Part 12

2332 Kata
Suara-suara aneh mulai terdengar, entah itu berasal dari lantai bawah, luar rumah atau bahkan balkon. Yang lebih jela sia dengar adalah suara angin yang biasanya hanya dapat ia rasakan hembusannya, malam ini cukup dingin itu sebabnya angin sepertinya lebih kencang dari biasanya. Sambil memeluk kedua lututnya yang ditutupi selimut bermotif polkadot, Aira terus melamun mengingat kejadian yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu. Kepalanya terus-menerus mengeluarkan pertanyaan tentang kejadian itu, apa benar yang ia lihat tadi? Atau apa benar hubungan mereka sebatas sahabat? Atau bahkan lebih? “Aaaaa...” Keluhnya sambil mengacak rambutnya. Niatnya keluar tadi bersama Elsa adalah membelikan sesuatu untuk Langit, karena ia sudah mulai yakin akan datang ke turnament futsal yang akan diikuti oleh sekolahnya. Tapi, niatnya berujung sakit dan overthinking yang berlebihan. Baru saja hendak memberitahu Elsa di mana rumah Langit, tapi ia justru melihat Langit keluar dari g**g di mana rumahnya berada. Dan ia tidak sendiri, ada Andara di belakangnya tengah duduk dengan tenang sambil tertawa berdua. Padahal ia melihat langit sebegitu dingin dan diamnya, seistimewa itukah Andara hingga Langit menjadi lain orang ketika tengah bersamanya. “Lagi-lagi kayak dicegah, kayak diberhentiin, kayak enggak boleh aja gitu gue ke sana.” Ucapnya sendiri. Ia menengok ke belakang, melihat jam dinding yang masih terus berdetak. Sudah pukul 10 malam ia masih belum memutuskan untuk pergi atau tidak. Helaan napas berulang kali terdengar, ia benar-benar kebingungan. Drrrttt..... Getaran yang berasal dari ponselnya, membuat lamunan Aira membuyar. Ia segera mencari keberadaan ponselnya yang sepertinya ada di balik selimutnya. Ia terus mencari, bahkan sampai getaran itu hilang dan mungkin panggilan itu sudah terputus. Aira terus mencarinya, ia memutuskan untuk bangun mengangkat selimutnya. Brak. “Aishhh!” Keluhnya ketika melihat ponselnya terlempar ke lantai. Selimut yang semula ia pegang, ia lepaskan begitu saja ke sembarang arah. Aira harus segera memeriksa keadaan ponselnya, agar ia bisa memastikan kondisi yang sebenarnya. Buru-buru Aira mengambil ponselnya, ia langsung mengecek keadaan ponselnya dari luar. Memastikan tidak ada yang lecet atau bahkan pecah di bagian layar dan semacamnya, setelah itu ia segera membuka ponselnya untuk memastikan kalau kejadian tadi tidak mempengaruhi kinerja ponselnya. “Alika?” Ucapnya saat ia melihat notifikasi panggilan tidak terjawab masuk di ponselnya. Ia manggut-manggut saja ketika tahu kalau Alika lah yang menelponnya tadi. Aira mengecek room chatnya lebih dulu, tak lama kemudian ia segera menghubungi Alika kembali. Tutt..... Aira mengigit bibir bawahnya sambil menunggu panggilannya diangkat oleh Alika. Sempat gelisah karena Alika cukup lama mengangkat teleponnya, meskipun pada akhirnya panggilannya tersambung dengan Alika. “Iya Hallo?” Suara pelan itu memulai lebih dulu percakapan di malam itu. “Kenapa, Lik?” Tanya Aira berusaha memperlihatkan semangatnya. “Besok gimana? Jadi mau berangkat jam berapa?” Aira dibuat bingung dengan pertanyaan itu, ia benar-benar gelisah dan bingung harus menjawab apa. Kejadian tadi terus membayang di pikirannya, Aira sungguh merasakan patah hati sebelum memiliki. “Raa?” Panggil Alika, ia menunggu jawaban Aira yang sejak tadi tidak bersuara. “Gue bingung..” “Kenapa?” Tanyanya dengan cepat. “Kayaknya Langit udah enggak kosong deh, Lik. Gue kayaknya mundur aja sebelum nanti jadi malu sendiri.” Hening. “Gue rasa, gue terlalu jauh buat dia dan enggak bisa nyamain dia.” Tambah Aira. “Lo abis lihat apa?” Tanyanya menebak, Alika juga seidkit paham soal ini. Biasanya wanita akan banyak menyimpulkan suatu hal bukan karena pikiran yang ia buat sendiri. Melainkan karena ia melihat sesuatu. “Enggak ada.” Jawabnya dengan cepat. “Jujur aja, nanti gue bantu jelasin.” Aira mengatur napasnya, ia mencoba menguasai perasaanya sendiri. Ia akan bercerita pada Alika. “Bentar..” Alika di balik sana hanya manggut-manggut saja, padahal di antara mereka hanya mendengar suara saja. Ia akan menunggu Aira sampai siap untuk bercerita. “Jadi, gue tadi lihat Langit bonceng cewek dan itu keluar dari arah rumah dia.” Kata Aira, ia memulai ceritanya. “Hmmm..” “Terus, refleks dong kayak wah itu artinya cewek itu emang udah sedekat itu sama keluarganya. Gue juga lihat Langit beda dari biasanya, dia ketawa bahkan kelihatan bahagia banget. Entah apa yang lagi mereka omongin saat itu, jujur gue kayaknya emang bakalan milih mundur.” Lanjut Aira. “Ceweknya siapa?” “Mmmmm..” “Temen lo, Lik..” Jawab Aira dengan suara pelan. “Hah? Serius? Siapa gila?” Alika terdengar kaget, ia benar-benar penasaran dengan siapa yang Aira maksud. “Iya, temen deket lo.” “Wah? Siapa?” Tanyanya lagi-lagi dengan nada tak sabar. “Andara.” Jawab Aira dengan sangat tidak bersemangat. Hening. Aira dan Alika sama-sama terdiam, Aira yang sibuk menebak jawaban Alika. Sedangakan Alika yang masih mengingat betul hubungan yang terjadi di antara Andara dan Langit. “Gue jelasin ya..” Kata Alika memulai lagi percakapannya. “Iya.” Alika terdengar menarik napas dan menghembuskannya perlahan, ini ada dua kemungkinan yang Aira tangkap. Yang pertama, Alika akan mengatakan kalau ia baru sadar hubungan di antara keduanya. Atau yang kedua, Aira salah paham dan belum mendengar sama sekali berita tentang mereka berdua. “Jadi..” Aira menutup matanya, ia akan mencerna baik-baik kalimat yang akan Alika sampaikan padanya mengenai Langit. “Langit sama Andara itu sahabat dari SMP, jadi mereka sedekat itu. Gue awalnya juga sempet ngira kalau mereka lebih dari itu, tapi sekarang Andara juga udah sama Hilman. Ya aman-aman aja sih menurut gue.” Jelas Alika dengan santai. Aira menganggukkan kepalanya. “Iya, penjelasan lo hampir sama kayak Sifa. Gue tahu kalau mereka sahabat, dan kenapa gue mau mundur karena gue lihat itu bat kedua kalinya. Dan gue rasa ada sesuatu yang lebih di antara mereka.” “Tapi kan Andara juga udah sama Hilman, Raa..” “Iya, oke deh Andara sama Hilman. Tapi Langit? Kita enggak tahu apa yang dia rasain kan? Bisa aja di balik itu semua Langit juga naruh hati.” Aira tetap pada pendiriannya mengenai Langit dan Andara. “Langit waktu sama Karin itu udah sahabatan kok sama Andara, jadi udah terjawab kan kalau Langit pun enggak ada perasaan sama Andara?” Aira berdecak. “Omong kosong tahu kalau laki-laki sama perempuan sahabatan enggak ada perasaan sama sekali.” Alika terdiam, ucapan Aira memang tidak salah. Ia juga tidak bisa menjamin perasaan seseorang dari sikapnya, sejauh ini yang ia lihat memang keadaannya seperti itu. Mereka pernah sama-sama ada di fase menjalin hubungan lama dengan orang lain. “Diem kan lo?” Alika berdecak kesal. “Omongan lo emang enggak salah, gue juga enggak bisa jamin sih. Cuma yang gue lihat emang gitu keadaannya kok, Ra.” “Jadi?” “Yaudah, enggak ada salahnya lo berjuang atau ya usaha buat Langit. Orang sedingin dia, kalau udah ditaklukin gemesnya minta ampun.” Ucap Alika dengan nada yang dibuat-buat. “Inget lo punya Radit ya.” Balas Aira dengan tegas. “Iya enggak lah, gue juga enggak cukup mental buat perjuangin Langit. Kalau lo sih beda lagi, mental baja.” Aira terkekeh mendengarnya, ia memang seperti itu adanya. Tapi, anehnya saat sudah disakiti berkali-kali oleh Zaidan dan ia masih kuat. Kenapa hanya dengan masalah kecil saja ia begitu terluka bahkan berniat mundur. “Besok datang?” Tanya Aira lagi. “Iyaa datang, emang lo enggak mau gitu nyemangatin?” Aira mengerucutkan bibirnya, ia juga ingin datang. Tapi, rasa insecure dan jiwa mundurnya terasa sangat kuat sekali. “Berdua aja?” “Mmmm...” Hening. “Malu enggak sih kita berdua aja?” Tanya Alika yang juga merasakan hal yang sama dengan Aira. “Ajak siapa ya?” Tanya Aira. Mereka berdua adalah orang yang ama-sama tidak pernah terlibat dalam hal ini. Terlebih lagi Aira yang semasa pacarannya hanya bersanding dengan orang-orang malas bermodal paras saja. “Arafah?” “Boleh tuh, emang mau?” Tanya Aira dengan ragu. “Gue coba hubungin dia deh sekarang, siapa tahu belum tidur.” Alika mengeluarkan idenya. “Iya udah matiin aja yang ini sekarang.” Pinta Aira. “Oke, ananti gue telpon lo ya buat kasih kabar.” “Iya.” “Oke, gue tutup.” Ucap Alika, dan berakhir dengan suara nada telpon terputus. Aira segera berdiri, ia mengambil selimutnya yang terjatuh akibat ia simpan sembarangan. Ia mencoba merebahkan dirinya di atas tempat tidur, barang kali Alika akan memberikan jawaban di hari esok jadi ia tidak perlu menanti-nanti. Niat ingin tidur tetap tidak terlaksanakan, ia sejak tadi justru merubah posisinya beberapa kali tapi tetap saja tidak ada yang membuatnya nyaman. Perasaannya benar-benar gelisah, ia ingin kabar dari Alika saat ini juga. Arafah sengaja dijadikan jalan keluar untuk menemani mereka berdua, karena Arafah tidak pemalu seperti Aira ataupun Alika. Ia begitu percaya diri di depan orang banyak. Diliriknya ponsel yang ia simpan di atas meja, belum juga bergetar atau menyala karena sebuah notifikasi. Tangannya yang gatal itu langsung meraih ponselnya, barang kali ponselnya sedang error mengakibatkan notifikasi tidak berbunyi atau tidak menyala seperti biasanya. “Hih..” Sudah 20 menit berlalu, Aira belum juga mendapat jawaban dari Alika. Jangan-jangan ketika Aira sibuk menunggunya, Alika justru sudah tertidur di rumahnya. “Alika kan enggak nyuruh gue nunggu.” Ucapnya pada ponselnya. “Tapi, gue pengen tahu sekarang.” Tambahnya lagi berbicara sendirian. Aira terus memainkan ponselnya tanpa tujuan, ia yakin kalau Alika akan menghubunginya saat itu juga. Drrttt.... Ponselnya bergetar, satu notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya. Kabar baik yang ia tunggu dari Alika, Arafah bersedia ikut menonton turnament di hari esok. “Tidur nyenyak banget.” Ucap Aira sambil terus tersenyum. Ia segera membalas dengan singkat pesan dari Alika, lalu setelah itu ia mematikan ponselnya untuk ia charger. Barulah ia bisa tidur dengan nyenyak, walaupun pada kenyataannya Aira tidak bisa tertidur nyenyak karena terbayang hari esok akan terjadi seperti apa. * Pagi ini lebih cerah dari sebelumnya, Aira juga bangun lebih awal dari biasanya di hari libur. Setelah mendengar bunyi alarm, Aira segera mengumpulkan nyawanya untuk terbangun dari tempat tidurnya. Sebelum keluar kamar, Aira berkaca terlebih dahulu. Entah kenapa penglihatannya hari ini sangat berbeda, ia melihat dirinya cantik sekali tanpa olesan bedak sama sekali. Sambil tersenyum, ia mengambil sisir dan mulai merapihkan rambutnya lalu mengikatnya menjadi satu. Selesai merapihkan rambutnya ia tak lantas keluar kamar, Aira justru melirik lemari yang ada di samping meja riasnya. Walaupun dalam kondisi tertutup ia tetap bisa menerawang isi lemari itu, sambil memikirkan pakaian apa yang cocok untuk ia kenakan. Krek.. Aira kini beralih dari meja riasnya, ia mulai membuka lemarinya pelan-pelan mencoba mengamati satu-satu pakaian yang ia miliki. Sambil menopang dagunya, Aira tidak ada hentinya memperhatikan pakaiannya dari atas hingga bawah. “Pake yang mana ya?” Ia mengambil lebih dulu celana yang akan ia kenakan, pilihannya jatuh pada celana kulot berwarna coklat s**u. Barulah setelah itu ia akan dengan mudah menentukan atasan yang akan ia pakai. Sekitar setengah jam ia terus-menerus mencoba bajunya di depan cermin, hingga pilihannya jatuh pada baju. Lengan panjang polos berwarna putih, atau blouse yang berwarna senada dengan celana. Ia terus-menerus mencocokan satu di antara keduanya, ia juga tak lupa mengambil alas kaki yang sekiranya cocok dengan outfit yang akan ia pakai hari ini. Berikut tas dan barang-barang lainnya yang akan ia bawa. “Oke!” Ucapnya dengan semangat setelah melihat kecocokan dari pakaian yang sudah ia pasangkan sejak tadi. Kini ia akan keluar kamar untuk menemui Bundanya di bawah. “Ayy?” “Hmm?” Jawabnya sambil meneguk air putih di dapur. “Lho kirain Bunda siapa di dapur lagi minum.” Ucap Bundanya yang memang bingung anaknya ini sudah berada di dapur sepagi ini. “Haus, Bun. Sekalian mau mandi.” Jawab Aira dengan santai sambil meletakkan gelas kotor di tempat pencucian piring. “Mandi?” Ulang Bundanya yang tidak percaya dengan ucapan anaknya. “Iya, kenapa?” “Kamu tumben banget, mau ke mana?” Aira terkekeh. “Aku kan udah bilang mau ke turnament hari ini, Bunda lupa?” Bundanya menggeleng cepat. “Enggak lupa, Cuma heran aja kok kayaknya semangat banget sih.” Aira menahan senyumnya agar tidak terlihat salah tingkah. “Iya semangat kan tim aku mau bertanding.” Bunda mengerutkan dahinya. “Tim sekolah kamu kan bukan baru sekali ikutan kayak gini, kamu kemarin-kemarin enggak pernah terlibat di acara kayak gini?” Aira berdecak, ia menarik kursi meja makan. “Ish Bunda masa harus aku jelasin.” “Iya kan Bunda enggak tahu.” “Langit juga main hari ini.” Jawabnya dengan cepat, ia mencoba memasang wajah datar di depan Bundanya. “Ohh....” “Kenapa?” Tanya Aira. “Kenapa apa?” “Itu muka Bunda, terus nadanya kayak beda juga.” Jelas Aira. “Lho jelas beda lah, kan tim sekolah anak Bunda mau bertanding ya Bunda beda lah jelas.” Balas Bundanya membalikkan kalimat yang tadi Aira ucapkan padanya. Aira mengerutkan dahinya. “Ih Bunda ngeledek terus.” “Bunda enggak ngeledek, Cuma pengen ketawa aja lihatnya.” “Sama aja tahu!” “Kamu sama siapa ke sana?” Tanya Bunda sambil berjalan menaruh sarapan di atas meja. “Alika sama Arafah.” “Lho Arafah nonton siapa?” Tanya Bunda penasaran. “Emang kalau nonton harus banget ada tujuan personal ya, Bun?” Tanyanya sekaligus kesal. Ternyata bukan hanya pandangan temannya saja, tapi juga pandangan Bundanya tidak jauh berbeda. “Iya lah, nonton gitu kan membosankan. Beda lagi kalau ada yang ditonton.” Aira manggut-manggut. “Bener sih. Tapi, Arafah Cuma nemenin aja enggak nonton personal.” “Udah sana mandi, habis itu sarapan ya.” Aira berdiri tegak, lalu memberi hormat pada Bundanya. “Siap, jalankan!” Setelah mendapatkan gelengan kepala dari Bundanya, ia hanya tertawa lantas pergi ke kamarnya untuk mandi. “Yuk mandi!” Ucapnya dengan semangat pada diri sendiri. Sesampainya di kamar ia tak langsung mengambil handuk dan pergi ke kamar mandi, Aira memilih berdiri di samping tempat tidurnya sambil memandangi baju yang sudah ia siapkan untuk ia kenakan hari ini. Rasanya seperti menggelitik sekali, Aira tidak berhenti tersenyum pagi ini bahkan rasanya hal-hal biasa pun sangat lucu baginya. “Udah ah.” Setelah puas memandangi baju yang akan ia kenakan, Aira pergi ke balkon untuk mengambil handuk. Lalu ia pergi ke kamar mandi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN