam dengan pikirannya masing-masing.
“Lo kenapa ngelamun mulu?” Tegur Langit pada Radit.
Radit memang terlihat banyak diam di latihan kali ini, padahal sebelumnya ia sangat bersemangat. Apalagi Radit bukan seorang jomblo, ia jelas memiliki Alika sebagai penyemangatnya.
Radit berdecak sambil mengusap wajahnya kasar. “Gue bingung dah.”
Semua teman-temannya saling menatap, yang jaraknya agak jauh juga saling mendekat. Ia penasaran seorang Radit segalau itu dikarenakan siapa. Pasalnya Radit adalah laki-laki yang sering sekali acuh tak acuh pada perempuan, dan ini adalah moment langka yang tidak bisa dilewatkan.
“Pada kenapa?” Radit langsung memasang wajah bingung ketika melihat teman-temannya mendekat ke arahnya.
“Eh ayo lah cepet, lama banget lo kayak cewe mau cerita doang juga.” Celetuk salah satu temannya.
“Enggak mau, gila lo pada masalah gue dijadiin asumsi publik.” Radit langsung berdiri dan menatap tak suka pada teman-temannya satu persatu.
“Wuuuuuu...” Radit mendapat teriakan dari teman-temannya.
“Jangan ngecewain temen, nanti lu dikecewain balik.”
Radit spontan menoleh, ia memutar bola matanya malas sambil menghela napas. “Emang gue pikirin.”
“Gas-gas latihan lagi ayok, jangan ribut!” Ucap salah seorang dari mereka meleraikan.
Sandi tersenyum kecut saat melihat sikap Radit yang lain dari biasanya, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya. Lalu, ia berjalan mendekat pada Radit sambil merangkulkan tangannya di bahu Radit.
“Semangat lagi, Bro!” Ucap Sandi yang dibalas anggukan oleh Radit.
Mereka kembali melakukan latiha seperti biasa, hari menjelang turnament ternyata sudah dekat. Harusnya mereka bisa lebih menjaga kondisi, yang jelas bukan hanya soal fisik melainkan ego mereka masing-masing.
Latihan berakhir dalam waktu 20 menit, setelah mendapatkan pengarahan dan evaluasi untuk hari ini ana-anak diperbolehkan pulang. Radit melirik jam dinding yang ada di ruangan ganti, terdengar helaan napas yang berat keluar dari mulut Radit.
“Lo kenapa sih?” Tanya Sandi yang entah dari kapan sudah ada di samping Radit sambil melipat baju latihan.
Radit enggan menjawab, ia hanya sekedar menoleh sambil menaikkan salah satu alis matanya.
Sandi tidak menyerah, ia tetap berusaha untuk mengetahui apa yang sedang Radit pikirkan saat ini. Bukan karena terlalu ingin mencampuri urusan orang lain, tapi dalam situasi seperti ini sesama anggota dalam tim harus saling bahu-membahu.
“Eh ayo lah, Bang.” Sandi kini duduk di samping Radit yang sedang melepaskan sepatunya.
“Emang gue kenapa sih?” Tanya Radit dengan wajah nya yang terlihat memerah.
“Lo beda aja gitu, sebenarnya apa yang bikin pikiran lo keganggu gini?” Sandi langsung menyampaikan ke intinya.
“Gue Cuma kepikiran aja sih, gimana ya?” Radit mulai terpancing dengan pertanyaan yang dilontarkan Sandi.
Sandi diam, ia menunggu Radit melanjutkan ucapannya. Tapi, setelah Radit mengatakan hal tadi justru Radit tidak bersuara lagi.
“Heh?” Tegur Sandi.
Radit menoleh, menatap Sandi penuh tanda tanya. Ia memperhatikan Sandi yang terlihat sedang menunggu jawaban dari Radit.
“Dih suka sesama jenis lama-lama lu, Bang.” Kata Sandi dengan kesalnya pada Radit.
“Lu enggak jelas, lu mau apaan sih? Nunggu apaan?”
Sandi berdecak kesal. “Gue nunggu lo cerita daritadi, masih lo tanya gue mau ngapain?”
Radit mengacak-acak rambutnya frustasi. “Cewe gue kemaren nanya anak futsal tim gue yang jomblo siapa.”
Sandi manggut-manggut saja. “Terus?”
“Iya yaudah segitu doang.”
“Lah? Yang buat lo segitu kayak orang gila nya tuh apa?” Tanya Sandi tidak terima dengan cerita Radit yang terlihat setengah-setengah.
“Buat apa cewe gue nanya gitu, apalagi dia nanya angkatan gue lagi bukan angkatan lo.”
Sandi mecerna apa yang Radit ceritakan padanya, ia paham kalau Radit kebingungan dengan pacarnya yang super duper lemot itu. “Lo bisa enggak sih kalau cerita dari awal sampe akhirnya lo berpikir buat enggak semangat, dasarnya apaan?”
Radit menghela napas, ia juga tidak sadar kenapa ia jadi tertular Alika yang maunya dimengerti tapi penjelasannya sama sekali tidak bisa dimengerti orang lain.
“Jadi, cewe gue tiba-tiba nanya kan siapa yang jomblo. Gue jawab tuh ya Cuma angkatan lo doang paling yang gue inget, dia nanya kalau angkatan gue siapa yang enggak jomblo.”
Radit menjeda ceritanya, ia menarik napas lalu kembali bersiap melanjutkannya. “Nah yang gue bingung, pas gue jawab enggak ada dia tuh kayak bete.”
“Lo kepikiran kenapa si Alika responnya gitu?”
Radit mengangguk, lalu ia menepuk bahu Sandi cukup keras. “Nah!”
“Santai dong.” Kesal Sandi tak terima dengan reaksi Radit yang tiba-tiba.
“Cemburu lo?” Tanya Sandi lagi.
Radit menatap sinis pada Sandi. “Make nanya ya lo.”
“Iya lo pikir dah, dia pacar lu ya kali ngincer temen lu lewat lu juga.”
Ucapan Sandi memang ada benarnya juga, tapi kenapa Alika sikapnya terlihat berbeda. “Iya tapi kenapa beda?”
“Eh Bang, tunggu dah. Lo juga salah anjir, angkatan lo masih banyak yang kosong.”
Radit berdecak. “Lah ini lagi make ngejelasin.”
“Serius anjir, mana tahu cewe lo emang lagi nyari info soal cowo fitsal ya buat temennya.” Tebak Sandi dengan ekspresi so meyakinkan.
“Siapa emang yang kosong?”
“Langit, Anhar, Dito, mereka kan kosong anjir. Sisanya udah ada gebetan sih setahu gue.”
Radit menepuk dahinya. “Gue enggak inget, gue kira emang tuh bocah tigaan juga udah ada.”
“Cewe tuh bisa kesel gara-gara gitu doang, lu kudu lebih ngerti dah.”
Radit menghela napasnya. “Daritadi kek lo ngomong, gue jadi enggak kayak cewe yang badmood di tengah lapangan sampe ditegor pelatih.”
Sandi tertawa melihat sikap Radit yang di luar dugaannya. “Gimana orang mau ngaish tahu, lo aja ngasih tahunya susah banget make kode-kodean kayak cewe.”
Radit menyengir, ia jelas malu pada Sandi sebagai kaka kelas sekaligus teman satu timnya. “Udah ayo balik, gue mau ke rumah Alika.”
Sandi mengerutkan dahinya. “Sumpah lo beneran kayak cewe, Bang.”
“Ah banyak omong deh lo, gua balik.” Radit meninggalkan Sandi yang kini terheran-heran melihat kepergiaan Radit yang tidak tahu terima kasih itu.
“Sono dah.” Usir Sandi dengan nada kesalnya.
*
Aira melihat kalender yang menempel di dinding kamarnya, hari menuju turnament futsal semakin dekat. Tapi, hingga saat ini ia juga belum mendapatkan kabar apapun dari Langit. Memang tidak ada hak untuk meminta bahkan menunggu seperti ini, tapi rasanya kalau Aira datang ke sana tanpa ada komunikasi dulu dengan Langit ia takut menjadi lebih salah.
Aira hanya punya satu orang yang dapat memberikan informasi lebih banyak, yaitu Alika. Tapi, justru beberapa hari ini Alika tampak menghindar jika Aira membicarakan soal turnament itu. Ia juga tidak terlihat seperti biasanya yang mendukung perjuangan Aira mendapatkan Langit.
“Terus gue harus ke siapa?” Gumamnya sendirian.
Baru kali ini Aira dibuat bingung sendiri. Laki-laki yang ia jadikan tujuan untuk saat ini berbeda dari yang lain, melenceng dari kebiasaan Aira dalam mengagumi seseorang. Belum lagi kisah-kisah yang ia dengar dari teman-temannya mengenai Langit dan para mantannya.
“Yang satu cantik, tinggi, suara juga enggak bisa diraguin. Yang satu lagi juga imut, aktif, pasti ada kelebihan yang gue enggak tahu juga itu apa.”
Aira kini beralih ke ponselnya, ia ingin menghilangkan rasa suntuk akibat terus-terusan memikirkan Langit dan tak menemukan jawabannya sedikitpun. Jari-jemarinya dengan lincah bergerak di atas layar ponselnya, kini Aira tengah melihat-lihat story yang diunggah oleh beberapa temannya.
Awalnya biasa saja, Aira kadang tertawa dan kadang menunjukkan ekspresi datar. Tapi, salah satu video story yang diunggah oleh salah satu temannnya itu menarik untuk diputar ulang. Ia seperti mengenal beberapa orang yanga ada di dalam video itu.
“Kok mirip..” Ucapnya menggantung sambil terus mengulang video yang diunggah oleh temannya.
Tangan Aira tiba-tiba memegangi dadanya, seolah ada rasa sesak yang tiba-tiba menghampirinya begitu saja. Ia jadi tidak karuan ketika menyadari seseorang di dalam video itu.
“Andara?” Aira menurunkan ponselnya dan menatap lurus ke depan.
Aira buru-buru melihat kembali ponselnya, ia beralih dari video itu menuju kontak bernama Sifa.
Tut.....
“Kenapa, Ra?” Tanya Sifa to the point saat panggilannya sudah tersambung.
“Sumpah ya, gue kayaknya mundur deh.”
“Hah? Mundur kenapa?” Tanya Sifa dengan nada penasaran.
Aira berdecak, ingatannya melayang pada kejadian tadi saat ia melihat video itu. “Tadi, gue liat storynya Aca.”
“Hmm...”
“Terus gue lihat ada Langit di sana.”
Sifa berdecak, “Lo cerita dulu aja sampai beres, gue susah nanggepinnya kalau gitu.”
Aira manggut-manggut saja. “Iya nih.”
“Jadi, tadi gue lihat story Aca kan. Nah isinya tuh si Aca lagi nyorot temen-temennya sebelum berangkat ke mana gue enggak tahu. Awalnya gue biasa aja, tapi pas gue tunggu sampai video itu selesai dia nyorot Andara dong. Dan lo tahu? Dia dibonceng sama Langit anjir.” Aira bercerita dengan penuh ekspresi seolah-olah Sifa ada di hadapannya saat ini.
“Terus?”
“Lah udah, artinya Langit ada hubungan dong sama Andara.” Tebak Aira merasa paling tahu.
“Iya enggak gitu juga lah, siapa tahu emang kebeneran nebeng aja.” Balas Sifa berusaha tidak memperkeruh suasana.
“Tapi di video itu semua berpasangan, Ra. Itu artinya udah diniatin dong dari awal, enggak mungkin kayak ngedadak banget.”
Ucapan Aira memang ada benarnya juga, tapi tiba-tiba Sifa teringat akan satu hal yang belum ia sampaikan pada Aira mengenai Langit.
“Gue pernah denger, Andara sama Langit tuh emang sahabatan gitu.”
Aira terdiam sejenak, ia mencoba mempercayai kalimat itu.
“Ah tetep aja namanya sahabatan enggak ada yang murni kalau cewe sam cowo.” Ia gagal mempercayai kalimat yang Sifa ucapkan.
“Andara kan udah punya cowo, si Hilman.”
“Hilman kakak kelas?”
“Iya itu, yaudah itu emang murni sahabatan.”
Aira tidak bersuara, ia memilih diam lebih dulu untuk mencerna sesuatu yang baru ia ketahui saat itu juga.
“Ngerti kan?” Tanya Sifa memastikan.
“Tapi, iya bisa aja Andara enggak ada rasa sama Langit tapi Langitnya ada. Iya kan?”
Jeda antara pertanyaan Aira dengan jawaban Sifa cukup lama, Sifa juga tidak bia menyangkal soal pertanyaan itu.
“Iya bisa aja sih, Cuma kan Andara juga enggak bakalan mau.”
Aira lagi-lagi terdiam, ia tetap yakin pada pemikirannya bahwa Langit bisa saja memiliki hubungan lebih. “Ah bisa kok.”
“Kok lu doain sih? Optimis banget. Giliran kejadian aja nanti nangis.” Omel Sifa pada Aira.
Aira memang begitu, jika sudah seperti ini artinya sedang tidak ada percaya diri dalam dirinya sendiri. Ia merasa jauh di atas segala-galanya dengan Andara.
“Ih bukan doain, lebih ke enggak mau aja sakit hati karena bereskpetasi gitu.” Ucap Aira membela diri.
“Ini namanya bukan mencegah, lu udah berasumsi duluan yang bikin lu bisa jadi lebih jauh sama dia. Kalau enggak mau sakit hati enggak usah suka sama siapa-siapa aja.”
Aira memajukkan bibirnya, ia kesal dengan ucapan Sifa. “Lu tuh ya kebiasaan, mematahkan gua terus. Semangatin lah, emang mau gue galauin modelan Zaidan lagi?”
“Gue mending lu galauin Zaidan aja kalau gini, udah tahu sakit juga masih ditancap gas. Ini belum juga apa-apa udah mikirin yang lain. Belum juga hubungannya dimulai, sakit hatinya udah ampe setengah mampus.”
Aira menghela napasnya. “Emang paling bisa lo ngajarin orang lain, diri sendiri aja enggak jelas.”
“Lah kok lu malah ngata-ngatain gua sih? Udah gua kasih tahu juga. Terserah lu deh ah.”
Mata Aira terbelalak ketika mendengar apa yang Sifa ucapkan. “Gitu aja ngambek sih.”
“Enggak lah gila, gue Cuma pusing aja lo maunya gimana sekarang? Kenapa lo enggak tanya ke si Alika aja sih?”
“Itu dia, Alika tuh kayak ngehindar kalau gue bahas Langit.” Ucapnya dengan nada menggebu-gebu.
“Kok bisa? Apa dia cemburu?”
Aira tertawa. “Gila lo, udah bucin setengah mati dia sama Radit.”
“Tapi lu udah janjian mau ke turnament itu sama Alika?”
Aira berdecak kesal. “Itu dia, gue juga tambah bingung karena emang apapun yang menyangkut Langit kalau udah gue bahas dia kayak ngehindar gitu. Udah jarang curhatin Radit juga dia, mungkin takut gue sambungin ke Langit kali ya.”
Sifa terdiam mencerna apa yang sedang Aira ceritakan. “Udah lah, dia mah emang enggak jelas kan. Dia yang semangat nyatuin lo sama Langit, dia yang ngehindar juga sekarang. Biarin aja, entar juga dia balik lagi dengan sendirinya.”
“Iyaa, gue juga aneh. Mau nanya sama Radit juga enggak enak.”
“Padahal kalau dia tahu sesuatu juga kasih tahu aja ya, seenggaknya kita juga enggakan menerka-nerka gini.”
Aira manggut-manggut. “Nah bener banget, gue Cuma takut dia emang tahu satu hal deh kayaknya yang bikin dia juga enggak bisa jawab dan bahkan enggak bisa nyampein itu ke gue.”
“Susah ngomong sama orang kayak dia teh, ditanya apa bahasnya ke mana. Sabar aja lu nya dah.”
Aira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Gimana ya jadinya, Sif?”
“Nanti gue basa-basi deh sama dia, soalnya gue juga kayaknya ke sana. Cuma kan gue enggak bisa nebengin lo karena gue juga nebeng ke orang lain.”
“Iya anjir enggak masalah, asal tolong tanyain aja ke dia. Lu tanya-tanya juga dah kalau ada kesempatan, siapa tahu dia mau terbuka sama lu.”
“Iya oke, gitu aja ya.” Sifa menyetujui permintaan Aira.
“Yaudah makasih yaa, gue tutup telponnya.”
“Iya..”
“Dahhh..” Lantas Aira langsung mematikan panggilannya.
Ia menaruh ponselnya di atas meja dekat lampu, lalu ia menarik selimut yang ada di ujung kakinya. Sambil berusaha tenang, ia juga berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja.
Kalaupun bukan sekarang, mungkin beberapa hari ke depan.