Argon adalah ibu kota Krypton yang menjadi pusat dari segala kemajuan teknologi informasi dan juga ilmu pengetahuan.
Aktivitas di Argon sangatlah padat. Akan tetapi segalanya tertata cukup baik. Bukan tanpa alasan. Hal ini dikarenakan kebijakan Pemerintah pusat terutama ibu kota, sangatlah bijak dan terordinir serta terskema dengan sangat baik.
Pembangunan - pembangunan bukanlah menjadi tujuan utama Pemerintah Pusat. Akan tetapi, meninjau kesejahteraan masyarakatlah yang menjadi fokus dari setiap kebijakan dan putusan yang diambil nanntinya.
Beberapa stasiun televisi nasional senatiasa menampilkan segala bentuk progres pemerintah Argon dalam setiap kebijakan dan aturan yang diberlakukan.
Seorang wanita berusia seperempat abad itu sedang menatap televisi dengan mata yang memutar bolannya dengan malas. Aqua Regia, perempuan bermata dingin dan tanpa ekspresi yang berarti di wajahnya.
"Pemuda itu menerima tawarannya. Selanjutnya apa yang yang harus kita lakukan?" Seorang pria bertubuh tegap dengan wajah yang tak kalah dingin, tiba - tiba datang dan mendaratkan pantatnya di sofa yang sama dengan wanita itu.
Aqua Regia adalah seorang penulis terkenal di Krypton. Karyanya sudah banyak dibaca oleh berbagai kalangan umur dan strata. Genre cerita yang ditekuninya adalah horror mistery, selain itu dia juga lihai menyajikan cerita manis yaitu genre teenlit dan juga youngadult.
Namun siapa sangka jika dibalik kesuksesannya selama ini, ada sebuah mistery yang sesungguhnya terjadi dan yang tak pernah orang lain pikirkan.
Wanita itu bangkit dari sofa menuju pentri. Menyedu kopi instan di dalam dua mug berwarna putih. Melangkah kembali bersama dua cangkir yang berisi kopi hangat. Diletakkannya di atas meja kaca dan menyesap satu cangkir yang sudah ada digenggamannya.
"Jangan terburu - buru. Biarkan pemuda itu menikmati masa - masa bebasnya." Pria di sampingnya itu hanya mengangguk pelan dan mengembuskan nafas kasar. Ia tau betul bagaimana pola pikir wanita di sampingnya ini. Akan tetapi, pria itu cukup muak dengan segala yang wanita itu lakukan.
"Apa kau yakin, pemuda itu tidak mencurigaimu sama sekali?" Tanya Gia seraya menolehkan wajahnya pada Axen, si tangan kanannya yang setia.
Pria itu mendengkus sejenak sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Gia.
"Kau pikir aku bodoh dan gegabah? Tentu saja dia tak akan mencurigaiku." tukas pria itu seraya mulai menyesap secangkir kopi hangat di tangannya.
Wanita itu hanya tersenyum kecil seraya mengangguk - angguk pelan.
"Ini sudah dua tahun berlalu. Akan tetapi, aku masih saja tak habis pikir dengan tindakan gilamu. Bagaimana bisa kau lebih memilih melenyapkan kekasih hatimu alih - alih menyelapkan wanita yang dicintainya," ujar Axen seraya bedecak berkali - kali dan bola mata yang mengerling. Membuat Gia mendengkus kuat - kuat seraya mencebik ke arah pria itu.
"Kau pikir, saat aku berhasil melenyapkan perempuan itu apakah Nik akan baik - baik saja dan tak melakukan apapun? Gunakan akalmu!" Gia meneguk semua kopinya dan meletakkan cangkir itu kembali ke atas meja kaca.
"Nik akan terluka dan bukan tidak mungkin, dia akan menangisi kepergian perempuan itu dan mencari pelaku di balik kematiannya. Kau pikir bagaimana perasaanku saat melihat itu?"
"Haha... Ku pikir kau tidak punya perasaan semacam itu, loh!" Pria itu tergelak setelah mendengar penururan sahabat sekaligus partner kerjanya. Menggelikan sekali. Wanita seperti Regi mengatakan hal semacam itu. Pikir Axen seraya masih terkekeh pelan.
Regia menatap pria di sampingnya itu dengan dingin dan tatapan membunuh. Apanya yang lucu. Pikir wanita itu seraya melempar sebuah bantal sofa yang ada di dekatnya.
"Lagian, aku tidak pernah menyakiti Nik. Aku hanya membuatnya diam dan tak ke mana - mana lagi, kecuali hanya bersamaku." Wanita itu bangkit dari posisi duduknya lalu melangkahkan kaki menuju wastfel dan meletakkan cangkir kopi yang tadi ia minum, di sana.
"Kau fokus saja pada pemuda itu. Awas saja jika sampai ia mengetahui sesuatu yang tidak seharusnya ia ketahui!" Berjalan ke arah sofa yang tadi ia duduki. Regia mengambil remot tv yang ada di atas meja kaca dan menekan salah satu tombol di sana hingga membuat layar tv itu berubah menjadi gelap.
"Kau juga! Urus saja Nik pucatmu itu!" sarkas pria itu dengan posisi tubuh yang sigap berlari keluar. Ia tahu betul bahwa wanita gila sepertia Gia tidak akan terima jika kekasihnya itu disebut sebut apalagi dikatai seperti tadi.
Saat Axen sudah mencapai pintu, saat itu juga sebuah cangkir yang tadinya ia gunakan untuk minum kopi kini melayang dengan sempurna mendekati kepalanya. Beruntung ia bisa mengelak hingga cangkir itu berhasil berbenturan dengan pintu apartemen Gia.
"Ckckckck... aku hanya bercanda nona Gia, kenapa kau semarah itu?" Axen berdecak beberapa kali seraya menggelengkan kepala menatap Gia dari jarak sekitar satu meter. Wanita itu masih saja menatapnya dengan tatapan tajam dan membunuh.
Gia semakin kesal dibuatnya. Kurang ajar sekali pria gila itu! Pikir Gia seraya melangkah mendekati meja kaca dan mengambil remot tv di sana. Melemparkan benda itu ke arah pria menyebalkan seperti Axen dengan kuat.
Sayang sekali pria itu sudah lebih dulu membuka pintu dan penutupnya dengan cepat.
Gia berkali - kali mengembuskan nafasnya dengan kasar. Pria gila seperti Axen benar - benar membuat kepalanya mendidih dan kemarahannya mencapai ubun - ubun. Ingin rasanya ia memutilasi tubuh pria gila itu dan memberikan daging - daging tubuhnya kepada anjing liar di jalanan.
Sejurus kemudian, bunyi dentingan pada benda pipih yang kini tergeletak di atas sofa tiba - tiba terdengar olehnya saat akan berlalu melangkah ke kamar.
Mengambil benda itu dan mengusap layarnya dengan jari. Menampilkan satu pesan singkat dari Siko Xenon :
"Jangan lupa mandikan kekasihmu itu, ku rasa baunya sudah begitu anyir dan busuk :)"
Gemertak gigi Gia terdengar begitu kuat. Bagaimana bisa pria itu mengatakan Niknya seperti ini. Kesalnya tak terima.
Ku bunuh kau!
Pekik wanita itu seraya melemparkan benda pipih yang semula ia genggam. Hingga isinya terbuyar dan berhamburan ke segala arah.
_______
Semalam, Tri tak bisa tidur. Bagaimana ia bisa tidur kalau perempuan di sampingnya terus - terusan mendengkur dengan keras.
"Kamu pakai baju kakak saja, kayaknya kita seukuran deh," usul perempuan manis bergigi ginsul itu pada gadis yang semalam menginap di kosannya.
Tri hanya mengangguk pelan dan mengangkat kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman tipis sekali.
"Terima kasih banyak, ya mba," ungkap Tri dengan tulus. Nisa hanya mengangguk seraya mengatakan kalau Tri boleh memiliki bajunya.
"Jangan panggil 'mba' dong, panggil 'kakak' aja," tukas perempuan itu seraya melangkah ke arah lemari berukuran besar.
"Sama - sama, anggap aja kakak kayak kakak kamu sendiri. Lagian kakak juga gak punya adik perempuan, apalagi secantik kamu," puji Nisa dengan tulus seraya meraih beberapa lembar pakaiannya dari lemari.
"Setelan baju tidur kakak yang ini, sebenarnya udah lama kakak beli, tapi gak pernah di pake. Soalnya kakak pernah kegemukan dan alhasil gak muat deh. Kayaknya muat sama kamu." Nisa bercerita seraya membentangkan baju dan jeans itu secara bergantian dan menempelkannya di tubuh gadis canti di hadapannya.
"Nih, kamu coba dulu aja," titahnya seraya menyerahkan sesetel pakaian tidur itu pada Tri. Gadis itu tersenyum lebar saat menerimanya. Hatinya menghangat saat itu juga.
Ia pikir, perempuan yang ada di hadapannya ini akan bersikap dingin dan ketus. Ternyata tidak sama sekali.
Ia berlalu ke kamar ganti dan menatap sesetel pakaian itu dengan lirih. Seketika potongan kenangan bersama kedua kakak perempuannya bergelayutan dan memenuhi kepalanya saat ini.
Gadis itu menggelengkan kepala dengan cepat dan segera menyelesikan aktivitas ganti bajunya.
Ia tak akan menyerah. Tidak akan pulang begitu saja selama keadaan rumah masih tidak seperti yang ia harapkan. Tri tidak akan pulang.
________