“ Udah lama, Ra?” Adel bertanya begitu sudah berada di samping Tiara yang sedang duduk di bangku panjang dekat tempat parkir motor pegawai Rumah Sakit.
Tiara menoleh.“Eh, enggak Kak, paling baru lima menitan, mau ngomongin apa? Udah hampir jam setengah sepuluh malem lho,” sahut Tiara, netranya melirik jam tangan yang melingkar apik di pergelangan tangan.
“Ck .. Uda gue bilangin berkali-kali jangan panggil gue kak, kita cuma selisih satu tahun, Ra, berasa tua banget gue.” Adel mencebik kesal.
“He..maaf.” Tiara meringis merasa tidak enak hati karena selama ini masih sering memanggil Adel dengan embel-embel kak.
“Gue mau numpang tidur di kos lo,” ucap Adel santai.
“ Hah? Serius? Entar bunda kamu di rumah sendirian, kan, kasihan.”
“Yang ada gue yang kasihan kalo gue pulang, gue sendirian. Bunda lagi dinas ke Bandung.“
Tiara cuma ber’oh’oh ria, sedangkan Adel sudah beranjak mengambil motor matic nya, lalu memberikan helm pada Tiara yang akan duduk di jok belakang. Suara halus mesin motor itu membelah dinginnya angin malam kota Jakarta.
Saat jalanan lancar hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di kos Tiara, rumah berlantai dua berpagar hitam dengan papan kecil bertuliskan ‘kost putri’ yang tertempel di pagar depan.
Ya, rumah itu tempat Tiara pulang dan berteduh selama merantau di Jakarta. Setelah memarkirkan motornya Adel mengekor Tiara masuk ke dalam kamar yang berada dilantai dua.
“Aku yang mandi dulu, atau kamu duluan, Del?” Tiara bertanya sambil mengunci pintu kamarnya lalu meletakkan tas dan melepas jaket yang dipakai.
“Gue duluan ya? Udah enggak nyaman nih tamu bulanan, tapi entar gue pinjem baju lo ya?” cengir Adel menampilkan gigi depannya.
“Mau pinjem brâ dan underwéar nya sekalian enggak?” sindir Tiara.
“Ogak, itu mah gue bawa, lagian aset lo kayaknya lebih-lebih dibanding punya gue.” Adel meninggalkan Tiara masuk ke dalam kamar mandi.
‘Dasar.‘
Adel berdecak kagum ketika melihat Tiara yang baru keluar dari kamar mandi dengan rambut panjangnya yang tergerai serta tubuhnya yang tertutup piyama panjang.
“Waaa, bidadari dari mana ni, eett dah cantik beneeerr!” Ucapan Adel dihadiahi Tiara timpukan handuk yang tepat mengenai kepalanya.
“Kamu masih normal kan, Del?!”
“Masihlaaah, buktinya noh si Rafqi,” sungut Adel.
Tiara memutar bola matanya malas. “Hmmmm, udah Del ayo tidur.” Ia merebahkan tubuhnya membelakangi Adel yang masih duduk di pinggir ranjang.
“Ra, gue mau cerita sesuatu sama lo, tentang Rafqi.” Suara Adel terdengar serius .
“Mmm...besok aja, Del. Aku udah ngantuk banget niii.”
“Ra.” tak terdengar jawaban dari Tiara, Adel memutuskan untuk menyusul temannya ke pulau kapuk.
***
Tiara menepati janjinya, mendengarkan curhatan Adel mengenai Rafqi -- pacar Adel. Kebetulan Adel dan Tiara sama-sama dinas siang sehingga ada sedikit waktu luang di pagi hari. Adel yang merasa Rafqi mulai berubah, atau hanya perasaannya saja. Rafqi yang lama mengangkat telfonnya, Rafqi yang butuh waktu berjam-jam untuk sekedar membalas pesannya, Rafqi yang mulai agak susah menemaninya jalan-jalan karena alasan pekerjaan.
Adel yang kesehariannya ceria dan bawel terlihat gundah ketika menceritakan hubungannya dengan Rafqi.
‘Mungkin memang seperti itu rasanya jatuh cinta, sensasinya seperti naik wahana roller coaster. Bahagia, takut, deg-degan, tegang, bisa tertawa lepas, menangis , khawatir, campur aduk,’ batin Tiara.
Entahlah, Tiara sendiri menjauhi apa itu cinta, berusaha menenggelamkan sedalam-dalamnya yang namanya cinta. Lukanya masih basah, entah bagaimana mengobatinya.
“Mungkin kak Rafqi memang lagi sibuk sama pekerjaannya, Del.” Tiara berusaha menghibur Adel dari kecemasannya.
“Gue berharap juga gitu ra.” ucap Adel terdengar sendu.
“Eh, bukannya kamu pernah bilang kak Rafqi satu kantor sama sepupu kamu. Mmm ... Siapa tau aja sepupu kamu bisa ngebantu.” Tiara mendekati Adel yang duduk di kursi meja riasnya yang mungil, mengusap kedua bahu temannya agar lebih tenang.
“Iya Ra,tapi mereka beda divisi. Aahh, lagian abang mah sekarang susah dihubunginya.”
“Enggak ada salahnya di coba Adel. Kukkrukuuukkk.” Bunyi nyaring terdengar dari perut Tiara. “Heee, aku lapar Del, semalam sampel pasiennya banyak banget. Aku enggak sempet makan. Apa cacing-cacing di ususmu tidak butuh asupan makanan, Del?” Tiara tersenyum malu sambil melirik Adel.
Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Hayuklah, soto pakai suiran ayam besar-besar plus sate telur puyuh dan sambalnya yang pedes masih anget-anget pula, sepertinya enak pagi-pagi gini, Ra.” Hanya membayangkan saja sudah membuat air liurnya akan menetes.
Adel berdiri menyambar kunci motor yang ada di meja rias, diikuti Tiara bergegas memakai jilbab dan jaketnya yang ia ambil di dalam almari pakaiannya.
Motor matic Adel sudah terparkir di depan sebuah warung makan ‘Soto Lamongan Cak Har’. Setelah memesan makanan Adel dan Tiara memilih duduk di kursi pojok warung soto itu, mereka saling berhadapan. Sambil menunggu pesanannya datang Adel merogoh ponselnya yang ia kantongi di saku celananya, mengirim pesan pada dua nomor yang berbeda.
Bebeb
[ Lagi apa, Beb? Udah makan belum? Jangan telat makan ya. Besok minggu bisa ke rumah enggak, Beb?]
Adel menggulirkan lagi jari jemarinya diatas layar ponselnya, mencari kontak nomor yang lain.
Abang Dav.
[ Kapan ke rumah, Bang? Kayaknya uda lama banget enggak pernah main ke rumah.]
Beberapa menit menatap ponselnya tak ada satu pun dari dua nomor yang membalas pesan Adel. Membuat Adel memanyunkan bibírnya tak jelas.
“ Kenapa?” tanya Tiara yang menopang dagunya di atas meja dengan tangan kanan, memperhatikan Adel sedari tadi.
Adel hanya menggedikkan bahu. Hingga datang seorang perempuan mengantarkan makanan mereka dan meletakkannya di atas meja, soto lamongan yang masih mengepulkan uap panasnya beserta teh manis hangat, tak lupa lauk lain seperti perkedel kentang, tempe goreng, dan beberapa jenis sate terbentang apik di atas meja.
Tiara dan Adel makan dengan diam, hanya ada suara garpu dan sendok yang beradu dengan mangkuk sampai soto mereka tak bersisa. Tepat saat Adel menaruh sendok ponselnya berbunyi singkat.
Abang Dav.
[ Abang lagi banyak kerjaan kantor.]
Pesan dari sepupunya yang ia harap bisa membantunya mencari tahu tentang Rafqi saat di kantor. Nyatanya, abangnya tak bisa diharapkan.
‘Ayolah baaangg tolongin gue,' batin Adel.
Tak sabar Adel langsung melakukan panggilan telepon. Panggilan pertama tidak diangkat, Adel mencoba menelponnya lagi.
Tiara hanya memandangi Adel, ia tahu kalau suasana hati temannya sedang tak menentu. Tak lama suara dari seberang menyapa telinga Adel.
“Hallo Assalamualaikum, Del, ada apa?”
“Waalaikumussalam. Astaga abaaang, apa abang udah jadi wakil duta besar RI di Mesir?! Sekarang susah banget di hubungi,” ketus Adel
“Abang udah ngasih tau, kan? Abang lagi banyak kerjaan, Del. Ada apa?”
“Kapan abang mau ke rumah?” Layaknya pertanyaan yang ditujukan untuk bertanya kapan akan melamar.
“Abang belum tau, Del.”
“ Iiiih, kok gitu.” Adel bertambah kesal, tapi beberapa detik kemudian ia ingat ucapan bundanya.
“ Besok minggu ada acara syukuran di rumah bunda, pokoknya abang harus datang,” tegas Adel tak mau dibantah.
“ Acara apa del?”
“ Acara syukurannya bunda siang sekitar jam sepuluh .. Bisa, kan?”
“ Lihat nanti ya, Del. Abang enggak bisa janji.”
“ Pokoknya Abang harus dateng. Assalamualaikum, bye.”
“ Waalaikumussalam.” Sambungan telepon itu diputus.
Tiara hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Adel, membayar soto yang mereka makan kemudian mengambil kunci motor yang ada di atas meja.
“Ayo pulang, aku aja yang didepan kamu duduk manis dibelakang," kata Tiara seraya menggandeng tangan Adel.