“Lo bilang ya sama dia?” Tegur Aira begitu Radit masuk ke dalam rumahnya untuk menumpang ke kamar mandi.
Alika menggeleng pelan sambil mengerutkan dahinya. “Enggak, iya kan gimana ya? Gue juga bakal nyari info khusus dia jadi enggak mungkin dong gue sebut nama cowo lain.”
Aira memutar bola matanya malas, “Iya sih. Cuma cowo lu tuh mulutnya enggak bisa direm.”
“Dia kan temen lo juga.” Balas Alika.
“Iya, justru karena satu circle gue jadi tambah kesel sama dia. Lagian lo duaan make acara cinlok segala lagi.”
Alika hanya menggelengkan kepalanya heran, sudah biasa kalau Aira akan melipir kemana-mana jika berbicara. Setelah itu, ia juga akan terbiasa lagi.
“Ehemmm...”
Suara itu membuat bola mata Aira melirik ke pintu, Radit tengah berjalan ke arah mereka berdua. Padahal saat itu Radit tengah berjalan biasa, tapi tetap saja bagi Aira melihat Radit membuatnya kesal setengah mati.
“Yaudah jadinya gimana nih? Lo mau datang nanti?” Tanya Radit pada Alika.
Alika yang tengah mengunyah makanan ringan mengangguk pelan, lantas matanya memberi isyarat pada Radit untuk bertanya pada Aira.
“Lo gimana, Ra?”
“Berdua doang sama lo?” Radit yang bertanya, Aira justru tidak menjawab ia justru melempar pertanyaan lagi pada Alika.
“Iya sih, gue juga agak malu lho.” Tambah Alika yang kini justru berbalik sikapnya.
Radit berdecak. “Malu kenapa sih?”
“Iya kan di sana tuh kebanyakan anak-anak hits, terus ditambah ada geng tetangga. Lah kita mah bukan anak kayak gitu.” Jelas Alika.
“Lo ke sana mau gabung emang? Mau join sama geng tetangga?”
Alika menatap Radit sinis, “Ih ogah banget.”
“Yaudah ngapain lo urusin, enggak jelas banget.” Dari nadanya memang terdengar kesal, tapi percayalah wajah Radit justru mengundang gelak tawa antara Aira dan Alika saat itu.
“Iya gue datang, lihat nanti izin sama Ayah dulu.” Ucap Aira sambil menahan tawanya.
“Nah gitu lah daritadi, drama banget lo berdua.” Omel Radit secara terang-terangan.
Aira mengiyakan saja dulu, padahal dalam hatinya ia masih ragu untuk ikut atau tidak.
“Balik deh ayo, Lik.” Ajak Radit setelah beberapa lama mereka terdiam.
“Cepet amat.” Protes Aira menolak secara tidak langsung.
Alika menghela napasnya. “Kasihan cape, besok mau turnament.” Ucapnya sambil melirik ke arah Radit.
“Oh iya besok yaa..” Aira hampir lupa karena terlalu banyak berpikir.
“Wah parah, nanti temen gue yang dilupain.” Sindir Radit membuat ia mendapatkan pelototan dari Aira langsung.
Radit tertawa menanggapinya, ia lantas meminta Aira untuk mengantar mereka berdua berpamitan pada Bunda Aira. Setelah itu, mereka segera pulang dan meninggalkan rumah Aira.
Kepulangan mereka berdua membuat Aira menghela napasnya, sambil menutup pintu gerbang ia tidak berhenti berpikir. Raganya tak sesuai dengan keberadaan pikirannya. Ia bergerak sedikit lambat dari biasanya, setelah menutup gerbang ia mulai merapihkan teras. Merapihkan meja dan kursi serta sisa-sisa makanan dan minuman yang disuguhkan tadi pada Alika dan Radit.
“Besok ada turnament sekolah kamu?”
Baru saja meletakkan sisa makanan di tempat sampah, Aira sedikit kaget dengan keberadaan Bunda di dekatnya.
“Hmm?” Tanya Aira, ia tidak begitu mendengar jelas apa yang diucapkan Bundanya.
“Besok turnamnet sekolah mu?” Ulang Bundanya.
Aira mengangguk. “Bunda tahu darimana?”
“Radit.”
Sambil mencuci tangannya, aira mengerutkan dahinya. “Kapan dia bilang?”
“Pas tadi izin ke kamar mandi, cerita tuh dia besok mau turnament. Minta doanya katanya.” Jelas Bundanya pada Aira.
Aira manggut-manggut saja. “Rajin amat.”
“Orang minta doa kok kamu bingung sih, Ay?”
“Iya aku enggak bingung, Cuma enggak ada kerjaan aja.” Balasnya sambil tertawa kecil.
“Enggak boleh gitu.”
“Iyaaa..”
Setelah mengelap lengannya dengan tissu, Aira memutuskan untuk pergi ke kamar. “Aku ke kamar yaaa.”
“Iya, Ay.”
Setelah mendapatkan jawaban, Aira berjalan pelan meninggalkan dapur dan pergi ke kamarnya.
*
Angin sore ini sedikit membuatnya merasa rileks dari biasanya, sambil menatap langit yang hampir berubah warnanya. Suasana sore ini sangat cocok baginya yang sedang berpikir keras, mungkin ini salah satu cara Tuhan dari banyaknya cara mengingatkan manusia bahwa mereka tidak sendiri.
Ingatannya melayang pada hari-hari sebelumnya, di mana ia tak pernah berhenti mendambakan sosok Zaidan. Dan hari ini, Zaidan seperti tidak ada apa-apa baginya. Semua perasaan itu hanyut sudah, hilang dibawa arus waktu yang tiba-tiba mendatangkan Langit sebagai gantinya.
Aira kembali menghela napasnya, kenapa ia mencintai orang yang salah saat itu. Kalau saja mungkin ia menyadari keberadaan Langit sejak awal. Ia tidak akan tersesat lebih jauh, ia tidak akan takit dan ragu lagi dalam memulai lembaran baru. Ia pasti akan berprogress lebih baik dari hari ini.
Ia jelas ingat, kalau prestasi dan segala keaktifan yang dia miliki tidak cukup membuat Zaidan berada di sisinya. Aira akan mengingat selalu kejadian hari itu, di amna Zaidan justru lebih memilih menemani kekasih barunya membersihkan kamar mandi akibat hukuman dibanding mendengarkan dirinya berorasi di depan banyak orang.
“Lebih saja tidak mampu membuatnya menetap, bagaimana jika kurang?” Ucapnya dalam hati.
Ia benar-benar merasa kurang untuk seorang Langit. Namanya benar-benar mendefinsikan Langit yang sebenarnya, ia yakin sedekat apapun perkiraannya tetaplah Langit tidak akan bisa ia gapai keberadaannya.
“Dulu kayaknya berlebihan, sekarang kok kekurangan.”
Lawannya memang tak pernah seimbang di mata Aira. Padahal satu sekolah tahu, justru memang Zaidan lah yang tidak pantas bersanding dengannya. Aira dikenal aktif berorganisasi, berbicara baik di depan umum, penyampai aspirasi, pencetak prestasi, ia bahkan tidak bertumpu pada satu bakat saja. Banyak yang Aira bisa lakukan, tapi yang tidak bisa dilakukan hanya mengendalikan dirinya untuk menyayangi diri sendiri lebih dari apapun.
Aira menghembuskan napasnya, bertarung dengan pikirannya sendiri ternyata membutuhkan tenaga yang cukup besar. Benar-benar menguras energi dan emosi. Kicauan burung sore itu semakin terdengar, langit yang awalnya sepi juga kini dipenuhi dengan segerombolan burung yang berterbangan di atas sana.
Aira lantas tersenyum. “Enggak apa-apa, siapa tahu ini jalannya. Tinggal berproses aja.”
Setelah mengucapkan kalimat yang ia harap akan memotivasi dirinya sendiri, Aira bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri sebentar untuk menikmati suasana sore ini sebelum ia masuk, beberapa helaan napas sudah ia keluarkan akhirnya Aira masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu balkon serta menyeret gorden untuk menutupi pintu yang menghubungkan kamarnya dengan balkon.
*
“Si Karin sekarang sama Ryan, ya?” Ucapan itu sontak membuat laki-laki berkaus hitam itu menoleh dengan cepat.
“Serius?”
Ia mengangguk lalu tersenyum paksa. “Emang udah bukan buat lo kali, udah habis masanya.”
Laki-laki yang ada di hadapannya itu mencoba tersenyum tipis, ia tahu kalau perasaannya pada Karin bukanlah main-main. Dan ketika Tuhan mempertemukan mereka lagi, justru Karin semakin jauh dan memilih bersanding dengan yang lain.
“Lang? Enggak apa-apa kan?” Tanyanya lagi memastikan perasaan sahabatnya itu.
Ia sontak mengangguk. “Enggak apa-apa.”
Di matanya Langit adalah sosok yang unik, ia benar-benar menjadi Langit yang indah pada mata-mata yang memang ia kehendaki. Termasuk dirinya sendiri.
“Lo udah sempet ngomong sama Karin?” Tanyanya hati-hati. Langit memang tidak menceritakan detail mengenai obrolan terakhirnya dengan Karin, itu sebabnya ia ingin mengetahui secara pasti.
Langit mengangguk, ia menghela napasnya. Andara tahu helaan itu adalah bukti ia mengeluarkan rasa sesak yang berkumpul di dadanya.
“Sekitar dua atau minggu, mungkin. Gue emang sempet ada komunikasi lagi sama dia, gue belum cerita sama lo ya karena gue enggak mau aja kalau enggal jadi.”
“Dan emang enggak jadi kan?”
Langit terkekeh. “Iya, enggak ada bedanya.”
“Lo ngajak dia balik?”
“Iya.”
Andara menatap Langit, ia memperhatikan setiap raut wajah sahabatnya itu. “Emang sepasti itu Karin bakalan balik, sampai lo ngajakin dia balik saat itu?”
Langit terdiam, ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Harusnya memang saat itu ia tidak terburu-buru, ia juga harusnya melibatkan Andara. Selain agar tidak salah langkah, ia juga bisa tahu barangkali Karin sedang dekat dengan yang lain saat itu.
“Dia enggak berubabh, tetap baik. Sama lah kayak dulu, gue emang enggak melihat harapan di sana tapi kayaknya enggak ada salah buat nyoba. Ya barang kali saat itu Karin juga nunggu.”
“Emang lo enggak tahu kalau Karin udah lama diisukan dekat sama Ryan? Dia satu tim sama lo, satu tongkrongan pula. Kenapa bisa lo enggak tahu?”
Langit mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencoba mengingat kejadian itu. “Lo pasti tahu jawabannya, An.”
Andara mengangguk paham. Ia tahu kalau Langit memang tidak seheboh yang lain, ia hanya manggut-manggut saja sambil duduk atau menyeruput es teh manis. Sesekali ia berbicara sedikit mengenai teman dan sesuatu yang berhubungan dengan kegiatannya. Ia tidak pernah mencoba mencari tahu atau bahkan ikut masuk ke dunia seseorang.
“Iya gue tahu, gue tahu lo kayak gimana. Tapi kan enggak ada salahnya, Lang. Kenapa harus lo diem di zona lo terus, sedangkan lo mau menyeret orang lain masuk ke zona yang dia udah enggak ada di sana.”
“Gue kira waktu itu cuma bercanda aja.”
“Bercanda gimana maksudnya?” Tanya Andara memastikan apa yang Langit ucapkan.
“Iya, gue sempet denger kalau anak-anak bahas soal Karin dan dikaitin sama Ryan. Gue kira Cuma bercanda, karena Ryan saat itu bener-bener kayak lagi bercanda aja sama anak-anak. Kayak biasa lagi bahas cewe-cewe.” Jelasnya pada Andara.
“Iya kan lo tahu Ryan kayak gimana? Harusnya lo lebih peka, ya minimal ada rasa mau mencari tahu itu bener enggak sih. Apalagi Karin itu bukan bahan olok-olok kayak cewek lain, Lang..” Andara sedikit kesal dengan sikap Langit, ia selalu saja tidak pernah berubah. Tidak ada rasa curiga sedikitpun lahir dalam dirinya.
“Yaudahlah, An. Udah lewat juga, biarin aja.”
Andara menghela napasnya, ia melirik Langit sekilas. “Oke lah.”
“Besok lo mau datang?”
Andara mengangguk saja sambil meneguk minum miliknya.
“Mau nagapain?”
Andara mengerutkan dahinya. “Mau lihat Hilman lah, bukan liat lo tenang aja.”
“Rese ya lo, Andara.” Kesal Langit sambil mendorong bahu kanan Andara.
“Aw!” Keluhnya sambil memegang bahu kanannya.
“Lemah.” Ejek Langit padanya.
“Bukan lemah, lo nya aja emang enggak jelas. Pantes aja Karin enggak mau sama lo. Enggak ada yang datang kan buat lo? Karin besok pasti datang tuh buat Ryan.”
Langit menatapnya kesal. “Ada.”
“Siapa? Enggak cerita sama gue, iya berarti enggak ada dong.”
“Nanti juga lo tahu.” Jawabnya tanpa menoleh pada Andara.
“Jangan gitu deh, Lang. Lo enggak usah bohong, nanti di sana lo yang malu.”
Langit menghela napasnya lagi, ia kini menoleh sambil menatap Andara yang masih memasang wajah meledeknya. “Lo balik deh, An. Pusing gue dengernya.”
“Ih ngusir?”
“Iya, lu chat Bang Hilman noh. Jemput gitu.”
Andara meraih ponselnya yang berada dia tas meja. “Iya, tenang aja enggak akan tuh minta lo anterin gue.”
Langit menaikkan satu alisnya, menantang Andara. “Oh oke.”
Andara segera membuka ponselnya, mencoba mengetik pesan di room chatnya dengan Hilman. Beberapa menit ia tunggu, tidak juga ada balasan. Tidak biasanya Hilman menghilang seperti ini.
“Enggak dibales, ya?” Tebak Langit dengan nada pura-pura khawatir.
“Apaan sih? Gue telpon.” Balasnya dengan wajah kesal.
Tidak juga ada jawaban, sekali bahkan dua kali Hilman tak menjawab telponnya.
Langit pura-pura menguap. “Aduh ngantuk banget nih gue, besok ada turnament. Tidur jam segini enak kali ya.”
Andara meliriknya sesekali. Ia ingin menahan Langit tapi ia sudah terlanjur kesal, ia ingin mendalkan Hilman tapi tak kunjung mendapat jawaban.
Drrttttt....
Andara langsung melihat ponselnya yang bergetar, ia tersenyum lega seraya menatap Langit dengan tajam.
“Hallo?”
“Kenapa, sayang?” Tanya Hilman dengan suara yang sedikit ramai di balik telponnya.
“Kamu di mana? Bisa jemput aku di rumah Langit?” Tanyanya hati-hati, ia tak mau kalau ternyata Hilman menolak dan mendapatkan ejekan yang akan membuatnya malu.
“Jam berapa?”
“Sekarang.”
“Aduh maaf yaa, aku lagi di luar anter Abang. Aku bisa sekitar jam 9 malam, gimana?” Tanyanya dengan nada tidak enak.
Andara terdiam, bibirnya mengerucut ke depan. “Kemaleman..”
“Kasih telponnya ke Langit.”
Andara berdecak. Ia segera memberikan ponselnya kepada Langit tanpa mengatakan apa-apa.
“Iya, Bang?”
“......”
“Oke siap.”
“.....”
“Iya santai.”
Lalu Langit segera memberikan ponselnya lagi pada Andara dengan wajahnya yang tengah menahan tawa.
“Iya kamu hati-hati, nanti malam aku ke rumah mampir sebentar. Andara mau apa?” Bujuk Hilman yang senantiasa mengerti kondisi kekasihnya itu.
“Enggak tahu, udah ah mau pulang. Dahhh..”
Andara segera menutup panggilannya, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.
“Mau ke mana?”
“Pulang lah.” Jawabnya dengan nada ketus.
“Yaudah nunggu apa?”
Andara menoleh, ia menatap Langit dengan wajah yang sangat kesal.
“Gue serius tanya, lo emang enggak ada aplikasi ojek online?”
“Tadi, Bang Hilman Cuma nitip tolong periksa Andara nanti kalau udah ada ojek onlinenya. Jangan sampai drivernya berbahaya.” Tambah Langit.
Mata Andara terbelalak. “Serius?”
“Emang Bang Hilman bilang apa?”
“Cuma bilang hati-hati aja.”
Langit terkekeh. “Nah, yaudah omongan gue bener dong?”
Andara sudah menahan kesalnya habis-habisan, bisa-bisanya Hilman memintanya untuk pulang naik ojek online.
“Yaudah gue ke dalem dulu ambil jaket, nanti gue pesenin sekalian gue anter ke depan ketemu si abang-abangnya.” Ucap Langit dengan serius tanpa tawa sedikitpun.
Andara benar-benar percaya kalau Hilman menyuruh Langit untuk mengurus ojek online yang akan mengantar Andara pulang.
Perasaanya campur aduk saat ini. Ia kesal sekaligus lelah sekali dengan kondisi seperti ini, Langit juga tidak berperikemanusiaan ia bahkan merelakan sahabatnya pulang dengan ojek online daripada mengantarnya dulu sebentar.
Andara masuk ke dalam rumah Langit untuk berpamitan dengan Ibu Langit, setelah itu ia menunggu Langit di depan teras. Andara sudah terlihat rapih dengan menenteng tasnya dan sudah memakai sandalnya.
Ia memasang earphone di telinganya, menyetel musik kesukaaannya dengan volume yang cukup besar. Lumayan untuk menghibur hatinya yang sedang dirundung kekesalan malam ini.
“Ayo.”
“Andara?”
Tidak ada jawaban, Andara juga tidak menoleh.
“Woi!” Panggil Albgit dengan nada yang cukup keras sambil menepuk bahu Andara.
“Ih anjir!” Andara kaget sekali dengan tepukan itu, ia terlalu fokus dengan kekesalannya.
“Ayo! Diem aja.”
“Kok lo bawa motor sih? Kan ke depan doang.” Tanya Andara kebingungan.
“Iya lo balik sama gua lah, masa naik ojek online.”
“Gilak lo ya.” Kesal Andara yang sudah tak habis pikir dengan kelakuan Langit.
“Lo yang gila, percaya aja kalau cowo lo minta lo balik pake ojek online.”
Andara memutar bola matanya malas, ia segera menaiki bagian belakang motor Langit yang kosong. Tak mengucapkan apa-apa lagi, Andara hanya menunggu Langit melajukan motornya.
*
“Emang rumah dia di mana?” Tanya Elsa yang sedang mengednarai motor.
Aira memperhatikan jalan sekitar. “Nanti di depan gue kasih tahu.”’
Elsa mengangguk, ia menunggu Aira menunjukkan rumah seseorang yang tengah ia maksud.
“Nah bentar lagi nih, Sa.” Ucap Aira mengingatkan.
“Oke.”
Setelah melewati belokan, Elsa menunggu Aira memberitahunya namun tak kunjung juga berbicara.
“Di mana?”
“Itu tuh yanga ada penjual nasi goreng, nah itu rumahnya Lang..”
“Siapa anjir namanya? Kok berhenti sih?”
Aira menggantungkan ucapannya.
“Itu bukan rumahnya yang tadi ada cowo boncengin cewek?” Tanya Elsa.
Aira terdiam, ia tidak menjawab. Fokusnya terbagi, ia segera memalingkan wajahnya ke arah lain enggan melihat kejadian itu.
“Ra? Kok diem?” Tanya Elsa lagi.
“Lanjut aja, gue salah.”
Elsa hanya mengangguk, mengiyakan ucapan Aira tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.