Sambil mengucek-ngucek matanya, ia berjalan gontai menuju pintu kamarnya. Baru saja 10 menit ia terlelap, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Sambil berdecak, ia memegangi gagang pintu dan membuka nya perlahan.
“Ya ampun Alika..” Protes seseorang yang ternyata adalah Kakaknya sendiri. Ia tengah berkacak pinggang sambil menggelengkan kepalanya melihat Alika dengan rambutnya yang berantakan.
Alika menghembuskan napasnya secara kasar. “Apa sih? Aku baru aja tidur tahu. Ada kali 10 menit..”
“Ada tamu.”
Alika masih menggaruk-garuk kepalanya sambil memasang wajah malas. “Enggak nerima tamu dulu deh. Lagian itu tamu siapa kok jadi ke aku sih..”
“Cuci muka!” Perintah Kak Elia.
“Ih buat apa? Alika mau tidur, enggak nerima tamu.” Alika tetap enggan mengikuti perintah Kakaknya, ia maish saja memasang wajah malasnya di depan Kakaknya saat ini.
“Yaudah.” Ucap Kak Elia mengusaikan perdebatan di antara mereka. Ia lantas segera berputar haluan untuk pergi dari kamar Alika.
“Dit, enggak nerima tamu katanya.” Teriak Kak Elia setelah beberapa langkah menjauh dari kamar Alika.
Alika yang baru saja hendak menutup pintu, tiba-tiba terdiam. “Dit? Radit apa ya?”
“Yaudah enggak apa-apa, maafin ya emang anaknya suka enggak sopan ada tamu malah milih tidur.” Lagi-lagi suara Kak Elia semakin dibuat-buat agar terdengar hingga ke telinganya.
Alika buru-buru keluar dari kamar, lantas mengintip di balik celah dinding yang membatasi kamarnya dengan ruangan lain.
“Ya ampun!” Ucapnya sambil menepuk dahinya, ternyata benar ada Radit tengah duduk sambil menyeruput secangkir teh yang mungkin dibuatkan oleh Kak Elia.
“10 menit tunggu!” Teriak Alika, lantas ia segera berlari masuk ke kamarnya dan mencuci mukanya.
Alika merutuki dirinya sendiri, ia juga tidak berhenti mengomel karena Kak Elia tidak memberitahu secara langsung kalau tamu itu adalah Radit. Setelah menyelesaikan urusannya di kamar mandi, Alika segera mengganti bajunya dan berkaca beberapa menit sekedar untuk memakai sedikit bedak dan memastikan kalau tidak ada yang salah dari penampilannya.
“Huhhh..” Alika kini bersiap untuk keluar kamar dan pergi menemui Radit.
Bruk.
Alika membuat Radit sedikit kaget karena tiba-tiba duduk di samping Radit.
“Tidur lagi aja.” Kata Radit menatapnya sekilas.
“Kirain siapa tamunya, Kak Elia enggak bilang soalnya.” Jelas Alika dengan nada datar, ia benar-benar kesal dan enggan melampiaskannya pada Radit.
“Oh.”
Alika menghela napas, ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Ia memilih diam ketika mendengar jawaban singkat keluar dari mulut Radit, ia juga melihat Radit sedang sibuk dengan ponselnya.
“Udah makan, Dit?” Tanya Kak Elia yang tiba-tiba datang dari luar rumah sambil menenteng plastik yang entah apa isinya.
“Belum, Kak. Baru pulang latihan banget langsung ke sini.” Jawab Radit setelah mematikan ponselnya dan menaruhnya di meja.
“Capek ya, bela-belain abis latihan datang ke sini. Tuan rumahnya malah enggak mau nerima tamu.” Sindir Kak Elia.
“Ih udah deh sana ah, nyindir mulu. Alika enggak tahu kalau Radit tamunya, Kakak juga enggak bilang kan.” Balas Alika tidak mau kalah.
Kak Elia hanya tertawa menanggapinya, ia lantas segera pergi ke dapur meninggalkan Alika yang kesal dengan sikapnya.
“Kenapa?” Tanya Alika setelah melihat Kakaknya menghilang dari pandangannya.
“Soal temen-temen gua, banyak yang jomblo tahunya.” Kata Radit tanpa menatap Alika.
“Siapa aja?”
“Iya kayak Langit, Anhar gitu juga jomblo.”
Alika tersenyum, ia padahal tidak mau terlihat seperti lega dan bahagia. Hal ini membuat Radit tiba-tiba menoleh dan menatapnya. “Tertarik lo?”
“Hah?” Alika kaget dengan pertanyaan yang Radit lontarkan padanya.
“Iya gue Cuma tanya, lo jawab aja.” Radit mengalihkan tatapanya ke arah lain.
“Enggak, lagian gue nyari tahu bukan buat gue.” Alika menepuk bahu Radit, ia ingin Radit melihat ke arahnya dan mendengarkan penjelasan darinya.
“Apa?”
“Habis ini anter gue ke rumah Aira, lo mau kan?”
“Lo mau jelasin atau mau gimana sih? Gue capek balik latihan jadi kesel.” Ungkap Radit lagi-lagi sambil menatap sinis ke arah Alika.
“Nanti lo bakalan tahu jawabannya kok, gue siap-siap dulu ya.” Alika segera berdiri dan tak menghiraukan Radit yang bersedia atau tidak.
“Eh iya, lo mau mandi? Bersih-bersih gitu?” Tawar Alika pada Radit.
“Enggak, paling cuci muka aja sama ganti baju.”
Alika mengangguk. “Nanti gue bilang Kak Elia.”
Radit hanya mengangguk sekilas, lantas memberi isyarat agar Alika segera pergi dan bersiap-siap.
Sebelum ke kamar, ia memang pergi ke dapur lebih dulu untuk menemui Kak Elia. Dari kejauhan sudah tercium wangi kuah mie yang baru saja matang. “Lagi masak mie kayaknya.”
“Ngapain?” Tanya Kak Elia yang sudah mengetahui kedatangan Alika.
“Itu Radit takutnya mau bersih-bersih, aku juga mau ke kamar mau siap-siap.”
“Lho? Mau pada ke mana?” Tanya Kak Elia dengan wajah bingung.
“Ke rumah Aira.”
“Kakak buatin mie kesukaan Radit, jangan dulu pergi biarin dia makan dulu.” Pesan Kak Elia pada Alika.
“Iya, kasih aja ke dia. Nanti juga dimakan, aku mau ke kamar.”
Kak Elia hanya menatap sekilas pada Alika, ia juga tak menjawab apa-apa membiarkan Alika pergi meninggalkan dapur dan masuk ke kamarnya.
Sekitar setengah jam berlalu, Alika kini sudah siap. Ia kembali dengan menggunakan jeans hitam, kaos putih lengan pendek dengan paduan cardigan hitam berbahan rajut. Sambil menenteng tas kecil berwarna senada dengan cardigannya, ia berjalan santai menuju ruang tamu.
“Lo makan enggak?” Tanya Radit begitu Alika ada di hadapannya.
Alika menggeleng. “Enggak, lagian gue baru beres.”
“Lo kalau mau makan dulu enggak apa-apa, enggak diwaktuin ini kan ke rumah Aira.” Ucap Radit sambil meraih segelas air putih di atas meja.
“Gue udah makan sebelum lo tidur tadi, lo mau istirahat dulu bukan?”
Radit menggeleng. “Enggak, gue udah cukup istirahat udah ganti juga tadi.”
“Yaudah ayo deh.” Ajak Alika pada Radit.
Radit mengangguk setuju, lantas mengambil tasnya yang berisi baju latihannya serta tas kecil yang ia bawa kemana-mana. Alika mengajaknya menemui Kak Elia untuk berpamitan, barulah setelah itu mereka berangkat ke rumah Aira.
*
Ia tidak berhenti mengusap keringat yang turun dari dahinya lalu membasahi seluruh wajahnya, sesekali ia mengatur napasnya dan berhenti sejenak lalu melanjutkan kembali pekerjaannya.
“Huhhh...” Keluhnya sambil berkacak pinggang dan memperhatikan setiap sudut kamarnya.
Dilihatnya sekitar, semua sudah tersusun rapih dengan nuansa baru. Aira sengaja mengubah posisi benda-benda yang ada di kamarnya agar ia merasa mempunyai kamar baru dan tidak merasa bosan.
“Beres!” Ia terduduk di lantai dengan wajahnya yang dipenuhi keringat, belum lagi bajunya basah akibat keringat yang juga keluar di badannya.
“Udah beres?”
Aira spontan menoleh, mendapati Bundanya tengah berdiri di ambang pintu sambil membawa gelas berisikan minuman dingin.
“Bagus enggak?” Tanya Aira dengan senyum di wajahnya.
“Bagus, senyamannya kamu aja.” Kata Bunda sambil berjalan ke arahnya dan memberikan minuman itu pada Aira.
“Ih pas banget Bunda buatin aku minuman dingin.” Puji Aira dengan ekspresi senang.
“Istirahat dulu, habis itu mandi ya.”
Aira mengangguk cepat. “Oke.”
Bunda lantas meninggalkannya sendirian di kamar. Walaupun Bunda tengah sibuk dengan urusannya di dapur, ia tetap memperhatikan Aira melalui hal kecil seperti ini. Itu sebabnya Aira begitu menyayangi Bundanya.
Aira segera meneguk habis minuman yang diberikan oleh Bundanya, sesekali ia memberi jeda saat minum. Namun tak lama ia segera meneguknya lagi hingga habis.
“Seger banget.” Katanya sambil menaruh gelas kosong itu di atas meja agar tidak terjadi salah tendang yang akan mengakibatkan perang dunia ke-3.
Ia tidak memilih membuka ponselnya, Aira justru memilih menyalakan sebuah radio dan memasangkan kabel yang terhubung dengan ponselnya lalu menyalakan musik dengan volume sedang. Sambil menikmati istrahatnya dan memandang suasana kamar yang berbeda, ia juga menyelinginya dengan bernyanyi ala-ala penyanyi papan atas yang sedang konser.
“Dan aku tak punya hati...” Teriaknya dengan nada bernyanyi.
“Dan a.....ku.....”
“Heh!”
Aira sempat terdorong ke belakang karena kaget melihat seseorang tengah berdiri di ambang pintu kamarnya.
“Kok lu di sini?” Tanyanya heran.
“Gue ketuk pintu daritadi enggak nyahut, kata Bunda suruh masuk aja diteriakin dari bawah. Yaudah gue masuk nih.” Jelasnya pada Aira.
Aira lantas berdiri dan membawa gelas kosong itu sambil menghampiri tamunya di ambang pintu, ia juga memutuskan keluar dari kamar beberapa langkah untuk melihat dengan siapa tamunya itu datang. “Lo sama siapa?”
“Radit.” Ucapnya tepat saat Aira juga melihat Radit tengah duduk di ruang tamu sambil memainkan ponselnya.
“Ada apa nih? Tumben-tumbenan lo bertamu ke rumah gue. Ada apa? Galau? Butuh bantuan? Atau anda sedang ribut?” Tanya Aira beruntun.
Alika menggelengkan kepalanya. “Jawabannya enggak ada di pertanyaan lo.”
“Terus apaan?” Tanyanya menatap Alika dengan tetap memegangi gelas kosong.
“Lo serem banget sih megangin gelas kosong, dendam sama gue?” Ungkap Alika sambil berjalan masuk ke dalam kamar Aira dan berhenti di depan meja rias Aira.
“Gue emang mau bawa ke bawah, terus gue kaget ada lo.”
Alika menyengir. “Maaf ya buat kaget.”
“Lo mau nunggu di sini atau sama Radit aja? Gue mandi dulu deh.” Katanya memberi penawaran pada Alika.
“Gue di teras aja deh kayaknya sama Radit, enggak apa-apa kan?”
Aira mengangguk setuju. Ia mengambil handuknya lantas kembali menghampiri Alika. “Lo bawa motor?” Tanyanya dengan eskpresi serius.
Alika mengangguk. “Kenapa?”
“Parkir di mana?” Tanya Aira dengan wajah yang dibumbui panik-panik buatan.
“Di garasi rumah lo, salah ya?” Alika mulai terpancing.
“Jam berapa lo parkir?” Tanyanya lagi.
Alika melirik jam dinding yang ada di kamar Aira. “Sekitar 15 menit yang lalu.”
“Lo pulang kapan?” Tanyanya lagi menambah kebingungan Alika.
“Enggak tahu ih, paling jam 5 deh gue balik. Kenapa? Ayah lo balik ya?”
Siapapun memang malu dan tidak enak jika Ayah Aira berada di rumah, padahal sejujurnya Ayah Aira tidak jauh beda dengan Bunda Aira yang sama-sama ramah pada siapapun apalagi teman-teman Aira. Memang jika tampak dari luar, Aira sendiri sebagai anaknya enggan bertanya karena takut, apalagi orang lain mungkin.
Aira memakai jari-jemarinya untuk berhitung. “2,3 berarti..”
Alika menatapnya bingung juga dengan rasa khawatir. “Kenapa?”
“Parkir di sini sejam sepuluh ribu ya.” Ucap Aira dengan lancar tanpa merasa bersalah.
Alika menatap Aira tak percaya. “Gue kira apa sih? Sumpah lo jagonya buat panik.”
“Tapi serius lho, kasian Mang Jajang udah jagain motor lo di garasi kan.”
Alika menepuk dahinya. “Ih gue balik deh, serius sih? Lo enggak bilang ada parkir sekarang. Tahu gitu gue enggak akan taro di garasi.”
Aira berdecak sambil menoyor kepala Alika dengan pelan. “Percaya aja lagi.”
Alika menelan ludahnya sendiri. “Mandi sono, gue muak banget denger becandaan nya lo.”
“Wihhh galak bener mbaknya.” Ledek Aira sambil berjalan pelan menuju kamar mandi.
“Udah ya, daripada makin kesel gue sama lo. Mending gue turun temuin si Radit. Bay!” Ucap Alika lantas pergi meninggalkan kamar Aira.
Aira tertawa saja melihat Alika yang benar-benar percaya dengan kebohongannya. Setelah melihat Alika meninggalkan kamarnya, ia segera menutup dan mengunci pintu kamarnya lalu pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Setengah jam berlalu, sudah banyak yang Alika bicarakan dengan Radit di depan teras. Tapi, Aira tidak kunjung datang.
“Aduh, maaf lama.” Suara itu berasal dari seseorang yang baru saja keluar.
Alika dan Radit spontan menoleh, ia mendapati Aira tengah membawa minum dan beberapa cemilan keluar. Lalu ia menaruhnya di atas meja, “Kelamaan banget enggak sih.”
“Pengertian banget lo.” Ucap Radit, ia juga langsung mengambil salah satu botol minuman dingin dan membukanya tanpa basa-basi.
“Gue kaget lo berdua ke sini, ada apa sih?” Tanya Aira langsung pada tujuannya.
“Iya nih, gue baru balik latihan juga harusnya istirahat.” Protes Radit menyudutkan posisi Alika.
Alika sendiri hanya menatap Radit dengan sinis, lalu kembali mengalihkan pandangannya lagi ke arah Aira. “Sombong bener harus make tujuan kalau ke rumah lo.”
“Serius ada apa?” Tanya Aira penasaran.
“Turnament lusa, lo jadi ikut?” Tanya Alika membuat Aira kaget karena pertanyaan yang muncul tiba-tiba.
“Hah? Lo kenapa gilak? Perasaan beberapa hari ke belakang setiap gue singgung soal dia ataupun futsal lo ngalihin gitu aja.” Ungkap Aira terang-terangan.
“Iya gara-gara si Radit, gue dapet info salah jadi gue serba salah juga sama lo.”
“Lo berangkat sama Radit kan?” Tebak Aira.
Radit menggeleng. “Enggak, gue sama tim sekolah. Lagian nih anak mana mau gue ajak pagi-pagi.”
“Iya gue sama lo, lo emang enggak mau ikut?”
Aira berpikir sejenak, ia juga bingung harus ikut atau tidak.
“Emang lo mau nonton siapa sih?” Tanya Radit dengan nada tengilnya.
Emosi Aira tersulut. “Itu tim juga sekolah gue, iya emang salah gitu gue dukung tim sekolah gue? Harus banget secara personal datang buat seseorang?”
“Wesss kalem dong.” Radit menahan tawanya melihat Aira yang mudah sekali tersulut emosinya.
“Nih ya gue juga sekalian jelasin sama Radit, kalau gue nyari info ya bukan karena gue tertarik sama salah satu temen lo ya di futsal. Tapi, ini murni karena bantu Aira.” Ucap Alika sambil menatap tajam ke arah Radit yang tengah mengunyah makanan ringan.
“Apa sih gue enggak paham kalian ini ada apa?” Tanya Aira yang kebingungan.
“Jadi, gue sempet nanya soal status para personel futsal gitu. Dia bilang semua udah ada yang punya, gue jadi bingung. Akhirnya gue mencoba menghindar ketika lo bahas seputar itu ke gue.”
Aira manggut-manggut saja. “Iya ngerti.”
“Emang lo nonton siapa sih? Anhar? Atau siapa?”
Aira menatap tajam ke arah Radit. “Enak aja lo, mantannya temen iya kali gue ambil.”
“Iya mana tahu lo mau merasakan sensasi seorang Anhar. Kemarin-kemarin kan lo Cuma bisa lihat dia uwuw sama temen lo, ya sekarang lo yang nyoba.”
“Ngaco ya lo!” Balas Aira dengan nada kesal.
“Jadi, ikut kan?” Tanya Alika memastikan.
“Enggak tahu sih, gue bingung aja. Pantes enggak sih gue datang ke sana? Padahal gue enggak ada komunikasi sama dia sama sekali.”
“Iya kan itu sekolah lo juga, wajar aja sih lo datang mah.” Baru kali ini Radit berkata benar dan masuk akal tidak menjatuhkan.
“Tuh Radit aja bilang gitu.” Alika mencoba mendukung Radit.
“Eh tapi malu sih, Ra..” Tambah Radit.
Aira benar-benar jengkel padanya. Parasnya yang tampan sama sekali tidak membuat Aira terobati untuk tidak kesal pada Radit sepanjang ucapan yang ia keluarkan dari mulutnya.
“Enggak lo enggak usah percaya sama dia. Percaya aja sama gue!”
“Yakin nih? Dia kan dingin, cuek, ya ampun datar banget hidupnya.” Keluh Aira pada Alika.
“Ah gue tahu siapa orangnya.....”
Aira dan Alika langsung saling menatap dan menunggu kelanjutan ucapan Radit yang menganggantung.
Sial, anak satu ini memang harus diberikan pelajaran.