15 menit sudah berlalu, Aira tidak berhenti mengecek jam tangan yang ada di pergelangan tangannya. Sambil menghela napas sesekali ia menengok lagi ke arah kendaraan bermunculan, ia belum juga melihat tanda-tanda kedatangan Alika dan Arafah.
“Punya temen enggak ada disiplinnya.” Gerutunya sambil sesekali menginjak-injakkan kakiknya ke bumi.
Berselang 30 menit berlalu, Alika turun dari motor dan diikuti oleh Arafah. Aira menghela napasnya lega, tapi tetap dalam hatinya ia kesal dan hanya bisa ia tahan.
“Lama banget.” Kata Aira memprotes mereka berdua dengan nada yang masih wajar.
“Buru-buru banget, lagian Radit juga ngabarin jadwalnya agak mundur.”
Aira memaki dalam hati, andai saja kalau Langit juga memberi kabar padanya seperti Radit pada Alika. Ia mungkin tidak akan bangun sepagi itu dan berdiri di pinggir jalan selama itu.
“Heh semangat banget.” Sindir Arafah pada Aira.
Aira terkekeh. “Eh Arafah? Berburuk sangka mulu sama gue, gue biasa aja juga.”
“Tumbenan anak teladan nonton futsal?” Tambah Arafah sambil memasang wajah jahilnya.
Aira tertawa. “Berisik ya lo, mending sekarang berangkat. Macet tahu!”
Alika yang sedari tadi diam pun mengangguk. “Eh iya ayo, tadi Radit juga udah ngabarin kalau sisa dua pertandingan lagi sebelum dia main.”
Mobil hitam yang sedari tadi terparkir di sebrang jalan, menjadi tujuan mereka saat ini. Mereka bertiga akan berangkat dengan diantara oleh supir dari Aira. Ayahnya yang melakukan ini, karena sedang tidak ada di rumah dan khawatir sesuatu terjadi pada Aira.
Setelah menyebrang dan masuk ke dalam mobil, Aira meminta supirnya untuk segera berangkat menuju tempat yang mereka tuju.
*
“Hei!”
Suara itu jelas membuatnya terlonjak kaget, ia sedang melamun sambil memikirkan apa yang akan terjadi hari ini. Tiba-tiba suara itu justru membuyarkan lamunannya begitu saja.
“Eh? Gue kira siapa, ngagetin aja.” Balas Aira sambil.
“Justru aku kira bukan kamu, tahunya kamu. Datang buat siapa?” Tanyanya dengan bersemangat, berbicara dengan wanita ini menjadikan aura Aira yang sebelumnya berjiwa tomboy menajdi kalut dan insecure dengan manusia satu ini.
“Buat sekolah aja sih, sambil nemenin Alika nonton Radit.” Jawabnya bohong.
Sengaja Aira menutupi niatnya, pasalnya gadis bernama Faradina ini satu kelas dengan Langit.
“Ah bohong yaaa..” Tebaknya sambil mencolek Aira dengan jahil.
Aira tertawa. “Kamu sama siapa, Din?”
“Sama Alfi.” Jawabnya dengan tenang.
“Aduh legend banget kayaknya.” Ledek Aira.
Faradina tersenyum saja. gadis di hadapannya ini sangat manis, anggun dan menggambarkan tipikal perempuan sekali. Beruntung sekali laki-laki urakan semacam Alfi bisa mendapatkan hati Faradina.
“Aku duluan ya, Ra. Mau ke dalem ketemu yang lain, atau mau bareng?” Tawarnya dengan nadanya yang lemah lembut.
Aira menggeleng cepat. “Eh enggak, Din. Lagi nunggu Alika ke kamar mandi, duluan aja enggak apa-apa.”
Faradina mengangguk pelan. “Oke, aku duluan yaaa.”
Aira membalasnnya dengan anggukan sambil melambaikan tangannya sebentar, ia masih menunggu Alika yang pergi ke kamar mandi sejak tadi. Sambil menenteng kantong plastik kecil berisi minum dan makanan yang bisa mengganjal perut Aira mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Tiba-tiba tubuhnya mematung ketika melihat salah satu pemain dari tim sekolahnya datang dari sebelah kirinya.
“Sumpah, gue harus ke mana.” Gerutunya sendiri.
Aira sebisa mungkin tidak memperlihatkan wajahnya, ia langsung menghindar dan membalikkan badan. Ia malu setengah mati, padahal niatnya memang untuk Langit. Tapi, rasanya ia seperti terlalu mengejar Langit kalau begini jadinya.
“Semangattt..” Ucap salah satu gadis yang ia lihat dari kejauhan, Aira seperti mengenalnya.
Gadis itu memakai blouse hitam yang dipadukan dengan jeans senada, perawakan yang tinggi dan kulitnya yang putih membuatnya lebih terlihat cantik dari biasanya. Tapi, ia tidak bisa melihat jelas gadis itu siapa.
“Lagi liatin apa, Ra?” Tegur seseorang yang datang dari arah belakang.
“Lama banget sih lo!” Protes Aira begitu melihat Alika datang dan Arafah.
“Ini si Arafah lama banget segala bajunya basah kena air.” Jelas Alika sambil menunjukkan baju Arafah yang memang benar basah.
“Ih ada-ada aja lo.”
“Lo lagi liatin siapa?” Tanya Alika lagi.
“Itu cewe yang make blouse hitam siapa sih? Gue kenal tapi engak jelas sama mukanya.”
Alika menoleh, ia memperhatikan gadis yang sedang Aira maksud. Lalu ia manggut-manggut saja. “Itu si Karin.”
“Wah? Demi apa sih? Cakep banget.” Pujinya dengan hati yang tulus.
“Emang cantik.”
“Dia tadi gue lihat teriak semangat gitu, ke Langit apa ya?” Tanyanya sendiri sambil menyimpulkan.
Alika menepuk dahinya. “Lah Ryan kan ada, ya jelas dia ke Ryan lah.”
“Oh iya, sakit banget ya si Langit.” Balasnya dengan terus memperhatikan Karin.
“Lik? Nonton sama siapa?” Tanya seseorang yang entah itu siapa, Aira terlalu fokus memperhatikan Karin.
“Sama si Aira terus Arafah, udah. Lo sama siapa, An?”
Aira tertegun ketika mendengar sebutan nama itu. “An?” Tanyanya dalam hati, ia segera menoleh untuk melihat siapa yang sedang berbicara dengan Alika.
“Oh sama Aira..” Ucapnya begitu Aira menampakkan wajahnya.
Aira tersenyum. “Iyaaa..”
“Yaudah gue duluan ya ke dalem.” Pamit Andara pada mereka bertiga.
“Iya dadah..” Jawabnya Alika dan Arafah dengan semangat, sedangkan Aira hanya mengangguk saja.
Alika, Aira dan Arafah juga tak lama ikut masuk ke dalam gor. Mereka ikut berkumpul bersama teman-teman sekolahnya, walaupun rasanya sangat malu saat itu. Mau bagaimana lagi jika tidak ikut bergabung mereka justru akan lebih malu.
15 menit berlalu, tak lama terdengarlah tim sekolah mereka disebut. Semua ikut berdiri untuk menyambut kedatangan pemain tim sekolah mereka. Aira tertegun, ia menatap laki-laki yang berjalan sambil menunduk sesekali. Pandangan matanya teduh sekali, terlihat dari kejauhan ia adalah laki-laki yang cuek dan dingin. Wajahnya mengukir senyum tiba-tiba, refleks ketika melihat Langit memberikan senyumnya pada supporter sekolahnya.
“Manis, ya?” Alika berbisik pada Aira.
Aira sontak tersenyum sambil mengangguk. “Enggak ada obat, Lik.”
Alika dan Aira lantas fokus menonton. Kalau orang bilang datang di tempat pertandingan karena satu orang, itu mungkin salah. Karena pada akhirnya, semua akan fokus menonton permainan satu tim bukan hanya tertuju pada satu orang.
Permainan berlangsung sangat ramai, kedua tim benar-benar memiliki kekuatan yang hebat. Terlebih lagi untuk si penjaga gawang tim sekolah Aira, patut sekali diacungi jempol performanya.
“Kipernya emang enggak ada lawan!” Ucap salah satu supporter, ketika melihat sang penjaga gawang berhasil menepis bola untuk ke sekian kalinya.
Alika lagi-lagi menyikut Aira, ini membuatnya tersenyum lagi tanpa sadar.
“Kiper enggak ada obat tuh katanya.” Bisik Alika lagi.
Aira mengangguk cepat, benar memang. Sebagai penjaga gawang ia benar-benar patut diacungi jempol, beberapa kali berhasil menepis bola untuk masuk ke dalam gawang. Aira terus memperhatikan Langit, jika dilihat-lihat ia memang tak terliaht mempesona. Paras, bahkan semua yang terlihat menurutnya memang biasa saja. Tapi, entahlah ia benar-benar melihat perbedaan yang ada pada diri Langit. Kesan itulah yang membuat Langit terlihat beda dari yang lain.
“Liatin terus yaa, Raa..” Sindir Alika sambil menyenggol Aira sesekali.
Aira langsung mencubit lengan Alika. “Berisik ih, malu. Nanti kalau ada yang sadar gimana.”
“Hehhh!” Suara itu langsung membuat Aira menoleh.
“Sifa!”
“Gue nyariin lo tadi.” Ucap Sifa, ia langsung duduk di samping Aira.
“Tadi datang enggak lama langsung masuk. Jadi, enggak ketemu sama lo kayaknya.”
Sifa mengangguk, “Ohh tadi gue juga emang udah datang langsung masuk gitu.”
Aira agak mendekat ke arah Sifa. “Tadi ada Karin.” Bisik Aira.
“Iya, tadi gue juga ketemu. Dia duduk di atas, lagian dia nemenin Ryan kok. Tenang aja.” Ucapnya sambil sesekali menoleh pada Aira.
Aira mengangguk paham. “Iya..”
Setelah kembali fokus menonton, pertandingan selesai. Dengan hasil akhir kekalahan menimpa tim sekolah Aira. penjaga gawang sempat diganti di babak kedua, performa jelas menurun dan akhirnya tim lawan dapat memasukkan bola ke gawang.
Aira kini tengah berdiri menemani Alika di luar gor, bersama dengan Arafah ia memperhatikan sekeliling untuk mencari keberadaan Radit.
Tiba-tiba saat Aira menoleh ke gedung sebelah kanan, Radit berdiri di sana melambaikan tangannya dan meminta Aira untuk memberitahu pada Alika agar mereka menemui Radit di sana.
“Lik, Radit tuh disuruh ke sana.”
“Ayo.” Balas Alika tanpa basa-basi.
Mereka bertiga langsung menemui Radit, ternyata bukan hanya ada Radit di sana. Melainkan pemain lain juga, dan beberapa anak sekolah yang ingin berfoto dengan salah satu pemain.
“Lah rame.” Ucap Alika pada Aira, membuat mereka ragu untuk masuk ke dalam atau tidak.
“Ayo sini, foto enggak?” Tanya Radit yang berdiri menunggu mereka masuk ke dalam gerbang.
Alika mengangguk, ia langsung menarik tangan Aira dan Aira pun sontak meminta Arafah mengikuti Alika. Tidak enak juga jika mendiamkan Arafah, ia datang untuk menemani Aira dan Alika bukan untuk didiamkan.
“Fotoin dong.” Kata Alika sambil mengulurkan ponselnya ke Aira.
Aira dengan senang hati menyambutnya, ia mengambil ponsel Alika dan memintanya berpose dengan Radit. Hal ini juga ia lakukan agar ia tidak canggung, sebab di samping nya saat ini juga ada Langit yang tengah menunggu Radit.
“Idih gila, kok samaan gini sih?” Ucap Radit tiba-tiba.
Aira langsung melihat ke sekiyar, apa dan siapa yang Radit maksud saat itu.
“Apaan, Dit?” Tanya Aira dengan polos.
“Jangan-jangan udah chatan lagi, udah janjian apa nih?” Ucapnya lagi tanpa menjawab pertanyaan Aira.
Alika langsung tertawa setelah memahami apa yang Radit maksud saat itu. Warna baju mereka berdua sama, iya Aira dan Langit. Awalnya Aira juga sudah sadar tapi ia tepis menjadi hal yang biasa, agar tidak terlalu canggung dan salah tingkah.
“Jadi ini yang lo maksud?” Tanyanya lagi kepada Aira.
Aira segera mencubit Radit dengan kencang. “Jaga mulut lo!”
Langit hanya menggerakkan badannya dengan wajar sambil sesekali tersenyum tipis mendengar gurauan Radit.
“Mau foto enggak?” Tawa Alika pada Aira yang kini sedang mematung di tempat, dan pura-pura sibuk dengan ponselnya.
Aira menggeleng pelan. “Enggak usah, malu.”
Aira langsung menariknuya, “Ini lo enggak kasih ke dia?” Alika menunjuk tentengan yang Aira bawa dari rumah.
“Malu, buat gue aja di jalan.” Ucap Aira berusaha santai.
“Ih gila.”
Saat itu juga Alika langsung mengambil alih tentengan yang Aira bawa, ia langsung mengambilnya dan berjalan menuju Langit. “Buat lo, dari sahabat gue.”
Aira langsung melotot, ia tidak menyangka kalau Alika melakukan itu. “Wah gila lo.”
Alika menyengir tanpa rasa bersalah. “Daripada mubazir kan, udah niat malah enggak dikasih. Iya kan, Lang?” Tanyanya pada Langit.
“Makasih, Ra.” Ucap Langit.
Selama emreka bersekolah bersama, ini bukan kali pertama ia mendengar suara Langit. Tapi, baginya ini adalah kali pertama ia mendapat kesan yang sangat berbeda.
“Udah yu, foto di sana aja ya?” Tawa Alika.
“Iya terserah.”
Mereka berlima lantas pergi keluar, berdiri di bawa pohon tepat di luar gor yang mereka masuki saat tadi.
Alika terus memaksa Aira untuk berfoto, dengan keterpaksaan yang sebenarnya itu yang ia inginkan. Aira langsung menempatkan diri di samping Langit dan berfoto bersama.
Tidak ada menyadari hal itu, walaupun keadaannya saat itu sedang ramai sekali.
Beberapa foto telah diabadikan oleh Alika, kini mereka berbincang sedikit di bawah pohon sebelum pulang.
“Lo pulang sama gue.” Kata Radit pada Alika.
Aira juga tidak kaget, ia justru sudah mengira kalau memang Alika akan pulang diantar oleh Radit. “Enggak apa-apa, Arafah sama gue.”
“Lang? Mau anterin Aira balik kan?”
Pertanyaan itu sukses membuat Aira ingin menghilang, ia benar-benar tidak mau mendengar jawaban tidak enak dari Langit.
“Iya ayo, gue anter pulang.”
Aira dan Alika langsung saling menatap, mereka sama-sama kaget dengan jawaban itu.
“Terus Arafah?” Tanya Aira pada Alika.
“Enggak apa-apa gue bisa balik sendiri.” Jawab Arafah dengan santai.
“Serius?” Tanya Aira.
“Gue naik ojek online aja jadi sekalian sampai rumah.” Jawabnya sambil membuka ponselnya.
Setelah memastikan Arafah memesan ojek online, Langit dan Radit mengambil motornya dan menghampiri Aira dan Alika.
“Arafah enggak bisa ditebengin juga emang?” Tanya Aira pada Radit.
“Enggak akan ada yang mau, berat.” Ucap Radit mengundangn tawa di wajah Langit.
“Ih enggak boleh gitu, temen gue.” Alika memprotes Radit.
“Si Arafahnya ke mana sekarang?”
Mereka berempat mencari Arafah yang tiba-tiba menghilang. Dari kejauhan ia melihat kalau Arafah sedang berjalan ke depan, mereka berempat segera menyusul Arafah.
“Lo gue cariin juga.” Kata Alika pada Arafah.
“Ojek online nya nunggu di depan katanya, di sini kan?”
“Iya kayaknya.”
Di tempat itu ada 3 motor, motor Langit, Radit dan seseorang yang tidak mereka kenali. Arafah berdiri di antara motor Radit dan Langit.
“Kok mas ojek nya malah jadi jauh, ya? Katanya udah di depan gerbang padahal.” Arafah kebingungan.
“Mbak? Nunggu ojek online?” Tanya salah satu perempuan pemilik motor yang ada di antara mereka saat itu.
Arafah mengangguk. “Iya, katanya udah di depan.”
“Kalau ojek online enggak bisa ke sini, dia emang nunggu di depan gerbang depan bukan di sini.” Ucapnya memberitahu.
“Gerbangnya di mana?”
“Di sana, agak lumayan jauh kalau jalan.”
Alika dan Aira sama-sama tidak enak, tapi mereka juga bingung karena Radit dan Langit justru diam.
5 menit berlalu, tiba-tiba salah satu perempuan di motor itu turun. “Mbak saya aja yang anter ek gerbang.” Ucapnya dengan nada menyindir.
“Ih ngerepotin Mbaknya.” Kata Arafah.
“Enggak apa-apa, saya kasihan sama Mbaknya enggak ada yang anter.” Lagi-lagi ucapannya seperti menyindir Aira dan juga teman-temannya yang justru diam tidak berinisiatif mengantar Arafah sebentar.
“Yaudah, gue ke depan ya.” Pamit Arafah pada mereka berempat.
“Hati-hati, ya.”
Arafah mengangguk serta memberi senyumnya lantas pergi meninggalkan Aira dan Alika.
“Yu berangkat?” Tanya Radit.
“Sok duluan.” Kata Langit memberikan jalan.
Akhirnya Radit lebih dulu melaju dan memimpin di depan, Langit dan Aira mengikuti dari belakang.